Senin, 14 November 2011

kanggo simbah


Malam itu barangkali sunyi. Barangkali terlalu sunyi sampai bisa kau dengar hembus nafasmu sendiri. Barangkali malam itu,  hanya di malam itu engkau terlalu berhati-hati untuk sampai tidak mengeluarkan bunyi.  Tadi ketika mentari belum genap tenggelam sudah kau dengar desas desus yang membuat waktu terasa makin cepat dan menggila. 

Malam itu barangkali sunyi. Sesunyi hatimu yang bersedih dan mengutuki diri pelan-pelan. Malam itu barangkali banyak tidur yang tak nyenyak. Malam itu barangkali dingin semakin menusuk tulang bukan karena angin yang menyebabkan kebekuan itu, melainkan pemahaman bahwa engkau bisa saja tidak kembali.

Malam itu kelewat sunyi dan degup mu satu-satu tak juga habis.

Sebetulnya engkau tidak begitu tahu bahwa kau bisa saja tidak kembali.Tetapi anakmu yang kecil barangkali memiliki intuisinya sendiri. Ia meminta kau pangku tadi sore. Ia mengecupi pipimu dengan sayang. Ia melihat ke dalam matamu dengan matanya yang jernih. Ia hanya tahu bahwa ada yang tidak beres dan mengganggu hatinya. Ia tidak mengucap apa-apa. Engkau ingin mengucap banyak. Tapi kau tak bisa sebab kau tahu ia tidak boleh mengerti hari ini.

Kau pandangi ia. Baju lusuh yang dikenakannya kau beli di lebaran 2 tahun lalu. Anakmu yang tidak banyak menuntut dan mengeluh. Kau lihat tas sekolahnya di kursi reyot. Sepatu sekolah Bata di bawah kursi, kau beli juga di lebaran 2 tahun lalu. Anakmu yang bersekolah di susteran dan rajin belajar. Istrimu yang petani mendatangimu dan menyuruhmu sembahyang. Kau merasa perlu berdoa dengan lebih khusyuk.

Kau  merasa dirimu tidak akan kembali selepas ini. kau seperti merasa dikhianati.  Tetanggamu kanan-kiri yang juga petani barangkali sudah menunjuk dirimu demi menyelamatkan diri sendiri. Kau sedang menimbang, sungguhkah engkau akan menunjuk seseorang? Sungguhkah engkau akan menghibahkan keputusasaan bagi orang lain. Sungguhkah engkau tidak akan tidak menunjuk seseorang.

Sebab engkau punya anak dan istri yang kau cintai, mereka yang dengan nyawa akan kau perjuangkan. Kau merasa perlu berdoa lebih khusyuk. Kau berdoa sepanjang malam. Kau mengucap doa ketika anakmu menyampaikan pamit tidur malam. Kau mengecup keningnya dan bersedih. Anakmu yang kecil. Anakmu yang akan menderita berkepanjangan.

Barangkali banyak rumah malam itu berdiam diri. Barangkali mereka menunggu dan berharap dalam kekalutan. Barangkali malam itu segalanya menjadi serba penuh kecurigaan. Tawa tak terdengar. Semua merasa tidak akan selamat.

Barangkali malam itu sangat sunyi. Sehingga dentum sepatu lars yang menindas bisa terdengar lamat dari kejauhan. Dentum sepatu itu datang mendekat, seperti rasa dalam kerongkonganmu yang tercekat.

Barangkali sudah kau duga darimana datangnya. Barangkali engkau berani, tetapi ketika suara lamat tersebut mengeras, kau tahu keberanianmu sudah habis. Habis karena kau mendengar tetanggamu sendiri berteriak-teriak begitu lantang, sorak-sorai habisi dia..habisi mereka..coba cek apa agamamu tuan..ada lambang bertanda gambar.

Kau melihat anak istrimu yang kau sayangi. Kau lihat rumah yang biasa saja namun nyaman dan aman. Barangkali ada airmatamu menetes. Barangkali kau tahu ini saatnya. Justru karena kau tahu ini saatnya nyalimu kembali kerdil, sebab kau juga manusia. Dan manusia boleh takut.

Anakmu pernah berkisah tentang Yesus berkeringat darah di Taman Getsemani ketika ia bersiap diri melawan siksa dan derita. Barangkali kau tidak sempat tahu bahwa deritamu akan jadi panjang. Engkau tidak akan pernah menyangka dirimu sanggup menerima deraan di luar peri kemanusiaan. Kau tidak mau takut, kau berupaya keras untuk tetap tegar, tetap berdiri. Sebab kau tak ingin si buyung menjadi semakin ketakutan ketika melihatmu ketakutan.

Pagi buta. orang seharusnya terlelap nyenyak. Tapi tidurmu gelisah. Kau menunggu. Kau tahu dari cerita kanan kiri. Kau lihat dari kejauhan, orang-orang ditangkapi. Kau dengar di desa sebelah, laki-laki telungkup di pematang dengan liang luka sangat banyak, telungkup di sawah. Tetanggamu dari desa sebelah tak kembali setelah diarak ke hutan, kau tahu ada banyak sumur dan gua di hutan, mereka bisa berada di antaranya, tewas setelah dianiaya. Kawan main yang kau kenal dari kecil hilang dan tak kembali.

Dan kau tahu sudah tiba masanya giliranmu. Kau mempersiapkan diri sebab kau gagah, sedari dulu kau gagah, meski kau hanya petani. Petani dengan ladang kecil untuk menghidupi keluargamu yang miskin. Kau cuma sedikit berani waktu itu untuk memperjuangkan kesejahteraan bagi kaummu. Kau hanya sedikit berani waktu itu untuk masuk dalam sebuah pergerakan yang kau yakini akan memberikan rasa keadilan. Kau merasa di usiamu yang muda kau harus berbuat sesuatu. dan kau tahu apa yang kau kerjakan adalah kerja perjuangan.

Kau hanya tak tahu ini akan menyeretmu terlalu dalam. Kau hanya meyakini anakmu perlu sekolah. Sebab kau dan tetanggamu perlu memberikan pendidikan terbaik bagi anak-anak supaya lebih maju dan terdidik, tidak seperti dirimu yang lugu dan bodo. Kau sudah senang melihat anakmu belajar membaca, kau mendengarkannya bercerita apa saja, kisah-kisah dari sekolah yang disampaikan suster-suster Belanda, mereka yang datang dari Eropa, mereka yang barangkali tidak hanya berniat menjajah- ketika kau pahami bangsamu sendiri menjajah bangsanya lebih parah.

Kau senang dengan suster-suster Belanda itu meski ayahmu dulu memerangi bangsa mereka. kau menyekolahkan anakmu di sekolah Katolik untuk membantu anakmu jadi pandai supaya bisa memperjuangkan dirinya. Di daerahmu tidak ada banyak sekolah. Anakmu senang bisa sekolah.

Kau tahu harga pupuk harus terjangkau. Kau mengupayakannya dengan keras. kau tahu harga padi harus sebanding dengan keringat yang dikeluarkan, kau dan kawan-kawanmu yang mengecat caping dan menonton sendratari tidak mengharapkan yang lain kecuali kedamaian dan ketentraman.

Barangkali itu tak sempat terucap sebab kau tidak terlalu tahu banyak. Yang betul-betul tak sempat kau tahu adalah mengenai politik. Kau tidak terbiasa mendengarnya. Kau tidak pernah merasa dekat dengan kata-kata asing tersebut. Tapi di telingamu rasanya begitu mencekam seperti elang mencengkeram anak ayam. Kau seperti tiba-tiba merasa tak berdaya dan tak kuasa melawan. Kau tak mampu mengulur rasa ngeri itu, ia bukan hanya ada tapi siap sedia.

Kau dengar pintu digedor keras-keras. Keringatmu barangkali mengucur deras. Tapi kau berusaha siap. Kau telan ludah. Dan kau dengar jeritan tetangga.Mereka yang ditendangi. Perempuan menjerit. Mereka yang di siang hari bekerja di ladang. Makan dengan lauk sederhana. Khawatir akan harga pupuk juga bagaimana menjual padi. Kawanmu yang dapat order mengecat caping palu arit tanpa mengetahui maknanya. Kawan-kawanmu perempuan yang belajar membaca untuk mengentaskan buta huruf. Kau lihat mereka ditangkapi, ditendangi, lantas dijejer di tengah jalan. Berlutut dalam posisi menyerah. Kalian yang siap dibantai massal. Kau yang bersedih karena anakmu harus melihat dirimu dilucuti.

Kau pandangi langit. Gelap dengan kelap-kelip bintang. Bersih. Tapi di sini ada kebiadaban. Tengkukmu dipukul popor senjata. Kau melihat tanah. Tanah kelahiranmu. Tempat kau menggantungkan asa dan harap. Dan kau bersedih.

Kau seperti tepekur menanti datangnya pagi.

Menuju pagi penuh jerit. Kau dan kawan-kawanmu berjejer seperti hendak disembelih. Kau yang tidak mendapatkan hak mu sebagai manusia. Suaramu. Suaramu yang lirih. Kau yang ditawan dalam keadaan tak berdaya, di tanah kelahiranmu sendiri. Rasa hormat akan leluhurmu telah jadi alum. Meregang di atas tanah, rasa ngeri mencengkammu dari segala penjuru. Seperti ada palu godam menghantam karena kau tak satu golongan dengan yang jauh di sana, horor tiba-tiba di depan mata.

Kau lihat apa yang terlihat ketika mentari terbit , tanah yang kau perjuangkan, kini porak poranda, kau lihat bahwa kau menjadi kecewa dan begitu tidak bernyawa.

Ada waktu tersulit ketika engkau tidak memanggil kenangan tetapi ia datang menerjang dan membuat hatimu luluh lantak. Kau kehilangan pegangan dan rasa percaya. Kau merasa serba kebingungan akan kebiadaban yang berlangsung. Kau yang sesungguhnya tidak mengerti. Kau yang seharusnya akan terus menjadi petani, barangkali seorang anak mu bakal jadi guru dan mantri, barangkali istrimu bisa memiliki empat ekor lagi sapi. Kau yang merasa Tuhan tidak sedang membelamu.

Kau tidak bercerita pada keluargamu mengenai siksaan dalam rumah tahanan. Kau yang kini menjadi tuli karena gebukan bertubi di kepala. kau yang harus menelan nasi basi campur serbuk beling. Mereka yang ingin membikin tawanan mati pelan-pelan. kukumu yang dicabuti. Punggungmu penuh bekas cambuk. Penismu yang disetrum berulang kali supaya kau mengakui apa yang tidak kau ketahui. Kau yang diisolasi dalam ruang sempit berbulan-bulan, mereka yang sengaja ingin membuatmu gila, ingin membuatmu kehilangan jiwamu. Kau yang berpindah rumah tahanan dengan siksaan yang makin jadi hebat. Kau yang tidak diadili. Kau yang tidak bisa pulang, tidak tahu kapan pulang, apakah masih bisa pulang. Kau yang gila setiap datangnya pagi. Kau yang didiskriminasi sejak awal sampai kau mati nanti. Kau yang akhirnya juga tahu sebagian kecil dari mereka si sepatu lars yang menindas itu juga dijadikan kambing hitam, kalian bercerita dalam tahanan betapa terkutuk penindasan yang kalian alami.

Kau membayangkan anak istrimu di rumah. Mereka yang sengaja dibuat merasa selalu bersalah, mereka yang dihilangkan jiwanya sebelum nyawa sirna. Mereka yang sengaja dibuat percaya bukan lagi manusia, mereka yang berjuang untuk bertahan hidup kendatipun sulit, mereka yang tidak lagi memiliki kepercayaan diri dan mewariskan perasaan serta prasangka tersebut. Kau sudah tidak bisa menangis lagi.

40 tahun sudah. Seperti kemarin. Dulu kau selalu merasa sudah diambang mati, kau tak bisa tinggalkan jejak bahkan untuk dirimu sendiri. Badanmu mudah lelah dan lemas. Menjadi tuli teramat menyiksamu. Dalam perutmu pernah masuk rerepih beling sebagai pengganti nasi. Kau bisa melihat penyiksaan tersebut sejelas hari ini. Kau ingat wajah kapten yang memerintahkan untuk menyiksamu. Mereka yang tertawa melihat tubuh mudamu tanpa sehelai benang. Mereka yang merasa aman dan berhak memunahkan bangsanya sendiri. Barangkali engkau tidak terlalu mengerti tetapi penghayatanmu menyuruhmu untuk mencoba tak ambil pusing, sebab  kau selalu tahu, kau bersyukur masih dapat hidup. Kau selalu merasa bukan apa-apa setelah kejadian itu, mereka mengambil kemerdekaanmu dan kau percaya.

Kawan-kawanmu telah banyak yang mati. Cerita sedih menggantung di udara. Kau coba lupakannya tetapi kau tak bisa. Kau lihat desamu tak berubah. Hanya orang-orang menjadi semakin tua. Dan semakin susah. Masih ada dendam dan kemarahan membayang. Masih ada luka sayatan yang terus bernanah dalam nadimu yang enggan tuntas. Kau lihat desamu yang tak berubah. Orang-orang tak pernah sejahtera. Perjuanganmu tidak membawa apa-apa. Desamu jauh dari kota. Desa dan perjuanganmu tetap tersembunyi dan bersembunyi dan kau terluka seorang diri. Kau tidak sempat menghayati betapa banyak orang menderita sepertimu. Kau tahu ada tigajuta korban lainnya sepertimu di tahun enamlima dan setelahnya. Kau hanya tidak tahu harus bagaimana.

Sampai suatu ketika datang gadis mungil dari ibukota, ia ramah dan rapuh, kau tak kuasa menolaknya. Kau tak kuasa menolaknya untuk membiarkanmu menceritakan trauma. Kau bersedih karena tak mau mengorak pahit, kau tak mau mengingatnya, tapi di hadapan gadis mungil ini engkau percaya bahwa ceritamu harus bernyawa. Dan kau kerahkan segala kemampuanmu untuk mengorek luka tersebut. Kau begitu percaya.

Tapi kau salah, sebab kau mempercayai apa yang ingin kau percayai. Gadis mungil itu juga menghilang bersama angin. Bersama ceritamu yang tidak jadi bernyawa. Kau selalu jadi arsip dan data. Sebab jauh di kota yang tak sempat kau bayangkan seperti apa keadaannya, ada banyak hal tak jadi tuntas bukan karena tidak mampu melainkan karena tidak mau. Kau masih mau percaya kau masih hidup ketika segala keadilan diberikan bagimu. Tadinya.

Kau belajar untuk tidak mempercayai siapapun. Kau belajar bahwa segala kepahitan dan kepedihan hidupmu adalah garis yang harus kau terima. Kau belajar untuk terus melengkapi sedih. Kau tidak lagi mau mencoba percaya. 5 tahun lagi barangkali kau betul-betul akan tiada. Dan sejarah tentu boleh menulis apa saja tentangmu, atau tidak sama sekali.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar