Selasa, 15 November 2011

tentang seorang pemuda



Ia ingin bekerja. Ia ingin menikah. Ia ingin berjalan. Ia ingin masih punya harga. Ia ingin mandiri.

Ia menatapku lekat padahal panas mentari belum mengeringkan embun di dedaunan teh-tehan yang rimbun. Cahaya masih temaram. Ia diam membisu tapi pancaran matanya melukiskan semua. Ia seolah ingin memuntahkan amarah, seolah memaksaku dalam pandangan matanya yang terbakar untuk menghentikan kegiatanku dan mendengarkan bagaimana ia sampai seperti itu. Aku memandangnya dalam penyesalan, bukan aku tak mau berbagi susah denganmu kawan. Aku belum ada waktu mendengarkan bagaimana kamu sampai seperti itu. Aku tak ingin mengetahui namamu sebab aku belum siap merasakan bebanmu meski tahu kamu lebih susah. Untuk saat ini aku mau memikirkan hidupku lebih dulu. Nasib betul-betul menghampiri kita dengan salam mengejek.

Aku duduk diam menunggu malaikat sambil berjemur mencari sinar mentari.  Tiga jam aku menunggunya dan tiga jam pula ia terus menatapku lekat. Kalau saja kamu tahu bukan hanya kamu yang susah.

Koridor mulai ramai. Tegel-tegel retak. Keretak kursi roda. Suara dengung percakapan dari kejauhan. Tak ada nada kegembiraan. Aku mulai memperhatikan wajah-wajah lelah dan kalah : si pasien dan keluarganya. Koridor ini memang berisi kami yang sudah hampir kehabisan daya dan kesabaran.

Dokterku tiba persis pukul sembilan. Ia datang dari arah belakang, aku tak melihatnya datang. Tapi aku merasakan ada tangan yang kuat menyentuh pundakku. Ia menyapa selamat pagi lalu membantuku belajar berjalan. Aku harus belajar berdiri dan melangkah, supaya ototku tidak mengecil. Jalanku tertatih-tatih, pokoknya aku tak boleh sampai lumpuh karena hal ini akan semakin menyulitkan pemulihan sakitku. Aku menahan sakit fisik dan seringkali berhenti karena kehabisan nafas. Ia memandangku penuh pengertian. Ayo kalahkan sakitnya, aku tahu kamu mampu, ujarnya menyemangati. Kamu harus pergi lihat sepenggal dunia, ujarnya lagi.

Pukul 09.15 dokterku pamit sambil menyunggingkan harapan. Ia orang yang efisien terhadap waktu, hari-harinya sibuk dan padat. Aku tersenyum perih. Di dunia yang sedih ini, aku harus memaksa semangat selalu ada meski tak ada alasan untuk gembira.

Dua jam lagi jadwal fisioterapi. Aku masih punya waktu untuk belajar jalan sendiri betapapun payah. Ketika ku menoleh mencari Bik Semi minta dibantu berdiri, pemuda itu masih memandangku lekat. Ia tidak didatangi dokter. Dokter-dokter resident tidak sempat memperhatikan dia. Dokter-dokter muda berlalu-lalang terburu-buru membuntuti dokter-dokter spesialis lalu menghilang dan menyisakan ketidakpercayaan mengenai ketidakpastian yang terasa jejak. Pemuda itu benci melihatku belajar berjalan sebab ia tak bisa lagi untuk selamanya.

Aku membenci diriku karena keluargaku masih punya dana sehingga aku mendapatkan fasilitas yang lebih baik. Aku benci melihatnya bersedih dan tidak memiliki kesempatan yang sama atas jaminan kesehatan yang seharusnya ia peroleh tapi tak ia dapatkan karena ia miskin sehingga tidak mampu mengusahakan pengobatan yang lebih baik. Aku sedih karena ibuku berhutang sana sini untuk menyembuhkanku, aku sedih karena aku tidak dapat membantumu.

Aku tersenyum memberinya dukungan dan ia tambah kecut melihatku.

Bik Semi, menyeka keringatku dan mengupaskan buah pear. Ia bertanya bagaimana perasaanku hari ini. Aku diam saja karena aku tidak tahu bagaimana harus mengungkapkannya. Bik..bik..aku harusnya lebih ramah padamu tapi dalam keadaan serba menahan sakit, sulit bagiku untuk berpikir ringan dan riang, sebab aku tidak tahu bagaimana hidupku setelah ini.

Aku mendengar dering lagu favoritku.

“Mau diangkat gak telponnya?” Aku mengangguk.

Sahabatku Ellen menyempatkan diri menelepon, “Sayang..kamu mau aku datang hari ini?”

Aku masih saja terdiam, lama dan menyedihkan.

“Let me know if you want to talk with me..okaayy. i love you dear .. don’t give up.” Kata-kata penyemangat itu terasa begitu tidak berarti, aku menyayangi sahabatku, ia begitu pengertian, ia mengerti perasaan hatiku, aku yang tidak mengerti perasaan hatiku sendiri.

Bik Semi pergi meninggalkanku berjemur mencari matahari. Aku tidak jadi latihan berdiri. Tenagaku terserap habis oleh rasa kecewa. Ponsel ada dalam pangkuanku. Sebuah pesan singkat masuk, dari ibu. Kubiarkan deringnya berlalu, lagu Blackbird dari Beatles yang dinyanyikan ulang oleh Evan Rachel Wood. Aku telah mengenal betul melodinya. Tapi versi yang ini berbeda. Geraman cello dan akordion di bagian intro membikinku selalu ingin menangis. Aku mengikuti lirik yang telah ku hafal di dalam hati. Hatiku rasanya ingin menjerit.

Blackbird singing in the dead of night ..
Take these broken wings and learn to fly ..
All your life ..
You were only waiting for this moment to arise.
Blackbird singing in the dead of night ..
Take these sunken eyes and learn to see ..
All your life ..
You were only waiting for this moment to be free..


Hidup tentu tidak berhenti hari ini.

Sudah hampir jam sebelas. Aku melihatmu tidak pindah posisi. Baru kali itu aku benar-benar melihatmu setelah empat puluh dua hari mendekam di penjara yang yang sama. Kamu tak lagi mau tersenyum. Kamu tak bisa diajak berbincang. Kamu putus asa dan tak punya biaya.
Ia duduk di kursi rodanya, kakinya yang mengecil dan kantung kencing terikat di pinggangnya, dengan rasa marah dan pahit.
Aku ingin berdansa. Aku ingin memotret. Aku ingin bercinta. Kawan, tak mengertikah engkau bahwa kita juga sama-sama pedih. Mengapa kamu harus membenci aku dan memusuhi dirimu sendiri. Kita sama-sama kesepian, aku tahu kamu lebih susah. Tetapi kamu tidak harus membuat abadi deritamu.
Bermimpilah kawan, meski itu tak lagi menghiburmu. Berharaplah meski itu tak mengusir gundahmu.
Tapi kamu realistis dan aku luar biasa mengerti karena salib yang kita panggul berbeda.
Kamu pemuda baik, wajahmu manis, dulunya kamu pekerja keras. Kamu mencintai ibumu. Dan cita-citamu sederhana. Kemudian Tuhan sengaja membuatmu terjatuh dari pohon melinjo meski hanya setinggi empat meter ternyata melumpuhkanmu selamanya. Meski itu untuk membantu ibumu berjualan makanan. Dan kamu marah sebab dunia tak adil. Sebab kawan-kawanmu menghidupi diri sebagai tukang ojek. Sebab kawan-kawanmu mulai pacaran. Sementara kamu bahkan tak dapat mengontrol kemihmu sendiri. Ada kantong kencing melekat pada pinggangmu selamanya.  Kamu tak berdaya. Kamu bau tanpa kamu minta, kamu jorok tanpa pernah mengharapkannya. Tak lagi ada kawan mengunjungimu, menyemangatimu. Rumahmu terlalu jauh dari rumahsakit, perlu ongkos banyak untuk bolak-balik. Kamu sedih sebab setengah tahun sudah kamu terbelenggu di penjara yang sebetulnya lebih manusiawi dibanding rumahmu sendiri. Kamu bisa makan tiga kali sehari di sini meski kita sama-sama tahu bukan makanan yang kita perlu. Hanya ibumu yang renta menyertaimu selalu. Ayah dan adikmu jarang datang menjenguk karena tak ada biaya. Dan kamu makin menderita sebab kamu tak tahu bagaimana bila ibumu tiada. Lagipula kamu pemuda. Kamu ingin bersetubuh. Kamu ingin menjadi seperti kawan-kawanmu. Tapi kecewa sudah memakan habis hidupmu. Kamu semakin kurus.
Dan aku mengerti.

Sebab

Aku juga sedih meski masih bisa mengusahakan biaya meski itu berarti hutang di sana sini dan menjual harta yang tersisa. Bapak ibuku tak keberatan menjadi bangkrut, aku merasakan beban itu : menyusahkan dan merepotkan. Aku merasa ditolak harga diriku sendiri, aku yang dulu sempat membenci mereka, dan semesta menunjukkan padaku arti keluarga.

Kawan, cita-citaku tidak pernah sederhana. Tadinya aku penuh energi dan semangat. Aku juga kecewa dan marah sepertimu sebab impianku terhenti. Aku tak pernah rendah hati sejak dulu karena aku merasa aku bisa. Aku sudah merencanakan melanjutkan studi S2 di Belanda bagaimanapun caranya, cita-citaku hebat. Aku ingin jadi jurnalis, pembuat film dokumenter, aku ingin jadi penulis, aku ingin jalan-jalan dan lihat dunia. Aku punya mimpi hebat. Tetapi kini gerakku amat terbatas. Sekarang aku serba terlambat dan terhambat.
Aku berharap bisa mandiri. Aku berharap masih memiliki selera akan kehidupan, memiliki ketabahan untuk berdamai dengan identitasku yang baru. Secara teknis kawan, harapanku tidak melebihi milikmu.

Kawan, sedihmu itu juga milikku meski cita-cita kita berbeda. Kita seperti merasa dibodoh-bodohi dan tak bisa melawannya untuk dapat tertawa sedikit : aku membodohi balik semesta. Tapi aku memilih untuk pasrah. Aku memilih untuk bersedih saat ini. Satu-satunya hal yang aku tahu hari ini adalah aku tak bisa mengakali takdir, sebab aku tidak tahu. Tapi kamu tak mau sebab kamu satu-satunya orang yang seharusnya menopang hidup ayah, ibu dan adik-adikmu.

Kamu begitu bertanggung jawab sampai tak sadar tekanan batin itu makin memperparah deritamu. Sebab kamu sadar hidupmu sudah terhenti. Sebab kamu sadar keluargamu ikut porak poranda meski dalam bayangmu tak pernah sekalipun kamu memimpikan mereka ikut nelangsa karena susahmu. Karena itu kamu sangat membenci Tuhan yang telah membuatmu ada. Keluargamu tak pernah membaca buku, mereka tidak mengerti trauma paska sakit, mereka merasa dirimu beban ketika kau berubah menjadi sangat pemarah dan serba rewel, keluargamu juga kehabisan kesabaran, dan itu menjeratmu makin parah, sebab kau tidak dapat menemukan jawaban akan segala pertanyaan mengganjal, segala situasi perih yang kau hadapi.

Pendoa Legio Maria yang rutin berkunjung seminggu dua kali datang menjengukku kembali. Dan kamu hampa melihatku masih dikunjungi banyak orang. Kamu cemburu sebab kamu susah.
Aku luar biasa mengerti.

Kamu lalu mendatangiku dalam derik kursi roda yang mengagetkan setelah pendoa Legio Maria berpamitan pulang. Aku tahu kamu marah. Aku membiarkanmu marah. Sebab aku tahu itu perlu.

Kamu mengucap perlahan dengan intonasi bergelombang :  Kamu tidak tahu rasanya buntu. Belum pernah mentari dan rembulan mengkhianatimu bersamaan. Kamu tak pernah tahu rasanya kehilangan. Sewaktu dadamu berdebar keras akibat sedih berkepanjangan yang tak bisa kau bagi dengan seseorang. Tentang pedih yang tak tertahankan. Kesedihan hatiku terasa bergumpal-gumpal. Aku tak pernah mengerti darimana datangnya. Tahu-tahu ia mampir sebentar dan pergi meninggalkan perih yang tak hilang-hilang. Kesedihanku terasa pekat. Aku tak pernah bisa menghapus perasaan yang semakin hari terasa kian membosankan. Kesedihanku tak bernama. Aku percaya kesedihanku bernyawa. Ia ada dalam aku dan aku tak bisa mengabaikannya. Aku hidup bersama dia. Dia yang menggerogoti semangatku. Karena aku percaya mentari dan rembulan memang berkhianat. Wujudnya yang transparan menari-nari bersama kilat. Tidak pernah aku merasa dibohongi begitu rupa. Ada sebentuk impian indah bersemayam dalam tipu daya paling memuakkan. Penyangkalan yang terasa manis. Mengenai mentari dan rembulan yang terbit pelan-pelan menunggu kesadaranku jejak. (aku berimajinasi kau memuntahkan kalimat-kalimat ini.)

Kawan, betulkah itu kamu atau kita merasakan hal yang sama. Persahabatan kita berlangsung tanpa kata-kata. Dirimu adalah fragmen diriku yang baru.

Kamu tertawa sedih meninggalkan sisa suara derik kursi roda yang mengiris hati. (aku masih membayangkan kamu tertawa sedih.)

Aku melihat kamu seorang diri. Seminggu ini kamu seorang diri. Ibumu tidak datang membantumu seminggu ini. Kamu membutuhkan seorang kawan. Aku ingin menemanimu. Mas Agus perawat di bangsal kita datang. Aku menitipkan buah pear untukmu. Aku melihat Mas Agus berjalan menujumu. Kamu memegang buah pear itu di pangkuan, menatap terus ke depan.

Aku tahu rasanya kesepian dan marah kawan. Aku tahu.

Aku berharap Tuhan mempertemukan ku dengan belahan jiwa dalam keadaan yang pantas. Aku  masih berharap dapat menikah dan menjadi ibu serta istri yang baik. Menjadi cacat tidak pernah ada dalam rencana hidupku. Kita bisa jadi cacat kapan saja, kita tak pernah menduganya. Nilai tukar kita tak pernah genap. Aku membenci untuk mengakuinya.

Di balik semua pilihan naif yang kuakui, di balik gagasan yang melintas dalam diriku yang rapuh, aku masih menitipkan doa supaya masih diberi kesempatan melanjutkan hidup dan mengurangi mengeluh. Aku bersyukur dan bermimpi untuk hal-hal sepele karena hanya itu milikku saat ini. Aku belajar pelan-pelan untuk mengerti bahwa hidup penuh kejutan : hari-hari beruntung dan hari-hari serba sialan.

Empat bulan lewat dan aku di rumah masih berjuang untuk sembuh, masih menitipkan doa untukmu. (Tuhan pasti mengenal kamu tanpa ku sebut namamu).

Hari ini aku kembali ke penjara kita dulu menemui dokter untuk kontrol kesehatan. Tetapi di luar gedung biru banyak orang berkerumun. Sebuah kursi roda reyot berhamburan di sekitar mereka. Mas Agus perawat yang kukenal akrab sibuk mengurus jenasah seseorang. Desas-desus mengatakan seorang pasien putus asa menghempaskan dirinya dari lantai enam.

Kasihan Indra, begitu kata mereka.

Aku mengetuk pintu dan sebuah wajah yang telah ku kenal akrab dan hangat tak menyambutku seperti biasa. Wajah yang dulu kutunggu setiap pukul sembilan pagi.

Di luar ada pasien bunuh diri, katanya namanya Indra, aku membuka percakapan. Dokterku menanyakan hal ini kepada suster. Si suster menjelaskan dengan lugas.

Aku baru tahu, ternyata Indra itu kamu.

Indra...aku mengerti pilihanmu. Tentu saja konsep benar salah tak berlaku di sini. Benar hanya benar ketika ilusi tentang benar itu hadir. Aku tak punya hak untuk menilai keputusanmu. 

Tapi aku sedih, mengapa kamu memilih jalan yang itu.


PS : fiksi ini ditulis dalam kenangan selama mendekam di RS fatmawati. saya mengenal dengan detail setiap sudut irna melati, wajah-wajah kuyu, dan teh-tehan yang rimbun.  selamat jalan muti, rizky, bu sri, dan segenap kawan pejuang di Irna Melati Fatmawati. 

Hari ini saya hidup, saya tak pernah merasa yakin masih dapat hidup, waktu itu.
terimakasih.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar