Senin, 10 September 2012

anaknya ibu, ibunya anak-anak




Kamis 6 September lalu aku berangkat bersama ibu menuju Semarang menumpang kereta api Argo Muria. Perjalanan enam setengah jam menggunakan kereta. Penghematan waktu seperti ini membikin kakiku yang difabel tak bengkak akibat udim. Ini adalah kali pertama aku naik kereta api.

Simbah menyebutnya sepur, aku masih menyebutnya kereta api meski sudah tak ada lagi asap mengebul dari lokokmotif.

Setiap liburan sekolah keluarga kami pulang ke Ambarawa. Ada museum kereta api di Ambarawa. Aku punya koleksi foto yang menjijikkan bergaya di museum tersebut, pose-pose yang membikin merinding, yang setiap kali dilihat akan diakhiri dengan derai tawa.

Nantinya dari Semarang kami akan charter taksi menuju Ambarawa, perjalanan dua jam, mbah Djah telah menunggu dengan harap, sebab mbah kung stroke tiba-tiba, pukul empat sore kami akan sudah tiba di sana. Aku akan sebulan di sana menjaga simbah, ini rencana awalnya, tapi perubahan akan selalu terjadi.

Dandananku pagi itu casual, rok jeans selutut, kaos dalam putih dan blus biru batik yang dibiarkan tak terkancing. Sembari menunggu kereta ibu bertanya : kamu mau aku belikan kfc? (Padahal bekal kami begitu banyak seperti hendak piknik). Kami datang kepagian, pukul enam, sementara kereta meluncur pukul tujuh tigapuluh. Aku tengah asik dengan buku malcolm gladwellku, what the dog saw, dan menemukan kalimat : pekerjaan itu serius dan berat, menulis itu asyik, yang membikin aku tiba-tiba kangen seseorang dan yakin dia sedang berbahagia, aku betul-betul berdoa dia berbahagia.

“mom, why you always treat me like a child?” ibuku tertawa terbahak, “because you look like daryl.” daryl adalah keponakanku yang berumur tiga tahun, sangat cerewet dan menyenangkan, penuh berkelimpahan kasih sayang dari para om dan tante, para utie dan akung. Bapak dan ibu sayang dan gemas terhadap dia. “Whattt..umur segini aku harusnya udah punya my own baby.” Aku betul-betul kepingin punya bayi.

di dalam bajaj donk, ada tukang balon seliweran, pas macet, untung bawa kamera, segera di jepret.. klik !! mengingatkan saya pada masa kanak-kanak...menjelang tahun baru...banyak balon dan terompet

Ibuku mulai suka berbicara dengan bahasa inggris, meski sepatah dua. Awalnya karena selama lima tahun ini bapak selalu nongkrong di depan komputer menonton youtube. Tak ada subtitle tentu, sehingga mereka berdua mesti mengartikan sendiri percakapan-percakapan yang terjadi. Biasanya mereka begitu seru menonton Britains got talent dan acara-acara pencarian bakat lainnya.

Kereta berangkat. Ibu memutuskan membeli KFC dan milo panas bagi dirinya sebelum masuk ke dalam kereta. Ia melucu untuk harga secangkir milo delapan ribu. Di belakang tempat dudukku ada ibu muda dan anak laki-laki kecilnya yang pemberani. Anak kecil itu berceloteh dan menyanyi, mamanya seorang yang ramah dan banyak bicara, dari bangkuku duduk aku senang mendengarkan mereka. Anak itu dengan suaranya yang celat memperkenalkan diri bernama Javi dan melafalkan kereta api sebagai japi. Ia dan ibuku cepat akrab. Mereka bernyanyi naik kereta api tut..tut..tutt... dan balonku ada lima. (harusnya balonnya ada enam, kalau yang meletus balon hijau #think).  Dua jam terakhir Javi dipangku ibu dan mereka dengan asik bercerita, cerita tentang kereta api.

Ibu muda itu berjilbab, pakaiannya cerah dan sepanjang perjalanan ia menggoda dan mengobrol terus dengan anaknya. Aku senang memperhatikan mereka. Kalau boleh jujur, aku benci sekali para ibu yang menelantarkan anak-anak mereka. Sibuk dengan blackberry dan mengabaikan perkembangan bayi dan balita, tak gigih dan disiplin dalam usaha mengasuh dan membesarkan anak-anak. Aku merasa demikian payah dan jengkel, setiap kali menemukan pemandangan seperti itu, ditundukkan perangkat komunikasi dan mengabaikan apa yang ada di depan mata.  

Dunia begitu maju, teknologi begitu canggih, buku-buku dapat dibeli, informasi dapat diperoleh, 
komunitas dapat dicari, kita dapat menemukan, dan mereka membiarkan segalanya berlalu karena tak suka ketambahan beban memiliki bayi. Hal ini sama menjijikkannya bagiku seperti mengadakan pernikahan mewah dengan berhutang demi menjaga gengsi dan mengharapkan bantuan dari tamu-tamu yang menyumbang, kemudian bertengkar soal bagi-bagi uang sumbangan.

Begini maksudku, ketika memilih untuk mengandung dan melahirkan, ketika memutuskan untuk memiliki anak, bukankah kita harus sadar bahwa ada nyawa lain yang harus diperjuangkan. Kalau merasa belum saatnya memiliki momongan mengapa tak memiliki keberanian untuk menolak dari awal. bukankah ini sebuah tindakan paling egois, membiarkan persoalan dan masa bodoh dengan apa yang akan dihadapi kemudian.

Aku pikir, hal seperti ini luar biasa menjemukan. Seharusnya aku tak mengeneralisir persoalan sejenis, masalahnya, timbul rasa gemas yang luar biasa. Sebab aku tak dapat memilikinya, bukan cemburu, melainkan bersedih. Sebab ada anak-anak yang tak minta dilahirkan dan justru ditelantarkan, diabaikan kehadirannya. Memutuskan untuk berkeluarga adalah keputusan yang sulit, memutuskan punya keturunan bukan sesuatu yang bisa dijalani dengan sembarangan.

Seorang karib pernah berkata, aku memiliki rasa tenggang rasa yang berlebihan sehingga mudah depresi dengan penderitaan orang lain. Itu betul..aku menyerap emosi-emosi sedih orang-orang seperti spons karena merasa demikian jengkel. Harusnya aku membikin diriku seperti tong sampah yang bolong, karena begitu sering menjadi tempat sampah kenalan-kenalanku dengan persoalan-persoalan mereka dan demikian gemas dengan kemajuan yang mereka hasilkan, sebab yang bisa aku sediakan hanya telinga dan mulut, aku punya batasan sendiri soal intervensi.

Kalau temanku mulai kehilangan dirinya, aku bersedih. Kalau ada kenalan-kenalan susah aku bersedih, padahal sedih saja tak cukup. kata GM : Kita jadi manusia ketika kita merasakan ketakutan dan kehilangan orang lain yang tak kita kenal, dan bersedia ikut menanggungkannya.

Aku teringat masa kecil yang membahagiakan. Bapak menidurkanku sambil mendongengkan banyak sekali kisah-kisah ajaib. Sampai usia delapan tahun, aku masih didongengkan oleh bapak. Sebagian dari cerita tersebut amat absurd, sebab bapak tak pernah punya dongeng yang tuntas, ia mengarangnya sendiri, dari fantasi-fantasinya.

Untuk anak seumurku, perbendaharaan kataku begitu luas dan kaya.  Aku mendengarkan bapak dan ibu berdebat, ikut membaca koran pagi, dibiarkan memiliki khayalan sendiri dan menceritakannya. Aku meniru. Setiap anak meniru. Kalau aku diabaikan kehadirannya dan dibiarkan tumbuh sendiri sebisanya tanpa mendengarkan celotehan-celotehan, dongeng-dongeng, dan tak dilibatkan dalam permainan yang teramat imajinatif, aku tak akan jadi diriku hari ini.

Kalau ada anak dua tahun belum dapat bicara, aku khawatir, sebab dapat membayangkan, anak itu terpenjara dan tak pernah dilatih berbicara, tak pernah mendengarkan cerita-cerita, tak dilatih berani, tak bertemu orang-orang. Sehingga tak sempat meniru karena tak pernah tahu apa yang harus ditirukan. Aku dapat membayangkan lingkungan tempat si bayi itu tinggal.

Aku merasa perlu menulis sebab aku khawatir, ada banyak bayi yang diabaikan kehadirannya, ditelantarkan karena para ibu muda merasa demikian lelah dan payah dalam kemurungan sendiri. Carilah bantuan..sebab bayi-bayi itu punya hak untuk hidup..barangkali terapi perilaku dan wicara untuk si bayi belum cukup. barangkali kamu mesti meneliti dirimu sendiri, sebab bicara perlu dilatih, bukan cuma di kelas terapi, tapi juga di rumah, sehari-hari.

Aku tak ingin menyombongkan betapa banyaknya kegiatanku di masa kecil, aku ingin menyampaikan bahwa, anak-anak perlu bersosialisasi, perlu bercengkrama, perlu bertemu kawan-kawan, orang-orang. Anak-anak perlu belajar percaya diri dan berani, dan hal ini harus dilatih. Anak-anak perlu rangsangan untuk tahu banyak kata-kata untuk bisa memaknai sesuai perkembangan umurnya. Anak-anak perlu bergerak, perlu melihat hal-hal selain rumah. Dan perlu ada lingkungan yang mendukung itu. Aku tak pernah merasa stress semasa kecil. Justru aku bingung kalau tak punya kegiatan di hari Minggu, selepas gereja pergi ke toko buku kemudian beristirahat di rumah. Aku bingung disuruh tidur siang, kerap kali justru pengasuhku yang tertidur ketika menidurkanku dan ibu menemukanku bersepeda di ujung gang dengan celana dalam dan kaos singlet tanpa penjagaan.

Aku ingat sering main ke kebun pisang, tempat yang sebetulnya dilarang ibu. Aku mengajak kawan-kawan masa kecilku untuk patungan. Kami main masak-masakan. Aku menyuruh si anu, si itu, dan yang lain-lain untuk membawa bahan-bahan dari rumah. Aku geli ketika membayangkannya, aku menyuruh-nyuruh anak yang lebih besar. Aku ingat berjongkok di kebun pisang, membuat telur dadar goreng dengan rasa amburadul yang digoreng di atas tutup kaleng biskuit, merebus air di kaleng biskuit untuk memasak mie instant. Menyuruh kawan-kawan patungan membikin rujakan. Mengambil jambu air dari rumah di ujung gang, mengambil belimbing dan mangga dari rumahku, kemudian patungan membeli gula jawa dan kacang tanah. Dan merujak siang-siang hingga sore sebelum sibuk bermain bulutangkis atau karet gelang. Kadang-kadang jadi anak bawang, kadang-kadang jadi jagoan.

Di usia empat tahun, aku bergabung dengan Sanggar Ratu Asia asuhan Pipiet Sandra yang memiliki program setiap pukul delapan pagi di TPI. Selama empat tahun, hingga kelas 2 SD aku memiliki kesibukan shooting bersama sanggar tersebut. Kalau bukan bapak yang rajin mendongeng bagiku, aku tak akan memiliki kemampuan mengingat-ingat skript. Ibu yang mengajariku menghafalkan skript sambil memberikan jembatan-jembatan keledai. Masuk ke sanggar itu adalah kemauanku sendiri. Di sekolah aku masih masuk rangking 3 besar dan naik ke panggung untuk menerima piala pada saat kenaikan kelas.

Ketika duduk di kelas satu SD dan setiap orangtua murid demikian heboh karena keesokan harinya akan diadakan test IQ, ibu justru menyuruhku bermain sepulang sekolah, menyanyi, menggambar, bercerita, main masak-masakan, apapun yang aku inginkan sampai lelah tertidur. Ketika test diumumkan, di usia tujuh tahun aku mendapatkan angka test 136. Btw, tak ada urusannya angka test tersebut dengan kepandaianku, sungguh. Percaya deh aku ini tolol banget untuk soal tulis menulis, lama panas dan tak pernah punya konsep, selalu menemukannya di jalan setelah dikerjakan, kemudian ditata ulang berulang-ulang kali, banyak perubahan, banyak sampah dibuang.

Di depan orang lain aku tak akan menunjukkan segala kelemahanku. Tapi di hadapan diriku sendiri, aku menguliti diriku sendiri habis-habisan. Aku seringkali merasa dungu dan terpenjara oleh perasaanku sendiri.

Pengasuhku yang keibuan, teman sekaligus ibu kedua, mbak titiek, selalu memanjakanku hingga kelas enam SD. Dia yang mengantarkan aku ikut kegiatan seusai sekolah. Pergi ke sanggar, latihan, mengantarkan shooting, les berenang, les organ, menyanyi dan pramuka. Aku bercerita apa saja kepada dia : menemukan sarang semut tempat robot raksasa menyembunyikan pin rahasia dalam perjalanan ke sekolah, sarang burung tempat perampok menyimpan kalung mutiara, bertemu santa klaus dan magang di pabrik mainan paling asyikk seantero jagad, kawan yang aku taksir, memanggil tante yang tak kuketahui namanya untuk meminta srikaya yang tergantung menggiurkan di luar pagar rumah, semuanya, dia tahu kapan aku membual dan membiarkanku hidup dalam fantasi-fantasi itu.

Sampai hari ini kalau aku tiduran di teras rumah, lihat langit jakarta yang sempit dan pengab, berwarna jingga kusam meskipun jam sudah menunjukkan pukul sebelas malam, aku selalu punya fantasi, di atas sana decepticon itu sedang menyemprotkan asap tebal untuk menyaru masuk ke bumi. Ellen seringkali bilang : taaaiikk nyettt paranoid banget lho. Dia gak tahu kalau aku beneran ngeri, sengeri perasaanku ketika menonton pertandingan langsung sepakbola, alih-alih Messi menjebol gawang, tiba-tiba jiwaku ini slluuurrrrpppp masuk ke tubuh Messi dan Messi masuk dalam tubuhku. Kemudian aku hanya plonga-plongo lalaaakk lloollookk di tengah lapangan. Orang bisa jadi jutawan tiba-tiba karena judi bola. 

Ibu tak punya waktu untuk mendongeng. Hari-harinya penuh dengan mengajar. Sepulang sekolah selalu ada anak-anak sekolah datang untuk mendapatkan pelajaran tambahan. Dia membantu anak-anak itu untuk memahami konsep berhitung dan aneka pelajaran sekolah lainnya yang begitu banyak. Sejak kecil aku memperhatikan ibu mengajar di rumah, ketika kuliah aku mencari uang tambahan dengan menjadi guru private bagi anak-anak yang membutuhkan bantuan belajar.

Ibu kerap menyindirku dengan kalimat : Kamu ini anak perempuan.

Kamu pasti tahu bahwa masyarakat patriarkal menggunakan peran gender yang kaku untuk memastikan bahwa perempuan tetap pasif dan laki-laki tetap aktif.

Pada kenyataannya aku adalah anak yang agresif, penuh rasa ingin tahu, ambisius, serta penuh dengan rencana, selalu punya cerita untuk dibagi. Ibu gagal mendidikku menjadi perempuan yang tenang, tertawa dengan sopan dan melontarkan kalimat-kalimat menentramkan, pulang sebelum pukul dua belas malam – aku jelas bukan cinderella. Aku jelas tak lembut dan tak halus. Aku bisa menjadi itu kalau aku mau dan merasa perlu.

Ibu tak bisa mengubahku, ia berdamai dengan dirinya terhadap aku. Ia membiarkan aku melakukan hal-hal yang aku sukai : berteman, bepergian, menulis, membaca buku, memotret, nonton film, tertawa serta menangis sedalam-dalamnya. Ia tahu bahwa aku tipe anak yang suka eksplorasi dan eksperimen, anak yang menikmati kebebasannya. Aku meninggalkan hal yang tak aku sukai, aku jengkel membuang waktu untuk hal yang tak aku senangi, juga jengkel mengerjakan segala sesuatu pada ‘jam’ yang bukan ‘jam’ ku.

Bapakku senang dengan aku yang bisa diandalkan, yang tak klemak-klemek macam kulit ketek. Dia senang bicara politik denganku juga film dan literatur, dia suka musashi dan memaki-maki busuk-busuk yang nongol di televisi.

Aku bersedih karena kerap didiskriminasi, meski memiliki kemampuan untuk bernalar, menghadapi sikap diskriminatif terus menerus seringkali menggerus hatiku. Aku hampir merasa tak berdaya bila kerabat dekat memujiku : duhhh...nanti suamimu seneng banget, untuk urusan domestik yang dapat aku kerjakan dengan baik. juga untuk pencapaian-pencapaian yang telah aku raih.

Kadang-kadang aku masih sering didiksriminasi karena tubuhku yang besar.

Hal ini menyentakkan kesadaran, sebab ternyata hidupku tak jadi milikku sendirian, ada perasaan orang lain yang harus dipertimbangkan, dan perasaan diriku yang tak perlu dipertimbangkan..menyebalkan sebetulnya.

waktu umurku delapan belas aku pernah menulis tak ingin menikah. aku kan tak harus punya suami. apakah aku ingin, aku belum tahu. aku gak percaya mereka yang memilih hidup sendiri diartikan sebagai gak laku, punya hal-hal buruk sehingga tak layak dipilih. menurutku mereka yang berpendapat seperti itu justru buruk. aku tak mau membiarkan diriku melihat perkawinan sebagai tujuan hidup dan sumber kebahagiaan, ini berarti aku tak mau mengalami ketidakadilan karena jenis kelaminku.

masalahnya di bumi yang dengan sedih aku cintai, tempatku tumbuh dan hidup, tak menikah jelas membawa kerugian sosial.

Aku pernah punya masa-masa murung, yang membikinku merasa demikian ngelokro.

Aku pernah terbangun dengan murung, umurku sekitar duapuluhdua tahun, tiga bulan setelah aku tak mendekam lagi di rumah sakit. Waktu itu aku sadar telah menjadi cacat, dan dalam pengertian serta kesadaran yang berkembang lambat aku belajar untuk memahami bahwa identitasku sedang aku maknai ulang dengan susah payah, aku melewatkan banyak hari-hari buntu. Aku khawatir akan banyak hal dan merasa demikian lumpuh, hal ini mengerikan dan membikin cemas. Perasaan murung itu bertahan sekitar tiga tahun.

Orang-orang terdekat dengan susah payah membantuku menemukan semangat baru. Aku teringat pak Marius, kawan Ibu yang kebetulan bertetangga, kerap kali mampir membantu  berdoa ketika aku telah menjadi beringas terhadap diri sendiri. Masa-masa itu begitu sedih. Aku hampir-hampir tak ingat apa-apa, merasa demikian hampa. 

Ada banyak waktu aku habiskan duduk di depan komputer. Melihat-lihat foto-foto yang pernah aku ambil. Mengenang moment-moment, merumuskan ulang hidup. Suatu hari, empat tahun setelah keluar dari rumah sakit, seorang kawan baru bertanya dengan heran, mengapa aku memiliki banyak sekali album foto di facebook. Barangkali dia berpikiran aku narsis dan senang pamer. Aku terangkan pada dia, bahwa foto-foto itu membikin diriku terasa jejak. Setiap kali melihat foto-foto tersebut, aku bisa memanggil ingatan, aku bisa mencoba meraba-raba, banyak cerita yang tak terdeskripsikan dalam selembar foto, tapi esensi yang terpenting adalah : i was here, i was there. i am alive. Hal ini membikinku merasa jejak.

Aku ingat dalam keadaan sakit fisik, tertatih-tatih mendatangi komputer dan browsing. Waktu itu belum punya kamera DSLR dan laptop sendiri. Aku mendownload banyak sekali tulisan-tulisan dan foto-foto yang membikin hari-hari terasa genap, melupakan sengatan-sengatan sakit. Tak peduli apakah besok aku masih dapat melalui hari, apakah aku masih dapat bekerja sebagai wartawan, aku tahu waktu itu aku harus berbuat sesuatu, aku harus menolong diri sendiri.

aku menemukan sebuah blog yang aku sukai. Aku mengikuti setiap tulisannya dan merasa seolah mengerti dia, lepas dari kedangkalan, menemukan perasaan yang tak dapat aku rumuskan waktu itu, tertulis dengan runut dan apik. Aku suka menunggu pagi untuk mengunjungi blog itu,membacainya satu demi satu, dan tahu-tahu tenggelam. suatu hari semesta mengijinkan kami bertemu, aku barangkali mengganggunya. Dia belum tahu bahwa karena dia, aku menemukan semangat hidupku kembali, aku belum sempat mengucapkan terimakasih, aku menangguhkannya, aku khawatir dia akan teramat terganggu. ada banyak sms yang tak bisa kukirim. ada banyak monolog yang akan terus jadi monolog. kalau kamu baca ini : terimakasih.

kalau kamu terganggu karena aku mengasihimu, aku minta maaf. kalau saja aku tahu lebih dulu.

aku menemukan keasyikan baru, membeli buku-buku bekas secara online yang ternyata masih rutin aku lakukan hingga hari ini. aku mengumpulkan buku-buku cerita anak sebagai bekal mendongeng kelak. Aku tahu akan sulit memiliki anak sendiri tapi bukan berarti aku tak bisa memiliki anak, sebetulnya aku tak senang menggunakan kata memiliki, aku akan senang bila ada anak dalam hidupku.

Aku bilang pada karibku, nanti waktu umurku tigapuluh, aku akan mengambil seorang anak, entah perempuan entah lelaki. Ada atau tanpa pasangan hidup, aku akan memulainya. Aku punya lima tahun untuk bertahan hidup dan mempertahankan perasaan positif. Anakku nanti akan kunamai Pianisario Diriti dan Marcello Dimitri. Mengapa tigapuluh? Sebab secara mental aku yakin pengertian dan kesadaran diriku akan semakin matang, aku akan masih kuat untuk mengasuh dan membesarkan anak-anak, aku akan punya cukup waktu untuk menabung. Aku kira, aku membiarkan fantasi itu berlesatan, sebagai cara untuk mempertahankan hidup.

Kesadaran yang pahit itu menghantam aku dengan sebuah perasaan ngilu. Waktu itu aku tahu sulit untuk memiliki anak sendiri, mengandung dan melahirkannya. Awalnya hanya Ellen dan seorang lelaki yang kuceritakan kesedihan ini. Aku pikir aku perlu membaginya untuk kamu, supaya kalau kamu mengalami baby blues, atau depresi lain, kamu punya keberanian untuk bertahan. Sebab sekarang bukan hanya nyawamu yang menjadi tanggunganmu seorang diri, ada anakmu yang juga harus kamu pikirkan. Carilah bantuan..bergeraklah..teruslah gigih.

Ada banyak orang bersedih karena menginginkan punya bayi dan tak kunjung mendapatkannya. Kalau kamu sudah punya bayi milikmu sendiri, cintailah dia, rawatlah. 

Aku bersedih untuk setiap orang yang menyia-nyiakan nyawa.

Kalau kamu pernah aborsi, jangan lagi melukai diri dan menghukum diri kelewat ganas..aku tahu kamu mengalami pahitmu sendiri. teruslah bertahan hidup, sebab kamu berharga, tak boleh ada orang lain menginjakmu termasuk dirimu sendiri, tak boleh kamu memiliki perasaan rendah diri dan merasa demikian tak berharga..kamu bisa menebusnya dengan menyambut hidupmu, merayakan hidupmu. Kamu sangat boleh memiliki banyak rencana untuk hidupmu dan melaksanakannya.

Semesta memberkatimu teman.

oh ya please don’t pity on me... aku punya kehidupan sosial yang menyenangkan .. aku berharap kamu juga punya kehidupan sosial yang menyenangkan. aku punya diriku yang aku sukai..kalau sedang menziarahi batin aku masih bersyukur dan berbesar hati, belum sempat jijik dengan diriku sendiri .. aku masih merawat mimpiku dan menjalankannya..

Tidak ada komentar:

Posting Komentar