Kamis, 26 April 2012

sorrow




Aku telah terbangun. Inderaku mulai terjaga. Tapi aku menunggumu di atas tempat tidur. Samar-samar telingaku menangkap suara dengung air di ketel yang menggelegak mendidih. Lalu dengung itu berhenti setelah beberapa menit dan aku tahu kau sedang menuangkan air mendidih ke dalam termos. Kudengar air kran mengucur dari kamar mandi dan seret langkahmu menuju kamarku. Kau akan membuka pintu dan mataku terpejam. Padahal aku deg-degan menunggu datangmu. Lalu kau sibakkan gorden dan merapikannya ke sisi kiri. Kau buka jendela agar udara pagi memenuhi kamarku dan sinar mentari berkunjung mengucapkan selamat pagi yang hangat, menerobos masuk ke dalam membentuk garis panjang.
Aku menunggu dalam diam dan senang, tak sabar. Kudengar langkahmu satu-satu menujuku. Mematikan lampu di sebelah kasurku sambil membungkuk. Aku dapat mendengar deru nafasmu dan udara hangat itu menggelitiki liang telingaku. Lalu pelahan kau kecup keningku dan membisikkan selamat pagi yang menentramkan hati.
Aku masih pura-pura terpejam dan kau akan mengecupku sekali lagi sambil menyelipkan rambutku yang bertebaran di wajah ke belakang telinga. Aku masih pura-pura terpejam dan kau akan menepuk pantatku dengan sayang. Dan aku menggeliat pura-pura mengantuk padahal aku sudah terjaga sejak tadi. Lalu kau tersenyum dan mengelus pipiku yang halus lembab dengan jemarimu yang kasar menebal akibat mengurus rumah dan menjadi seorang ibu. Sudah pagi ya, aku masih mengantuk, bisikku sambil menyipitkan mata. 
Setelah itu kau memintaku segera mandi dan pergi sekolah. Kau menggamit lenganku dan dengan manja kutautkan jemariku pada jemarimu. Kau akan menggiringku ke kamar mandi dan aku bernyanyi sebab bahagia. Lalu kukenakan seragam serta sepatu dan menyandang tas. Duduk di meja dapur sambil sarapan nasi uduk bersamamu.
Kau tertawa, jangan cepat-cepat makannya nanti tersedak, begitu ucapmu. Lalu kulihat kau menyeruput teh hangat dan menanyakan PR ku. Mengingatkanku akan tugas Bu Guru. Lalu aku akan mengangguk semangat sambil berujar semua sudah beres. Kau tersenyum.
Sarapan telah habis dan dapur terang oleh cahaya pagi. Kau antarkan aku ke teras. Mengecup keningku dan memanjatkan doa singkat agar malaikat menjagaku dari mara bahaya. Jangan lupa nanti pulang sekolah mampir ke rumah Tante Maria, kamu harus buat dia tertawa ya hari ini, hibur tante yang bersedih. Ku berlari riang keluar pagar dan kau lambaikan tangan. Mengamatiku berjalan hingga ujung gang.

*****

Aku selalu suka bangun pagi dan menemukanmu mama. Melihatmu dengan daster yang lusuh. Aku telah menambalnya kemarin dulu. Kutisik dengan hati-hati supaya kembali betul daster itu. Aku selalu ingin membelikanmu benda-benda yang indah. Aku belum bisa, aku belum bekerja, tapi nanti pasti kau akan kubelikan apa saja, segera setelah aku selesai sekolah dan mampu menghasilkan uang sendiri.
Mama, aku mencintaimu sepanjang waktu. Aku bersyukur setiap pagi masih bisa melihat wajahmu yang begitu tenang dan teduh. Kau tak pernah tahu mama bahwa terkadang tidurku tak nyenyak. Aku menyimpannya sendirian, karena aku tak mau menambahkan duka dan susahmu. Aku menanggungnya sendirian, meskipun kadang-kadang hal itu justru membikin aku tambah sedih. Mama kau tak pernah tahu rasanya bahagia karena dicintai, aku bersyukur karena engkau mencintaiku dengan tulus, rasanya menyenangkan tahu dicintai, rasanya menyenangkan tahu ada seseorang merindukan kita, rasanya menyenangkan, meski sebagian hidup kita jalani dengan pedih.
Aku sering terjaga mama. Berulang kali terjaga ketika dunia terlelap dan beristirahat. Tubuh kecilku tiba-tiba menggigil, mengeluarkan keringat dingin dari pori-pori dan nafasku tercekat. Seperti ada bola pingpong tersangkut pada tenggorokan dan aku megap-megap. Setelah nafasku kembali, kusibakkan selimut lalu terduduk pada bibir kasur. Termenung seorang diri. Dan tahu-tahu aku sudah menuju jendela dengan degup jantung satu-satu. Kuseret langkah dengan berat. Ubin putih dingin membuat jari kakiku kesemutan tapi aku terus melangkah dan betisku kram. Telah tiba aku di tepi jendela, menyibakkan gorden dan mengintip keluar selama berjam-jam. Berharap papa akan pulang dan aku adalah orang pertama yang akan mendengar derit pintu pagar membuka. Bertahun-tahun ku menunggu sampai akhirnya aku sadar untuk melupakannya…….
Tapi tak pernah bisa….
Aku selalu bermimpi buruk mama. Di gudang ada monster yang marah dengan taring-taring panjang meneteskan darah, dengan cakar-cakar runcing yang menghitam. Ada bekas codet pada bibirnya yang lebar. Ia tersenyum lebih serupa seringai yang menakutkan sebab gigi-giginya kuning menghitam. Peluhnya bercucuran dari dahinya yang lebar tetapi bolong di tengah, diantara ke dua mata yang mencelat keluar. Memperlihatkan rongga yang bernanah dan menyiarkan bau amis busuk. Wajahnya merah mengerikan. Bopeng-bopeng mengisi seluruh permukaan kulitnya yang merah mengkilat. Telinganya digunting runcing. Pada daun telinganya mengkilat minyak lemak. Rambutnya gimbal hitam, keriting kusut dan membentuk bulatan-bulatan besar di kepalanya yang juga besar. Pakaiannya rombeng kebesaran dan berbau busuk bangkai. Dengan hidungnya yang besar, ia mengendus aku disertai seringai dan tawanya nyaring. Bau busuk melayang di udara. Ia serupa raksasa. Lidahnya yang kasar berterutul dan berlendir menjilat-jilat udara. Mendekatiku, dadanya yang terbuka dan berbulu hampir menempel pada tubuhku. Aku jadi menggigil, panik dan tak bisa lebih takut lagi.
Aku teringat untuk berdoa Salam Maria tapi tak bisa, lidahku kelu. Aku mencoba doa Bapa Kami tak jua bisa, hatiku telah membatu. Berdoalah! Ayo berdoalah! Doa apa saja. Ia makin dekat. Makin dekat. Dan aku takut. Sepertinya doa tak mempan untuk mengusirnya pergi. Maka aku bermimpi. Monster itu tidak benar-benar jahat. Aku lalu mengontrolnya dalam benakku.
Ia mendekatiku. Busiknya terlihat jelas dan ia marah. Telapak tanganku berkeringat sementara ia mulai memperhatikanku dengan cermat. Aku harus bisa mengontrolnya dalam pikiranku. Harus! Harus bisa! Tapi aku ngeri seandainya ia menghunjam tubuhku dengan cakarnya yang runcing dan menyayat dagingku dengan taringnya yang tajam. Lagipula ia marah.Tapi tiba-tiba ia duduk di sampingku, mengajak bersalaman dan menggenggam tanganku erat. Ia menciut. Badannya jadi bersih dan wangi, pakaiannya pun rapi. Ia tersenyum lebar, senyum yang ramah, senyum persahabatan. Aku tak jadi takut. Aku membalas senyumnya.
Seketika ia berubah lagi menjadi monster, tapi aku tak lari, diam di tempat. Sementara ia terkulai lesu. Ternyata ia sepertiku juga, merana. Ia ingin menjadi manusia tetapi takdir memintanya untuk tetap menjadi monster guna menakuti-nakuti anak kecil dan orang besar yang pengecut. Kami berbagi cerita, berbagi duka. Ia ingin menjadi manusia. Aku manusia tapi tak ingin menjadi manusia. Ia tak menggubrisku, teguh pada keinginannnya. Lalu ia merebahkan diri, melingkar, bergelung di dekat kakiku. Seperti kucing yang minta dimanja dengan belaian majikannya. Ia menangis. Kukira monster tak bisa menangis sebab ia membuat orang lain menangis, ujarku.
Ia sesenggukkan. Aku menangis sebab ingin menjadi manusia. Mengapa? Sahutku. Sebab aku tak perlu lagi menakut-nakuti orang lain, menakutimu. Aku ingin menjadi manusia. Aku tak ingin menjadi monster yang ditakuti, dibenci, diusir, dilecehkan, dan tidak diharapkan kehadirannya. Lebih enak menjadi manusia. Aku seperti ditampar, seakan ia sedang menyindirku yang memang tak pernah diharapkan keberadaannya. Aku tertawa sinis. Aku bukan monster tapi aku sepertimu, percayalah! Menjadi manusia tidak semenarik dugaanmu.
Ia langsung bangun dan menatapku lekat-lekat. Aku jadi merinding. Tatapan matanya membuatku lemas. Aku kumpulkan keberanian yang tersisa, lalu hati-hati berbicara. Menjadi manusia itu sulit, ujarku. Ia tersenyum getir seperti ingin berujar, benarkah? Aku menggangguk, memberi jawaban dari pertanyaan yang tak ia sebutkan. Ia terdiam. Ya sudah kalau begitu, ini khayalanku, ujarnya tiba-tiba. Airmata masih bertengger di pelupuk matanya. Aku ingin mengejeknya karena ia menangis, tapi tidak jadi. Aku tak tega.
Monster pun boleh menangis, apalagi manusia.
Ia berdiri. Kalau begitu, mari kita bermain, ajaknya dengan senyum yang menenangkan hati meskipun pada sudut bibirnya terdapat sayatan yang menganga. Ia baik, ia tidak jahat.
Yang jahat papa dan kakek.
Tapi kemudian, sebelum aku sempat mengangguk menyatakan bersedia bermain dengannya, ia menghilang. Pecah menjadi kepulan asap.
Gudang berdebu. Aku terduduk di antara tumpukan kardus barang pecah belah yang berdebu, kardus majalah dan koran lama yang sudah menguning pada bagian tepinya disertai bau kencing dan taik tikus, juga kecoak. Ada cermin buram di situ. Kudekati, ternyata hanya sebelah. Pecahannya berhamburan di lantai melukai telapak kakiku.
Kulihat wajahku di sana. Pantulannya mengabur. Aku jadi ngeri sebab wajahku berantakan, tak utuh. Ingin kusangkal itu bukan aku, namun itu diriku. Aku ingin pergi. Tapi seperti terpaku, memaksaku memandangi diriku yang kubenci.
             Monster pun boleh menangis, maka aku menangis.           



Mama, Wuli sayang mama.
Hari ini aku mengunjungi makammu. Kau berpulang mama, duapuluh hari lalu. Dan aku tak tahu mengapa semua ini begitu cepat terjadi, begitu mendadak dan aku belum siap. Aku hanya terkejut ketika tahu kau sudah tiada. Tak sanggup ku berkata. Tak tahu harus melakukan apa, harus bagaimana. Aku hanya diam, bingung. Belum sempat daftar universitas.
Tidak ada siapapun yang dapat kumintai tolong. Hanya tersisa Rein Tobing yang seminggu lagi akan berangkat ke Bandung untuk Ospek, masa perkuliahan baru. Ternyata mama pergi dan Rein Tobing lebih sedih ketimbang aku, sebelum ku mengetahui rahasiamu, mengetahui sedihmu.
Rein Tobing membantuku mengurus semuanya, ia tidak tega melihatku tidak mengerti apa yang harus ku kerjakan. Aku tidak tahu bagaimana harus membalas budinya, uang untuk masuk kuliah sudah habis untuk membayar segala keperluan penguburan, peti, misa, pastor dan bingkisan untuk tetamu.
             Papa tidak datang. Bude Har sudah kutelepon dan ia berkata papa belum akan kembali. Ke mana? Tanyaku. Mendaki. Apakah masih kuat. Tak ada jawaban. Ada berita penting, lanjutku, papa harus tahu. Tampaknya ia sudah tak peduli, kata Bude. Dan aku luar biasa sedih, ingin rasanya memaki, tapi pasti tak berguna. Kapan papa pulang. Tak usah kau tanyakan, tak tentu. Aku sudah jengkel. Tak usah kau tunggu, sampaikan saja pesanmu padaku.  Apakah tak ada nomer handphone, biar ku beritahu sendiri. Ia tak punya. Ya sudah Bude, maafkan telah mengganggu tidurmu. Katakan saja, istrinya baru saja dipanggil Tuhan. Baiklah. Klik. Ia tidak mengucapkan bela sungkawa.
Dendam masa kecilku datang kembali mama. Hari itu, Rabu tigabelas November duaribusatu siang hari kira-kira pukul tiga aku menjerit sekuat tenaga dan menangis sangat keras. Mungkin lebih keras dibanding saat pertama kali aku melihat cahaya dan lahir ke dunia.
Aku mengikutinya hingga ia masuk taksi biru menuju lebak bulus. Namun ia tak berkata sepatah kata pun lagi, menengok pun tidak. Tanpa alas kaki aku berlari mengejarnya.
tolonglah….jangan pergi….kumohon….. maafkan aku……..aku tak kan nakal lagi….aku berjanji….aku tak kan merepotkanmu lagi…. Aku akan menjadi anak yang baik, yang rajin, yang patuh, tapi tolonglah….jangan tinggalkanku…..papa... tolong janganlah pergi... jangan pergi sebab aku sudah sepi.
Aku menyanyi keras-keras setelah berhasil menguasai diriku. Berusaha menganggap peristiwa ini hanya mimpi buruk. Kembali ke rumah, telapak kakiku beset bergesekkan dengan aspal. Ada darah menitik tapi tidak sakit, sebab hatiku lebih sakit, jauh lebih sakit. Aku tak menangis lagi. Tapi airmata ini masih terus mengalir.
 Dan aku membencinya.                                                                 
Lalu kuobrak-abrik lemariku Mama, mencari alamat mas Wisnu.  Tidak ada alamat. Hanya secuil kecil kertas bertuliskan hugo_polo@yahoo.com alamat e-mail mas Wisnu yang tersimpan dibelakang foto di dalam dompetku. Kuberikan berita duka ini. Ternyata tak ada tanggapan. Entah salah kirim ke orang lain atau terkirim dan mas Wisnu tak peduli. Aku sudah berusaha menghubungi asramanya. Kyoto begitu jauh mama, bagaimana aku dapat menghubunginya.
            Saat itu aku menangis sebab ternyata mama lebih terluka, lebih kesepian dan terbiasa diabaikan. Dan aku sempat takut hal itu akan menimpaku.

 *****

Mama sedang apa? Apa mama kesepian? Sunyi sekali mama. Aku ingin dengar suaramu mama. jawab aku mama…..
Mama…..disana dingin ya? Aku temani ya…..biar mama tidak sendiri…. aku selimuti mama ya…..biar mama tetap hangat. Bangunlah, mengangguklah….. beri aku jawaban mama…..jangan jadi bisu…..sunyi sekali…..aku ingin dengar suaramu mama. Ayo…jawablah. mama….tolong…..marahi aku….biar aku dengar suaramu….mama nakal ya…..mempermainkan aku….ayo dong jawab…..masak tidak bisa….mama….ayo jawab……
Lalu aku bermimpi. Lagi.
Hari itu hujan. Kita duduk di teras memandangi hujan jatuh dari atap rumah. Tiga jam sebelumnya kita panen bayem raja dan kau memasaknya dengan keprekan bawang putih dan minyak wijen. Dulu aku yang mengumpulkan biji-biji bayam di sepanjang jalanan komplek dan menanamnya di pekarangan kita sendiri. Dulu kita mengeringkan biji cabe rawit merah besar. Kau mengajari aku menyemai tanaman, memindahkannya ke pot besar. Kau mengajari aku berkebun di pekarangan kita yang sempit. Kita punya kebun dapur untuk membantu kita mencukupi kebutuhan makan kita sehari-hari yang sederhana. Dan hari itu hujan datang. Kita terus memandangi hujan jatuh dari langit. Kau memelukku, mencium rambutku. Lalu kita masing-masing larut dalam bacaan kita masing-masing. Kita dengan serial Laura Ingalls Wilder.
            Aku tak tahu bagaimana besok pagi. Bangun tidur sendirian. Tanpa dirimu. Hari ini aku betul-betul tak tahu.              


PS : ini adalah fragment novel Nyanyian Kembang Kapas yang saya tulis di kelas 2 SMA, kira-kira usia saya menjelang 17. 
saya ingat masa-masa itu menenggelamkan diri dan hanyut pada buku-buku. saya juga teringat menuis cerpen-cerpen yang kemudian saya kumpulkan, saya revisi di sana sini sehingga menjadi satu bundel novel yang saya beri judul Nyanyian Kembang Kapas.
 satu dekade telah betul-betul berlalu.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar