Senin, 17 September 2012

rumah simbah


Rumah simbah menghadap gunung telomoyo, tiap sore dari teras tempatku duduk, pemandangan kelabu, gunung diselimuti kabut. Kalau kamu dapat membayangkan mangkuk, maka Ambarawa ada di dasarnya, setiap hari terperangkap angin. Angin datang bersahut-sahutan sepanjang hari, dingin membikin gigil tetapi matahari bersinar begitu terik. Kulitku mbesisik dan kering. Air untuk mandi dapat membekukanmu. Tapi aku suka kegiatan mencuci baju. Di rumahku mbak semi mencuci demikian kilat, pakaian dijemur di halaman belakang yang sempit dikelilingi tembok-tembok tetangga, seperti kubus yang terbuka atapnya. Tapi di rumah simbah sungguh asyik. Aku suka memperhatikan jarik dan sarung dijemur, mereka menari-nari diterbangkan angin. Hanya empat jam waktu yang diperlukan untuk membikin cucian cepat kering dengan bantuan angin dan sinar matahari.

Di rumah aku biasa mengurusi pekerjaan domestik, kecuali mengepel, sebab bisa jatuh terpeleset dengan kakiku yang difabel. Meski waktu kecil ada pengasuh menjagaku dan sekarang ada mbak semi membantu membereskan rumah, bukan berarti aku tak mengerjakan urusan rumah. Kata ibu anaknya tak boleh ada yang kogong atau kikuk, ia senang melihat aku yang prigel dan trengginas. Ibu malu memiliki anak bodoh, tak disiplin dan tak mandiri. Aku malu membiarkan diriku bodoh, tak disiplin, dan tak mandiri.

Halaman rumah simbah sejuk. Ada pohon mangga, jambu, pisang dan nangka. Sekarang mangganya sedang berbuah, begitu sarat, kata simbah November nanti buah-buah itu akan masak semua. Di samping rumah tadinya ada pohon jeruk nipis tapi sudah ditebang karena mati. Sekarang om membikin para-para untuk tempat rambatan anggur. Tadinya rumah itu sangat luas tapi dijual sedikit demi sedikit untuk bertahan hidup. Tanah-tanah yang dijual itu telah menjelma rumah yang bagus, sebuah diantaranya telah bobrok dan ditinggalkan penghuninya. Kalau suatu hari uangku cukup aku akan membeli kembali tanah itu dan membikin duplikasi rumah sesuai dengan kenangan ibu terhadap masa kecilnya. rumah berhalaman demikian luas dengan pekarangan penuh ditumbuhi pohon buah dan sayur-sayuran, kandang ayam dan kelinci serta kolam ikan untuk kebutuhan makan sehari-hari.

Rumah simbah tetap seperti ingatan masa kecilku. Hanya sekarang simbah tak lagi serumah dengan om. Bapak dan ibu membuatkan rumah mungil bersebelahan langsung dengan rumah om dengan halaman yang tetap bersatu.

Di depan teras rumah simbah aku membaca buku. Ada dua tampah berisi nasi sisa yang dikeringkan, diletakkan di atas perdu teh-tehan. Itu akan jadi nyamikan sore hari, kami menyebutnya intip, nasi sisa yang dibumbui bawang putih, ketumbar dan garam, kemudian dijemur hingga kering sebelum digoreng di dalam minyak panas dan banyak.

Ayam kate milik om berseliweran, tadinya itu milik kakak ipar om, pakde surik, yang dititipkan sebulan sebelum dia meninggal. Hanya ada ayam kate dan kucing tetangga menemaniku sore itu. Kucing itu pendiam dan cepat akrab denganku, menggosok-gosokkan tubuhnya pada betisku, bulu dadanya putih, punggungnya abu-abu. Ia kucing yang manis, lebih manis dari mano, kucingku di rumah, kalau saja aku bisa membawanya pulang. Aku selalu senang mengobrol dengan binatang sambil mengamati orang-orang, kalau kamu tahu atau kamu pernah mengalaminya, kamu bisa mengerti apa yang aku rasakan, bicara dengan hewan-hewan, dan tak merasa dihakimi, boleh bercerita tentang sedih dan ingin, harapan yang bolong, dambaan, diri yang separuh kosong separuh terisi. Di rumah aku punya anjing dan kucing, kalau tak dilarang ibu, mungkin aku juga akan pelihara hewan-hewan yang lain.

Dulu om pelihara kelinci tapi mati. Pernah juga pelihara ayam, lele, ikan gabus – mereka menyebutnya iwak kutuk. Kamu tak menyebutnya kutuk seperti malin kundang dikutuk, melainkan kutuk seperti kamu menyebut getuk, ada lidah yang ditekuk dan menghasilkan bunyi lucu seperti klak klik klak klik. Om tak bekerja sejak simbah sakit, tadinya om tukang kayu. Istrinya bekerja, jadi guru.

Punya keluarga bodoh itu celaka, sungguhan, apalagi kalau pemimpin rumah tangga begitu mengedepankan patriarki, kadang-kadang mereka yang tak dapat merumuskan patriarki justru dapat mengamalkannya sedemikian baik, sebab pengalaman mengajarkannya demikian, mereka meniru dengan sangat canggih dan demikian merasa tak dapat dikalahkan.

Di dunia yang kecil ini orang-orang bengis dan keji banyak, bahkan di dalam rumah sendiri. Mereka tak memberikan kesempatan pada orang lain untuk mengkritiknya karena merasa selalu benar dan harus dituruti,memandang dirinya sebagai jagoan, seberapapun payah dan kerdil mentalnya sesungguhnya. Mereka bersandar pada pengertian sendiri yang sebetulnya memuakkan bagi sebagian orang, tak pernah punya kemampuan untuk menghayati rasanya jadi orang lain, sehingga merasa boleh playing like devils advocate or even worse playing god. Senang berada di puncak dan tak seorangpun boleh menggoyangkan dia. Dia tak akan sempat paham bahwa dirinya adalah kumpulan pengalaman, penghayatan, dan pemahaman yang tak terbentuk sekali jadi, dan dengan itu boleh introspeksi diri : bahwa ia juga kecil dan orang lain juga berarti. Dia tak suka diberitahu. Dia boleh memutuskan hal-hal mengenai orang lain dalam kuasanya sebab ia seorang pemimpin rumah tangga, barangkali hanya itu kebanggaan dia. Kamu bisa bayangkan situasi seperti itu? Ibumu, atau istrinya harus selalu patuh meski merasa ada yang salah dan menumpulkan perasaannya selama bertahun-tahun, telah menjadi terbiasa dengan suasana intimidasi macam itu. Ibumu, istrinya barangkali bangga karena telah menjadi perempuan yang utuh karena patuh. Dengan cara itulah kamu dididik, meskipun ada suara hatimu bilang itu keliru, lalu kamu bercerita pada kawanmu, tentang suatu yang mengganjal : ayahmu, dan ibumu yang mendukungnya.

pengalamanku mengatakan demikian dan ini sangat bersifat general.

Hal ini membikinku jijik sebetulnya sekaligus bersyukur. Sebab aku hidup bersama orang-orang yang asyik. Bapak bisa jadi menyebalkan demikian pula ibu, namun mereka adalah orang-orang yang mau mendengarkan pendapat orang lain, mengoreksi diri, bisa diajak berbicara dan tukar pikiran. Aku dibesarkan dalam lingkungan seperti itu.

Jangan makan makanan daur ulang, tak bergizi, demikian ibu memperingatiku. Terlambat, aku baru saja memakan omelet mie dari sisa mie bakso semalam yang tak habis kumakan dan nyamikan sukun goreng kemarin yang kubumbui ulang model dendeng, manis pedas gurih. Tak ada yang mengajarkan, tahu-tahu aku tahu saja.

kamu bisa membeli sekresek kapri seharga duaribu, juga sebuah pepaya besar masak seharga empatribu, atau sukun masak sebesar dua kepala bayi digabungkan seharga enamribu, yang tak habis dimakan selama empat hari untuk suguhan sore hari, di tempatku tinggal sekarang. di sini uang begitu berarti. Di jakarta, ongkos taksiku pergi pulang untuk pergi ke pacific place dari rumah di daerah radio dalam sebesar tujuhpuluhribu.

Ada gua maria kerep di Ambarawa, waktu kecil setiap liburan ibu mengajakku berdoa di sana dengan berjalan kaki. Aku suka pergi menjelang sore, sewaktu matahari turun dan ray of lights berpendaran dari angkasa. Warna-warna magic hour membius kesadaranku. Angin dingin menggigit, di kanan kiri jalan terdapat sawah dan seluas mata memandang matahari menyusup ke sela-sela pegunungan, juga tai sapi di pinggir jalan. Sepupuku senang melucu, ia menyebut tai sapi sebagai telefafi..atau teletong sapi. 

Aku suka gua maria yang dulu, yang terasa begitu alami dan asri. Sekarang telah menjadi taman yang bagus, bagus tapi tak alami, yang membikinku merasa terganggu, sebab banyak orang datang berjualan, banyak orang berdoa untuk dilihat juga berfoto-foto. Ini masalah kenyamanan dan selera sebetulnya. Aku selalu tak suka berdoa dengan orang banyak. Aku tak percaya devosi. Aku tak suka lihat patung perawan maria berwarna putih. Aku baru bisa kembali berdoa ketika mengunjungi goa maria tritis di jogjakarta, sebelum wisata ke pantai kukup. Sebab patungnya berwarna hitam dan dengan demikian segalanya terasa sangat manusiawi. Tak ada orang yang betul-betul suci. 

Pagi-pagi subuh di hari kedua ibu mengajakku ke gereja. Gereja itu dekat, ada di seberang jalan. Ibu menunjukkan tempatnya dulu bersekolah, halaman luas tempat dia berlatih pramuka, gedung bekas sekolah bapak berwarna biru muda dengan jendela-jendela kuno di cat kuning krem, tempat bapak gitaran dan bernyanyi-nyanyi. Misa dilaksanakan dengan bahasa indonesia. Itu adalah misa harian yang dimulai pukul setengah enam pagi. Orang-orang telah datang sejak pukul lima. Pagi itu umat sedikit,mereka yang membangkitkan kesadaran bagiku mengenai hidup. Misa berlangsung setengah jam, lebih cepat dari misa hari minggu dan orang-orang pulang dengan tertib, merasa memiliki kekuatan baru untuk memulai hari. Di luar gereja orang-orang bersalaman satu sama lain, kenal dan tak kenal, lalu menyalami romo dan berbincang-bincang.

hari kedua kedatanganku ke ambarawa, mbak titiek, orang yang dulu mengasuhku di masa kecil datang membawakan sembilan potong gembus seharga tiga ribu rupiah. Mbak titiek sudah tak mengasuhku sejak kelas 1 SMP. Dia membuat kesulitan bagi dirinya sendiri, sebuah keputusan sembrono yang membikin hidupnya menjadi serba ruwet. Tapi dia berhasil bertahan hidup. Kini dengan menjadi buruh cuci di bandungan. Ia menerima layanan cuci gosok, rata-rata pelanggannya adalah gadis-gadis penjaja diri, mereka yang menemani laki-laki berkaraoke. seribu rupiah untuk sepotong kaos, duaribu untuk rok dan tigaribu untuk celana jins. Dengan cara demikian ia menggantungkan hidup.

Kalau bulikku memerlukan bantuannya untuk menyetrika pakaian, dia datang. Mbak titiek amat rapi dan telaten. cuciannya selalu bersih dan wangi, setrikaannya tanpa kerut, licin dan bertahan berbulan-bulan seperti itu, kita tak perlu menyetrika ulang. Dengan cara demikian ia mempertahankan kualitas pekerjaannya. Dia tentu saja akrab dengan simbah dan sering membantu simbah berbelanja barang-barang besar yang hanya bisa ditemukan di pasar besar.

Simbah sudah tak menonton sinetron, sebab sudah tak ada lagi naysilla mirdad dan dude herlino yang ia gemari. kalau pemainnya bukan mereka, ia enggan menonton. Ia memilih mendengarkan radio yang memutarkan musik keroncong dan campur sari. Simbah punya penyiar kegemaran, mas jos yang bersuara empuk dan merdu, renyah dan membikinmu merasa hari-hari tak sempat buntu. Simbah seperti ABG, ngefans dengan mas jos tapi malu-malu, tujuh tahun lalu. Simbah sering mampir ke rumah tetangga untuk mengobrol. Suatu hari mas jos datang ke rumah tetangga tersebut ketika kebetulan simbah datang mampir dan mereka berkenalan. akhirnya mereka berkawan. Mas Jos sering mampir ke rumah untuk berbincang-bincang dengan simbahku yang lugu dan lucu.

Simbah kakung tuli karena sering dihajar dengan popor senjata, ia seangkatan pramoedya ananta toer dan memiliki cerita pedih dengan benang merah yang mirip. tadinya ia inspektur polisi yang menolak untuk memberikan surat jalan bagi penghabisan nyawa bertruk-truk orang yang kemudian akan dihabisi di hutan jati atau disiksa sebelum dibuang ke laut, di bawa jauh-jauh ke bali.

Sampai sebelum sakit ia senang menonton acara berita di televisi, channel national geographic dan fox yang menayangkan banyak sekali film-film. Tahun 2009 lalu waktu pertama kali aku liburan setelah menjadi cacat, simbah asyik dengan buku-buku yang kubawa. Ia duduk di teras dan tertawa membaca tulisan butet dalam buku Presiden Guyonan. Sekarang dia tak lagi bisa membaca dan beraktivitas lain, hanya mengerang-ngerang di kamar, membikin simbah dan om panik serta kalut. Dia tak akan sempat membaca buku-buku malcolm gladwell, sitok srengenge dan pater bower yang kubawa. Padahal kalau dia sehat, aku yakin dia akan asyik.

Tanah di depan rumah simbah telah berubah menjadi rumah mewah ala kota besar. Tadinya itu adalah lapangan, tempat bapak mengadakan hajatan besar bagi sunatan kakak di kenaikan kelas 1 SMP. Bapak mengadakan acara besar- besaran, berhari-hari, setiap tetangga kampung datang, makan besar. Ayam-ayam telah dipelihara setahun sebelumnya. Tetangga-tetangga dipekerjakan dan diberi upah serta hadiah untuk membantu acara tersebut. Kemudian ditanggapkan Jathilan di siang hari dengan atraksi-atraksi ngeri : kesetanan, kesurupan, memakan beling, tubuh digilas pick up. Malamnya ketoprak semalam suntuk dengan doorprize-doorprize. Ada banyak dokumentasi foto untuk hajatan itu. Bagi bapak itu adalah hajatan sunatan yang sesungguhnya, sebab waktu kecil, ia tak sempat merasakan pesta semewah itu, kakak sulung bapak baru saja menikah sehingga tak patut untuk menyelenggarakan hajatan besar-besaran setahun dua kali.

Pak XX yang dulu menjaga keamanan saat perayaan sunat telah stroke. Yu XX yang dulu berjualan es campur sudah pindah kota.  Warung mbak xx masih berdiri, sekarang terasa demikian sempit dan lusuh, mata saya bukan lagi mata kanak-kanak. tanah di sebelah jembatan di depan gereja sudah tak lagi jadi lahan kosong. Ada banyak ruko-ruko dibangun, sebagian telah terisi, dijual duaratus juta per ruko. Nantinya akan dinamai plaza palagan.

Hari-hari berlalu.

1 komentar:

  1. Salam kenal mbak

    Bagi Anda Yang mencari bibit tanaman buah dengan harga kompetitif alias murah dan kebetulan berdomisili di Weleri , Rowosari , Kangkung , Cepiring , Gemuh , Ringinarum , Pegandon ,Ngampel , Patebon , Kendal , Brangsong , Kaliwungu Plantungan , Pageruyung , Sukorejo , Patean , Boja , Limbangan , Singorojo , Kaliwungu Selatan, Semarang serta Demak...


    Datang saja langsung di Agrivit Nursery

    BalasHapus