Minggu, 27 November 2011

boleh saya duduk?




Mengapa kita harus tidak peduli. Mengapa. Mengapa kita harus selalu merasa : mengapa aku harus peduli sementara mereka tidak peduli terhadap aku. Mengapa. Mengapa kita harus selalu merasa itu urusanmu kalau kau apes.
Ini minggu keduaku memulai bekerja dengan menggunakan bus kota.Ini 2 minggu setelah hibernasi menyedihkan yang sekalipun tak pernah terlintas dalam rencana jangka panjangku. Ini sudah 3 tahun sejak aku tidak lagi memiliki 2 kaki yang sempurna. Sudah 3 tahun semenjak aku hampir tidak bisa jalan dan berjuang keras untuk mantap dengan identitas diri yang baru -  si perempuan cacat.  
Aku tidak merencanakan untuk menjadi cacat, tidak ada orang yang ingin kecuali Lady Gaga yang pernah berencana membuntungkan salah satu kakinya. Aku tahu aku masih menginginkan dua kaki sempurna untuk membawaku melihat dunia tetapi kenyataan memang sulit dibantah.
Aku tidak mendapatkan penjelasan dan informasi yang lengkap pada masa-masa panik ‘membutuhkan tindakan medis segera.’ Waktu itu dokter menyarankan untuk mengoperasi tulang belakangku. Sulit untuk mengatakan dokter itu menghormatiku dan ibuku. Ketika kami datang ke poliklinik ia menyerahkan diriku kepada dokter resident, kemudian mengolok-olok dokter resident tersebut, dan menanyakan pada ibuku pakai askes atau tunai. Ketika ibuku berkata tunai, dokter spesialis itu merekomendasikan 2 rumah sakit swasta lain tempatnya berpraktek. Ibuku diam saja. Kemudian dokter spesialis itu pergi dan menyerahkan aku kembali pada dokter resident. Suster datang dan berkata, dokter L cuma datang kunjungi pasien kelas 1. Begitulah.
 Kondisiku bukan malpraktek sebab ibuku sudah menandatangani surat di rumah sakit. Tetapi pasti ibuku tidak menandatangani bahwa ia bersedia melihat anaknya menjadi cacat-tidak ada ibu yang mau. Masalahnya adalah gugatan macam ini sulit untuk jadi mungkin. Aku memang tidak meninggal, tetapi kemampuanku beraktivitas menjadi begitu serba terbatas. Aku memang tidak meninggal karena itu sulit untuk mengejar keadilan. Korps sulit dilawan. Mereka melindungi satu sama lain. Saranku kau tontonlah film dokumenter Konspirasi Hening karya Ucu Agustin, film yang luar biasa. Dan kau akan mengerti situasi yang kuhadapi.
Sewaktu aku sehat dan memiliki kekuatan otot maksimal, aku adalah perempuan paling mandiri, gesit dan penuh greget, paling tidak ini menurut pendapatku sendiri. Aku biasa mengenakan sepatu converse dan loncat dari satu bis ke bis lain, kegiatanku padat, hidupku penuh. aku memiliki diriku sendiri. Aku mengetahui cita-citaku dan tidak segan berjuang untuk meraih mimpiku. Aku menyukai menjadi diriku sendiri.
Sekarang kekuatanku tinggal separuh sehingga aktivitasku terbatas. Aku selalu berusaha tampil tegar dan kuat meskipun sebenarnya hampir selalu ingin menangis karena merasa susah. Tapi ini tempat umum. Aku merasa tak berdaya dan gelisah ketika orang-orang menatapku ingin tahu karena penampilanku aneh atau justru lucu. Mereka tertawa dan berbisik. Kenapa kakinya..kakinya kenapa..itu pakai apa...pakai apa itu..kenapa kamu..kamu kenapa...dia besar jadi seperti itu...dia jadi seperti itu karena besar...
Mereka bicara tentang diriku yang ganjil di hadapanku. Mereka tidak bertanya mengapa aku menjadi seperti ini. Mereka justru menuduhku menjadi seperti ini.  Kaki kiriku menggunakan sepatu robocop yang lucu, ada semacam boot fiber yang dikenakan untuk menyangga kaki. Karena aku tidak sama mereka merasa boleh memperlakukan aku seperti ‘keajaiban yang pantas untuk diolok-olok atau keanehan yang layak jadi tontonan dan jadi bahan candaan.’ Aku mengerti mengenai keterbatasan pemahaman dan ragam kapasitas intelektual yang dimiliki orang-orang yang kutemui di jalan, tetapi dalam kondisi serba ingin marah dan bersembunyi sulit untuk menimbang adil dan membesarkan hati. Ketidaknyamanan itu datang berulangkali. Dipandangi dan dibicarakan hampir setiap hari tentu saja membuatku risih dan terganggu. Kadang aku ingin berteriak hentikan sikap diskriminatif itu, stop menghakimi diriku. 


Tuh kan, diriku ini mengganggap bahwa di dunia ini yang tersisa adalah orang-orang jahat yang tidak toleran. Aku hampir tidak bisa percaya bahwa masih ada orang-orang yang penuh rasa kesetiakawanan. Aku hampir-hampir tidak pernah merasanya.
Aku tidak tahu bagaimana orang-orang di negara lain memperlakukan orang cacat. Pemahamanku kelewat terbatas. Hidupku dalam kotak kecil. Barangkali itulah mengapa aku tidak memiliki wawasan ada orang-orang sepertiku di belahan bumi yang lain-mereka yang memperjuangkan dan mempertahankan hidupnya di dunia. Barangkali itulah mengapa aku tidak mengerti bahwa kesusahanku sekarang adalah hak ku.
Aku tidak tahu bahwa priority seat itu ada.


Terminal Blok M di pukul 7.30 pagi. Sibuk. Setiap orang bekerja. Setiap orang membawa susah mereka sendiri. Kita seringkali tidak sempat memperhatikan satu sama lain karena beban hidup sudah menjadi terlalu berat. Kita lupa bahwa satu hari nanti kita semua juga akan selesai. Suatu hari kita jadi belulang. Tidak setiap belulang bahagia karena merasa pernah punya makna.
Tidak setiap orang bahagia dengan pilihannya bekerja. Tidak setiap orang yang rela berpeluh menunggu transportasi murah memiliki tabungan untuk keadaan darurat. Mereka yang menunggu dan sibuk dengan blackberry atau blueberry atau segala jenis ke-beri-beri-an yang lain itu barangkali tabungannya juga sangat terbatas seperti pemahaman bahwa setiap mereka juga punya potensi untuk menjadi cacat karena kecerobohan orang lain.
Terbatas bukan karena tidak mau mikir tetapi karena tidak pernah tahu ada kemungkinan seperti itu. Kita semua berpotensi untuk tidak menjadi diri sendiri lagi. Kita semua berpotensi untuk lupa bahwa hidup kita juga ditentukan oleh yang lain-lain.
Itulah.
Kita cenderung melukai orang lain. Gak ada urusannya antara yang terdidik dan tidak sempat dididik. Percaya deh. Kita yang membaca majalah metropolitan ; kita yang menunggu obralan merk-merk branded ; kita yang datang ke konser-konser musik,pagelaran budaya ; kita yang mau naik 2 status sosial dan pajang foto di facebook,twitter dan sosial media lain - tapi masih naik angkutan publik bukan karena kesadaran akan pelestarian lingkungan tapi lebih untuk menghemat ongkos bepergian seringkali cenderung merasa hidup sudah cukup sulit sehingga harus selalu sikut dan main sikat. Barangkali itu terjadi tanpa disadari. Barangkali itu adalah bagian dari mempertahankan hidup itu sendiri. Sebagian dari kita menggerutu : kalau mau enak naik taksi aja sana!  Kita harus selalu marah-marah pada orang-orang yang kita tahu tidak punya kekuatan untuk melawan. Kita harus selalu merasa terbebani oleh keadaan orang lain-kita lupa bahwa kitalah yang bermasalah.
Kita rajin berdoa rajin sembahyang, tapi kita lupa bahwa ada banyak orang yang bisa kita bantu, orang-orang asing yang tak kita kenal akrab. Apa sulitnya untuk saling melindungi. Apakah engkau pernah berdoa supaya perjalananmu pergi dan pulang kerja selamat? Kita lupa untuk membantu, doa kita hampir selalu memaksa untuk jadi ada segera. Kita jadi tidak sensitif lingkungan karena hampir selalu merasa ‘ini Jakarta, hidup kita keras.’ Dunia memang tidak ramah, tapi haruskah kita menjadi bagian dari ketidakramahan tersebut? Ahh saya lupa..saya malah terjebak dalam situasi penghakiman itu sendiri yaa..saya menghakimi anda karena pengalaman saya selalu ternyatakan demikian. maafkan saya yaa.. pasti anda orang baik dan orang baik-baik kok, saya percaya itu (mendambakan itu).
Bus PPD P67, bus dari Jepang warna putih hijau. Ada stiker dibutuhkan pengemudi hubungi 081blablabla di pojok kiri pintu masuk. Ada tirai dangdut berdebu. Ada jam dinding di gantung di kanan atas tempat duduk supir. Ada stiker priority seat di jendela sebelah kiri. Gambar ibu hamil, kakek bertongkat, dan pemuda bertongkat yang jelas kita ketahui sebagai simbol orang cacat. Stiker mengenai mereka yang tidak kuat berdiri. Si kenek bis menagih ongkos dalam diam. Kuperhatikan perutnya buncit dengan kemeja biru begitu lusuh tanpa kancing. Barangkali semalam dia habis mabuk dan bermain adik masuk sumur, tapi dia berhak menikmati hidupnya, tentu saja dia berhak. Barangkali dia sempat sedih, barangkali dia tidak sempat sedih, barangkali dia menangis sampai jadi tawa, barangkali dia tertawa sampai jadi tangis, sama seperti penumpang lain yang juga memiliki mimpi dan tujuan hidupnya sendiri.
Jalan digali. Poster SBY meraih penghargaan dari PBB. 7 poster besar dalam jarak tak kurang dari 1 kilometer, aku tertawa saja tak mengerti mengapa orang-orang seperti mereka masih perlu jadi eksis.Dapat penghargaan saja sebegitu hebohnya, padahal setiap hari Kamis di depan Istana Negara ada mereka yang berdiri dengan payung hitam tidak pernah mendapatkan haknya yang paling asasi : Keadilan!!



 Pengamen masuk bis dan bernyanyi parau tentang surga dan bersedekah. Kita semua akan jadi belulang. Barangkali setelah itu masih ada bayang-bayang juga belalang. Kita tak pernah tahu. Tapi memang suatu hari kita semua menjadi belulang. Kita yang kehilangan kesempatan untuk berjumpa lebih lama dengan yang kita cintai juga kita benci.
‘Boleh saya duduk 5 menit? Kaki saya lelah sekali.” kataku kepada mbak penyerobot kursi. Aku memperhatikan sudah 10 pagi ini ia menyikut diriku. Aku yang berjalan begitu lambat sehingga ia mudah saja menjegal diriku dan membiarkan dirinya menikmati kursi. Ia duduk dari terminal Blok m sampai di suatu tempat setelah RSCM. Aku berhenti di UBK seberang LBH Jakarta, sebelum RSCM setiap pagi selama 14 hari ini dan selalu berdiri. Aku memohon kepadanya di depan Taman Suropati karena kakiku tidak kuat lagi berdesakan dan berdiri melebihi waktu upacara bendera di dalam bis yang suka-suka mengerem tiba-tiba, suka-suka mengebut membikin semaput.
Di dalam bis ini hampir selalu ada orang yang memerlukan duduk selain diriku dan ia tidak pernah membiarkan dirinya membagi kursi tersebut seperti beberapa orang lain. Tentu saja ia tidak harus.Tentu saja mereka tidak harus. Tetapi maukah kita berbagi kepada seseorang yang memerlukan kesempatan untuk beristirahat barang sejenak. Yang ku minta bukan seluruh perjalanan,hanya 5 menit dari total 80 menit perjalananku.
Aku tertawa dalam hati saja. Bukan untuk apa-apa. Pasti mbak itu sakit jantung sehingga ia tidak boleh berlelah-lelah. Lebih baik memang berasumsi baik saja. Ahh..aku memang kurang beruntung saja. Tidak beruntung tidak bisa duduk. Lagipula ia tidak salah. Yang salah adalah transportasi publik-nya. Setiap orang berhak memperjuangkan dirinya, termasuk berjuang untuk duduk, cacat atau tidak cacat.
Aku teringat perjalanan bersama kawan, Petra Marwie yang pendiam. Hari itu di dalam Transjakarta yang penuh sesak aku ngomel-ngomel dan minta segera keluar di halte terdekat.
“ Kenapa sih lo kalau jalan lama kuat, kalau berdiri lama gak kuat?
Well Pet, kaki gw gak kuat numpu beban. Telapak kaki kiri gw gak bisa ngerasain udah nginjek bumi atau belom, jadinya gw menumpu kuat-kuat supaya gak terjatuh-karena rasanya kayak gak sampe-sampe, kaki gw berasa lumer macem puding.. gw gak ngerti gimana caranya jejak sama bumi. Karena gw gak tahu, gw menekan kaki gak kuat-kuat, gw gak bisa ngerasain telapak kaki kiri gw,  tahu-tahu melepuh, tahu-tahu jempol gw gepeng trus nyetrum-nyetrum karena gw gak bisa ngukur tenaga buat berdiri, apalagi kalau berdirinya di kendaraan yang lajunya gak terduga.
Aduhhh kakiku keram. Jari-jari kakiku naik semua. Siapa yang akan menolongku ya..karena aku tidak dapat mengandalkan diriku sendiri. itulah sedihnya jadi cacat kawan, kau tidak tahu dan merasa cemas ketika dirimu tak dapat kau andalkan.
Di Jakarta kawan, kau memang harus mengandalkan dirimu sendiri. Sebelah mu kiri kanan memang ganas-ganas. Barangkali kau juga bagian dari keganasan tersebut.
Kalau kau merasa sehat dan masih sering tidak dapat tempat duduk, kalau kau pernah merasakan teramat lelah dan perlu duduk barang sebentar setelah rutinitas yang padat, bayangkan bila kau tiba-tiba jadi cacat.
Jangan marah. Kalau kau marah berarti aku benar atau separuh benar. Kalau kau bukan bagian dari ketidakpedulian tersebut, jangan diam.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar