Minggu, 27 November 2011

memori putih abu-abu




Oktober 2001 

Alena, sobatku yang mungil sudah terlelap di sebelahku. Matanya bengkak akibat tangis. Pertemanan memang energi yang luar biasa. Trixie belum tidur. Dia sibuk merawat wajahnya yang luar biasa licin bagai porselin. Sementara Bing sudah ngorok dan ngiler-ngiler. Kamar tidur Trixie memang selalu dingin.

Aku duduk diam memperhatikan bayangan. Telah dua jam kami bertengkar, ditambah satu jam jeda untuk meredakan geram. Seperti biasa Trixie melindungi Alena dengan memeluknya sepanjang pertengkaran. Bing kalap.

Lihatlah teman-temanku ini. Alena terjungkal ke jurang. Bing yang teramat sayang padanya meskipun selalu adu mulut dengan Alena tak kan rela sahabatnya menderita. Bisa dibilang kalau ada apa-apa Bing-lah yang maju pertama.

Alena, kami semua sayang padanya. Meskipun tertua ia justru paling polos dan belum mengenal dunia. Sebab baginya dunia adalah rumah dan perjalanan di mobil dengan supir pribadi untuk kursus-kursus sebagai investasi diri. Keluarganya memaksanya ikut les segala rupa sampai Alena eneg sendiri karena tidak punya waktu bermain.

Setiap kali kami berkunjung ke rumahnya untuk mengajak pergi, papinya yang luar biasa perhitungan itu akan selalu berkata, “Alena….dulu Akong miskin sekali. Akong jalan kaki keliling kampung buat jualan limun. Papih gak sempat menikmati hidup seperti Alena. Hidup papih serba prihatin. Hidup papih keras, susah, adik-adik papih banyak. Papih bayar mahal untuk  jadi seperti sekarang. Pengorbanan papih sudah banyak. Sekarang hidup kita sudah enak, jangan sia-siakan hidup Alena. Belajar yang bener seperti Melisa. Kamu terlalu banyak main-main.”

Tapi Trixie si persuator sejati berhasil menaklukkan hati papi Alena sehingga bisa juga kami keluar untuk bersenang-senang. Orangtua Trixie dosen. Papi Alena menganggap Trixie anak yang bisa dipercaya dan telah dididik dengan baik karena orangtuanya dosen. Tapi Papi Alena tidak begitu menyukai Bing dan aku. Aku tinggal dengan nenek karena orangtuaku bercerai. Ibu sudah menikah dengan lelaki lain, aku tidak akan sudi tinggal dengan mereka, lagipula ibu tak bersusah payah untuk aku. Bapak tidak pernah mengunjungi aku lagi sejak usiaku 7 tahun. Nenek yang membiayai aku. Uang bayaran sekolahku murah meskipun bersekolah di tempat bergengsi, nenek kenal akrab dengan seorang staff di sekolahku, aku diberikan keringanan selama dapat mempertahankan ranking 3 besar setiap kali penerimaan raport. Aku melakukannya dengan senang hati, selalu ada nilai tukar untuk sebuah kebaikan, itu yang aku percaya.

Orangtua Bing musisi. Papi Alena juga tidak selalu suka pada Bing, karena Bing kerap kali melontarkan kata-kata kotor dan jorok. Tapi Alena tidak peduli pendapat Papinya. Bersama kami ia merasa bahagia dan menjadi dirinya sendiri.

sekolahku agak kejam dengan membiarkan terjadinya bullying dan senioritas di tengah situasi belajar yang sebetulnya terlampau berat untuk remaja seumuran kami. tugas-tugasnya sering tak masuk akal, proyek-proyek prestisius yang menyita waktu, energi, dan terutama biaya. aku sering sedih ketika meminta tambahan uang kepada nenek untuk menyelesaikan tugas sekolahku. beban itu ditambah harus ranking setiap kali, senioritas plus bullying membikin aku kehilangan waktu untuk bersenang-senang.

aku membenci kakak-kakak kelasku. percaya deh, kalau anak perempuan dikumpulkan jadi satu dan membentuk genk, merasa punya kuasa, maka pelecehan dan penindasan seringkali terjadi.

Awal mula perkawanan kami lucu sebetulnya. Di suatu jam istirahat yang menyebalkan, aku disuruh membelikan pesanan kakak-kakak kelasku. hatiku sudah mendidih karena sengit sebetulnya, mereka mempermainkan aku begitu rupa sejak pertama kali berseragam putih abu-abu, hari itu adalah akumulasi dari kejengkelanku. setelah pesanan itu terbeli, aku berjalan melewati koridor kusam dan murung, tempat itu sepi dan ada sebuah celah untuk sembunyi. aku menarik nafas panjang. jengah dengan perlakuan menyebalkan dari senior. aku mengumpulkan ludah, dan membuangnya di empat plastik minuman titipan senior kemudian mengaduknya dengan sedotan.

seorang kawan seangkatan memergokiku.

ada dua orang lain dibelakang dia. mereka memperhatikan aku dengan takjub. salah satu gelisah dan ketakutan. aku menantang mereka, “kenapa? mau aduin gw?” aku sudah siap-siap akan diadukan dan dijadikan public enemy, bodo amat, pikirku.

salah seorang anak itu tertawa terbahak-bahak. kemudian dia berdiri di sebelahku, di celah sempit koridor kusam dan murung. dia mengumpulkan dahak dan meludah di atas semangkuk soto lalu mengaduknya.

nama anak itu Bing. Dua yang lain Alena serta Trixie. Kami tidak sekelas. Tapi selalu menunggu untuk pulang sekolah bersama, menumpang mobil Trixie. Kami banyak tertawa. Hari-hari sekolah yang menyebalkan menjadi seketika berwarna.

Kami berempat yang menggemari musik ini mulai serius berlatih vokal untuk menjadi wedding singers. Kenalan Bing banyak. Kami sering diminta menyanyi mengisi acara-acara keluarga besar Bing dan kenalan keluarga Bing. Mulanya tidak mendapat honor, lama-lama kami diberi uang lelah juga meski nilainya tidak seberapa – terutama untuk Trixie dan Alena yang sudah terlahir kaya. Tapi uang lelah itu cukup untuk memberiku kesempatan mentraktir nenek makan di restoran atau membelikan diriku buku-buku. Karena mulai sering tampil di pesta-pesta pernikahan, kami harus tampil baik dan maksimal. Alena dan Trixie mengurusi masalah kostum dan make-up kami. Bing mengurusi masalah latihan. Aku mengurusi jadwal manggung kecil-kecilan. Begitulah. Kami merasa bahagia dan lengkap.

Lama kelamaan Alena sering terlambat latihan dan mulai sering absen pada beberapa kesempatan menyanyi. Alasannya macam-macam. Kami bertiga tak pernah curiga mengingat kesibukan kursus yang beragam, apalagi Alena tidak selalu punya alasan untuk meninggalkan rumah.

Suatu hari Trixie cemas dan berkata padaku dengan gemas : Alena sedang jatuh cinta. Alena  tergila-gila kepada guru les pianonya. Selidik punya selidik, lelaki bugar bernama Jati itu sudah beranak istri. Aku dan Trixie was-was. Alena pasti tak tahan. Setiap kali kami menyempatkan diri menonton video porno, Alena selalu bilang kepingin sanggama saat itu pula, aku menganjurkan dia untuk masturbasi saja ketimbang mencari laki-laki yang belum tentu setia.

Kami tahu Alena tak akan tahan, apalagi dia juga dilarang pacaran. Dia tidak pernah mendapatkan usapan-usapan kecil di punggung, belaian-belaian mesra pada rambut, kecup-kecup di pipi dan bibir. Bagaimana mungkin ia tahan dengan bisikan-bisikan Jati di telinganya ketika melatih fingering pada tuts-tuts piano. Bagaimana mungkin ia tahan dengan sentuhan-sentuhan halus di jari yang berlanjut ke remasan-remasan pada dadanya yang baru tumbuh subur.

Jati tampan. Pemuda 34 tahun itu bugar dan mengkal. Dia ranum dan menggemaskan. Kami pernah bertemu beberapa kali. Aku tidak akan menolak bila diajak tidur dengannya, itu harus kuakui. Wajahnya biasa saja, tapi kacamata yang dikenakannya memang membuatnya tampak sangat gagah dan terpelajar. Aku tidak pernah bersentuhan dengannya, tetapi suaranya, intonasi dan pilihan kata-katanya saat bicara membikin aku tidak bisa lepas memandangi dia.  Senyumnya terkesan tulus dan tak ada tatapan nakal ingin menyetubuhi gadis-gadis lugu dan polos.

Jati ranum dan menggemaskan. Dan justru itu ketakutan terbesarku, sebab Alena seringkali kontak fisik dengannya saat berlatih bermain piano.

Beberapa bulan lalu, saat ganti pakaian olahraga, aku melihat punggung dan dada Alena yang besar penuh bekas cupangan, biru besar dan menebal. Bing mengira itu toh nyowo. Bing menggoda, “Gak nyangka luarnya mulus putih kayak tahu, dalemnya burik banyak tompel.”  Aku ngakak memandang Alena yang malu tersipu. Dua minggu kemudian Alena datang terlambat ke sekolah. Setelah jam istirahat ia baru datang dan langsung berganti pakaian olahraga. Ia menarikku ke sudut WC, “Tan, tetek gw perih ni! Lo tau gak obatnya apaan? Pentil gw lecet nih..perih bangettt!! Kalau kena baju sakit!” Alena kemudian membetulkan bra-nya. Ia merogoh dadanya dan mengerang tertahan. “Lo mau mens kali, tetek lo jadi kenceng, gw juga gitu biasanya!” dan pembicaraan itu terhenti ketika tiba-tiba Bing dan Trixie menyeruak muncul.

Gerak-gerik Alena aneh akhir-akhir ini. Kemarin ia minta amoxilin padaku karena mengaku ambein dan duburnya terasa sangat perih. “Gw cuma gak mau infeksi tau gak lu! Pantat gw luka karena ngeden kekencengan, kalau keluar taik jadi infeksi donk ya kan..udah deh, cariin gw amoxilin aja gak usah ribet tanya-tanya lagi. Pantat gw sakittt nih Taaann!! ” ujarnya sambil menangis di UKS sementara aku mencarikan obat yang dimintanya masih sambil kebingungan, pengertianku belum sampai pada keadaan yang sedang dialami sahabatku. “Amoxilinnya gak ada, tapi ini ada antibiotik lain, gw gak bisa nemenin elu yaa..ada post test dari bu Ratih sebentar lagi, ntar gw kabarin lo sakit. ok!”

Dua jam kemudian Alena kembali ke kelas. Pada pelajaran sosiologi, ibu guru Margie mengingatkan kembali petuah favoritnya. Jangan pernah kamu beri bagian dada  ke bawah. Suruh saja pacar kamu cupang leher dan betis, sekalian bersihin daki. Kami sekelas yang isinya perempuan semua sudah begitu bosan dengan ritual itu tapi masih menirukannya dengan suara keras membahana. Kuperhatikan Alena menunduk dan sibuk mengobrak-abrik tempat pensilnya.

Hari-hari sekolah berlangsung menyenangkan, kecuali Alena yang menangis dan tertawa sama lebay, sama-sama heboh. Alena bisa jadi sangat pemurung, tiba-tiba menjadi sangat energik dan bersemangat, dan menjadi sangat luar biasa cantik dan seksi, kemudian murung dan menangis tanpa sebab, minta diantar pergi dan jalan-jalan, marah-marah dengan mas Nardi supir pribadinya, membentaki aku dan Trixie.

Tak lama, Alena mulai mengeluh kalau pipis perih. Aku menduga Jati dan Alena sudah melakukan KNP, tapi aku masih menyimpan kegusaran itu dalam hati karena semua baru dugaan, aku hanya khawatir saja. Karena dari petting ke sanggama tinggal sedikit jarak tembaknya, kadang-kadang juga sudah bisa masuk karena terbuka. Mereka pasti lama-lama kebelet juga dan betulan bersanggama. Tapi aku memantapkan diri untuk percaya Alena tak kan senekat itu.  

Hari ini Bing ngamuk luar biasa karena hanya dia yang tidak cukup peka memperhatikan gejala perubahan Alena. Trixie sudah menenangkan Bing yang takut Alena tak perawan lagi.

Tapi timbul pertanyaan. Apa sih keperawanan itu, apa Alena masih perawan.  Alena diam saja tentu, sebab ia takut juga bingung, mungkin sedih. Jahat juga kami ini menjadikan keperawanan sebagai perbincangan yang seru, di depan Alena lagi!!

Trixie berpendapat bahwa apabila perempuan sudah pernah sanggama dan penis itu sudah menembus selaput dara, maka ia tidak lagi perawan. Tidak peduli dengan lelaki atau dengan dildo baik yang ngeri atau yang menggemaskan, tidak peduli sebagai salah satu bentuk pemaksaan atau tidak. Bing berpendapat seorang perempuan sudah tidak lagi perawan apabila dengan sukarela memberikan bagian tubuhnya yang mana saja kepada orang yang ia inginkan meskipun tidak memakai cinta, hanya hasrat dan kebutuhan purba untuk merasakan aktifitas seksual. Sementara aku tak bisa menerima alasan itu sebab ketika seorang perempuan secara sadar rutin masturbasi dan tertarik kepada seseorang lalu di dalam hati serta pikirannya ingin disetubuhi maka ia tidak lagi perawan, meskipun belum ada batang sungguhan menembus jurang vagina. Lagipula apa itu selaput dara!! Aku percaya perempuan tidak boleh dihakimi melalui hal-hal bodoh macam ini, perempuan tidak boleh membiarkan dirinya jadi dangkal.

Trixie bangga dengan status pernah perawan. Ia masih gemar berpetualang dan meyakinkan Alena tak apa-apa sesekali KNP. Paling tidak Alena masih perawan karena batang bau si Gorila (Bing yang memprakarsai julukan ini saking sewotnya) belum sempat menitipkan benih untuk dibuahi.

Bing murka, sebab menurutnya walaupun Alena belum menyerahkan kegadisannya tapi secara sukarela telah ditipu daya sehingga mau saja gunungnya dijelajahi sambil menghisap cerutu berbulu. Tapi kupikir, Bing hanya cemburu karena Alena mendapatkan perhatian dari lelaki mapan. Dari kami berempat hanya dia yang tidak tahu hubungan Jati-Alena. Ia pasti merasa dinomerduakan sehingga secara membabi buta menyalahkan Alena yang mau saja digeret sana sini. Jika ia tahu sedari dulu pasti sudah melabrak si Gorila.

Alena sesenggukan terus dan aku makin yakin mereka pasti sudah pernah. Mereka pasti sering begitu. Karena saat presentasi makalah terakhir biologi, Alena mendapat nilai A plus dengan kefasihannya menguraikan bagian kelamin pria dan wanita kepada setiap penanya. Bing heran karena dari kami berempat, hanya aku yang senang belajar dan ke perpustakaan. Trixie senang pacaran, Alena senang melamun sementara Bing teramat suka bertengkar.

Diantara kami, Trixie-lah yang pertama kali mengenal lelaki. Pengetahuan ini didapat dari pengalaman, tempat favoritnya adalah parkiran mall, jalan tol, dan kamar kost pacar-pacarnya. Ia terlalu sering mempermainkan si anu dan si itu. Berkencan dengan empat pria sekaligus selama berbulan-bulan, untung tidak ketahuan. Ia senang mempertaruhkan dirinya.

Berulang kali aku mengantarnya ke dokter kandungan karena ia sering keputihan. Aku selalu khawatir padanya dan kerepotan membelikan kondom bagi si plenyun ini kalau dia bilang sedang pengen. Trixie gak suka pacarnya pakai kondom, sakit, begitu ujarnya. Ya sudah, aku membantu dia mencarikan Pil KB dan mengajarkan dia menghitung lendir. Aku menyuruh mbak titik tetanggaku yang janda untuk membeli pil kb di puskesmas. Trixie memang tidak terlalu peduli pada kesehatannya. Aku sering ketar-ketir. Ia bisa hamil kapan saja.

Aku mengatai Trixie tebu alias tempik mambu, tapi Trixie mengira, habis manis sepah ditelan dan malah tertawa sambil berujar, gak manis bego, sepet. Ya udah, dasar meli, ‘memek liar,batinku’. Nama gw  Trixie kaleee. aku tidak bisa menghakimimu trixie, karena kau sudah besar, seharusnya engkau bisa berpikir, aku bukan penjagamu, kau harus menjaga dirimu sendiri.

Bing memang belum pernah pacaran. Namun diantara kami berempat dialah yang begitu mengidamkan pernikahan. Membangun khayalan indah hingga detail yang terkecil. Di gereja mana mereka akan menikah, sulaman dan bordiran apa yang harus ada pada gaun pengantinnya, makanan apa yang harus disajikan, musik apa yang harus dibawakan Choir, siapa saja yang akan diundang, bahkan ia menyisakan 15 tempat kosong untuk calon sahabat barunya di masa depan. Entahlah. Agak konyol menurutku, tapi selama ia bahagia dengan harapan dan impiannya itu, aku pasti mendukungnya.

Sementara aku tak pernah berniat menikah atau dicintai lelaki. Selama perjalanan hidup,aku sudah ditempa ketakutan sehingga sulit sekali membangun impian tentang pernikahan. Yang kuinginkan adalah kebahagiaan. Egois memang dan belum tentu sehat sebab rencanaku kalau sampai umur 22 sudah bosan dengan masturbasi aku akan menyewa gigolo untuk adu penalti.

Tapi ternyata memang Alena yang paling naif. Ia begitu mencintai Jati, lelaki berkeluarga itu. figur paman yang dicarinya. Paman yang menyayangi keponakannya. Sering mengajak jalan-jalan dan bergembira. Mengenalkan dunia dan menghapus rasa penasaran, memberi perlindungan dan alasan ketika papi bertanya macam-macam. Alena mencari itu. Merasa diperhatikan, dibimbing, dilindungi, tempat Alena berkeluh kesah sekaligus tempat mencoba fantasi-fantasinya.

Tapi memang bangsat Jati itu. Tukang tarik ulur. Membuat Alena terlalu kangen, sok ngemong, sok menjadi pendengar yang baik karena papi di rumah tidak pernah mau mengerti, sok memberi pelukan yang menentramkan.

Hari ini Alena mengaku Jumat yang lalu pergi ke Bandung dan menginap di hotel dengan jahanam penjahat kelamin itu. Aku kecewa dan sengaja mengucap keras-keras ; bukannya udah tiga bulan bokap nyokap lu ke Chengdu nengok Melisa? Lagian lu di rumah les privat sama dia seminggu dua kali kan. Lu pasti sering begitu kan Na? (Aku mengharapkan kepastian dan cemas menanti jawaban Alena, aku membenci kawan-kawanku yang bodoh. aku benci, karena mereka menyulitkan diri sendiri, mereka menjebloskan diri dalam kemuraman). Alena tentu tak menganggap hal itu perkosaan sebab dilandasi suka sama suka. Trixie tiba-tiba diam.

Alena kehabisan nafas akibat tangis. Kami bertiga bingung melontarkan kata, percuma saja sebab semakin menyalahkan Jati justru semakin membuat Alena kangen. Sebab Jati lembut dan justru Alena yang memaksa meminta saking kepingin tahu.

Tapi Bing muntab, ketika akhirnya Alena ngaku juga mereka sudah limapuluh kali lebih bersetubuh, sebab baginya seks dan pernikahan adalah sakral. Tantangan untuk suami adalah kesetiaan kepada pasangan juga pada komitmen. Bukan pergi keluar cari perawan kencur yang mendambakan figur lelaki dewasa.

Alena, lu emang bego. Dia cuma memperalat elu. Cowok kayak gitu cuma pura-pura peduli. Buka donk mata lu. Dia udah nikah. Sudah secara sadar berjanji di depan negara dan agama. Lu terlalu polos Na. Lu tuh diperkosa! Kalo dia cowok baik-baik, dia gak akan merusak lu. Lu betul-betul buta. 

“tapi kita cinta. lo tahu cinta kan bing.”

Dasar Gorila laknat, masih mau dia terima duit les dari papih lu? Tau, gak, badan lu cuma jadi tempat sampah! Tempat dia membuang segala kegelisahan hati dan menemukan kepercayaan diri yang baru! Lu batu Na! Goblok mampus! Mau-maunya mengizinkan dia membuang sampah dan segala lendir di badan lu. Gak jijik apa lu?

Aku kesal Bing memojokkan Alena terus. Setiap orang punya hak untuk menentukan pilihannya. Kalau saat ini Alena frustrasi pada hidupnya, bukan tugas kami untuk menambah bebannya dengan mencari-cari kesalahan. Mereka menikmati berdua, harus ditanggung berdua pula. Jika Jati melupakan Alena, ya sudah, begitulah hidup, dia memang bangsat. Itu terjadi sebelum aku tahu bahwa sebelum melakukan sanggama lewat vagina, Jati melakukan sanggama melalui dubur. Memang bangsat jati itu. Akhirnya semua menjadi jelas ketika Alena meminta amoxilin karena duburnya sakit dan takut infeksi.

Berapa kali lo di sodomi?

empat sampai lima kali lah, tapi gw gak mau karena eek gw keluar, meskipun udah gw minumin obat pencahar sebelumnya biar usus gw bersih.

“Lo tolol alena! lo tolol banget! lo gak pengen hamil tapi lo tolol! goblok lo!” begitu Bing mencak-mencak.
“Jangan jadi habbit ya Na, kasian lubang pantat lo entar, gak elastis lagi, jebol.” Trixie berkata sambil menangis. Wajahnya tampak sangat prihatin.

Umur kami masih 17 waktu itu. Aku dan Bing baru 2 minggu berumur 17. Trixie baru akan 17. Alena sudah akan 18.

empat bulan setelah kejadian itu, trixie datang kepadaku. Ia gemetar dan rapuh seperti daun kering musim gugur. “tolong anterin gw aborsi Tan.” ia menangis sepanjang perjalanan.

“udah berapa bulan anak lo?” aku memperhatikan dia. kesedihan itu menular demikian hebat, penyesalan, rasa hormat, telah berubah kecut. aku memperhatikan dia.

“tiga atau empat bulan.” dia sesenggukan.

“elu siap Trix?” aku menatapnya sedih. Airmata dan ingusnya tak berhenti mengalir. “gak ada orang mau aborsi tan..gak ada. tapi gw harus ngelanjutin hidup kan tan.”

tentu saja Trixieku menderita ketika dia harus memutuskan mengakhiri kehamilannya. Beban yang ditanggungnya seumur hidup sebagai pembunuh bayi, dia yang terus menerus berperang melawan perasaan dan kepercayaan mengenai nilai hidup benih manusia yang dikandungnya. dia yang terus menerus dicekam perasaan sebagai ‘bukan anak baik-baik’ dan menjadi percaya stigma yang ia lekatkan sendiri.

itu adalah rahasia kami berdua, sampai kami mati. aku berdoa terus menerus sepanjang jam-jam tegang itu. aku mengantarkan dia pulang ke rumahnya dan mengaku ada lomba paduan suara di bandung, ketika Trixie menginap 2 hari di rumah nenek setelah aborsi itu. dia menangis sepanjang waktu. pacarnya kali ini luar biasa bangsat. aku memandangi dia yang menularkan sedih ke dasar hatiku.

Untukku 22 sudah selesai. Aku tak punya lagi keinginan adu penalti dengan gigolo. Aku sudah menemukan Bing, belahan jiwaku. Tetapi kami tidak menikah di gereja – bagaimana mungkin. Kami menemukan kontrakan kecil di selatan Jakarta. Bing tidak melanjutkan kuliah, belum ada dana untuk itu selepas pertengkaran dengan keluarga besarnya. Dia mengajar musik di sana-sini.  Aku mendapat beasiswa untuk belajar di fakultas Komunikasi. Telah lama aku lulus kuliah dan menjadi penulis lepas. Nenek tidak tahu aku mencintai Bing, tapi bing tahu aku mencintainya.

Kemarin dulu, aku ikut pelatihan membuat film documenter, besok aku dikirim ke Asean untuk membikin film-film documenter tentang LGBT.

aku kepingin Bing Kuliah, sebab dia layak untuk melanjutkan pendidikan, sebab kalau besok kami memutuskan punya anak, kami tak bisa tinggal di Indonesia. Bekerja di luar negeri juga tidak mudah, menjadi warga negara di suatu negara nun jauh disana juga tidak mudah. masih banyak tahapan-tahapan yang harus dilalui, dan bekal-bekal yang harus dipersiapkan. selalu ada dana segar yang harus kami miliki, sebab hidup bukan hanya tentang berdua, tapi tentang keberlangsungan hidup itu sendiri, dengan anak-anak kelak.

Alena yang mogok kuliah Hukum sudah tunangan dengan seorang terapis. Mereka berpapasan setahun lalu ketika Alena belajar membuat foto essay di sebuah rumah sakit di Jakarta. Ia banyak menulis,ia banyak bepergian. Ia bisa saja melanjutkan bisnis papinya, tapi ia memilih jalannya sendiri. Alena masih belum melupakan Jati, ia mengkhianati si terapis itu sebelum mereka menikah.  Jemari lincah, wajah cerdas, postur melindungi, senyum menenangkan, limabelas tahun lebih tua, pernah menikah. Alena hanya mencari sosok Jati di tubuh orang lain. Masa kuliahnya masih dihabiskan untuk sekali-kali ketemu Jati. Ia hanya cerita kepadaku, masih sekali-kali menelepon Jati untuk mengajak bertemu, sekedar menghirup harum keringatnya yang bercampur aroma rokok filter. Aku tak tahu setelah pertunangannya ini apakah ia masih akan mencari-cari Jati.

Trixie pindah ke Toronto selepas SMA dan sudah menjadi warganegara Kanada. Ia tinggal dengan keluarga pamannya dan belajar ekonomi di sana sambil sesekali mendapatkan job merias wajah. Sekarang ia tinggal di prince george british Columbia dengan pacarnya. sudah duasetengah tahun mereka pacaran, tapi belum juga mendapatkan anak. Trixie selalu kepingin punya anak setelah peristiwa aborsi dulu itu. ia mentato tubuhnya, dengan simbol zodiak dia dan anaknya. Tiap malam dia masih berdoa dengan getir.

Kami masih bertukar cerita dan rahasia. Ia mengatur cara supaya Bing dan aku bisa tinggal bersama dia kelak. Kadang aku masih bersedih untuk kehidupan remaja yang kami alami, sekaligus bersyukur karena telah dipertemukan dan mengalami beragam rasa perkawanan sedemikian dalam.


Ps : fragment dari novel Nyanyian kembang kapas dengan revisi di sana sini
~ aku lega, kita pernah berjumpa ~

Tidak ada komentar:

Posting Komentar