Selasa, 24 April 2012

di depan rumah tante boers



 
ini pagi, kata suri. dan ia bergegas mencuci piring di kamar mandi umum dengan sumur berlumut dan lantai semen licin bekas air cucian detergen yang tak disiram bersih-bersih. di belakangnya ada wc dengan pintu terbelah. ruangan gelap, lembab dan jorok. sampah plastik ditepian dibiarkan menumpuk. ada bau karat menggantung di udara. juga bau asam. seluruh penghuni kontrakan bang adjis mandi, mencuci dan buang hajat di sini, empatpuluh orang kira-kira banyaknya.

ini pagi, kata suri. dia tak pernah merasa yakin akan pagi. dia tak pernah merasa yakin. ada batu besar menindih hatinya. buntu.

samat berak sambil bernyanyi-nyanyi, suaranya serak, ia tentu boleh bahagia hari ini. suri berjongkok dan mulai mencuci piring dengan sabut dari plastik bekas pembungkus sabun colek.

marni datang dengan seember baju kotor. ia meletakkan dingklik yang dibawanya kemudian menurunkan penggilesan di sebelah sumur. penggilesan itu telah menjadi lapuk, serpih-serpih kayunya rontok dan gogrok. marni menimba air dan menuangnya diatas ember berisi baju kotor. ia duduk di sebelah suri. mereka tak bercakap-cakap.

marni bersungut-sungut. orang itu setiap hari selalu bersungut-sungut. suri juga bersungut-sungut di dalam hati hampir setiap kali dia ingat, meski kadang ia menitipkan doa, meski kadang ia tak yakin sedang berbicara dengan siapa, toh ia berdoa, meski ia tak yakin untuk percaya sempurna.
suara samat makin terdengar lantang.

“makan apaan lo mat, berak lo bau bangkai banget!!” marni berteriak ketika suri bergegas mengangkat 
piring bersih menuju los kontrakan tak jauh dari situ.

“malah kagak makan dua hari gw mpok..ini berak aja dah gak ada yang keluar.” samat menyahut dari dalam dengan tertawa-tawa.

“boonk lo..bangkai banget ini.” marni masih berteriak.

“curut kali mpok..mati di balik sumur. ntar dah saya cek. beneran saya gak berak-berak dari tadi. perut saya aja perih banget ini dua hari minum aer doank. anak saya mencret pasti nanti. tiap hari saya jatah nasi dua bungkus buat seharian, dimakan malem udah kecut.”

“beli di mana lo nasi bungkus?” marni masih berteriak.

“dapet kemaren mpok di jalan. saya simpen buat makan yuli sama irfan.”

“bini lo gak balik-balik lagi?” marni masih berteriak.

suri datang dengan dua ember pakaian kotor. ia menimba air dan menuangkannya di atas ember. ia menaburkan setengah sachet detergen di setiap ember, merendam pakaian dan pergi keluar tempat itu.

“kagak mpok. biarin aja dah. udah bingung nyariin. ngabis-ngabisin duit.”

“kawin sama orang kali yakk.” marni masih berteriak.

“biarin aja dah. udah pusing saya.”

samat keluar wc dan bergegas ke belakang sumur. ia menyapu dan menimba air. “kagak ada curutnya. di luar kali ini mah bangkenya. ntar dah saya cari sebelum kerja.”

“kerja apaan sekarang lo mat?” marni sudah tak berteriak.

hesti mengekor suri. merengek minta uang sekolah, “mah..limabelasribu lagi mah. gak cukup itu uang segini..mahh..tega bener dah.” anak itu merengek-rengek makin kencang, tangannya memegang ujung blouse suri. suri membalik badan kemudian menampar anak itu dengan keras, “sekolah sono!!” kemudian mengambil dingklik dan mulai mencuci pakaian kotor dengan penggilesan lapuk miliknya sendiri.

“apaan aja dah mpok gw kerjain. sekarang di gudang.”

“itu si sadin gimana kabarnya mat. lo yang nganterin bininya mondar-mandir kan. jangan sampai ketahuan buntingnya sama elu mat.” marni terkekeh kegirangan.

“astagfirulloh mpok.. kasar banget mulut lu! saya gak perlu nerangin kayak gitu. niat saya baek nganterin dia ngurus surat miskin. titik. kena kuwalat besok mpok..minta ampun sana sama allah.” samat ngeloyor pergi.

suri tahu kejadian darsih dan samat. darsih dan sadin adalah tetangga di los kontrakan bang adjis. hidup mereka agak lebih layak ketimbang penghuni kontrakan yang lain. tiga minggu lalu seperti biasa sadin mengantar darsih ke pasar, mereka adalah penjual lontong sayur keliling.

pagi masih buta. sepeda sadin ditabrak motor. pengendaranya dua bocah smp kawan sekolah hesti, mereka miskin dan kepingin gagah-gagahan bisa membawa motor. motor itu ringsek. sadin dan darsih patah tulang dan kaki. keadaan sadin parah. mereka tak bisa menuntut si penabrak. anak itu berasal dari keluarga miskin, belum punya sim, dan motor yang digunakan adalah motor pinjaman.

 si pemilik motor meminta ganti rugi. keluarga bocah itu kebingungan, mereka tak dapat mengganti motor yang ringsek. mereka tak punya uang untuk mengganti ongkos berobat sadin dan darsih, mereka tak punya biaya untuk mengobati anak mereka yang celaka. orang ramai berbondong-bondong mendatangi kontrakan keluarga itu, limaratus meter dari kontrakan bang adjis. si bapak, orangtua anak celaka itu berkata dengan nada lirih dan sedih : kalau mau tangkap, tangkap saja, bawa ke kantor polisi, kemudian menyilakan orang-orang itu masuk ke kontrakan. anak celaka itu terkapar di lantai, mengaduh dan semegrak bacin memenuhi ruangan. keluarga itu mengobati anak mereka ala kadarnya. mereka telah menjadi terhukum ketika pelan-pelan luka di kaki menjadi infeksi dan bernanah. anak itu telah diberitahu suatu hari kakinya akan diamputasi. anak itu mengidolakan messi dan membenci bachdim, sebab bachdim tampan dan beruntung. barangkali ia membenci bachdim karena dua bulan lagi kaki itu betul-betul akan diamputasi. mereka masih mempertahankan kaki busuk itu.

 orang-orang itu pulang, membawa geram dan pedih. si pemilik motor mencengkram leher baju si bapak dan menghempaskannya ke pintu hingga jebol. kemudian pergi.

keadaan itu pilu dan membikin sesak. suri tahu rasanya jadi kawan sekolah hesti.

suri tahu rasanya jadi sadin dan darsih. tabungan mereka terbatas. tak bekerja berarti tak mendapat uang. sementara sadin harus ada yang mengurus, mengantar berobat bolak-balik. mereka tak punya anak, tapi di jakarta mereka juga tak punya kerabat. sadin ternyata harus dioperasi. ia menginap di rumah sakit. kata dokter sadin harus dipasang pen. harganya duapuluhjuta. ditambah biaya operasi,obat, fisioterapi dan rawat inap akan melebihi angka duapuluhjuta.

suri ikut sedih untuk musibah itu, ia hanya dapat membantu darsih seadanya, memandikan dia dan membantu mengurus tempat tinggal yang tak seberapa luas. sadin dibawa ke sukabumi untuk berobat alternatif tapi dia tak kunjung pulih. mau tak mau sadin harus tetap dioperasi sebab ia bisa jadi lumpuh. setelah darsih membaik samat menemani dia ke rt, kelurahan, dan kecamatan, berkali-kali untuk mengurus surat miskin. mereka datang delapan kali dan terus gagal. sampai akhirnya darsih kehilangan akal. ia mendatangi los kontrakan samat dan tertidur tiga hari di sana.

marni telah selesai mencuci baju. ia pergi meninggalkan suri. seperti robot suri mencelupkan tangan ke ember, mengambil sehelai pakaian, mengucek dengan tangan kemudian menyikatnya. dia selalu menumpuk pakaian sampai seminggu sebab hanya satu sachet deterjen seharga seribu yang mampu ia beli untuk keperluan bersih-bersih. ia mendatangi rumah tante boers kemarin dulu, meminta sisa-sisa sabun mandi. ia mengumpulkan sabun-sabun itu, merajangnya kecil-kecil kemudian ia rendam dalam sedikit air. ketika sudah lunak ia mencentak sabun itu dan menjemurnya.

tante boers mengiriminya koran-koran bekas seminggu lalu. suri telah menghitung-hitung uang yang bisa ia dapat. ia mengurungkan niat tersebut. ia menyuruh Gempur anaknya untuk mengguntingi koran-koran bekas itu. selama dua hari Gempur mengguntingi koran-koran seperti perintah suri. kemudian suri mengajarkan gempur membikin tongkat kayu dari koran-koran guntingan. ia mengambil segenggam suluran koran kemudian memelintirnya sampat padat. ia tekuk suluran pilin itu. ia menyatukan suluran-suluran pilin koran hingga mencapai ketebalan yang ia inginkan. dan jadilah batang-batang koran, padat seperti kayu. 30 halaman koran jadi 1 batang. satu koran ada sekitar enampuluhan halaman. tante boers mengirim seratus duapuluh tiga koran bekas. itu cukup untuk memasak. suri tak menggunakan gas, ia tak mampu membelinya. mas mudin yang mengajari dia membikin duplikasi batang kayu dari jerami limabelas tahun silam. ia tertawa dalam hati, keterampilan itu berguna saat ini.

gempur berusia sembilan tahun. ia tinggal kelas setahun lalu dan mogok sekolah. ibuguru menganiaya dia. suri sedih dan marah tapi tak bisa melakukan apa-apa. ibuguru menyetrap gempur tiap hari karena ia tak punya buku pelajaran. teman-teman yang lain membeli dari ibuguru. kata tante boers, harusnya buku itu diberikan gratis. suri tidak begitu mengerti. ia hanya tahu bahwa gempur tak mau sekolah lagi. ibu guru telah mempermalukan dia tiap hari, karena dia bodoh dan tak bisa membaca, karena dia tak punya buku, karena dia tak bisa membelinya dari ibu guru. kalau siang kerap kali ada pelajaran tambahan membaca, gempur dimasukkan kelas itu. tapi dia harus membayar setiap minggu. dan gempur tak boleh lagi masuk kelas tambahan karena ia tak bisa membayar untuk kelas itu. kemudian gempur tinggal kelas. dan ia tak mau lagi mengenakan seragam sekolah. setiap kali anak-anak tetangga bersiap sekolah, gempur sengaja tidur dan menutupi kupingnya dengan bantal. atau ia pergi sekali pagi-pagi ke pasar dan pulang di pukul delapan ketika ia yakin tetangganya sudah pergi sekolah semua.

 “sekolah sono!!” suri menghardik hesti. anak itu menangis dipojok gang buntu. seragam birunya lusuh. gempur mendatangi suri, “ini mah..” seraya mengangsurkan kresek hitam kemudian berlari. celananya robek, suri belum sempat menjahit koyakan itu, terlalu banyak tisik-tisik pernah berada di sana. suri membatin akan meminta daster bekas dari tante boers siang nanti, dia pasti tak keberatan, daster yang sudah dijadikan keset pun tak mengapa.

hesti menatap suri. “sekolah sono!” ia menghardik lagi. sebetulnya suri ingin memeluk anak itu, ingin mengecupi keningnya dan merapikan rambutnya yang tipis dan bau apek. ia ingin memeluk anak itu, menularkan tentram dan ketabahan. ia tak bisa. hesti mengambil tangan suri dan mengecupnya, 
“assalamualaikum mah.” seharusnya suri bisa merengkuh anak itu dan memeluknya. suaranya tercekat ketika mengucap waalaikum salam.

mentari pagi itu terik. suri menatap langit. ia berharap-harap cemas, ia tegang setiap kali melepaskan doa sebab ia tahu tanpa bisa menjelaskannya, harapan miliknya itu kadang tak punya sandaran. ia tak pernah merasa yakin, justru karena itu ia percaya betul bahwa tuhan itu ada. hening. ritual anak-anak tetangga berlarian menuju sekolah telah usai. ibu-ibu telah selesai berteriak-teriak. para bapak sebagian masih di los kontrakan, tepekur dan gontai. suri membuka kresek pemberian gempur, makanan untuk hari ini. suri melarangnya untuk mencuri. gempur tahu mencuri itu tak baik. ia ke pasar, mengumpulkan sayur yang tercecer di jalanan yang becek, hampir semuanya busuk, tapi masih bisa dimakan : bawang merah dan cabe-cabe rawit, sekantung kecil ebi, tiga terong ungu kisut, empat buah kentang berwarna hijau. suri membatin, aku masih punya terasi.

ia berjalan menuju lapangan, tempat orang-orang menjemur pakaian. ia menjemur pakaian yang tak seberapa. kebanyakan sudah penuh tambalan perca di sana sini. kemudian ia berjalan menuju rumah tante boers, memanggilnya berkali-kali. ia minta sepuluh belimbing wuluh. Tun pembantu keluarga itu mengambilkan duapuluh belimbing wuluh. pohon itu berbuah sarat, keluarga boers tak dapat menghabiskan buah itu sendirian. suri melongok-longok ke dalam, mencari keset dari bekas daster tante boers. ia memberanikan diri meminta, “kalau ada keset bekas, gw bagi ya tun.” suri tahu baju bekas keluarga tante boers diperuntukkan bagi keluarga Tun. “nanti gw cariin di belakang. tunggu sebentar.”

sambil menunggu suri membayangkan sisa terasi di los kontrakannya. ia akan membikin sayur asem dengan belimbing wuluh dan sedikit ebi dan duabuah terong. masih ada minyak jelantah. ia akan membikin balado seadanya dari sebuah terong dan dua buah kentang. itu akan cukup untuk makan hari ini. dua kentang lainnya untuk lauk besok.

dari jauh suri melihat hesti berjalan mendekati dia. sebetulnya suri tak mau mengkasari hesti, ia tak tahu jalan lain untuk mengatakan aku mencintaimu anakku. suri tak mau hesti mogok sekolah seperti gempur. padahal suri meletakkan banyak sekali mimpi bagi hesti dan gempur. kadang di siang terik, ia mengatup mulut rapat-rapat dan mengertakkan gigi, merasa sangat susah dan tak berdaya. ia hanya ingin anak-anaknya terus sekolah.

hesti mendekati suri kemudian langkahnya makin cepat dan suri menyongsongnya. kali ini ia tak kuasa menahan sedih, ia peluk anak itu. Hesti terisak di dada suri, “saya gak boleh ujian maaaahhh...saya gak boleh ujian.” anak itu mengisak hebat. suri merasakan kekecewaan membludak dari dasar hatinya. ia mengusap-usap rambut anak itu. menghirup harum apeknya. anak itu berujar terus menerus namun suaranya tercekat, ia tak mampu melontarkan kata. suri mampu menangkap makna. ia tahu.

suri tahu hesti telah berjalan kaki satusetengah kilometer menuju sekolah karena tak pernah ada ongkos untuk naik angkutan umum. suri tahu kepala hesti sering pening karena kurang gizi. ia juga dapat membayangkan hesti berjalan kaki sepanjang trotoar, pulang dengan hati hancur kembali padanya, dalam kepiluan dan tak berdaya. suri bergetar hebat.

suri ingin menangis panjang. ia ingin melakukannya tetapi selalu tak pernah bisa, sebab selalu ada anak-anak di sekitar dia. dan dia harus terlihat tegar supaya mereka tahu besok akan baik-baik saja. sebetulnya suri ingin mengatakan satu hal yang tak pernah bisa ia katakan dengan lurus : ia telah muak pada hidup. ia selalu bingung bagaimana memulai ceritanya. tidak mudah. tidak mudah.

ia ingin sekali membelikan hesti dan gempur sate ayam atau sate kambing. sepuluh tusuk tiap orang, dengan gajih yang menetes-netes gurih, dengan telur bulat dan kulit ayam yang terpanggang bara. ia ingin membelikan anak-anak itu es kelapa muda, dengan sirup pandan gula jawa dan nangka. ia ingin membelikan baju-baju, dan kasur yang empuk, dan radio supaya mereka bisa bernyanyi bersama. ia ingin membelikan es krim dan hamburger. ia ingin bepergian keliling jakarta bersama mereka dan mengatakan padanya : persetan dengan gurumu.

gempur datang berlari-lari. ia menabrak hesti dan memeluknya. gempur tahu. dia tahu.

Ps : bahkan fiksi harus lebih make senses daripada real life itu sendiri, demikian kata paulo coelho.
kita lihat semoga gubernur DKI yang baru, agak lebih becus mengurus kota, sebab Jamkesmas dan dana Bos tak pernah betul-betul datang ke tangan yang layak.

maret 2012

Tidak ada komentar:

Posting Komentar