Selasa, 15 November 2011

alangkah lucunya (negeri) ini


selepas menyanyi untuk keperluan sumpah dokter, fakultas kedokteran gigi moestopo, di crown plaza, saya, putri, ilham, charlie, dan ade pergi ke taman ismail marzuki, niatan awal adalah untuk melihat pertunjukkan bintang di planetarium. hari hujan. kami berteduh di XXI cikini dan menonton film Alangkah lucunya (negeri ini). teaternya kosong melompong, hanya kami yang menonton, saya menjemur kardigan di bangku penonton dan membiarkannya kering selama jam pertunjukkan.


SPOILER ALERT!!

Saya kira tak ada film Indonesia yang lebih menarik minat saya ketimbang film alangkah lucunya (negeri ini). Saya harus meminta maaf kepada deddy mizwar dan berterimakasih padanya. Permintaan maaf itu karena, sebagai awam (saya tidak begitu suka kata mengunderestimated sebetulnya-tidak adakah padanan yang lebih sopan?) saya akan memilih lebih dulu menonton iron man 2 yang ternyata tidak saya sukai, ketimbang memprioritaskan menonton film ini. Rasa terimakasih saya tak berujung. Akhirnya ada pembuat film yang bisa memberikan doktrin (saya benci doktrin, tapi kali ini, doktrinnya manis dan legit..sungguh) secara visual dan gamblang.


 
 Cerita dimulai dari sosok muluk. Yah namanya muluk, terdengar mulukkah bagi anda? Ia pria pemberani dan memiliki ide-ide cemerlang. Ia pria harapan masa depan bangsa. Tetapi ia tidak mendapatkan pekerjaan yang menghargai isi otak dan kemauannya, meski ia telah mengantongi gelar sarjana. Sampai akhirnya nasib mempertemukannya dengan seorang pencopet. Dari sini cerita bergulir. Ironis dan tragis sebetulnya. Tetapi memang begitulah saya kira keinginan deddy mizwar pada filmnya kali ini.

Dengan gelar sarjananya itu, di kota besar Jakarta, ia tidak mendapatkan pekerjaan. Apa kemudian yang ditawarkan dan dijanjikan ibu kota Negara bagi para penduduknya yang ‘terpelajar?’ . Di sini terjadi perdebatan antara pentingnya pendidikan dan tidak perlunya pendidikan. Pak Makbul, seorang penjahit, ayah muluk (diperankan deddy mizwar) teguh pada pendapatnya akan pendidikan. Lain halnya dengan Haji Sarbini (diperankan Jaja miharja) calon besan pak makbul yang ternyata mendua hati kepada jupri, tetangganya yang adalah calon anggota dpr dan digambarkan bodohnya luar biasa, tetapi lebih beruntung daripada muluk.

Dalam usaha muluk mencari pekerjaan..(saya agak terganggu dengan kata ‘pekerjaan’ ini..sebab..saya bekerja tiap hari, ada yang dihargai dengan digaji, ada yang dihargai dengan cara saya menghargai diri sendiri – ini yang disebut kebanggaan – tolol memang..tetapi apakah istilah untuk pekerjaan yang digaji sesuai kemampuan dan potensi diri? Ambigu memang bahasa Indonesia) ia dicopet. Ia mengejar pencopet cilik itu. Lalu berkata “ kamu gak bisa minta baik-baik” dan dijawab dengan sangat lucu, “saya pencopet bang, bukan tukang minta-minta.”

Lebih lucu lagi ketika makan siang muluk dibayar oleh komet, sang pencopet cilik itu. Singkat cerita, muluk berkawan dan bertemu dengan bos pencopet Jarot (diperankan oleh tio pakusadewo- laki-laki yang memurupkan gemas, saya ingin dicabik-cabik olehnya sungguh..hahahaha..meski bagi saya lebih bagus aktingnya dalam film berbagi suami).
Muluk menawarkan sebuah kerjasama yang bervisimisi ke depan, persis pada keinginan UUD 1945, disinilah letak ironi-nya kawan, anda harus menyaksikan sendiri.

Bagaimana usaha muluk merebut hati kawanan pencopet cilik tersebut yang dibagi dalam 3 regu: copet mall, copet angkot dan copet pasar. Ide muluk brillian, mereka wajib mensetor 10 % dari pendapatan. 10 % itu akan dikelola. Muluk berhasil membeli sepeda motor, menggaji dirinya dan menggaji 2 orang kawannya untuk menjadi guru. Dan kawanan pencopet itu masih memiliki tabungan belasan juta. Dalam usahanya ini, Muluk berkeinginan menggeser profesi pencopet menjadi pedagang. Muluk ingin mereka menjadi pengasong, dengan alasan yang sangat istimewa, “Kalau kamu berbuat baik, malaikat tidak punya kesempatan untuk memasukkanmu ke neraka.” Tetapi ternyata tidak mudah memang mengubah sesuatu yang sudah mendarah daging seperti menjadi pencopet. menjadi pengasong berarti  bekerja di kerasnya belantara ibukota dengan penghasilan sepersepuluh dari menjadi pencopet dengan tenaga dan waktu yang dikeluarkan sama banyak.

Muluk mengajak kawannya menjadi guru. Samsul seorang sarjana pendidikan pengangguran diajak untuk membantu mengajar. Sebelum mengajar kelompok pencopet cilik ini, kegiatannya sehari-hari adalah main gaplek di gardu siskamling. Pipit, anak haji Rahmat (diperankan Slamet raharjo) bertugas sebagai guru agama. Ada ketragisan dalam kelas kecil mereka, ketika pencopet-pencopet cilik ditanya beragama apa, mereka tidak mengerti. Sama halnya ketika anak-anak itu bersama samsul, tidak dapat mendefinisikan arti pendidikan.

Akhirnya pendidikan dipahami sebagai kemampuan yang lebih tinggi. Jika, tak berpendidikan hanya akan berhasil menjadi copet dan tetap miskin, maka jika berpendidikan kita bisa jadi koruptor dan hidup nyaman.

Jadi, "Hidup koruptor!" Teriak belasan anak copet di rumah kosong dan sebagian runtuh yang menjadi markas mereka.
Sindiran pada koruptor juga dimunculkan ketika anak dibawa ke pintu gerbang DPR. Ada pencopet di Dpr? Tanya mereka…kenapa kita gak punya wakil di dpr…
 
Ada seorang aktor copet favorit saya. Anda mesti melihat sendiri, mengapa saya sampai terkesima padanya, sebab ia jujur dalam kemurnian yang hanya ia miliki. Ia membikin puisi, berjudul Gw..sebuah adaptasi puisi aku karya chairil anwar. Kata-katanya menggelitik..saya ingat beberapa kalimat.

Gw
Gw adalah binatang jalanan
Kerjaan gw nyoppeet aja tiap hari..
Kalau nanti gw mati
Gw minta tuhan ampunin dosa gw…

Well, dia juga yang membikin saya terharu. Coba sekarang anda nyanyikan Indonesia raya sampai tuntas. Dan ulangilah kata-kata terakhir : hiduplah Indonesia raaaayaaa…
Si copet favorit saya itu datang sambil berkata aaamminnn….

Pertanyaan bagi saya kemudian adalah..siapakah yang mencintai Indonesia? Siapakah yang dicintai oleh Indonesia? Siapakah yang membela Indonesia? Siapakah yang dibela oleh Indonesia?

Muluk selama ini mengaku kepada ayahandanya bekerja di bagian pengembangan sumber daya manusia. Sampai akhirnya tiga sahabat, pak makbul, haji sarbini dan haji rahmat datang ke tempat kerja anak-anak mereka. Anda tentu dapat bayangkan, tetapi banyak kelucuan terjadi di sini yang harus anda saksikan sendiri. Selepas dari markas pencopet, pak makbul dan pak rahmat bersedih hati. “ ini kopi, teh dan gula, punya kamu. Punya bapak yang ini.bulan depan, listrik, telpon dan gas biar bapak yang bayar.” begitu ujar seorang bapak yang patah hati. Yang percaya anaknya bukan penganggur dan telah berdoa siang malam.

Muluk dan Pipit bimbang. Ada adegan terbaik di sini,ketika samsul berupaya bernegosiasi. Ia ingin tetap mengajar, ia minta tetap diberikan ongkos supaya tak perlu jalan kaki ke markas pencopet. sebab masalahnya tidak terletak pada honor yang dibayarkan dari uang haram, tetapi menyangkut harga diri. Jika tidak mengajar maka dia akan menjadi penganggur dan kembali menghabiskan waktu bermain kartu di gardu siskamlimg. saya terperanjat dan tahu benar situasi ini. Samsul berteriak bahwa bukan mereka yang salah memakan uang pencopet. Bukan mereka juga yang salah makanya ada pencopet. Mengapa makan uang pencopet menjadi hina, sementara koruptor menghabisi uang rakyat dibiarkan bahkan kadang dibela dan jadi mulia. Yang salah adalah mereka yang membiarkan rakyatnya mencopet, teriak Samsul disaksikan warga kampung lainnya.

Dalam huru-hara versi samsul itu, terdapat sindiran mengenai calon anggota DPR. Ketika jupri keluar rumah membagikan kaos untuk memilih dirinya..dengan tegas dan ekspresif, samsul berujar “Kentutt!” esok harinya, poster di tempel, tetangga samsul berujar, “ bapak lo aja gak percaya sama elu, gimana gw?”

Ending film ini cukup menarik bagi saya. Ketika Muluk ditangkap satpol PP, ketika seorang waria ditangkap satpol PP, detik itu pula melantun lagu Tanah airku gubahan ibu Sud. Terbayangkah bagi anda tragis dan mirisnya…

film ini sarat muatan sponsor, saya maklum, membikin film di negeri sendiri, butuh biaya luar biasa besar (film saya yang luarbiasa sepele saja tidak selesai-selesai). film ini juga menggiring penonton pada keinginan sineas, film yang mudah di cerna, tapi baik untuk sebagian anak negeri yang tidak selalu bisa memaknai maksud sebuah “pesan” dan “teks”. bagus untuk divisualkan secara gamblang kepada anak negeri yang ndableg dan bebal, masyarakat kita yang sebagian terpelajar namun tak beretika, masyarakat kita yang sebagian terdidik tapi tak beradab.

saya kira film ini adalah sindiran yang oke. Tapi kemudian..mereka merasa gak ya? terutama mereka yang mendapat porsi sindiran besar dalam film ini : legislatif!


Tidak ada komentar:

Posting Komentar