Kamis, 17 November 2011

ifumie




“enak ifuminya?”

aku harus mencerna terlebih dahulu siapa yang mengajakku bicara.

ellen. 

ini dimana? mataku melihat berkeliling. duniaku berhenti berputar. aku tak tahu sedang berada di mana. aku memejamkan mata sebentar, berharap kembali ke tempat terakhir yang sempat kuingat. aku memejamkan mata rapat-rapat, memaksa diri untuk mengingat. aku takut.

“makan aja duluan ren, gak usah nunggu pesanan gw dateng.”

kalimat yang menyamankan hati. suara yang kukenal, intonasi yang sudah kuketahui dari belakang telinga.

aku membuka mata dan melihat ifumi di depanku, penuh dengan sayuran. dan kenangan datang dari belakang kuping, bergulung seperti hembusan angin dingin di telinga tetapi menampar panas di pipi.

“kamu mau ibuk belikan apa?”

ibuku, dengan kaos merahnya. aku benci melihat kaos itu. ia mencucinya dan ketika kering mengenakannya kembali. ia tidak sempat menggunakan pakaian lain yang ada di lemari. aku benci kaos yang dikenakannya.

bau karbol begitu menyengat di udara. gelap dan menjemukan. bau rumah sakit, bau obat.

tuhanku..allahku..engkau dimana?

dadaku sakit. apakah sakit? sakit samadengan sepi.

 “kalau udah dingin gak enak ren.”

aku menatap ellen.

aku malu menanyakan kita sekarang sedang berada di mana. ini bukan tempat yang biasa kudatangi.

 aku melihat di depanku ada kamera.

nikon d90. milik siapa?

kalau bukan milikku pasti milik ellen.

tapi benda ini mahal. ini pasti bukan milikku. tapi kenapa juga bukan milikku?

aku merasa harus berbicara meski tak ada yang mengharuskannya. aku tidak tahu berapa menit yang sudah berlalu. aku merasa harus menghancurkan kebekuan ini.

“fotonya bagus-bagus?”

“lo coba lihat aja, tadi gw belum sempet lihat. sudah keburu hujan di pelataran fatahillah. lo gak bawa kuas buat bersihin ellensa ya? sayang tadi kena percik gerimis. kebiasaan deh lo, kalau punya barang gak telaten lo rawat.”

oh..kamera ini milikku. bagaimana bisa?

tapi urusan kamera bisa belakangan. aku membutuhkan wawasan di mana aku berada sekarang. tidak mengetahui rasanya tidak enak, tidak lengkap dan membikin khawatir. aku menajamkan pendengaran. mengapa sulit sekali untuk mendapatkan informasi di mana diriku berada sekarang. aku melihat ke arah depan. ini pasti pusat perbelanjaan. aku tidak ingat pernah tiba di sini. ini pasti bukan plaza senayan atau senayan city, aku kenal tiap sudutnya. ini berbeda. lagipula cahayanya lebih sephia. ataukah mataku yang menggelap? aku menangkap samar-samar suara pengunjung di restoran ini. tapi aku tak mengerti apa yang ia bicarakan. aku sudah gelisah ketika terdengar suara lantang orang lain berkata, gw di solaria semanggi. lo ke sini buruan. dulu aku kesal dengan orang-orang bersuara kencang berbicara dengan henfonnya. sekarang aku sangat berterimakasih.

ini solaria semanggi.

 aku menatap piring ifumie-ku. piring putih dengan aksen ungu.

ada wajah ibuku di depan. menyuapi aku ifumie. aku benci harus menahan tangis. sungguh.

“lo gak jadi lihat fotonya?”

“ntar aja abis makan.”

“gw lihat dulu deh, tadi ada yang lucu.”

ellen mengambil kamera itu dari tanganku dan sibuk melihat foto-foto yang ada di dalamnya. ia tersenyum sambil melihat foto-foto tersebut.

“hihihiihi..” ellen tertawa geli.

“kenapa?”

“pertama kita ke museum bank mandiri, elu pannniiikk banget. sampai akhirnya di stasiun busway beos lo bilang..udah deh ellen, nyampe dulu yang penting. ntar kita tinggal nyari taksi buat ngelanjutin ke museum bank mandiri. dan ternyata kita berdiri persis di depan museumnya.  ketiga kali kita kesana, lo bilang lagi sama gw, cari bajaj yuk, kita ke asemka, padahal tu asemka persis di belakang museum itu, jalan kaki aja sampe.”

ellen memperhatikanku.



“lo lebih sehat sekarang. jalan lo juga udah lebih gagah.”

betulkah?

“kita nunggu siapa lagi ellen?”

“gak ada, kita berdua doank. ray kan ke bali. gw belum sempet cerita ya? abis tadi seru banget sih ya.”

deg.

aku gak ingat.

“siapa mardiana ellen?”

“sori, siapa?”

“mardiana.”

“gw gak pernah denger. gw gak inget lo pernah cerita. kenapa?”

“gak tahu tiba-tiba terlintas saja.”

tapi desakan kebingungan itu menekan begitu kuat. aku merasa harus menemukan mardiana segera. aku perlu tahu siapa dia. lewat dia pasti aku bisa menyusun puzzle-puzzle yang menjadikanku demikian.

“waktu gw sakit, siapa yang paling dekat sama gw ellen?”

“nyokap lo lah. lo gak pengen ditemuin dulu itu. lo gak mau ketemu orang. lo gak mau ngobrol sama gw. tiap kali gw telpon lo bilang masih gak nyaman dan gak pengen cerita. itu berlangsung satu setengah tahun.”

“maaf ya ellen.”

“slow ren..gw paham betul kondisinya.”

“kapan kita mulai keluar dan jalan-jalan lagi?”

“baru 4 bulan belakangan ini, lo telpon gw, minta gw temenin dan anterin ke museum.” ellen tertawa.

“kenapa, ada yang lucu?”

“gw selalu inget kejadian-kejadian konyol selama kita berkawan.”

“plis tell me.”

“well, hal pertama yang paling gw ingat tentang pertemanan kita adalah jamannya hari-hari pertama kuliah. kita berdua mencret dan masih harus dateng ospek. tapi kita kabur dan makan es podeng, dan justru mencret lebih parah.”

“yayayaa...gw inget. idung lo dulu gede banget...”

“sialan lo..hahhahaah..”

“dulu lo lucu dan banyak sekali tertawa. hal-hal gak penting buat lo jadi sangat penting. lo marah kalau orang ketawa ketika lo bicara, lo suka gak ngeh kalau yang elu bicarakan memang lucu betulan.”

sumpah gw pengen bisa ketawa sekarang.

“paling berkesan buat gw waktu kita lomba paduan suara di UI. lo nabrak pintu kaca sampai separuh ruangan itu geter. dan setiap anak yang lagi ujian di luar ngeliatin elu. gw berdoa waktu itu supaya kacanya gak pecah. sebulan setelah itu setiap kita ngaso dari kampus ke plaza senayan, lo selalu buang tissu di sela pintu untuk memastikan gak ada kaca di situ. well emang rabun ayam lo makin parah. lo pake kacamata tapi kalo udah sore masih kebingungan jalan ngeliatin aspal.”

ellen ketawa ngakak. “sori ren, tapi elu itu kan gede banget ya. trus rambut lo acak-acakan macem hagrid, dan lo jalan nunduk, pake ransel kecil pula. jadi sumpah itu lucu banget. no hard feeling ya sayaanng..”

“nyokap lo nelpon tuh.”

aku melihat henfon yang ditunjuk ellen. foto ibuku tampil di layar.

“kamu mau pulang jam berapa ren? mau nginep rumah ellen atau pulang?”

“tadi waktu aku pergi emang rencananya gimana?”

“loh kok kamu malah tanya balik, memang tadi rencanamu gimana, ibuk telfon gak ngajak tengkar lo ren.”

pesanan nasi goreng balut telur dadar ellen tiba. aku ingat ia selalu memesan menu yang sama.

“ellen, tadi gw bilang sama elu mau nginep apa enggak?”

“kayaknya enggak deh. tapi coba lo cek tas lo, lo bawa baju ganti gak?”

“nanti aku pulang deh buk, tapi gak tau jam berapa.”

“ibuk, mardiana itu siapa?”

“siapa?”

“mardiana.”

“mardiana?”

“oh..dia kawan satu bangsal mu dulu waktu sakit.”

“kenapa dia buk?”

“dia harus operasi tulang belakang karena kena tbc tulang.”

“dia meninggal apa hidup?”

“ibuk gak tahu kabar selanjutnya. kita sudah pulang sebelum dia keluar rumah sakit.”

“duluan siapa yang masuk?”

“bagaimana?”

“siapa yang duluan masuk rumah sakit, aku atau mardiana?”

“ mardiana sudah ada di bangsal waktu kamu datang. kenapa kamu tanya mardiana?”

“gak tau..rasanya mengganjal saja.”

hening.

“ibuk, nanti kalau aku pulang, tolong ceritain waktu aku di rumah sakit ya.”

“kamu hati-hati ya.”

hening. pembicaraan sudah terputus.

“lo rencana mau pulang jam berapa ellen?”

“terserah elu ren. kita lihat aja nanti gimana, besok gw ke kantor juga siangan kok. lo makan ifumie-nya.

mbededeg gitu.”

beberapa makanan membawaku ke beberapa tempat di masa lalu. aku memandang ellen. ia sahabat terbaik yang kupunya. kupikir tak mengapa bila jujur padanya. ia orang yang kupercaya tidak akan tertawa dalam susahku, dalam bingungku.

“kenapa gw suka martabak ellen?”

diam.

“gw gak pernah tahu lo suka martabak. lo hampir suka setiap jenis makanan kayaknya.”

“tapi emang sih setiap kali lo jalan sama gw setelah sakit, lo pasti bawa bekal martabak goreng. bekal lo tadi pagi juga martabak goreng.tapi gak lo makan. tadi lo kasih ke pemulung, waktu kita ngantri tarot di fatahilah.”

aku gak ingat.

“ellen..gimana ceritanya gw bisa punya kamera?”

ellen tidak bertanya lo gak inget ya..seperti yang sering diucapkan marcy. ia meminum lemonade-nya – aku selalu ingat ellen suka lemonade.

“lo punya kamera 7 bulan lalu. itu hadiah ulangtahun lo ke 24. lo cerita ke gw, itu hadiah yang paling lo suka sepanjang hidup lo.

aku memandangi dia, dan merasa kosong di dalam



Kalau kau pernah kesepian,kau boleh sebentar-sebentar jadi gila dan membayangkan apa saja, sebab kau tak lagi memiliki hati yang kau percayai.

Kalau kau pernah kesepian, kau tahu bagaimana rasanya pernah menyangkal tuhan yang sudah membuatmu ada. Kau barangkali merasa tuhan sombong dan arogan. Tuhan yang mengabaikan dan membiarkan. Tuhan yang tidak datang ketika ada anak jalanan disodomi berulangkali dan dibiarkan mati dimutilasi, si anak itu hanya bagian dari cerita bumi, itu saja. Sebab ia tetap mati dan tidak ada yang ingat padanya, sebab ia hanya statistik, dan statistik seringkali menipu, sebab kau tahu cerita bumi selalu penuh dengan kiri dan kanan yang tak bertemu. Cerita bumi terus bergulir tentang golak darah juga golak bukan darah yang lebih parah.

Ketika kau kesepian  duniamu berubah warna. Ia menjadi sephia. Kuno dan tak terjamah. Ia menjadi begitu rapuh dan temaram. Seperti berkabut dan kedinginan. Duniamu seperti warna daun musim gugur yang rontok, musim yang tidak pernah kaualami tetapi kauhayati dalam kesadaran sebagai cerita pedih. Kulitmu bisa merasakan jejak dingin sampai ke belulang. Ketika kau kesepian, air matamu yang menempel di pipi jadi beku. Hatimu rasanya tiba-tiba kaku. Dan kau kebingungan, kau tersesat. Kau menangis dan tidak tertolong. 

Kau ingin pergi dan keluar tapi tak tahu caranya kecuali terus berjalan dan berjalan dan berharap tidak ada lagi yang lebih buruk yang harus kau temui dan kau hadapi. Kau tidak takut, kau hanya hampa. Kau tidak tahu bagaimana lagi harus berhadapan dengan dunia. Rasanya ingin kabur saja dan menutup mata. Tapi ternyata kau masih di tempat yang sama.

Ketika kau kesepian, seluruh alat inderamu berfungsi dengan teramat baik. Lidahmu bisa merasakan ludah yang kental pahit, mulutmu keram dan sulit digerakkan. Nafas jadi kian sulit sebab dada terasa begitu sesak dan akan meledak. Ketika kau kesepian, matamu terasa begitu sakit untuk memandang cahaya, ia menyipit meski berada di tempat gelap, ada keberanian tersisa untuk meraba, tetapi ketika kulitmu bersentuhan dengan permukaan apapun, rasa permukaan tersebut menjadi begitu kasar, berterutul, dingin dan basah. Liang hidung menangkap angin dingin dan rasa ngilu di tulang karena kedinginan makin tak tertahankan.   Kau kesepian dan merasa begitu jauh dengan segala yang hangat.

Kau lupa akan ingatan tentang tawa di bawah sinar matahari. Ada rumput hijau, langit luas warna biru dan sedikit awan putih yang berarak, ada tawa dengan gigi palsu milik simbah dan aroma tubuhnya yang tak bisa kau lupakan, ada bapak dan ibu yang kau hafal intonasinya ketika bicara,ada saudaramu yang pemalu. Kau lupa akan ingatan tentang makan siang di udara terbuka, dengan tetesan embun dingin di permukaan gelas, rasa rambutan dan dendeng bersalut ketumbar.

Sebetulnya,kau hanya ingin beristirahat dengan tenang. Kau hanya ingin berada di tempat yang kau kenal dari kecil, setiap sudutnya. Kau hanya ingin menemukan tawa yang sudah menguap bersama banyak kenangan pahit, kemarahan, dan tangis. Rumah masa kecilmu yang selalu menetap dalam kenangan. Kau teramat merindunya. Kau merasa ingin kembali ke sana meski kau tak bisa, tak akan pernah bisa.

Kau merasa sangat kesepian dan memerlukan kembali pulang, ke rumah masa kecilmu, sewaktu keluargamu masih lengkap dan hangat. Rumah masa kecilmu, tiap sudut yang kau kenali, tempat kau bersembunyi di bawah meja, di balik televisi. membaca buku sambil melihat tanaman yang ditanam bapak dan ibu. Kau merindukan keriangan yang dulu pernah terjadi.

Kau merindukan suara-suara dalam rumah, suara adzan maghrib yang terdengar dari masjid dekat rumah, suara ibumu menyuruhmu makan, bapak yang memangilmu untuk mengajak bernyanyi, ia yang mendongengkan banyak cerita indah. Kau mendengar ibumu memanggilmu-mengajakmu berahasia untuk memberikan hadiah kecil bagi bapak juga kakak. Kau mendengar kakakmu memanggil mengajak berbagi jajanan, mengajak kongkalikong kecil, pertengkaran kalian, persahabatan kalian.

Kau mengingat garis di tembok tempat bapak mengukur tinggimu setiap menjelang rapotan kenaikan kelas. Kau merindukan sarang laba-laba dipojok rumah, kau merindukan bau rumah yang kau kenal. Kau merindukan ubin retak di dekat pintu dan suara gonggong anjingmu yang kau sayangi.

Kau menertawakan dirimu yang kecil bersembunyi di pojok dekat kursi rotan menangis karena dijahati kawan. Kau yang tiba-tiba sudah jadi anak besar, menangis di sudut kamar-menggigit bantal supaya isakmu tertahan-ketika orang yang kau kira kau cintai dengan tulus justru melukaimu dengan caranya yang halus-kau yang sudah berjuang dalam kapasitas hatimu untuk menunggunya dan tetap tidak dipilih.

Kau merindukan tidur nyaman yang tenang, ketika malam bersahabat denganmu, ketika mimpi membolehkanmu menemukan apa saja berada di mana saja, ketika engkau memiliki malammu sendiri.

Kau merindukannya dan tak dapat menemuinya kembali meski hanya satu kali, meski engkau memohon untuk waktu yang sebentar - engkau yang rela memberikan apa saja untuk bisa kembali.

aku yang merelakan apa saja untuk jejak lagi dengan bumi.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar