Senin, 14 November 2011

hujan bulan desember





di salah satu jalan di jakarta selatan, angin bertiup kencang. ini jelas perubahan iklim. aku tidak pernah merasakan jakarta sedingin ini, tidak pernah selama 25 tahun aku hidup dan bergerak di lintasan-lintasan yang tak pernah selesai. aku melihat jalanan telah menjadi terlalu sempit. dulu aku pernah digandeng bapak, lama silam. jalanan luas dan lebar, mataku yang kanak-kanak. 

sampah-sampah kertas dan daun berserak, aku menyimak tariannya di udara. saat itu aku baru saja turun dari sebuah bus bobrok warna kuning. aku berteduh di depan emperan toko servis elektronik. di sebelahnya, warung tenda tengah bersiap. hari menjelang sore, toko itu sudah tutup barangkali dua jam lalu, halamannya di sewa untuk menjadi warung tenda. minyak jelantah dipanaskan, mereka menawarkan lele goreng, ayam goreng, bebek goreng. minyak itu telah menjadi begitu hitam seperti oli. baunya lekak, angin menguarkan bau jelantah dan aku mual tiba-tiba.

aku ingat pagi hari yang sepi. bapak menggorengkan sebutir telur yang didadar : separuh untuk aku separuh untuk dia. dengan nasi semalam yang dingin dan berkerak. dengan kecap. sarapan yang istimewa. kadang nasi sisa semalam dengan sejumput garam. bapak yang mengancingkan seragamku yang lusuh, menjahitkan kancing yang menggantung. bapak yang tidak selalu bisa membantuku mengerjakan pekerjaan rumah. aku merasakan kerinduan yang tak lagi dapat ditekan. perih sudah tiba di ulu hatiku. kadang aku megap-megap ketika serbuan kenangan itu datang tiba-tiba.

angin menggedor-gedor papan reklame di tepi jalan dan menimbulkan bunyi tak tak pletak yang mengkhawatirkan. aku takut reklame itu roboh menimpaku. aku takut di sudut jalan lain di jakarta, papan reklame roboh menimpa seseorang yang aku cintai dengan tulus, lelaki selain bapak, rasa cinta itu anehnya membikin aku semakin lemah. aku tiba-tiba kalut dan merasa sangat kehilangan sebab aku tahu manusia tidak selamanya tegak.

aku berlari-lari kecil menghindari reklame-reklame besar yang hendak roboh. aku berlari-lari kecil. aku ingin melarikan diri, tapi aku bukan kanak-kanak lagi, sebab hanya maling dan anak-anak yang berlari, aku pernah membaca kalimat ini di suatu novel tentang gadis anting mutiara. waktu aku membaca novel itu, aku merasa kepedihan yang sama. rasa cinta yang jadi sia-sia. aku melihat diriku sendiri pada bayangan yang memantul dari sebuah toko, aku bukan kanak-kanak lagi. 

aku teringat seseorang. aku tidak pernah merencanakan akan kenal dengan dia. hal itu terjadi begitu saja, suatu kebetulan yang menjelma rintik pertama hujan, jatuh di suatu sore di bulan september. orang-orang berteduh.  hujan tempias. warung tenda itu membagi-bagikan teh hangat gratis, mereka menyebutnya promosi musim hujan. orang-orang duduk lesehan. hujannya bakal awet, terdengar suara seseorang, kita makan sajalah sekalian di sini, kata seseorang yang lain. warung itu tiba-tiba penuh. semua duduk berhimpitan.

aku duduk berhadapan dengan seseorang. harum lele goreng semerbak. tiba-tiba percakapan mengalir lancar. sambal terasi telah menghidupkan aku kembali, begitu kata seorang asing, menyentakkan seleraku yang belakangan ini hambar. dia bilang teringat masa kanak-kanaknya, sesendok sambal, nasi hangat, kol yang digoreng di minyak jelantah pemberian tetangga. dia sudah melewati tempat ini puluhan kali, tergoda untuk mampir. dia rindu rasa minyak jelantah. istrinya di rumah selalu menyajikan makanan sehat selama usia pernikahan mereka. masakan yang terasa begitu hambar dan anyep, sayuran kukus, havermouth, roti gandum dengan mentega. makanan itu mengingatkan dia akan rasa berhasil, sementara gorengan minyak jelantah mengingatkan dia akan rasa berjuang, rasa jauh perjalanan. aku telah menekan-nekan kerinduan itu, hujan membuatku betul-betul jadi mampir : begitu pengakuannya.

percakapan menjadi begitu hidup.  hujan belum juga reda. kami melanjutkan obrolan di kedai kopi tak jauh dari warung tenda itu. dia kembali dengan payung dari mobilnya. Menyeberangi jalanan menuju tempat yang lebih hangat. hembusan angin membalikkan payung itu, dengan kikuk kami berlari masuk kedai kopi, berpegangan tangan. aku seperti menemukan sebagian diriku yang kembali penuh terisi.

aku selalu suka sehabis hujan di bulan september.

aku pernah bertemu dengan orang-orang yang menyenangkan, yang wujud dan cara tertawanya aku rindukan. tapi aku belum pernah jatuh cinta sebelumnya. hari-hari itu aku mendengar musik dari dasar hati, aku menyadari suatu hari akan pecah juga. hatiku tiba-tiba tahu, bahwa musik itu memang berasal dari dia. hatiku yang tiba-tiba jadi tidak tenang. diriku yang tiba-tiba sibuk dan kebingungan, aku yang merasa harus menentukan pilihan. 

aku selalu suka sehabis hujan di bulan oktober.

sepiring nasi uduk, sambal terasi, lele dan kol digoreng di minyak jelantah. hidup yang menyediakan banyak kemungkinan. obrolan-obrolan tak penting. rasa menunggu, rasa berharap. senyum yang aku tunggu-tunggu.
ini akan jadi hujan yang lama sepanjang tahun. aku punya waktu untuk menunggunya reda, begitu katamu dulu. mudah-mudahan tidak datang  badai, katamu lagi. 

aku selalu suka sehabis hujan di bulan november.

rasa bertahan. lidah yang berubah kelu. obrolan menjadi tidak selancar dulu. tatapan mata menjelma harap.  tidak kah kau juga ingin.  tidak bolehkah bila aku mengakui aku ingin.
berdosakah aku. 

bolehkah aku memintanya dari kamu.  maukah kau akui perasaanmu.
tidakkah kau bahagia, mengetahui ada seseorang merindumu, menginginkanmu.
tidak bisakah kita biarkan mengalir, sebelum berubah alum dan kelat.



aku selalu suka sehabis hujan di bulan desember.

kasih ini berbalas. sampai tingkat tertentu aku yakin kasih ini berbalas. lelaki menemukan perempuan, perempuan menemukan lelaki. apa yang salah pada kasih, selain rindu dan keinginan memberi karena kau tahu kau boleh berbahagia, meski sejenak.

bahasa ada untuk mengomunikasikan pikiran, perasaan, dan maksud satu dengan lainnya. adalah kata, kemudian makna, begitu ujarnya dulu.  verbal dan non-verbal. ada kode-kode yang perlu kau singkap. tak sulit sebetulnya. harusnya kau tahu.

aku kebingungan memecah kode dalam setiap obrolan dan tingkah lakumu. kita yang tak lagi berjarak. kamu yang sering membuat aku tersipu meski aku tahu sebaiknya aku mengambil jarak, bagaimana jika aku tak mau. hati kecilku bilang betapa menjijikkannya aku. sebab aku boleh memilih untuk tidak jadi murah. tapi bagaimana jika aku mau. hari ini tahuku samar-samar. tidak bolehkah aku bahagia sebentar.

aku takut balas memandang dia, takut ketahuan sudah jatuh cinta. kumohon..mulailah kau lebih dulu..beranikanlah dirimu hai ksatria..tidakkah kau juga ingin.


kau suka musik apa, klasik, antonio vivaldi barangkali, schubert? ataukah nat king cole?

vivaldi oke, putarkan cello concerto pada g mayor di cakram digital, sebab musik menentramkan pertemuan yang kikuk. persetubuhan kami yang pertama. aku yang bergetar dan kehilangan keperawanan. aku yang bersyukur untuk perih dan panas seperti bara saat lelaki itu menindih aku pelan-pelan, memasukinya dan berubah ganas, bunyi pegas, menggigiti aku dengan gemas.

hari ini aku ingin dilumatkan kamu sayang, begitu dulu aku memberanikan diri berkata. tidak ada agama hari ini, tidak ada hakim, tidak ada pendusta dan pengkhianat. aku telah begitu lama merindumu, menunggumu. ada tempat di sebelah mimpi, ketika aku mengupayakan kesadaranku untuk terus jejak. kau tahu, kadang aku tahu kamu sedang membayangkan aku. aku selalu tidak ingin lekas pergi bila dekat denganmu.

aku mengenangnya sampai detail terkecil. letak komedo di hidungnya. uap nafasnya yang panas, aroma rokok filter pada tubuhnya. lengannya yang liat, letak tahi lalat. aku teringat matanya yang bulat, garis-garis kerut di sekeliling mata, bentuk alis. ulir pada daun telinga, pundaknya yang kuat. sepiring mangga dengan krim yogurt, secangkir teh hijau panas mengepul, permen karet rasa strawberi. kondom dan pil kb, aku tidak siap punya anak tahun itu, aku belum siap, kendatipun lelaki itu berjanji akan mengeluarkannya di luar. keringat, lendir, sinar matahari sore hari.

umur berapa kamu tahun 98? lelaki itu suatu hari bertanya. aku baru akan lulus sd. lelaki itu mendesah sambil menghisap puting susuku yang telah jadi tegak kaku. kau menyenandungkan lirik iris dari goo goo dolls. lalu merayap menuju bibirku, melumatnya dengan buas. because i know how you feel me somehow ...

Dua tahun kami bercinta. setelah itu masing-masing melepaskan diri, dengan kepedihan yang sama. memang harus begitu. memang harus begitu. kita pernah bahagia, sekali, barangkali duakali. bahagia tidak bisa terus terjadi berulang kali.

 aku merindukanmu lebih dari sebelumnya hari ini. aku masih mencari senyummu yang tulus di hari-hariku yang hampir selalu murung. kau membenci orang-orang yang banyak bersedih, kau merasa kasihan dengan mereka yang tenggelam dalam iba diri, kau bilang airmatamu sudah habis di masa kecilmu, kau yang tidak lagi merasakan asinnya air mata semenjak usiamu ke 11. aku yang bersedih dan mencari ketentraman dalam hati. kendatipun itu tidak menyembuhkanku hari ini, justru membuatnya jadi tambah parah.
  
aku ingin mencangkok saraf gembira, bisa tidak ya..kataku di hari persetubuhan yang lain. kecemasan demi kecemasan memang bergelayut di atas kita. kau menenangkanku dengan berkata, aku bahagia jadi pendosa. lalu kau terlelap dalam dekapku. kau menyukai kombinasi lelah dan lega selepas bercinta, tidurmu tentram.

seharusnya kita tidak perlu bertemu, seharusnya aku tak perlu terus memandangimu, menunggumu. seharusnya aku terus saja hidup dalam fiksi-fiksiku sendiri. seharusnya kita tidak jatuh cinta. seharusnya aku tidak mengijinkan kamu menciumi aku pelan-pelan. seharusnya aku betul-betul terus hidup dalam fiksi-fiksiku sendiri.

biasanya aku selalu suka sehabis hujan di bulan desember. ini akan jadi hujan terlama sepanjang tahun.

aku ingin mandi air panas dengan aromaterapi wangi laut. aku ingin minum coklat panas dengan sejumput bubuk cabe. aku ingin kau menjilat vaginaku dan menemukan gurih lendir yang membuatmu ingin selalu kembali, harum asin laut. aku ingin kau hisap putingku yang coklat susu. boleh kau oles dengan krim keju, boleh kau gigiti pelan-pelan, boleh kau jepit keras-keras dengan lidahmu, kau boleh melakukan apa saja, aku izinkan dirimu merasuki aku. kulit asinmu, coklat dan tubuhmu yang liat, cengkramanmu yang kuat. bulu-bulu halus di wajahmu, kau yang mengerang tertahan. dadamu naik turun menindih aku.  

Aku tak pernah betul-betul menghayati Desember. Purnama terakhir akan tenggelam dan malam selesai. Kita menatap kalender . Kita bisa saja menyimpannya karena gambarnya yang bagus atau merobeknya karena sudah tak berguna, tapi hari-hari telah berlalu. Dan kita sama-sama menduga : Seperti apakah hari depan. Siapa yang dapat mencegahnya. Siapa yang bakal datang. Bersamaan dengan itu kita bisa mengingat-ingat masa lalu. Kita bisa sengaja membikin jadi distorsi.

akan selalu ada hari-hari ketika aku ingin berhenti dan membiarkan si penggurutu menguasai hidupku. ia yang pongah menjebakku : kini kamu tahu rasanya jadi manusia padahal sebetulnya kamu masih belum tahu apa-apa, kita selalu tak pernah selesai tahu tentang apa-apa.

Gamang, rasa percaya barangkali ikut patah.


PS : aku lega, tak jadi pergi hari itu. 
       terimakasih untuk Efek Rumah Kaca dengan Hujan Bulan Desember-nya 

Tidak ada komentar:

Posting Komentar