Ia
ingin bekerja. Ia ingin menikah. Ia ingin berjalan. Ia ingin masih punya harga.
Ia ingin mandiri.
Ia
menatapku lekat padahal panas mentari belum mengeringkan embun di dedaunan
teh-tehan yang rimbun. Cahaya masih temaram. Ia diam membisu tapi pancaran
matanya melukiskan semua. Ia seolah ingin memuntahkan amarah, seolah memaksaku
dalam pandangan matanya yang terbakar untuk menghentikan kegiatanku dan
mendengarkan bagaimana ia sampai seperti itu. Aku memandangnya dalam
penyesalan, bukan aku tak mau berbagi susah denganmu kawan. Aku belum ada waktu
mendengarkan bagaimana kamu sampai seperti itu. Aku tak ingin mengetahui namamu
sebab aku belum siap merasakan bebanmu meski tahu kamu lebih susah. Untuk saat
ini aku mau memikirkan hidupku lebih dulu. Nasib betul-betul menghampiri kita
dengan salam mengejek.
Aku
duduk diam menunggu malaikat sambil berjemur mencari sinar mentari. Tiga jam aku menunggunya dan tiga jam pula ia
terus menatapku lekat. Kalau saja kamu tahu bukan hanya kamu yang susah.
Koridor
mulai ramai. Tegel-tegel retak. Keretak kursi roda. Suara dengung percakapan
dari kejauhan. Tak ada nada kegembiraan. Aku mulai memperhatikan wajah-wajah
lelah dan kalah : si pasien dan keluarganya. Koridor ini memang berisi kami
yang sudah hampir kehabisan daya dan kesabaran.
Dokterku
tiba persis pukul sembilan. Ia datang dari arah belakang, aku tak melihatnya
datang. Tapi aku merasakan ada tangan yang kuat menyentuh pundakku. Ia menyapa
selamat pagi lalu membantuku belajar berjalan. Aku harus belajar berdiri dan
melangkah, supaya ototku tidak mengecil. Jalanku tertatih-tatih, pokoknya aku
tak boleh sampai lumpuh karena hal ini akan semakin menyulitkan pemulihan
sakitku. Aku menahan sakit fisik dan seringkali berhenti karena kehabisan
nafas. Ia memandangku penuh pengertian. Ayo kalahkan sakitnya, aku tahu kamu
mampu, ujarnya menyemangati. Kamu harus pergi lihat sepenggal dunia, ujarnya
lagi.
Pukul
09.15 dokterku pamit sambil menyunggingkan harapan. Ia orang yang efisien
terhadap waktu, hari-harinya sibuk dan padat. Aku tersenyum perih. Di dunia
yang sedih ini, aku harus memaksa semangat selalu ada meski tak ada alasan
untuk gembira.
Dua jam lagi jadwal fisioterapi. Aku masih punya waktu
untuk belajar jalan sendiri betapapun payah. Ketika ku menoleh mencari Bik Semi
minta dibantu berdiri, pemuda itu masih memandangku lekat. Ia tidak didatangi
dokter. Dokter-dokter resident tidak sempat memperhatikan dia. Dokter-dokter
muda berlalu-lalang terburu-buru membuntuti dokter-dokter spesialis lalu
menghilang dan menyisakan ketidakpercayaan mengenai ketidakpastian yang terasa
jejak. Pemuda itu benci melihatku belajar berjalan sebab ia tak bisa lagi untuk
selamanya.
Aku
membenci diriku karena keluargaku masih punya dana sehingga aku mendapatkan
fasilitas yang lebih baik. Aku benci melihatnya bersedih dan tidak memiliki
kesempatan yang sama atas jaminan kesehatan yang seharusnya ia peroleh tapi tak
ia dapatkan karena ia miskin sehingga tidak mampu mengusahakan pengobatan yang
lebih baik. Aku sedih karena ibuku berhutang sana sini untuk menyembuhkanku,
aku sedih karena aku tidak dapat membantumu.
Aku
tersenyum memberinya dukungan dan ia tambah kecut melihatku.
Bik
Semi, menyeka keringatku dan mengupaskan buah pear. Ia bertanya bagaimana
perasaanku hari ini. Aku diam saja karena aku tidak tahu bagaimana harus
mengungkapkannya. Bik..bik..aku harusnya lebih ramah padamu tapi dalam keadaan
serba menahan sakit, sulit bagiku untuk berpikir ringan dan riang, sebab aku
tidak tahu bagaimana hidupku setelah ini.
Aku
mendengar dering lagu favoritku.
“Mau
diangkat gak telponnya?” Aku mengangguk.
Sahabatku
Ellen menyempatkan diri menelepon, “Sayang..kamu mau aku datang hari ini?”
Aku
masih saja terdiam, lama dan menyedihkan.
“Let
me know if you want to talk with me..okaayy. i love you dear .. don’t give up.”
Kata-kata penyemangat itu terasa begitu tidak berarti, aku menyayangi
sahabatku, ia begitu pengertian, ia mengerti perasaan hatiku, aku yang tidak
mengerti perasaan hatiku sendiri.
Bik
Semi pergi meninggalkanku berjemur mencari matahari. Aku tidak jadi latihan
berdiri. Tenagaku terserap habis oleh rasa kecewa. Ponsel ada dalam pangkuanku.
Sebuah pesan singkat masuk, dari ibu. Kubiarkan deringnya berlalu, lagu
Blackbird dari Beatles yang dinyanyikan ulang oleh Evan Rachel Wood. Aku telah
mengenal betul melodinya. Tapi versi yang ini berbeda. Geraman cello dan
akordion di bagian intro membikinku selalu ingin menangis. Aku mengikuti lirik
yang telah ku hafal di dalam hati. Hatiku rasanya ingin menjerit.
Blackbird
singing in the dead of night ..
Take these broken wings and learn to fly ..
All your life ..
You were only waiting for this moment to arise.
Blackbird singing in the dead of night ..
Take these sunken eyes and learn to see ..
All your life ..
You were only waiting for this moment to be free..
Hidup
tentu tidak berhenti hari ini.
Sudah hampir jam sebelas. Aku melihatmu tidak pindah posisi. Baru
kali itu aku benar-benar melihatmu setelah empat puluh dua hari mendekam di
penjara yang yang sama. Kamu tak lagi mau tersenyum. Kamu tak bisa diajak
berbincang. Kamu putus asa dan tak punya biaya.
Ia duduk di kursi rodanya, kakinya yang mengecil dan
kantung kencing terikat di pinggangnya, dengan rasa marah dan pahit.
Aku ingin berdansa. Aku ingin memotret. Aku ingin
bercinta. Kawan, tak mengertikah engkau bahwa kita juga sama-sama pedih.
Mengapa kamu harus membenci aku dan memusuhi dirimu sendiri. Kita sama-sama
kesepian, aku tahu kamu lebih susah. Tetapi kamu tidak harus membuat abadi
deritamu.
Bermimpilah kawan, meski itu tak lagi menghiburmu. Berharaplah
meski itu tak mengusir gundahmu.
Tapi kamu realistis dan aku luar biasa mengerti karena salib yang
kita panggul berbeda.
Kamu pemuda baik, wajahmu manis, dulunya kamu pekerja keras. Kamu
mencintai ibumu. Dan cita-citamu sederhana. Kemudian Tuhan sengaja membuatmu
terjatuh dari pohon melinjo meski hanya setinggi empat meter ternyata
melumpuhkanmu selamanya. Meski itu untuk membantu ibumu berjualan makanan. Dan
kamu marah sebab dunia tak adil. Sebab kawan-kawanmu menghidupi diri sebagai
tukang ojek. Sebab kawan-kawanmu mulai pacaran. Sementara kamu bahkan tak dapat
mengontrol kemihmu sendiri. Ada kantong kencing melekat pada pinggangmu
selamanya. Kamu tak berdaya. Kamu bau tanpa kamu minta, kamu jorok tanpa
pernah mengharapkannya. Tak lagi ada kawan mengunjungimu, menyemangatimu.
Rumahmu terlalu jauh dari rumahsakit, perlu ongkos banyak untuk bolak-balik.
Kamu sedih sebab setengah tahun sudah kamu terbelenggu di penjara yang
sebetulnya lebih manusiawi dibanding rumahmu sendiri. Kamu bisa makan tiga kali
sehari di sini meski kita sama-sama tahu bukan makanan yang kita perlu. Hanya
ibumu yang renta menyertaimu selalu. Ayah dan adikmu jarang datang menjenguk
karena tak ada biaya. Dan kamu makin menderita sebab kamu tak tahu bagaimana bila
ibumu tiada. Lagipula kamu pemuda. Kamu ingin bersetubuh. Kamu ingin menjadi
seperti kawan-kawanmu. Tapi kecewa sudah memakan habis hidupmu. Kamu semakin
kurus.
Dan
aku mengerti.
Sebab
Aku
juga sedih meski masih bisa mengusahakan biaya meski itu berarti hutang di sana
sini dan menjual harta yang tersisa. Bapak ibuku tak keberatan menjadi
bangkrut, aku merasakan beban itu : menyusahkan dan merepotkan. Aku merasa
ditolak harga diriku sendiri, aku yang dulu sempat membenci mereka, dan semesta
menunjukkan padaku arti keluarga.
Kawan, cita-citaku tidak pernah sederhana. Tadinya aku penuh
energi dan semangat. Aku juga kecewa dan marah sepertimu sebab impianku
terhenti. Aku tak pernah rendah hati sejak dulu karena aku merasa aku bisa. Aku
sudah merencanakan melanjutkan studi S2 di Belanda bagaimanapun caranya,
cita-citaku hebat. Aku ingin jadi jurnalis, pembuat film dokumenter, aku ingin
jadi penulis, aku ingin jalan-jalan dan lihat dunia. Aku punya mimpi hebat.
Tetapi kini gerakku amat terbatas. Sekarang aku serba terlambat dan terhambat.
Aku
berharap bisa mandiri. Aku berharap masih memiliki selera akan kehidupan,
memiliki ketabahan untuk berdamai dengan identitasku yang baru. Secara teknis
kawan, harapanku tidak melebihi milikmu.
Kawan,
sedihmu itu juga milikku meski cita-cita kita berbeda. Kita seperti merasa
dibodoh-bodohi dan tak bisa melawannya untuk dapat tertawa sedikit : aku
membodohi balik semesta. Tapi aku memilih untuk pasrah. Aku memilih untuk
bersedih saat ini. Satu-satunya hal yang aku tahu hari ini adalah aku tak bisa
mengakali takdir, sebab aku tidak tahu. Tapi kamu tak mau sebab kamu
satu-satunya orang yang seharusnya menopang hidup ayah, ibu dan adik-adikmu.
Kamu
begitu bertanggung jawab sampai tak sadar tekanan batin itu makin memperparah
deritamu. Sebab kamu sadar hidupmu sudah terhenti. Sebab kamu sadar keluargamu
ikut porak poranda meski dalam bayangmu tak pernah sekalipun kamu memimpikan
mereka ikut nelangsa karena susahmu. Karena itu kamu sangat membenci Tuhan yang
telah membuatmu ada. Keluargamu tak pernah membaca buku, mereka tidak mengerti
trauma paska sakit, mereka merasa dirimu beban ketika kau berubah menjadi
sangat pemarah dan serba rewel, keluargamu juga kehabisan kesabaran, dan itu
menjeratmu makin parah, sebab kau tidak dapat menemukan jawaban akan segala
pertanyaan mengganjal, segala situasi perih yang kau hadapi.
Pendoa
Legio Maria yang rutin berkunjung seminggu dua kali datang menjengukku kembali.
Dan kamu hampa melihatku masih dikunjungi banyak orang. Kamu cemburu sebab kamu
susah.
Aku
luar biasa mengerti.
Kamu
lalu mendatangiku dalam derik kursi roda yang mengagetkan setelah pendoa Legio
Maria berpamitan pulang. Aku tahu kamu marah. Aku membiarkanmu marah. Sebab aku
tahu itu perlu.
Kamu
mengucap perlahan dengan intonasi bergelombang : Kamu tidak tahu rasanya
buntu. Belum pernah mentari dan rembulan mengkhianatimu bersamaan. Kamu tak
pernah tahu rasanya kehilangan. Sewaktu dadamu berdebar keras akibat sedih
berkepanjangan yang tak bisa kau bagi dengan seseorang. Tentang pedih yang tak
tertahankan. Kesedihan hatiku terasa bergumpal-gumpal. Aku tak pernah mengerti
darimana datangnya. Tahu-tahu ia mampir sebentar dan pergi meninggalkan perih
yang tak hilang-hilang. Kesedihanku terasa pekat. Aku tak pernah bisa menghapus
perasaan yang semakin hari terasa kian membosankan. Kesedihanku tak bernama.
Aku percaya kesedihanku bernyawa. Ia ada dalam aku dan aku tak bisa
mengabaikannya. Aku hidup bersama dia. Dia yang menggerogoti semangatku. Karena
aku percaya mentari dan rembulan memang berkhianat. Wujudnya yang transparan
menari-nari bersama kilat. Tidak pernah aku merasa dibohongi begitu rupa. Ada
sebentuk impian indah bersemayam dalam tipu daya paling memuakkan. Penyangkalan
yang terasa manis. Mengenai mentari dan rembulan yang terbit pelan-pelan
menunggu kesadaranku jejak. (aku berimajinasi kau memuntahkan kalimat-kalimat
ini.)
Kawan,
betulkah itu kamu atau kita merasakan hal yang sama. Persahabatan kita
berlangsung tanpa kata-kata. Dirimu adalah fragmen diriku yang baru.
Kamu tertawa sedih meninggalkan sisa suara derik kursi
roda yang mengiris hati. (aku masih membayangkan kamu tertawa sedih.)
Aku
melihat kamu seorang diri. Seminggu ini kamu seorang diri. Ibumu tidak datang
membantumu seminggu ini. Kamu membutuhkan seorang kawan. Aku ingin menemanimu.
Mas Agus perawat di bangsal kita datang. Aku menitipkan buah pear untukmu. Aku
melihat Mas Agus berjalan menujumu. Kamu memegang buah pear itu di pangkuan,
menatap terus ke depan.
Aku
tahu rasanya kesepian dan marah kawan. Aku tahu.
Aku
berharap Tuhan mempertemukan ku dengan belahan jiwa dalam keadaan yang pantas.
Aku masih berharap dapat menikah dan menjadi ibu serta istri yang baik.
Menjadi cacat tidak pernah ada dalam rencana hidupku. Kita bisa jadi cacat
kapan saja, kita tak pernah menduganya. Nilai tukar kita tak pernah genap. Aku
membenci untuk mengakuinya.
Di
balik semua pilihan naif yang kuakui, di balik gagasan yang melintas dalam
diriku yang rapuh, aku masih menitipkan doa supaya masih diberi kesempatan
melanjutkan hidup dan mengurangi mengeluh. Aku bersyukur dan bermimpi untuk
hal-hal sepele karena hanya itu milikku saat ini. Aku belajar pelan-pelan untuk
mengerti bahwa hidup penuh kejutan : hari-hari beruntung dan hari-hari serba
sialan.
Empat
bulan lewat dan aku di rumah masih berjuang untuk sembuh, masih menitipkan doa
untukmu. (Tuhan pasti mengenal kamu tanpa ku sebut namamu).
Hari
ini aku kembali ke penjara kita dulu menemui dokter untuk kontrol kesehatan.
Tetapi di luar gedung biru banyak orang berkerumun. Sebuah kursi roda reyot
berhamburan di sekitar mereka. Mas Agus perawat yang kukenal akrab sibuk
mengurus jenasah seseorang. Desas-desus mengatakan seorang pasien putus asa
menghempaskan dirinya dari lantai enam.
Kasihan
Indra, begitu kata mereka.
Aku
mengetuk pintu dan sebuah wajah yang telah ku kenal akrab dan hangat tak
menyambutku seperti biasa. Wajah yang dulu kutunggu setiap pukul sembilan pagi.
Di
luar ada pasien bunuh diri, katanya namanya Indra, aku membuka percakapan.
Dokterku menanyakan hal ini kepada suster. Si suster menjelaskan dengan lugas.
Aku
baru tahu, ternyata Indra itu kamu.
Indra...aku
mengerti pilihanmu. Tentu saja konsep benar salah tak berlaku di sini. Benar
hanya benar ketika ilusi tentang benar itu hadir. Aku tak punya hak untuk
menilai keputusanmu.
Tapi
aku sedih, mengapa kamu memilih jalan yang itu.
PS :
fiksi ini ditulis dalam kenangan selama mendekam di RS fatmawati. saya mengenal
dengan detail setiap sudut irna melati, wajah-wajah kuyu, dan teh-tehan yang
rimbun. selamat jalan muti, rizky, bu
sri, dan segenap kawan pejuang di Irna Melati Fatmawati.
Hari
ini saya hidup, saya tak pernah merasa yakin masih dapat hidup, waktu itu.
terimakasih.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar