“mama,” tanya seorang anak kecil, “tuhan itu
ada di mana?”
anak itu telah dewasa, duapuluh tahun kemudian
ia melontarkan pertanyaan yang sama. hanya kali itu tak ada lagi sahutan dari
mama.
anak itu menulis di sosial media yang telah
menjadi tempat sampahnya berbulan-bulan ini. dia hanya merasa perlu
mengarsipkan sesuatu di sana, kelak dia tahu, dia bisa membuka timeline-nya dan
membaca setiap tulisan yang dia lekatkan. hari ini dia tahu bahwa emosi-emosi
itu membentuk dia.
ada kalanya ketika berdoa, saya terdiam. sebab
saya tak tahu lagi harus mengucap apa. begitu pikiran yang dia lekatkan pada
dinding sosial medianya.
anak itu merasa begitu dekat sekaligus
berjarak dengan dunia. kadang-kadang dia selalu ingin jadi anak-anak, yang
hanya memikirkan besok sekolah, tak ada beban selain sekolah. dia tahu masa
kecilnya beruntung, dia cintai dan diperjuangkan dengan tulus. dia hanya perlu
sekolah.
waktu kecil, ibunya mengajarkan dia untuk
mendoakan banyak hal di waktu senggangnya. dia bertanya, mengapa? si ibu
menjawab, tidakkah kamu lega ketika harimu tenang dan damai, ada kelegaan
ketika bebanmu terangkat, seperti ketika engkau merasakan liburan, kamu senang
melewatinya karena kamu tahu telah berusaha keras dan belajar pada masa
sekolah, kamu layak untuk kesenangan itu. si anak tak begitu mengerti. si ibu
melanjutkan, kita tak pernah tahu bahwa selalu ada orang-orang yang mendoakan
kita, justru karena itu, ketika kamu mendoakan yang lain-lain dengan ketulusan,
kau mengerti bahwa hatimu ikut damai.
ada kalanya ketika berdoa, saya terdiam. sebab
saya tak tahu lagi harus mengucap apa.
dia pernah bahagia, dia pernah bersedih. dia
masih menanti, masih menyimpan banyak pertanyaan, terkadang hatinya nyeri untuk
misteri hidup yang harus dia hadapi.
dia pernah kagum pada tuhan, pernah dia tak
tahu lagi kalimat apa yang mesti diucapkan untuk mengekspresikan perasaan
syukur dan beruntung. waktu itu dia tahu bahwa untuk membalas kebaikan dan
hadiah kehidupan itu adalah dengan menjadi dirinya yang terbaik, membaginya
bagi dunia, orang-orang yang nyata, yang bersinggungan di sekitar dia. dia tak
pernah mengharap balas untuk kebaikan yang dia sebar, sebab dia tahu bahwa dia
seorang pendosa, betapapun kecil dosa yang dia rasa pernah buat, dia tak lebih
baik ketimbang pendosa-pendosa lain yang kejahatannya lebih memuakkan dan
merugikan banyak orang, dia tak merasa lebih benar dari yang lain, dia hanya
tahu bahwa urusan dosa oranglain dia tak perlu melibatkan diri dengan lagak
menjadi hero dengan mempengaruhi oranglain untuk mengikuti dia dalam terang
damai surga. dia menyimpan perkara itu sendirian. dia kebetulan suka pada jalan
yang dia tempuh sendiri.
tapi hari ini dia bersedih. berbulan-bulan ini
dia mendoktrin bahwa syukur dan tawakal itu perlu. hari ini dia merasa hatinya
jatuh ke dalam sumur dalam, dia merasa tak tertolong, padahal hidupnya sedang
baik-baik saja. hanya malam itu ketika kesunyian menghampiri dia, ada muram
jauh dalam lubuk hati menampakkan diri. tiba-tiba saja dia bersedih, dia tak
tahu darimana sedih itu datang, tapi dia bersedih. dia kebingungan dalam
kepungan sendu itu dan memutuskan untuk mengingat-ingat apa yang telah membikin
hatinya tiba-tiba kusut dan mengerut.
dia tahu, dia telah berusaha sedemikian keras
untuk bersyukur dan tawakal, untuk ikhlas dan rela. dia betul-betul telah
berdamai dengan hatinya, itu yang dia rasakan. tapi detik ini, dia tahu semua
sia-sia, dia perlu menangis dan mengakui bahwa dia bersedih.
entah bagian mana dari masa laluku, entah bagian
mana dari khawatirku akan masa depanku, entah bagian mana dari harga diriku
yang telah koyak dan kutisik di sana sini biar pulih lagi, aku bersedih, itu
tak dapat aku sangkal. –akhirnya ia menemukan kalimat yang tiba-tiba meluncur dari
hatinya-
apa yang membuatmu bersedih? ia bertanya pada
dirinya sendiri.
sungguh, aku tak tahu. demikian dia menjawab
setelah merenung panjang.
sungguh aku tak tahu. dia mengulangi kalimat itu
untuk kesekian kali dan merasa begitu tercerahkan, sebab, dia sungguh tak tahu.
yang dapat dia genggam detik ini adalah
ketidaktahuan tersebut, bahwa dia betul-betul tak tahu.
apa yang kau rasakan, dia bertanya kepada
hatinya, dia selalu merasa perlu mendapatkan jawaban dan alasan.
aku tak tahu, demikian hatinya menjawab.
aku sungguh-sungguh tak tahu.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar