Kamis, 26 April 2012

sorrow




Aku telah terbangun. Inderaku mulai terjaga. Tapi aku menunggumu di atas tempat tidur. Samar-samar telingaku menangkap suara dengung air di ketel yang menggelegak mendidih. Lalu dengung itu berhenti setelah beberapa menit dan aku tahu kau sedang menuangkan air mendidih ke dalam termos. Kudengar air kran mengucur dari kamar mandi dan seret langkahmu menuju kamarku. Kau akan membuka pintu dan mataku terpejam. Padahal aku deg-degan menunggu datangmu. Lalu kau sibakkan gorden dan merapikannya ke sisi kiri. Kau buka jendela agar udara pagi memenuhi kamarku dan sinar mentari berkunjung mengucapkan selamat pagi yang hangat, menerobos masuk ke dalam membentuk garis panjang.
Aku menunggu dalam diam dan senang, tak sabar. Kudengar langkahmu satu-satu menujuku. Mematikan lampu di sebelah kasurku sambil membungkuk. Aku dapat mendengar deru nafasmu dan udara hangat itu menggelitiki liang telingaku. Lalu pelahan kau kecup keningku dan membisikkan selamat pagi yang menentramkan hati.
Aku masih pura-pura terpejam dan kau akan mengecupku sekali lagi sambil menyelipkan rambutku yang bertebaran di wajah ke belakang telinga. Aku masih pura-pura terpejam dan kau akan menepuk pantatku dengan sayang. Dan aku menggeliat pura-pura mengantuk padahal aku sudah terjaga sejak tadi. Lalu kau tersenyum dan mengelus pipiku yang halus lembab dengan jemarimu yang kasar menebal akibat mengurus rumah dan menjadi seorang ibu. Sudah pagi ya, aku masih mengantuk, bisikku sambil menyipitkan mata. 
Setelah itu kau memintaku segera mandi dan pergi sekolah. Kau menggamit lenganku dan dengan manja kutautkan jemariku pada jemarimu. Kau akan menggiringku ke kamar mandi dan aku bernyanyi sebab bahagia. Lalu kukenakan seragam serta sepatu dan menyandang tas. Duduk di meja dapur sambil sarapan nasi uduk bersamamu.
Kau tertawa, jangan cepat-cepat makannya nanti tersedak, begitu ucapmu. Lalu kulihat kau menyeruput teh hangat dan menanyakan PR ku. Mengingatkanku akan tugas Bu Guru. Lalu aku akan mengangguk semangat sambil berujar semua sudah beres. Kau tersenyum.
Sarapan telah habis dan dapur terang oleh cahaya pagi. Kau antarkan aku ke teras. Mengecup keningku dan memanjatkan doa singkat agar malaikat menjagaku dari mara bahaya. Jangan lupa nanti pulang sekolah mampir ke rumah Tante Maria, kamu harus buat dia tertawa ya hari ini, hibur tante yang bersedih. Ku berlari riang keluar pagar dan kau lambaikan tangan. Mengamatiku berjalan hingga ujung gang.

*****

Aku selalu suka bangun pagi dan menemukanmu mama. Melihatmu dengan daster yang lusuh. Aku telah menambalnya kemarin dulu. Kutisik dengan hati-hati supaya kembali betul daster itu. Aku selalu ingin membelikanmu benda-benda yang indah. Aku belum bisa, aku belum bekerja, tapi nanti pasti kau akan kubelikan apa saja, segera setelah aku selesai sekolah dan mampu menghasilkan uang sendiri.
Mama, aku mencintaimu sepanjang waktu. Aku bersyukur setiap pagi masih bisa melihat wajahmu yang begitu tenang dan teduh. Kau tak pernah tahu mama bahwa terkadang tidurku tak nyenyak. Aku menyimpannya sendirian, karena aku tak mau menambahkan duka dan susahmu. Aku menanggungnya sendirian, meskipun kadang-kadang hal itu justru membikin aku tambah sedih. Mama kau tak pernah tahu rasanya bahagia karena dicintai, aku bersyukur karena engkau mencintaiku dengan tulus, rasanya menyenangkan tahu dicintai, rasanya menyenangkan tahu ada seseorang merindukan kita, rasanya menyenangkan, meski sebagian hidup kita jalani dengan pedih.
Aku sering terjaga mama. Berulang kali terjaga ketika dunia terlelap dan beristirahat. Tubuh kecilku tiba-tiba menggigil, mengeluarkan keringat dingin dari pori-pori dan nafasku tercekat. Seperti ada bola pingpong tersangkut pada tenggorokan dan aku megap-megap. Setelah nafasku kembali, kusibakkan selimut lalu terduduk pada bibir kasur. Termenung seorang diri. Dan tahu-tahu aku sudah menuju jendela dengan degup jantung satu-satu. Kuseret langkah dengan berat. Ubin putih dingin membuat jari kakiku kesemutan tapi aku terus melangkah dan betisku kram. Telah tiba aku di tepi jendela, menyibakkan gorden dan mengintip keluar selama berjam-jam. Berharap papa akan pulang dan aku adalah orang pertama yang akan mendengar derit pintu pagar membuka. Bertahun-tahun ku menunggu sampai akhirnya aku sadar untuk melupakannya…….
Tapi tak pernah bisa….
Aku selalu bermimpi buruk mama. Di gudang ada monster yang marah dengan taring-taring panjang meneteskan darah, dengan cakar-cakar runcing yang menghitam. Ada bekas codet pada bibirnya yang lebar. Ia tersenyum lebih serupa seringai yang menakutkan sebab gigi-giginya kuning menghitam. Peluhnya bercucuran dari dahinya yang lebar tetapi bolong di tengah, diantara ke dua mata yang mencelat keluar. Memperlihatkan rongga yang bernanah dan menyiarkan bau amis busuk. Wajahnya merah mengerikan. Bopeng-bopeng mengisi seluruh permukaan kulitnya yang merah mengkilat. Telinganya digunting runcing. Pada daun telinganya mengkilat minyak lemak. Rambutnya gimbal hitam, keriting kusut dan membentuk bulatan-bulatan besar di kepalanya yang juga besar. Pakaiannya rombeng kebesaran dan berbau busuk bangkai. Dengan hidungnya yang besar, ia mengendus aku disertai seringai dan tawanya nyaring. Bau busuk melayang di udara. Ia serupa raksasa. Lidahnya yang kasar berterutul dan berlendir menjilat-jilat udara. Mendekatiku, dadanya yang terbuka dan berbulu hampir menempel pada tubuhku. Aku jadi menggigil, panik dan tak bisa lebih takut lagi.
Aku teringat untuk berdoa Salam Maria tapi tak bisa, lidahku kelu. Aku mencoba doa Bapa Kami tak jua bisa, hatiku telah membatu. Berdoalah! Ayo berdoalah! Doa apa saja. Ia makin dekat. Makin dekat. Dan aku takut. Sepertinya doa tak mempan untuk mengusirnya pergi. Maka aku bermimpi. Monster itu tidak benar-benar jahat. Aku lalu mengontrolnya dalam benakku.
Ia mendekatiku. Busiknya terlihat jelas dan ia marah. Telapak tanganku berkeringat sementara ia mulai memperhatikanku dengan cermat. Aku harus bisa mengontrolnya dalam pikiranku. Harus! Harus bisa! Tapi aku ngeri seandainya ia menghunjam tubuhku dengan cakarnya yang runcing dan menyayat dagingku dengan taringnya yang tajam. Lagipula ia marah.Tapi tiba-tiba ia duduk di sampingku, mengajak bersalaman dan menggenggam tanganku erat. Ia menciut. Badannya jadi bersih dan wangi, pakaiannya pun rapi. Ia tersenyum lebar, senyum yang ramah, senyum persahabatan. Aku tak jadi takut. Aku membalas senyumnya.
Seketika ia berubah lagi menjadi monster, tapi aku tak lari, diam di tempat. Sementara ia terkulai lesu. Ternyata ia sepertiku juga, merana. Ia ingin menjadi manusia tetapi takdir memintanya untuk tetap menjadi monster guna menakuti-nakuti anak kecil dan orang besar yang pengecut. Kami berbagi cerita, berbagi duka. Ia ingin menjadi manusia. Aku manusia tapi tak ingin menjadi manusia. Ia tak menggubrisku, teguh pada keinginannnya. Lalu ia merebahkan diri, melingkar, bergelung di dekat kakiku. Seperti kucing yang minta dimanja dengan belaian majikannya. Ia menangis. Kukira monster tak bisa menangis sebab ia membuat orang lain menangis, ujarku.
Ia sesenggukkan. Aku menangis sebab ingin menjadi manusia. Mengapa? Sahutku. Sebab aku tak perlu lagi menakut-nakuti orang lain, menakutimu. Aku ingin menjadi manusia. Aku tak ingin menjadi monster yang ditakuti, dibenci, diusir, dilecehkan, dan tidak diharapkan kehadirannya. Lebih enak menjadi manusia. Aku seperti ditampar, seakan ia sedang menyindirku yang memang tak pernah diharapkan keberadaannya. Aku tertawa sinis. Aku bukan monster tapi aku sepertimu, percayalah! Menjadi manusia tidak semenarik dugaanmu.
Ia langsung bangun dan menatapku lekat-lekat. Aku jadi merinding. Tatapan matanya membuatku lemas. Aku kumpulkan keberanian yang tersisa, lalu hati-hati berbicara. Menjadi manusia itu sulit, ujarku. Ia tersenyum getir seperti ingin berujar, benarkah? Aku menggangguk, memberi jawaban dari pertanyaan yang tak ia sebutkan. Ia terdiam. Ya sudah kalau begitu, ini khayalanku, ujarnya tiba-tiba. Airmata masih bertengger di pelupuk matanya. Aku ingin mengejeknya karena ia menangis, tapi tidak jadi. Aku tak tega.
Monster pun boleh menangis, apalagi manusia.
Ia berdiri. Kalau begitu, mari kita bermain, ajaknya dengan senyum yang menenangkan hati meskipun pada sudut bibirnya terdapat sayatan yang menganga. Ia baik, ia tidak jahat.
Yang jahat papa dan kakek.
Tapi kemudian, sebelum aku sempat mengangguk menyatakan bersedia bermain dengannya, ia menghilang. Pecah menjadi kepulan asap.
Gudang berdebu. Aku terduduk di antara tumpukan kardus barang pecah belah yang berdebu, kardus majalah dan koran lama yang sudah menguning pada bagian tepinya disertai bau kencing dan taik tikus, juga kecoak. Ada cermin buram di situ. Kudekati, ternyata hanya sebelah. Pecahannya berhamburan di lantai melukai telapak kakiku.
Kulihat wajahku di sana. Pantulannya mengabur. Aku jadi ngeri sebab wajahku berantakan, tak utuh. Ingin kusangkal itu bukan aku, namun itu diriku. Aku ingin pergi. Tapi seperti terpaku, memaksaku memandangi diriku yang kubenci.
             Monster pun boleh menangis, maka aku menangis.           



Mama, Wuli sayang mama.
Hari ini aku mengunjungi makammu. Kau berpulang mama, duapuluh hari lalu. Dan aku tak tahu mengapa semua ini begitu cepat terjadi, begitu mendadak dan aku belum siap. Aku hanya terkejut ketika tahu kau sudah tiada. Tak sanggup ku berkata. Tak tahu harus melakukan apa, harus bagaimana. Aku hanya diam, bingung. Belum sempat daftar universitas.
Tidak ada siapapun yang dapat kumintai tolong. Hanya tersisa Rein Tobing yang seminggu lagi akan berangkat ke Bandung untuk Ospek, masa perkuliahan baru. Ternyata mama pergi dan Rein Tobing lebih sedih ketimbang aku, sebelum ku mengetahui rahasiamu, mengetahui sedihmu.
Rein Tobing membantuku mengurus semuanya, ia tidak tega melihatku tidak mengerti apa yang harus ku kerjakan. Aku tidak tahu bagaimana harus membalas budinya, uang untuk masuk kuliah sudah habis untuk membayar segala keperluan penguburan, peti, misa, pastor dan bingkisan untuk tetamu.
             Papa tidak datang. Bude Har sudah kutelepon dan ia berkata papa belum akan kembali. Ke mana? Tanyaku. Mendaki. Apakah masih kuat. Tak ada jawaban. Ada berita penting, lanjutku, papa harus tahu. Tampaknya ia sudah tak peduli, kata Bude. Dan aku luar biasa sedih, ingin rasanya memaki, tapi pasti tak berguna. Kapan papa pulang. Tak usah kau tanyakan, tak tentu. Aku sudah jengkel. Tak usah kau tunggu, sampaikan saja pesanmu padaku.  Apakah tak ada nomer handphone, biar ku beritahu sendiri. Ia tak punya. Ya sudah Bude, maafkan telah mengganggu tidurmu. Katakan saja, istrinya baru saja dipanggil Tuhan. Baiklah. Klik. Ia tidak mengucapkan bela sungkawa.
Dendam masa kecilku datang kembali mama. Hari itu, Rabu tigabelas November duaribusatu siang hari kira-kira pukul tiga aku menjerit sekuat tenaga dan menangis sangat keras. Mungkin lebih keras dibanding saat pertama kali aku melihat cahaya dan lahir ke dunia.
Aku mengikutinya hingga ia masuk taksi biru menuju lebak bulus. Namun ia tak berkata sepatah kata pun lagi, menengok pun tidak. Tanpa alas kaki aku berlari mengejarnya.
tolonglah….jangan pergi….kumohon….. maafkan aku……..aku tak kan nakal lagi….aku berjanji….aku tak kan merepotkanmu lagi…. Aku akan menjadi anak yang baik, yang rajin, yang patuh, tapi tolonglah….jangan tinggalkanku…..papa... tolong janganlah pergi... jangan pergi sebab aku sudah sepi.
Aku menyanyi keras-keras setelah berhasil menguasai diriku. Berusaha menganggap peristiwa ini hanya mimpi buruk. Kembali ke rumah, telapak kakiku beset bergesekkan dengan aspal. Ada darah menitik tapi tidak sakit, sebab hatiku lebih sakit, jauh lebih sakit. Aku tak menangis lagi. Tapi airmata ini masih terus mengalir.
 Dan aku membencinya.                                                                 
Lalu kuobrak-abrik lemariku Mama, mencari alamat mas Wisnu.  Tidak ada alamat. Hanya secuil kecil kertas bertuliskan hugo_polo@yahoo.com alamat e-mail mas Wisnu yang tersimpan dibelakang foto di dalam dompetku. Kuberikan berita duka ini. Ternyata tak ada tanggapan. Entah salah kirim ke orang lain atau terkirim dan mas Wisnu tak peduli. Aku sudah berusaha menghubungi asramanya. Kyoto begitu jauh mama, bagaimana aku dapat menghubunginya.
            Saat itu aku menangis sebab ternyata mama lebih terluka, lebih kesepian dan terbiasa diabaikan. Dan aku sempat takut hal itu akan menimpaku.

 *****

Mama sedang apa? Apa mama kesepian? Sunyi sekali mama. Aku ingin dengar suaramu mama. jawab aku mama…..
Mama…..disana dingin ya? Aku temani ya…..biar mama tidak sendiri…. aku selimuti mama ya…..biar mama tetap hangat. Bangunlah, mengangguklah….. beri aku jawaban mama…..jangan jadi bisu…..sunyi sekali…..aku ingin dengar suaramu mama. Ayo…jawablah. mama….tolong…..marahi aku….biar aku dengar suaramu….mama nakal ya…..mempermainkan aku….ayo dong jawab…..masak tidak bisa….mama….ayo jawab……
Lalu aku bermimpi. Lagi.
Hari itu hujan. Kita duduk di teras memandangi hujan jatuh dari atap rumah. Tiga jam sebelumnya kita panen bayem raja dan kau memasaknya dengan keprekan bawang putih dan minyak wijen. Dulu aku yang mengumpulkan biji-biji bayam di sepanjang jalanan komplek dan menanamnya di pekarangan kita sendiri. Dulu kita mengeringkan biji cabe rawit merah besar. Kau mengajari aku menyemai tanaman, memindahkannya ke pot besar. Kau mengajari aku berkebun di pekarangan kita yang sempit. Kita punya kebun dapur untuk membantu kita mencukupi kebutuhan makan kita sehari-hari yang sederhana. Dan hari itu hujan datang. Kita terus memandangi hujan jatuh dari langit. Kau memelukku, mencium rambutku. Lalu kita masing-masing larut dalam bacaan kita masing-masing. Kita dengan serial Laura Ingalls Wilder.
            Aku tak tahu bagaimana besok pagi. Bangun tidur sendirian. Tanpa dirimu. Hari ini aku betul-betul tak tahu.              


PS : ini adalah fragment novel Nyanyian Kembang Kapas yang saya tulis di kelas 2 SMA, kira-kira usia saya menjelang 17. 
saya ingat masa-masa itu menenggelamkan diri dan hanyut pada buku-buku. saya juga teringat menuis cerpen-cerpen yang kemudian saya kumpulkan, saya revisi di sana sini sehingga menjadi satu bundel novel yang saya beri judul Nyanyian Kembang Kapas.
 satu dekade telah betul-betul berlalu.

kepingin sekali




Bus melaju lancar melewati jalan tol. Sebulan aku tak bersua denganmu Jakarta, rindu itu terasa benar nyata. Ini adalah kota tempatku tumbuh, tempatku hidup, tempatku bermula, tempat ketika akhirnya aku bisa menyebut dua kata : rumah dan keluarga. Kuharap ini bukan ilusi, bukan imajinasi, bukan sekedar nama.

Mentari merambat mengintip dari sela gedung pencakar langit, memantulkan sinarnya pada kaca-kaca jendela. Ada haru menyelinap. Kelegaan yang indah muncul bersama sesak yang pedih. Aku pulang.

Aku hampir tujuh belas. Akhirnya memutuskan pulang dan berdamai dengan hati setelah perjalanan berliku mencoba menemukan jati diri, mencoba mengetahui sepenggal kenangan di sana sini. Aku masih bersyukur memiliki banyak waktu untuk belajar, untuk melihat, untuk merasakan, untuk mengenal, untuk memahami. Aku percaya pengalaman dan pemahamanku masih serba terbatas. Karena itu aku tak akan menolak lagi rerepih pengertian yang susah payah kukumpulkan di sana sini. 

23 Juni. Masih tersisa 35 lagi hari sebelum tepat di pukul 10 pagi usiaku genap tujuh belas dan kau akan menemukan surat ini. Barangkali kau akan membacanya seketika, barangkali kau akan menyimpannya dan terlupa, tak sempat terbaca atau terbaca di tahun-tahun kemudian ketika aku tak lagi remaja. Tak masalah. Kapan pun kau membacanya aku akan merasa sangat bahagia. Bebanku terangkat dengan menuliskan perasaan hatiku, aku menghargai diriku untuk keberanian mengungkapkan isi hati. Ini adalah sebuah pencapaian.

Hanya sebuah surat yang mampu kutulis untukmu. Sebuah refleksi diri. Sebuah pengalamana batin. Dengan surat aku mampu bersuara banyak. Karena bila kita berbicara selalu ada sesuatu yang menghambat kita untuk saling mengerti dan memahami, padahal kita tahu kita sama-sama saling mencintai dan sedikitpun tak terbersit keinginan untuk melukai. Tapi kita harus sama-sama sepakat bahwa kita melukai satu sama lain, lebih parah dan makin parah. Dengan surat kita tak perlu saling berteriak DENGARKAN AKU !!! Karena surat tak punya pita suara. Surat hanya medium pembawa pesan. Dia (semoga) berbicara dengan hati, bukan dengan caci maki.

*****

Langit megah tak berpenyangga. Di Jakarta kau bisa menyaksikan bintang di Planetarium di Taman Ismail Marzuki, karena langit sesungguhnya tak menghadirkan bintang. Kita suka yang tipuan, karena itu kita datang ke Planetarium hanya untuk menyaksikan bintang yang bersinar hangat dan bersahabat. 

Tapi di desa Gantang di Magelang, langit tidak menipu. Bintang-bintang itu sungguhan. Cemantel di angkasa. Kau bisa merentangkan tangan dan memetiknya. Kau betul-betul bisa menjangkaunya. Malam gelap. Ada sedikit cahaya dan angin berhembus dingin. Terdengar pula krik krik krik jangkrik. Dunia terasa sangat luas, sangat bersih dan langit betul-betul megah. Cembung seperti mangkuk raksasa yang ditelungkupkan.

Mama, di Gantang aku merasakan sebuah keluarga, keluarga yang asing namun menghormati. Keluarga yang miskin namun menyayangi. Tidak seperti kita.

Aku menaiki sebuah undakan yang licin berlumut. Di depanku tampak halaman luas dan dua ekor sapi ditambatkan dengan kotoran bau di sekelilingnya. Di sebelah kiriku adalah tanah yang ditinggikan dengan batu kali besar dan kasar. Terdapat tiang gantungan untuk menjemur pakaian sekaligus tempat untuk menjemur panenan.

Aku berjalan pelahan dan sudah tiba pada bagian terasnya yang sempit. Di sebelah kanan adalah kandang ayam dan merpati. Sedangkan di sebelah pojok kiri terdapat susunan balok kayu berdebu dan ranting-ranting kayu yang kurus panjang.

Aku ketuk pintunya yang tidak dicat apalagi dipelitur. Ku disambut oleh mereka. Rumah ini gaya tradisional tetapi kusam sehingga tampak jorok dan menakutkan. Garis-garis cahaya berkedip-kedip lewat genteng-genteng retak di atasku. Bau ruang pengab. Dan ketika ku menengadah kayu-kayu melintang menyangga bangunan rumah. Sedikit sinar berpendar-pendar pada bagian kayu di mana genteng diatasnya telah bergeser dan menunjukkan celah kecil tempat rintik hujan lolos ke dalam rumah.

Mama…aku mulai memikirkan rumah kita. Dari segala segi apapun, rumah kita sangat nyaman. Tapi aku selalu merasa tak ingin kembali ke rumah yang kita tempati. Aku lebih merasa asing di rumah kita daripada di sebuah gubuk reyot ini. Aku selalu takut untuk kembali ke rumah kita. Entah mengapa aku tak pernah merasa terlindungi dan dilindungi. Lalu aku menangis sebab memoriku bekerja dan aku mengenang semua. Lalu kuputuskan untuk melupakan masa lalu dan berdamai denganmu.

Aku tersindir ketika melihat kasih seorang ibu terpancar kepada anaknya. Mama tahu, ibu itu menenangkan tangis anaknya dan aku kembali mengingatmu. Kau tak pernah meredakan tangisku. Dan aku bermimpi.

Aku berlari menujumu. Kau dengan sigap menangkap aku. Pandanganku mengabur. Kau memangku aku sambil menyeka airmata yang mengalir hangat. Mengapa menangis? begitu ujarmu. Ujung jemarimu kasar menebal karena pekerjaan berat mengurus rumah tangga, tapi ujung jemari itu menjalarkan nyaman yang menentramkan ketika kau mengusap pipi dan punggungku. Aku mengirimkan isak dan sedihku. Kau mengerti. Kita tak banyak bercakap-cakap dan aku merasakan kita justru telah berbicara sangat banyak. Aku mendengar degup jantungmu. Kita perempuan yang sama berduka, sama jadi korban sekaligus pelaku kekerasan.

*****

Malam gelap pekat kuterlelap dalam gelisah. Terbangun ketika kudengar suara memanggil nama yang bukan milikku. Mengigau. Terbangun dalam debar yang keras dan peluh dingin muncul dari pori-pori. Ternyata sunyi, hanya gelap mengelabui mata. Namun bunyi nama itu seakan masih tergantung di langit-langit enggan untuk pergi. Debarku kian keras semakin keras hingga lama-lama melemah. Hembusan nafas justru terdengar lebih jelas. Datang gelap makin pekat. Kudengar panggilan sayup-sayup memanggilku, mbak, mbak Wuli....cah ayu....rene’o, aku ibumu.......[1]

Mimpi hanya mimpi tak inginku terjaga. Mimpi hanya mimpi izinkan aku terlena. Mimpi hanya mimpi biarkanku bahagia. Mimpi hanya mimpi jadilah nyata.

Aku telah memimpikan semua sampai tak ada lagi yang tersisa. Tik tok tik tok bunyi jarum jam. Bias cahya rembulan membuat garis kuning remang. Tapi malam ini gelap menampakkan diri dan aku sendiri. Suara jangkrik lamat-lamat terdengar dari kejauhan. Sementara angin malam telah menyenandungkan lagunya. Saat itu aku rindu pulang. Dingin menyusup dinding batu. Aku membalik tubuh. Telungkup hampir meringkuk. Bulir airmata telah menjadi dingin sebelum menyentuh pipi. 

Aku ingin menjadi embrio, hangat dalam rahim mama meringkuk nyaman dilapisi air ketuban. Menghisap sari-sari makanan lewat ari-ari. Menggantungkan hidup pada ibuku. Aku menjadi seperti tak merasa. Nafasku tercekat. Memejamkan mata, pupil mataku bergerak-gerak. Menumpahkan bulir airmata yang menjelajahi hidung, ke leher dan pecah diatas bantal. Aku menangis tanpa suara. Takut ada yang yang terbangun mendengarkan sedanku. 

Terasa getir. Tak lagi bertenaga. Hanya tersisa tiga kata. Aku ingin pulang.

Bintang…….bintang di langit. Ribuan berpendar di langit malam. Tolong jatuhkan satu bintang. Satu saja. Tidak banyak. Kau kan masih punya seribu kurang satu. Tolong ya…..hanya satu…..untuk oleh-oleh mamaku. Terima kasih loh….aku tak merepotkanmu kan?  Tolonglah bintang…..jangan kau pergi seperti yang lain.

Mama…..sudah selama itukah aku membebani hidupmu? Rasanya baru kemarin ketika kau membantuku menyisir rambut dan membedaki aku. Lucu ya….masih ingat tidak, sejak papa pergi mama sering nguber-nguber aku (seperti anak tetangga yang nguber-nguber ayam bang Idik) agar menyisir rambut. Karena aku paling malas sisiran dan mogok. Tak peduli pada jasad ini. Jarang mandi, jorok, dan berdiam diri di kamar yang pengab. Kau pasti akan mengoceh macam-macam. Aku rindu suaramu ma.

Hebat ya…. Mengingat betapa waktu begitu cepat berlari. Rasanya belum lama ketika ku belajar menyanyi ‘ambilkan bulan bu untuk menerangi tidurku yang lelap di malam gelap’ atau belajar mengeja bersamamu. Kau akan memarahiku karena aku malas membaca. Lucu. Mama bertanya ini bacanya apa, lalu aku menjawab bakso padahal jelas-jelas tertulis mangkuk. 

Masih ingat tidak waktu kau membantuku menghafal nama-nama ibukota provinsi di Indonesia. Membantuku mengingat Palangkaraya ibukota provinsi Kalimantan Tengah. Kau membuat tanda X dengan jari,  ‘Ini palang! Ada di tengah’ begitu katamu dulu. Atau membantuku belajar sejarah Diponegoro, Pattimura, Sultan Agung , Panglima Polim, Sisingamangaraja, Imam Bonjol, dll. 

Atau kau membantuku mengerti perkalian dengan menggunakan metode jari. Kau mungkin tidak sabaran atau aku yang kelewat nakal. Aku tak tahu. Yang kuingat, belajar perkalian denganmu seperti di neraka sebab kau gemar menyabetku hingga lebam membiru. Aku lebih menyukai cara Petra sahabat kecilku mengajari ini itu. 

Meskipun begitu, aku memiliki kenangan manis denganmu mama. Ingat tidak, dulu aku selalu merengek minta diajak jalan-jalan. Sepulang dari gereja Mama sering mengajakku makan di Texas Chicken Blok M yang kini terasa begitu kumuh. Sekarang aku sudah gak doyan makan fast food. Ayam Texas tidaklah selezat dan semendebarkan seperti ingatan masa kecilku. Lebih enak nasi uduk Nyak Odah sebab mama selalu menyiapkannya tiap pagi untuk bekalku. Atau pecel ayam di jalan Brawijaya yang sesekali dibelikan Mas Rama lama berselang. Nasi uduk dan pecel ayam. Memang kenangan indah melekatkan rasa sesuatu, melanggengkan banyak hal.

Betapa sering dulu kita bersenang-senang, kadang kau juga suka menolak karena jalan-jalan terlalu sering membuatku kecanduan. Mama jadi terlalu sibuk untuk menemaniku gembira, sekedar melihat mainan yang terpampang di etalase toko.

Lucu ya, sekarang terbalik. Aku jadi sering keluyuran, jalan-jalan tanpa ditemani bahkan lebih sering mengendap-endap pergi. Dan mama akan berusaha mencegahku untuk tidak pergi. Karena hari sudah gelap. Karena tak baik gadis yang belum genap tujuh belas keluyuran sendiri. Karena tidak akan ada yang mengantar jemput membawaku pulang dengan selamat.

Dan aku tak peduli, nekad, sok berani, sok mandiri, sok asyik, sok gaul. Tetapi tidak sehebat dan segagah itu. Sebenarnya aku (juga) takut hanya aku terlalu malu untuk mengakuinya di depanmu. Aku ingin menunjukkan bahwa yang punya kuasa pada diriku adalah aku. Aku gengsi mengaku padamu bahwa semua itu hanya pura-pura agar aku terlihat tegar dan tahu apa yang kuinginkan. Padahal tidak. Pergi adalah pelarianku dari kecewa dari takut. Tapi pergi ternyata tidak banyak membantuku.

Dengan pergi aku hanya ingin memberimu bukti bahwa aku bukan anak kecil yang harus tunduk pada perintahmu. Aku berusaha menjadi dewasa sebelum waktunya dan ternyata aku salah. Aku masih membutuhkanmu. Karena di dalam diriku, aku hanyalah seorang gadis kecil. 

Aku membutuhkan mama yang mengkhawatirkanku dan bertanya-tanya di mana aku berada ketika tidak pulang pada malam hari lalu berdoa dan memohon keselamatanku. Dan ketika ku kembali disambut dengan kecupan sayang karena aku pulang dengan selamat tanpa kekurangan apa pun. Tapi yang kudapat darimu adalah tamparan bertubi.

 Aku memerlukanmu ma. Aku merasa sangat sendirian. Mama tak pernah memberiku kesempatan untuk memberitahu bagaimana perasaanku sesungguhnya. Aku hanya membutuhkan seseorang untuk mendengarkan.

Aku nakal seperti yang sering mama katakan. Bahkan mama punya jadwal rutin bertemu guru BK dan meminta maaf kepada orang tua yang anaknya kusakiti, kubuat luka. Aku memang nakal sangat nakal. Tapi mama, aku tak bisa selamanya menyakiti orang lain karena hatiku sakit. Aku tak bisa berbuat seenaknya dengan membuat orang lain terluka dan sengsara karena hatiku sakit. Aku tak pernah memiliki kawan. 

Mama, mereka enggan menemaniku. 

Oleh karena itu aku mengubah sikapku dan aku luar biasa jengkel, sebab yang kini muncul adalah sifat minderku yang berlebihan. Di satu sisi mungkin aku nakal dan tidak peduli apapun namun pada sisi yang lain aku sangat rapuh, sangat takut sangat minder. Dan aku membencimu.

Aku tak bisa terus-terusan membencimu dan menumpahkan kesal karena hatiku terluka. Dengan surat ini baru pertama kali aku mengungkapkan perasaanku padamu. Aku harap kau mengerti dan mau memahami. Aku tak pernah mengerti mengapa selalu merasa marah, merasa dikucilkan dan tidak diberitahu apa-apa. Aku bingung dan kesepian. Aku tak tahu cara lain untuk menunjukkan perasaanku. Aku lakukan semua itu sebab aku tak mampu berterus terang dan mengatakan bahwa hatiku terluka. Satu-satunya cara untuk memberitahu kepedihan dan lukaku adalah dengan menyakiti orang lain. Dengan menyakitimu. Sebab aku butuh perhatianmu. Aku membutuhkan pengakuanmu bahwa kau mencintaiku anakmu.

Aku lelah ma. Aku ingin menghentikan kebiasaan kita untuk sementara. Aku ingin kita rukun dan mesra. Kumohon, sehari saja bisakah kau bersandiwara bahwa kita telah menjadi keluarga yang rukun dan mesra ? 

Mama….mama belum pernah bilang bahwa aku cantik, putri kebanggaan mama. Sewaktu komuni pertama atau krisma, mama hanya bilang ‘kamu sudah bagus, sana duduk dengan teman-teman’ padahal aku ingin sekali kau mengatakan bahwa aku cantik dengan gaun putih seperti malaikat, lalu merapikan rambutku dan menyelipkannya ke belakang telinga agar aku tampil sempurna, lalu kau akan memegang kepalaku dengan kedua tanganmu, menyentuh telingaku dan mengecup keningku, memberiku semangat. Seperti yang dilakukan mama teman-temanku.

Dan akhirnya aku berjalan menuju altar masih berharap setelah misa kau akan memberiku pelukan dan kecupan. Tapi kau tak pernah melakukannya.

Mama…..aku belum pernah berkata ‘mama, Wuli sayang mama.’ Lalu mencium pipimu dan kita akan berpelukan, bercerita. Selama tujuh belas kurang tigapuluhlima hari kita belum pernah seperti itu. Aku terlalu malu mengatakan bahwa aku sayang mama. Karena mama juga tak pernah bilang ‘mama sayang Wuli’. Iri sekali jika memperhatikan anak-anak lain melakukannya, dibelai rambutnya dan didengar kisahnya. 

Masih ingat tidak, waktu aku kelas 2 SMP. Bu Retno menyuruh murid-muridnya membuat kartu tanda cinta untuk ibu. Dinilai tanggal 23 Desember (sehari sebelum libur Natal) setelah kartu tersebut ditunjukkan kepada mama masing-masing anak pada hari Ibu. Lalu kartu itu harus diberi komentar baru dapat dimasukkan nilai oleh ibu guru. Aku membuatnya sebaik mungkin. Menjiplak dengan kertas karbon gambar sekuntum mawar karena aku tak bisa melukis. Kuberi sebait puisi karyaku sendiri. Ditulis di atas kertas kalkir. Bagiku kartu itu sangat indah. 

Tapi aku malu memberikannya padamu karena aku tak terbiasa mengungkapkan cinta. Hari itu tanggal 22 Desember aku tak jadi memberikan kartu tanda cinta padamu. Kartu yang kubuat dengan niat dan tulus hati. Esoknya ketika bu Retno menanyakan kartu itu aku bilang lagi dilihat mama jadi gak saya bawa. Aku berbohong. Kau tak pernah melihat kartu itu karena aku sungkan menunjukkan rasa sayangku padamu.

Pulang sekolah kau malah marah padaku karena mama mendengar perbincangan ibu-ibu rumpi di kantin tentang kartu hari ibu. Mama bilang aku malas karena tak membuat kartu hari ibu untukmu. Sebetulnya saat itu aku berniat menunjukkannya padamu. Tapi semangatku sudah keburu habis dan niatku luntur ketika mama kembali membanding-bandingkan aku dengan Mas Rama.  Aku juga sedih karena papa tak pernah mau kembali.

Mama bilang aku nakal. Mama bilang tidak pernah bangga padaku. Aku bukan harapan mama karena aku selalu malas mengerjakan tugas dan selalu membangkang. Aku malas ngapa-ngapain dan mama selalu marah padaku karena sering dipanggil ke sekolah akibat kenakalanku, sikap liarku. Karena aku sering bertengkar dan memukul. Karena aku selalu merepotkan mama. 

Dan aku jadi sangat kecewa. Karena sebetulnya aku ingin berkata padamu :

Wuli sayang mama meskipun kita tidak saling mengerti. Wuli sayang mama meskipun kita senang berkelahi. Wuli sayang mama meskipun tak tahu mengapa papa juga pergi. Wuli sayang mama sebab mama masih di sini.

Kartu itu lalu kusimpan. Kini sudah hilang entah terselip di mana dan kau tak pernah melihatnya. Kepingin sekali, sungguh. Merasakan bahwa kita ibu dan anak yang rukun dan mesra.  Kepingin sekali, sungguh.



PS : ini adalah fragment novel Nyanyian Kembang Kapas yang saya tulis di kelas 2 SMA, kira-kira usia saya menjelang 17
saya ingat menulis ini sepulangnya dari live in di desa gantang magelang, di tahun 2003 
terus terang ketika membuka komputer keluarga beberapa pekan sebelum posting, saya terperangah membaca tulisan yang saya buat satu dekade silam. 

banyak kejadian lucu tentang nyanyian kembang kapas, saya ingat diantar ellen ke gramedia dengan sebundel novel yang saya pikir, sudah paling bagus dan top untuk anak seusia saya : bisa ngemeng selancar itu... hiahahahahaaa...

saya juga teringat beatriks yang nganterin saya ke DKJ untuk menyerahkan novel itu, (ini jaaaauhhh lebih lucu,norak dan menggelikan) dan menangis tersedu ketika karya saya gak menang...ditemani rintik hujan (malam itu betul-betul hujan) 

saya pikir kejadian-kejadian itu begitu luar biasa, saya bisa memanggilnya dan menertawakan diri sendiri, seluas-luasnya, sedalam-dalamnyaa...

ini betul-betul penggalan cerita paling lucu dalam sejarah hidup saya (sampai saya mengetik ini).


[1] mbak..mbak wuli..anak cantik, ke marilah, aku ibumu.

Selasa, 24 April 2012

i'm happy doing refashion (2)

pada halaman ini, saya mau pamer sedikit, hasil refashion yang sudah saya kerjakan selama beberapa bulan terakhir. refashion yang saya lakukan betul-betul dari mengobrak-abrik lemari dan berusaha mencari pakaian-pakaian yang masih layak pakai untuk didaur ulang kembali. apabila menggunakan tambahan kain, saya pun tidak sengaja mencarinya, melainkan mencari apa yang ada di rumah. pokoknya memanfaatkan secara maksimal apa yang masih bisa diselamatkan.

silahkan baca tulisan dan alasan saya melakukan refashion di blog ini, dengan titel Refashion. 

semoga menjadi inspirasi.... terimakasih sudah mampir ke blog ini...



tadinya ini kaos disney yang sudah rusak. gambarnya digunting dan ditempel di kaos polos warna krem. karena kaosnya terlalu pendek, maka bagian leher dan bawah badan saya tambahkan kain warna abu-abu.

tadinya ini kaos disney yang sempit. kemudian gambarnya saya gunting dan tempel di kaos polos warna hijau. kaos bagian bawah saya gunting untuk membikin panjang lengan. kemudian dari kaos disney saya ambil untuk ditempel di bawah kaos hijau.


tadinya ini kaos yang sempit. kemudian dilebarkan dan  saya buat lengan baru. sekarang kaos ini nyaman dikenakan.

ini bekas kemeja levis bapak warna putih. kemudian dikecilkan dan disesuaikan bentuk tubuh. setelah itu saya warnai dengan wanteks, 2 coklat dan 1 merah. saya tidak merebusnya. melainkan, kemeja itu saya rendam air kemudian saya peras, saya larutkan 3 bungkus pemarna, tuang dalam ember berisi air mendidih. (ketinggian air kurang lebih 1 cm di atas baju) lalu secara berkala saya bolak-balik biar gak belang. setelah 4 hari direndam, jadinya seperti ini. bahkan benang putih dari jahitan levis-nya gak ikut kelunturan. kereenn !!

tadinya ini adalah kemeja bapak. kemudian saya gunting bagian bawah dan buang kerahnya. sekarang menjadi outter yang cocok buat saya kenakan. 

tadinya ini adalah vest merk avenue. supaya ringkes dikenakan, saya menambahkan lengan. sekarang ini adalah blouse yang nyaman saya kenakan.

tadinya ini adalah sweatshirt polos warna biru pastel. saya suka sekali tapi bosan karena lengannya pendek, sehingga tidak ringkes dikenakan karena pasti saya tambahkan kardigan untuk membikin outfit saya terlihat nyaman. kemudian saya ambill daster ibu yang sudah tidak ia gunakan dan saya jadikan lengan. untuk bagian tengah, dengan teknik quilt saya jahit pola bujur sangkar dari warna pink dan broken white. bagian leher dan lengan bawah juga ditambahkan aplikasi. 

tadinya ini bekas piyama. tapi bahannya masih bagus. kemudian bagian lengan diganti dengan kain hitam.

tadinya ini adalah blouse lengan panjang  milik ibu tapi sempit. kemudian lengannya digunakan untuk memperlebar bagaian badan. dan lengannya diganti dengan kain hitam, dengan tambahan aplikasi bahan sisa blouse.

tadinya ini adalah sebuah blouse polos tanpa kerah dari bahan silk. sudah sempit, jadi saya refashion supaya muat lagi, karena bahannya masih sangat bagus. lengannya saya ganti dan saya beri aplikasi pada bagian depan. ini ngerjainnya jodoh banget, karena warna hijau blouse ini susah dicari padanannya, jadi ketika ketemu bahan yang senada untuk membuat lengan saya bersorak : Haasseekkk !!! 


tadinya ini adalah sebuah kaos yang sempit. tapi saya suka warnanya. dari 2 buah kaos warna hijau dan stripe orange saya membentuk bagian badan. kemudian untuk lengan, saya mencampur kain hitam dan lengan dari kaos reebok yang juga saya refashion. hasilnya adalah kaos ini. 


tadinya ini adalah kaos polos merk esprit yang kelunturan pemutih. kemudian saya beri perca-perca di tempat yang kelunturan. bagian leher saya beri aplikasi wiru. bagian lengan dan bawah kaos saya panjangkan dengan kain warna senada. sekarang kaos ini nyaman lagi untuk dikenakan. 






tadinya ini adalah kaos polos hitam yang sempit dan lusuh. kemudian saya lebarkan dan lengan saya ganti dengan kain kembang-kembang. bagian depan bekas merk saya tempel dengan kain senada.

ini adalah kaos reebok warna orange yang sempit. sekarang ini adalah kardigan syal yang saya sukai. saya tambahkan kain untuk membuat lengan dan syal di bagian depan. sementara itu, lengan dari kaos reebok ini, saya gunakan untuk refashion kaos yang lain. saya betul-betul tak suka menyia-nyiakan apapun dan membikin sengaja terbuang.


tadinya ini adalah sebuah kaos polo yang sudah sempit. saya memutuskan untuk membuat model kardigan syal. kain yang saya gunakan disini juga saya gunakan untuk refashion kaos orange reebok. saya cuku beruntung, kain ini dijual cukup murah, toko kainnya sedang obral. bagian lengan bawahnya saya bikin ruffle kecil supaya tidak sama dengan model kaos orange reebok.




tadinya ini adalah 3 kaos yang sempit, 2 kaos polos warna coklat dan krem, dan satu kaos stripe. kemudian saya refashion, gunting sana sini, bentuk badan baru, kemudian bentuk lengan baru, dan beri aplikasi dibawah lengan. sekarang menjadi 1 kaos yang nyaman dikenakan.


tadinya ini adalah kaos doraemon yang sempit. kemudian saya refashion, bagian samping saya lebarkan dengan bahan pembuat lengan. sekarang baju ini nyaman dikenakan.

tadinya blouse vintage, tapi lengannya kesundut rokok. kemudian diganti dengan lengan baru.

tadinya polo shirt dengan lengan pendek. kemudian lengannya diganti dengan kain kuning kembang dengan aplikasi serut.


tadinya ini kaos you can see warna ungu tapi sempit. kemudian saya lebarkan dan lengan saya ganti dengan bahan coklat. dibagian bawah lengan saya beri aplikasi dari sisa kaos ungu.

tadinya ini adalah kaos merah polos yangs udah sempit. saya pertahankan karena warna merahnya menarik. kemudian saya refashion dengan broklat merah yang dicampur dengan furing kuning. bagian lengannya saya buat dari broklat merah yang di bagian bawahnya dipadu dengan gradasi furing warna kuning-merah-putih. hasilnya lengan yang menarik. 


suatu hari bersama petra, kami nonton pertunjukkan jamaica cafe-grup acapella yang saya kagumi di @amerika. petra memenangkan kuis hari itu, dia mendapatkan hadiah kaos dari jamaica cafe. tapi kaos itu saya palak...hihihii..karena sempit, saya buat refashion. saya tambahkan kain hitam di bagian pinggir dan saya buat lengan yang baru dari kain hitam, dengan aplikasi warna merah untuk lengan bawah.

tadinya ini adalah kaos polos warna merah marun. merk-nya u2, tentu saja kualitasnya baik, sehingga sayang kalau dibuang. kemudian saya bongkar lemari ibu dan menemukan (pppaaasss beennerrr jodoh banget) kain dengan warna senada, yang akhirnya saya gunakan untuk membuat lengan baru dan syal. hasilnya adalah kardigan syal yang menarik. 


tadinya ini adalah kaos polos warna hijau yang sudah sempit merk giordano. kemudian saya refashion. bagian samping saya perlebar dengan kain yang sama untuk membuat lengan. kemudian pada bagian depan saya tempelkan perca batik. kain biru itu hasil pewarnaan dengan wanteks dari bekas rok warna putih.

tadinya ini adalah blouse untuk maternity tapi kebesaran di bagian perut. bagian belakang disekeng sesuai bentuk tubuh. kemudian lengan diganti dengan warna pink dan diberi aplikasi ruffle.

tadinya ini adalah kaos polos dengan bahan campuran rayon spandek. tapi sudah sempit. kemudian kaos ini saya belah dan saya tambahkan resleting. dan bagian lengannya saya ganti dengan bahan silk jepang yang ringan. 


tadinya ini adalah kaos polo merk lacoste *tuh logo buaya-nya belum hilang. karena sempit saya refashion. saya lebarkan dengan menambahkan kain di sisi kiri kanan dengan kain untuk membuat lengan. kerah polo-nya saya buang dan saya tambahkan aplikasi ruflle.

tadinya ini adalah camisol. karena modelnya you can see, maka saya tambahkan lengan dari kain hitam dengan aplikasi kancing. sekarang camisol ini berubah jadi blouse dan ringkes

tadinya ini adalah camisol. karena you can see dan sempit, maka bagian samping saya tambahkan bahan broklat hitam. untuk lengan saya ganti dengan kain hitam dan broklat hitam. kemudian saya tambahkan batu-batu di depan supaya tambah manis.


tadinya ini kaos polo. kemudian saya refashion, saya buang kerahnya. kemudian saya beri aplikasi dari batik, ruflle di bagian leher. kemudian saya beri perca-perca batik pada bagian badan, dan aplikasi di bawah lengan.


tadinya ini adalah blouse warna merah bata yang membosankan dan kusam. kemudian saya refashion dengan memberikan aksen ruffle di bagian depan dan lengan.



tadinya ini polo shirt giordano, tapi sempit. kemudian dilebarkan bagian tangannya dan bagian badan dibuat bentuk baru dari dua jenis kain perca-perca.

kaos jaman sma yang jarang dipakai karena kebesaran. kemudian dikecilkan dan ditambahkan renda di bagian bawah lengan, leher dan bagian depan

tadinya kaos polos hijau dengan campuran rayon spandek. saya refashion karena lengan bahan spandek itu membikin lengan saya tampak menyerupai sayap...ngerriii.. hihihihi... saya ganti lengannya, kemudian di bagian depan saya buat aplikasi dari kain pink dan ruffle dari kain sisa membuat lengan.



tadinya ini adalah vest dengan kerah. kemudian kerahnya saya buang. lengannya saya ganti dengan bahan batik dan di bagian depan saya tambahkan aplikasi dari kain hitam dan ruffle batik.

tadinya ini adalah sebuah blouse untuk maternity, buat saya kebesaran dibagian perut. kemudian dikecilkan bagian belakang dengan cara disekeng. lengannya saya ganti dengan bahan batik yang tersisa dan saya tambahkan ruffle pada bagian depan. sekarang blouse ini telah nyaman dikenakan.

tadinya ini polo shirt putih, membosankan sekali. akhirnya kerahnya dibuang. kemudian ditambahkan perca dari sisa kain. bagian bawah lengan ditambahkan sisa kain.

kemeja ini terlalu panjang dan besar, sementara saya gemuk pendek dan modelnya model laki-laki. saya perbaiki sehingga terlihat lebih nyaman untuk dikenakan perempuan. detail kemejanya menarik sekali

tadinya ini blus yang pueendekk banget.. ya sudah, gunting lengan dan kasih karet, biar ngebentuk ruffle. bagian bawah kasih tambahan ruffle buat manjangin

tadinya ini kemeja stripe yang sempit. bagian lengan panjang saya gunakan untuk melebarkan badan. kemudian lengan diganti dengan kain warna pink.

tadinya ini kaos polos warna biru dengan campuran spandeks. kemudian karena sempit saya lebarkan kiri kanan dengan kain hitam. lalu lengannya saya ganti dengan bahan bekas rok batik warna biru. 



tadinya ini kaos stripe yang sempit. kemudian saya campur dengan sweatshirt biru yang sudah sempit. dari 2 kaos sekarang menjadi satu kaos yang nyaamn lagi untuk dikenakan.