Jumat, 23 Desember 2011

misfit




Bis malam yang kutumpangi berhenti sebentar-sebentar sejak rumah makan Giri Agni terlewati. Penumpang turun satu persatu. Aku bersandar di jendela, rembulan malam ini purnama, besar dan bulat. Rembulan itu menemani malamku sejak duapuluh delapan tahun sepuluh bulan dan empatbelas hari lalu. Ibu dulu mendongengkan aku tentang bulan, ada kelinci berlarian di sana, dan aku percaya. Ada masa aku percaya pada keindahan hidup yang tak tercemar oleh perih, kau yang menggoreskan perih itu sayang, aku selalu menyayangimu. 

Kawan perjalananku laki-laki yang manis. Aku bisa saja jatuh cinta pada dia. Dia serupa kamu sayang. Kulit coklat geseng terbakar dengan aroma keringat campur cologne, hanya saja rokoknya bukan filter. Wajahnya juga penuh bopeng, seperti wajahmu yang selalu kuingat setiap rindu dan meninggalkan helaan sedih setelahnya. Aku memperhatikan ulir daun telinganya, mirip milikmu. Mas bukan siluman kan, aku bertanya kepadanya. Dia tersenyum lalu mengucap sambil tertawa : saya bukan lagi laki-laki pengembara. Ia punya anak dan istri. Anaknya laki-laki kelas 3 SD, istrinya sedang mengandung anak kedua mereka. Dia pergi lima hari untuk menengok ibu dan bapak di Wonosari. Aku memperhatikan dia dan mengucap, saya kangen pacar saya, saya masih menganggap dia pacar. Kemudian kami tutup mulut.

Semalaman itu aku memandang rembulan terus menerus. Membayangkan kamu malam ini. Aku ingat kita pernah muda, pernah tinggal bersama, di kost-an busuk yang pengab. Tempat kita sepasang pemuda pemuja Beatles dan Vivaldi berbagi mimpi dan rahasia, menuang percintaan, setan dan guntur di atas kanvas dari kain bekas tepung terigu dan menjualnya untuk sedikit saja keperluan makan kita yang sederhana. Aku mengingat dirimu dengan partitur Ave Maria. Aku yang mencintaimu pelan-pelan di sela lirik dominus tatum. Dan merasa sangat bersalah, merasa sangat berdosa, noda itu tak akan hilang sampai hari matiku.

Apakah Tuhan akan mengampuni aku.

Aku mengingat kamu dengan kaos oblong paling lusuh, aku tak bisa membuatnya tetap putih seperti saat pertama aku memberikannya untukmu. Kamu pantas pakai pakaian apa saja, kamu persis cantelan baju, begitu ujarku dulu. Kau menghampiri aku dan memagut leherku, tanganmu masuk ke celana dalamku, setelah itu kita bergulat hebat. Aku menyukai perlakuanmu yang ganas dan buas, sebab itu membikinmu lepas. Kau mampu menciptakan komposisi paling bresek tentang penghakiman atas diri kita, kau menumpahkan kemarahanmu lewat piano busuk dan cello yang membikinmu selalu mengangkang  dan membikinku ingin kau masuki terus menerus.

Sayang, sayangku, kau satu-satunya yang tak menjatuhkan penghakiman atas diriku di dunia yang sudah jadi keparat ini, mereka yang melarang kita bersama, hingga kini aku tak pernah menyesal mencintaimu. Dan aku tahu bahwa kematian tidak memisahkan perasaan jatuh ke jurang dalam yang seringkali kurasakan di masa hidupku. Aku paham mengapa mereka tak pernah paham. Karena itu aku mencintaimu, kau mengajariku untuk tak takut pada kehidupan. Kukira aku tak takut pada kematian, dan kau tak sungguh-sungguh berani dalam hidupmu kalau boleh jujur.  Ku kira kau juga gentar pada sesuatu.

Setelah bulan Februari nanti, aku tak lagi bisa melihat dirimu di layar perak, kau tak lagi asyik bercengkrama dengan piano dan cello, tak lagi sorot kamera mengganggumu, meski kau selalu tampak duapuluh kali lebih tampan dalam cahaya dan make up.

Di mataku kau selalu muda. Aku mempertahankan ilusi itu, sebab aku tak pernah ingin kehilangan dirimu. Aku tak suka jadi tua. Tua membikin kita menyadari banyak waktu terbuang dan ternyata masih banyak hal tetap tak mampu kita urai.

Langit sore tadi sebelum aku berangkat dengan bus malam dari terminal Lebak bulus berwarna kelabu, seperti hidup kita yang abu-abu, kadang ada biru. Kau tahu aku bersedih untuk hidup kita saat ini, perjalanan panjang yang pernah kita lalui bersama. Rerepih berlian turun setelahnya, menderaku dengan perasaan girang yang tak bisa aku sangkal. Aku menyukai hujan, dari dulu, seperti kau menyukai menyeruput kuah mie instant dengan potongan cabe rawit, makanan kita yang serba prihatin dan sederhana.

Kau memutar The Beatles, with a little help of my friends, membuat jantung kita berdetak cepat, betulkah kita hanya sahabat. Aku memandangi kamu, wajahmu yang tampan. Aku mengenang perkenalan pertama kita, partitur-partitur dengan toge-toge yang lucu dan imut. Perkenalan sepasang manusia yang sama-sama diasingkan oleh manusia lain. Aku yang ditolak keluarga besarku, mereka yang memasukkanku ke berbagai panti rehabilitasi berharap aku kembali ke jalan yang benar : mereka menolakku sepanjang hari. Ayah tidak pernah mau menganggap aku sebagai anaknya. Aku bersedih untuk ibu sebab aku tidak bisa menjadi anak kebanggaannya, anak yang ia impi-impikan sewaktu mengetahui jenis kelaminku. Aku keberatan dengan kata jenis, mengapa kita harus menjadi berjenis-jenis. Kau mengetahui piluku. Kau pun merasa terjebak dalam keseharianmu. Kau menyingkirkan dirimu sendiri sambil berusaha menyembuhkan diri, sebab sudah ada calon pengantin yang menantimu. Aku tujuhbelas waktu itu dan kau baru akan tigapuluh.

Kau bertanya bagaimana mulanya pada kamu, setelah kita bercinta sepanjang malam, aku mengunjungimu sebulan sepuluh kali. Aku yang sembunyi-sembunyi berkata ada tugas sekolah dan harus menginap untuk mengerjakannya sampai tuntas di rumah seorang kawan. 

Aku tak bisa menjelaskan, sama seperti ketika kamu disuruh menjelaskan mengapa tiba-tiba tertarik pada seseorang, karena kau hanya merasa tiba-tiba klik dan cocok. Jangan menganggapku gampangan, sebab aku tidak biasa jatuh cinta, aku selalu menekan dan menindihnya kuat-kuat, karena aku selalu ingin jadi anak yang berbakti dan tidak mempermalukan keluarga. Tapi bagaimana bila perasaan itu tak bisa kusangkal, ada perempuan dalam tubuhku laki-laki. Ayah dan ibu tidak bisa mengerti ini, aku tidak mengerti mengapa aku tidak boleh mengalami hak hidupku yang asasi. Aku tidak mengerti mengapa aku dianggap busuk dan jorok, aku merasa dilecehkan ketika keluargaku tidak menganggapku layak karena aku tidak sama dengan mereka. Aku menelan kesedihan itu bertahun-tahun. Tidak bolehkah aku menjadi diriku sendiri. Yang suka melukis dan suka menyanyi, yang tidak merugikan siapa-siapa karena tidak ingin melukai siapapun juga. Aku bersedih setiap saat lewat pandangan mata sinis orang-orang yang menganggapku layak disingkirkan.

Apakah Tuhan akan mengampuni aku. Karena aku tidak lagi mematuhi orangtuaku, karena aku mau percaya bahwa meskipun ada perempuan dalam tubuhku laki-laki, aku tetap manusia yang sama terhormat dan bermartabat. Adakah orang-orang itu selesai menuduhku biadab karena ada perempuan dalam tubuhku laki-laki.

Hanya karena kita berbeda maka kita boleh di bully. Kau sering kali diusir dari kontrakan ke kontrakan karena penduduk setempat membenci keberadaan kita yang tak lazim. Dan mereka merasa disokong oleh agama yang membolehkan kekerasan berlaku terhadap kita karena kita berbeda dan boleh di hukum. Mereka lupa bahwa mereka juga berdosa. Batas toleransi tak lagi tegak. Padahal kita manusia yang sama. Aku tak pernah berniat secuil pun melukai orang-orang itu. Mereka menghina kita dan merasa diri lebih punya kuasa sehingga kita boleh dianiaya, padahal kita sama punya kontribusi dalam bermasyarakat, dalam peradaban. Kamu tidak boleh dilukai sayang, tidak boleh. Biar aku saja yang dianiaya. Kamu harus melanjutkan hidupmu, masa depanmu luas dan bersinar. Kita adalah orang baik yang terjebak, kita tak boleh kehilangan semangat bahwa kita tetap punya hak untuk hidup dan melanjutkan hidup.

Kamu telah menikah dengan seorang perempuan cantik. Tapi kamu tidak pernah bisa memiliki anak. Kau membiarkan rambutmu putih oleh uban. Kau masih sering mengunjungiku sesekali. Tapi kita tidak bercinta. Aku menghormati istrimu. Aku bertanya, kamu betulan bisa bercinta dengan dia. Kamu tidak menjawab, matamu menjelaskan semua. Kamu gak boleh nyebarin penyakit, pokoknya gak boleh, begitu aku berkata dengan bulir airmata yang mengalir perlahan.

Hidup kita terhormat, kendatipun orang-orang menutup mata akan keberadaan kita. Aku tertawa, aku gak pernah lagi merasa diriku busuk – misfit – tapi tidak busuk. Aku tidak lagi membenci ayah dan ibu. Karena ku pikir, kalau saja mereka tahu, kalau saja mereka mau memahami mengalami jadi aku, mereka tidak akan melukaiku. Karena aku tahu mereka tidak tahu, aku bisa mengampuni itu. Aku tidak bersedih lagi. Aku tahu Tuhan bukan manusia yang mudah menghakimi. Karena itu aku juga tahu bahwa hidupku sama berharga, Tuhan sama mencintaiku.

Bolehkah aku menciummu? Kau bertanya lima tahun lalu, setelah itu kita sengaja tidak bertemu. Kamu memilih untuk menjadi anak yang berbakti bagi keluarga, menikahi calon pengantinmu dan membohongi dia selamanya.

Aku menerima berita itu kemarin sore.

Aku masih ingin merasakan sihir cinta itu yang pernah kau sepuhkan pada langit sore hari warna ungu jingga dan merah jambu, waktu itu seingatku tidak ada kelabu, kecuali di pagi hari selalu ada embun yang aku kumpulkan dalam mangkuk daun. Aku tak merasakan lagi keteduhan itu.

Kau menyetel semua lagu kenangan kita di pesta pernikahanmu. Aku tahu itu dari cerita seorang kawan. Aku tidak datang. Aku tidak ingin mengusik dirimu, nanti aku justru membuatmu tambah gusar, sebab kamu boleh memiliki 1 hari sandiwara paling bahagia bagi keluarga besarmu.

Seperti apakah hari depan, kamu tak pernah tahu, karena itu di sini kita boleh bahagia.

Kau sedang menipu diri, aku tak tahu apakah kau masih sering menipu diri. Aku tahu kesedihanmu berlapis, kau ingin meniadakan dirimu, kau ingin menghilang dan tak kembali. kau ingin mengganti identitasmu dan kau masih berseteru dengan waktu.

Aku menggenggam tanganmu dulu itu, berujar : lakukan apa yang kau anggap paling baik sayang, aku tidak akan menghakimi kamu. tidak pernah.

Setelah itu kita tak pernah jumpa lagi.

Berbaikhatilah padaku kematian. Sebab aku tak pernah menolakmu, seperti aku tak pernah menolak menemui hari-hari apes dalam hidupku.

Berbaikhatilah padaku kematian, sebab aku tak pernah menghindarimu, aku menantimu sepanjang hari seperti mencari sinar mentari yang datang membebaskan pada ujung jarum jam pukul tujuh.

Hari ini aku datang. Dengan girang yang tak bisa aku sangkal. Kamu sudah bebas sayang. dunia tidak lagi bersekongkol membikin dirimu sedih terus menerus. Kamu boleh menjaga aku sekarang ini, sampai aku mati dan kita jumpa lagi.

Beristirahatlah dengan tenang sayang. Rahasiamu selalu aman bersamaku. Kamu cinta pertamaku.

Beristirahatlah dengan tenang sayang.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar