Sabtu, 03 November 2012

jendela


Februari tak pernah seganas hari itu. Tanggal empatbelas dan angin datang menderu-deru. Kau ada di situ, begitu saja. Sejam sebelumnya aku berpapasan dengan truk pasir warna kuning, berhiaskan tulisan de javu. Aku tak pernah yakin akan menjumpaimui di sini. Sebab Jakarta meski tak luas, punya banyak tempat menarik untuk dikunjungi hari itu. Tapi kau datang dan aku melihatmu dari kejauhan padahal kerumunan begitu rapat, kau seharusnya tak berada dalam jarak pandang mataku. Ada hatiku berdenyar nyeri : tuhan..dia hidup.




menyusuri jakarta berhari-hari ini telah mempertemukan aku kembali dengan masa lalumu, termasuk yang baru saja terjadi : kau yang kini. museum-museum yang pernah kita singgahi. taman-taman yang pernah kita hampiri. kineforum, erasmus huis, goethe haus,@america, starbuck, tempat kita sepasang remaja dengan lembaran-lembaran pattimura, sakit hati dan sakit perut untuk segelas kopi seharga empatpuluh ribu. masa itu kecemasan mengenai masa depan menggantung, tapi kita menghadapinya dengan enteng sebab besok selalu jadi besok dan hari ini kita masih boleh tertawa-tawa, terlalu banyak hal yang bisa dirayakan. kita masih mau menyambut yang akan datang ketimbang menduga-duga dengan kekalutan apa yang akan terjadi nanti. incubus merumuskannya dalam sebentuk kalimat milik para pemberani : whatever tomorrow brings, i’ll be there.

aku memilih pergi, supaya kita tak saling menyapa lagi.
Dari jendela bis kota aku melihat trotoar Jakarta. Kaki-kaki pelintas. Roda gerobak penjual gorengan, gerobak nasi goreng dan mie yamin, gerobak minuman dingin dalam box berwarna biru atau oranye. kamu pernah memuji tahu susurku yang menjadi demikian kisut,lembek dan berminyak ketika telah menjadi dingin sejak dua jam sebelumnya aku menggorengnya di rumah sebagai bekal kita jalan-jalan ke taman – padahal aku bisa memasak lain,tapi kamu minta dibuatkan tahu susur, ini masih membikinku geli. juga laranganmu ketika berulang kali aku menghampiri pedagang minuman yang berteriak, “mijon..mijon..”
Sepeda motor berjubelan di atas trotoar, semrawut dan tak tahu aturan. Jalanan padat. Dari pintu depan masuk tiga orang pengamen lusuh menyanyikan lagu Koes Plus berjudul bunga di tepi jalan. bukan melodi itu yang merasuki telingaku, melainkan milik bob dylan
 
How does it feel … To be without a home … Like a complete unknown .. Like a rolling stone ?
 
jakarta tak pernah tak macet. penumpang sibuk dengan pikirannya sendiri. seekor ibu kucing berjalan perlahan menuju bawah jembatan penyeberangan, perutnya telah membuncit, dia seekor kucing remaja yang sebentar lagi akan melahirkan empat,barangkali lima anaknya, yang mungkin akan mati terlindas kendaraan, kedinginan atau kelaparan, barangkali ini kehamilannya yang ketiga, dan ia sendirian. merenungi nasib dan membiarkan waktu berlalu.
Itu sebuah sore ketika orang-orang bergegas pulang. Aku membayangkan apa yang mereka pikirkan tadi pagi ketika memulai hari ketika suara bob dylan tak lagi menyayat-nyayat hatiku.
Melihat orang-orang di dalam bus kota dan orang-orang di pinggir jalan, aku melihat kehidupan. Cahaya terakhir yang menandai hari itu berlalu, tak dihiraukan orang-orang, padahal matahari terlihat lebih oranye hari itu, dan langit lebih ungu. tetapi wajah penumpang lusuh. Suara kendaraan lalu lalang begitu berisik. Kenek bis kota yang lusuh. Semua tampak lusuh. Jalanan itu, berikut kendaraan yang berdesakan, orang-orang menggumam, kelelahan akan perasaan sendiri.





Princess on the steeple and all the pretty people
They’re drinkin’, thinkin’ that they got it made
Exchanging all kinds of precious gifts and things
But you’d better lift your diamond ring, you’d better pawn it babe
You used to be so amused
At Napoleon in rags and the language that he used
Go to him now, he calls you, you can’t refuse
When you got nothing, you got nothing to lose
You’re invisible now, you got no secrets to conceal
“Vindue...” Dia berkata lirih, duduk di kursi rotan menghadap jendela.
itu adalah hari ketika kecanggungan belum punya arti. suatu dulu.
 “Apa?”
“Vindue...seperti menuliskan sendu.” Dia menatap keluar jendela, di koridor luar anak-anak berlari-lari, belajar membuat layang-layang.
“Menurutmu, mengapa aku sering merasa diriku keropos?”
Aku belum sempat berpikir untuk menjawab ketika dia menggumam, “Kita dibatasi jendela. Bukankah begitu? Dari dalam.” Dia menengok ke arahku kemudian menunjuk dirinya sendiri.
“Apa yang ada di luar?”
Pertanyaannya menggema selama berhari-hari.
Ada semesta.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar