Selasa, 24 April 2012

namanya mungkin indah




Namanya mungkin Indah. Tapi aku dan kawan-kawan sekampung terlanjur memanggilnya Sindah, barangkali dari si Indah. 

Bagiku ia tak terlalu indah. Bukan karena aku memang pernah bermusuhan dengannya semasa kecil. Tapi kulitnya yang coklat kopi dan rambutnya yang tipis bulu jagung tidak membuatku iri.

Sampai sekarang ia menoleh jika dipanggil Sindah. Anaknya satu. Suaminya entah di mana. Sudah pergi sebelum bayinya lahir, menurut kabar angin yang berkembang di sekitaran perumahan kampung.

di kampungku terdapat kebun buah yang tak terurus milik bang Zen yang diisukan paedophil, rumah-rumah agak mewah di daerah lebih ke depan, tadinya itu adalah tanah keluarga bang Sanawi yang dijual guna keperluan pernikahan anak-anak mereka, rumah yang lebih sederhana di tengah, dan di belakang di dekat kali ada 4 los kontrakan, serta rumah-rumah petak dengan sumur di luar yang dipakai bersama-sama. Sindah tinggal di sana.

Bude warti, rewang keluarga kami senang bergosip. Ia senang mengintip los-los kontrakan sepulangnya dari bekerja. Kami memang masih bertetangga, ia juga tinggal di salah satu los rumah petak kontrak. Jadwal kerjanya dari pukul tujuh pagi hingga empat sore dan ia mendapatkan jatah libur di hari minggu. Bude warti senang berlama-lama di rumah kami. Ia suka mengambil tanpa izin bumbu-bumbu dapur, atau minyak goreng, sabun dan detergen, juga kertas dan pena. Papa tidak pernah menegur meski upahnya bekerja jauh lebih baik ketimbang rewang-rewang yang bekerja di rumah-rumah tetangga. Masalahnya kami punya anjing, dan hanya bude warti yang mau bekerja di sini.

Tadi pagi bude warti datang dalam gundah. Ia mengatup mulut rapat-rapat. Dan baru bersuara ketika mama berangkat ke toko menyusul papa pada pukul sembilan pagi.

”Sindah itu memang menderita sekali hidupnya. Waktu mantenan saja suaminya malah mandi berdua sama mbak pepe jangkung. Si Mami mergokin mereka telanjang di kamar mandi umum. Belom ada dua hari nikah udah ditinggal minggat. Kemarin lahiran. Ibunya sibuk cari utangan. Saya sih kasihan tapi sudah gak percaya untuk pinjemin duit. Sama-sama orang susah. Bukannya nyicil bayar utang malah sering ngelupain punya utang.”

”Dijadiin sinetron atau buku bagus Mars.” katanya mengakhiri pembicaraan sambil senyum menyindir kepadaku yang membenci sinetron dan belum juga berhasil menerbitkan buku.

”Siapa namanya bude?”

”Siapa?”  Ia berhenti memeras kain pel.

”Anaknya Sindah.”

”Lupa saya. Namanya terlalu bagus untuk orang miskin macam dia.”

Pikiran ku langsung beralih ke Rus, seorang penjual pangsit di SD tempat dulu aku bersekolah. Ketika lulus SMP, aku dan Dimas kawan sekolahku, soan ke rumahnya dan berkenalan dengan si kecil Luis Alfredo berwajah jawa. Memang apa salahnya memiliki nama yang bagus? Yang penting kan akhlaknya juga bagus. Aku kembali mengamati bude warti, kini sedang memasukkan baju-baju yang sudah di setrika.

Aku memandang punggungnya dan terbersit pertanyaan di hati,  siapa yang berhak menentukan seseorang miskin atau kaya hanya dari namanya? Memangnya kenapa kalau nama bagus dan berbau luar negeri disandang oleh orang miskin? Aku terganggu sekali dengan kata-kata miskin itu. Darimana sih bisa ditentukan sebuah nama itu bagus dan tidak. Kabul dan Andreas, sama-sama bagus kok. Sama halnya dengan Tatiana. Mau dipanggil Tati atau Ana, derajat manusia-nya kan sama saja. Manusia.

”Cepet mandi, gak sekolah apa? Sekarang Jakarta macet di mana-mana. Mau siang juga, tetap macet. Kamu naik busway saja Mars. Biar berdiri, tapi lebih cepat sampai sekolah.” tegurnya karena aku tak kunjung juga bergerak.

”Isabella Nadine Amalia.”

”Nadine Chandrawinata kali, putri Indonesia.”

”Ih bukan.”

”Siapa?”

”Nama anak Sindah.”

Aku diam.

”Gak cocok.”

”Apanya?”

”Ya nama anaknya, apalagi?”

”Sudahlah bude, biarkan saja.”

Bude warti uring-uringan sendiri. Samar-samar suaranya terdengar di antara desis lele goreng. ”Tunggu lima menit lagi, sudah bisa kamu makan sayur asem dan lele ini. Jangan lupa makan sebelum berangkat sekolah.”
”Eh ini bocah, disuruh mandi masih muter-muter.. kamu ini tho ya gak mau dengarkan nasihat orang yang lebih tua. Kamu gak boleh seperti Sindah lo Mars! Itu kenapa papa gak izinkan kamu pacaran kan. Kamu cantik. Harus bisa jaga diri. Jangan mau dipegang-pegang laki-laki. Kalau pacar kamu nanti sayang sama kamu, pasti dia jagain kamu. Jangan mau dibodohi-bodohi, jangan jadi murahan. Kalau ciuman pikir-pikir dulu deh. Anak SMA kok cium-ciuman.”

”Sindah memang kelewatan. Sudah orangtuanya pengangguran, sekolah gak tamat, bunting di luar nikah, nyusahin tetangga aja.” omelnya.

”Kenapa bude warti yang repot?”

”Ya iya tho....nanti ada apa-apa ngutang, nyusahin tetangga. Sudah berapa juta uangku dipinjam mamaknya. Mau ditagih ya gimana...tapi ya kasihan.. serba salah lah. Padahal aku butuh uangnya. kalau aku perlu hari ini dan mereka gak bisa bayar, gimana...serba susah kan.

”Ya gak usah dipinjemin kalau memang gak ada uang.” sahutku.

”Bentar lagi jadi pelacur seperti kakaknya. Lingkungan kita memang sudah berubah. Anak-anak sebaya kamu sudah jadi pepe semua.”

Aku terdiam. Akulah yang memprakarsai julukan pepe alias pelacur. Awalnya hanya iseng semata, tapi lama-lama aku merasa sangat bersalah. Pepe. Perempuan Pelacur. Aku benci pernah memprakarsai julukan ini. Awalnya hanya bisik-bisik untuk memberitahu temanku laki-laki yang digoda mereka ketika hendak berkunjung ke rumahku. Karena aku khawatir temanku laki-laki akan jatuh hati pada mereka. Aku lugu dan tak pikir panjang. Aku tak sempat menyadari, pilihan kataku melukai mereka, entah mereka pernah dengar atau tidak. Aku tetap merasa berdosa.

Kosakata ini digunakan bude warti terus menerus. Ia menambahkan embel-embel bentuk fisik untuk memudahkan pepe mana yang sedang ia bicarakan. Mungkin ia cemburu sebab mbak-mbak pepe tetanggaku itu dapat mengisi rumah kontrakan mereka dengan perabot lengkap dan alat elektronik masa kini.

Isabella Nadine Amalia. Nama itu menetap dalam memori seperti harum parfum palsu yang tak lepas pergi. Meninggalkan pilu yang dibalut kebanggaan. Keindahan yang tersisa untuk Sindah.

Aku teringat Sindah. Kenangan yang paling kuingat mengenai dia adalah ketika kami berusia tiga tahun. Awal permusuhan anak kecil. Aku berkelahi dengannya. Kebetulan waktu itu aku menang dan membuat pelipisnya bocor karena berhasil menancapkan besi ujung payung ke dahinya. Jahat memang aku.

Aku tak rela kalah karena merasa lebih kuat dan jauh lebih berada sehingga berhak menindasnya. Kukira waktu itu kesombongan ku karena terlalu dilindungi dan dimanja oleh pengasuh.

Sindah pulang ke rumah berdarah-darah dan aku ke warung terdekat membeli jajanan yang sudah dilarang baik oleh mama dan Suster Tiek, pengasuh ku itu. Tiba-tiba ada yang mencolek punggung ku dengan kasar. Ayah Sindah melangkah dengan wajah ganas dan mengamuk luar biasa sambil meneriakkan kata-kata kasar dan tak sopan mengenai keluargaku yang kebetulan jauh lebih berada darinya.

Sebagai anak kecil pada waktu itu aku luar biasa tersinggung karena ucapan ayah Sindah. Sebelum lari terbirit-birit pulang aku lempar dia dengan jajanan yang sudah terlanjur terbeli, tepat mengenai wajahnya. Aku menangis geru-geru sambil berlari, sakit hati akan penghinaan tanpa menyadari sudah menghina orang lain.

Aku yakin luka Sindah tak seberapa parah. Tapi malamnya aku ingat dimarahi habis-habisan oleh mama dan papa setelah lebih dulu dimarahi dan dicuekin Suster Tiek, abang pun ikut-ikutan mendiamkan aku. Hari itu Suster Tiek memberikan uang empatpuluh ribu rupiah untuk uang damai dan berobat ke Puskesmas. Untuk ukuran uang waktu itu cukup banyak sebab aku ingat bisa membeli sepiring rujak bebek dengan sekeping logam limapuluh perak.

Sejak hari itu, Suster Tiek lebih ketat menjaga ku dan aku terlanjur malas bermain dengan anak-anak kampung yang bau dan liar karena sudah mengenal teman-teman sekolah yang lebih bersih dan beradab, meskipun pada kenyataannya aku terpaksa mengakui bahwa aku tetap anak kampung.  Justru aku yang ingin memisahkan diri dari mereka.

Kini Suster Tiek sudah tidak menjagaku.

Lingkungan tempat aku tinggal berubah pesat. Tetangga baru tinggal dan pergi silih berganti tanpa menyempatkan waktu memperkenalkan diri. Teman kampungku makin tergusur dan pindah ke rumah-rumah kontrakan yang makin kumuh dan sempit.

Ruang-ruang lusuh sisa keakraban semasa kecil masih meninggalkan jejak di tengah padatnya pemukiman yang makin mentereng dan ngejreng.

Aku berangkat sekolah pukul sebelas siang. Rumahku terletak di ujung gang. Aku harus berjalan agak jauh untuk keluar perumahan dan menunggu angkutan umum. siang ini mentari terik. keluar pagar rumah aku berpapasan dengan beberapa orang tetangga, mereka kasir dan penjaga toko. mereka tidak membalas senyumku, telinganya tersumpal earphone murahan. hari itu aku sengaja tidak naik ojek yang biasa mengantarkan aku ke ujung jalan untuk melanjutkan perjalanan dengan bus kota. lamat-lamat aku berjalan di belakang mereka, sebuah gang dengan nama seorang haji, menyusuri jalan bocel, dan lagu the bagindas terdengar dari kemrosok earphone.

aku berjalan tanpa bercakap-cakap, memperhatikan betis bekas terpanggang knalpot. pupur yang luntur pada wajah.

kami seharusnya sebaya, aku sekolah dan mereka bekerja. jam-jam untuk mencari upah dan bukan sekolah. tidak mudah, tidak mudah.

aku ingat wajah tapi lupa nama. mereka adalah orang-orang dari masa laluku, kami yang bekejaran bermain petak umpet, meneriakkan Inglo, bekejaran bermain benteng dan segala permainan masa kecil.
 lamat-lamat aku berjalan di belakang mereka. Sepanjang jalan aku mengamati daerah tempat dulu ku berlari-lari dan bermain-main.

Aku merasa bersalah karena selama ini tidak terhubung dengan Sindah dan kawan-kawan lain karena terlalu disibukkan dengan PR, ekskul, dan kursus.

aku seperti mendengar dengung mantra, ada suara hati lepas terdengar di telingaku, tapi itu bukan milikku.

selalu ada kesempatan untuk berdoa di tengah perjalanan yang tak terusik mengenai sebuah mimpi. jadikanlah hari ini sederhana, aku tak pernah meminta lebih, kecuali sebuah harapan tegang, yang bertahun-tahun kupegang, bahwa besok, yah besok, besok akan agak lebih baik.

Aku kembali teringat Sindah. Membayangkan rumahnya, anaknya, hidupnya : sejumput angan-angan dengan lagu-lagu dewi persik.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar