Senin, 17 September 2012

(tak) benci matematika


saya ingin cerita mengenai matematika dan saya.




waktu kecil saya sangat senang pelajaran matematika di sekolah. Sampai kelas 5 SD saya selalu rangking 5 besar, sekolah saya adalah sekolah swasta katolik yang disiplin, nilai matematika saya tak pernah rendah dari 8. Kemudian di jenjang pendidikan SMP hingga SMA nilai matematika saya jeblok. Saya tak menguasai aljabar dan segala jenis pelajaran hitung-hitungan. Nilai matematika saya yang tertinggi adalah 3, saya sungguh-sungguh. Hal ini juga berlaku untuk nilai pelajaran hitung-hitungan lain. Saya merasa sangat bodoh.

Sampai hari ini saya tidak bisa menjumlah angka 17 dan 13, saya juga tidak bisa mengurangi angka 37 dan 13. Ellen kerap berteriak, “Taaiikk lu nyettt.” tiap kali saya bertanya sejumlah angka padanya dan alih-alih percaya pada jawabannya saya justru mencari kalkulator.

Kemudian saya sadari bahwa saya bukannya tidak bisa matematika.

Saya baru tahu hari ini bahwa jauh di alam bawah sadar saya telah mengendap ingatan tentang sebentuk pelecehan.

Saya merasakan ketidakadilan dari beberapa guru karena bentuk fisik saya, saya tak mengerti mengapa mereka melakukan itu, saya tidak pernah mengerti mengapa gemuk diasosiasikan dengan pemalas.  

Setelah lebih dari 10 tahun saya baru mulai memikirkannya dengan serius.

Saya bisa menduga dibalik gemuruh sekolah prestisius itu, saya yang anak biasa-biasa saja dengan status sosial 2 hingga 3 level dibawah murid lain, cenderung terabaikan.

Apakah guru yang melukai saya, ataukah murid lain? Apakah saya sakit hati, saya tidak tahu, saya tidak ingat -  barangkali saya tak suka mengingat-ingatnya,

saya baru menyadari hari ini bahwa dulu ada sebuah laku yang saya rasakan amat mengganggu dan merugikan. Saya jadi tak suka pelajaran matematika dan hitungan lain.

Barangkali dalam sebuah pemahaman saat itu  (tanpa dapat menganalisanya tapi merasakan dentuman nyeri di hati)  saya merasa tak masuk hitungan-tak dihitung, karena identitas saya.

 Identitas saya adalah atribut-atribut yang sama dengan saya dan dapat mewakili diri saya, segala yang bukan saya dan tak dapat disamakan dengan saya, serta tak ada kemungkinan ketiga.

ibu saya seorang guru. Mudah-mudahan tidak pernah ada murid yang merasa telah dilukai sedemikian dalam oleh ibu. Kalaupun ada, saya berdoa, saya berharap supaya si murid dapat mengampuni ibu saya dan dirinya sendiri, saya berharap ibu saya punya kemampuan untuk menggali ingatan dan punya kesempatan untuk meneliti hati. Saya berharap tiap orang yang masih membawa dendam itu dapat mengampuni diri sendiri dan tak terus menghukum diri dalam tahu atau dalam tak tahunya, dan dengan demikian bisa akur dengan apa yang telah terjadi.

Saya sudah akur dengan diri sendiri. 

Sekarang saya tahu bahwa kemampuan saya bermatematika tidak hilang, tidak berkurang. Ketika saya mengecek lewat kalkulator saat Ellen menyebutkan jawaban sederhana dari soal pengurangan, saya telah melakukan kegiatan matematis : memastikan. 

Setiap malam bapak melakukan ritual menyelamatkan makanan. Esok paginya menjadi tugas saya untuk mengubah sisa food (ini istilah saya) mengolahnya menjadi makanan yang dapat dimakan lagi seperti membuat bubur atau nasi goreng atau intip dari nasi yang tersisa. 

Bagi saya ritual ini tidak bisa disebut pelit, melainkan menghargai jerih payah terhadap segala sesuatu. Membuang segala sesuatu dengan sembrono saya kira merupakan bentuk kesombongan dan ketidakbersyukuran atas hidup. 

apa hubungannya menyelamatkan makanan dengan matematika? 

saya percaya keterampilan memasak membutuhkan serangkaian kecerdasan.

saya percaya mereka yang dapat membuat makanan lezat, adalah orang-orang yang pandai menghitung dan mengukur.

Bayangkan ukuran untuk membuat bumbu, memastikan panas api / oven, kekentalan dan tekstur makanan, managemen waktu dalam memasak termasuk soal pemakaian bahan bakar. 

kamu tak mungkin memasukkan sekilo gula dengan seliter air dan sekilo tepung untuk membuat adonan pukis, selalu ada perbandingan. dan demikian nalar bermatematika itu jalan. 

ada seorang chef yang saya kagumi, ia adalah heston blumenthal. silahkan cek youtube dan tontonlah sendiri betapa luarbiasa-nya heston blumenthal. salah satu program acara yang saya suka adalah heston feast dan how to cook like heston. nanti kamu akan makin yakin bahwa memasak memerlukan serangkaian kecerdasan..termasuk kecerdasan berimajinasi.

salah satu impian saya, bisa makan masakan dia dan bisa satu dapur bareng dia...sungguh canggih laki-laki satu ini.

Saya selalu percaya kita tak pernah hidup sendirian. Ada mata rantai yang rumit dan kaya tentang keberlangsungan hidup ini. Makanan yang kita asup, sumber energi yang kita pakai, pakaian yang melindungi tubuh. 

Saya bayangkan seorang anak, atau ibu, atau ayah, atau kakak, atau adik yang tak saya kenali di sawah, di tengah laut, memanen kapas. Mereka yang membawa pemahaman akan adanya kehidupan dan dengan itu kemanusiaan. 

Beberapa tahun terakhir ini saya aktif melakukan gerakan refashion, semoga kamu juga tergugah untuk melakukan hal yang sama. 

Sepanjang tahun saya mengamati diri saya banyak melakukan hal-hal baik bagi diri sendiri, dan itu membuat saya merasa lebih solid sebagai manusia yang terus menerus mencari jawaban yang terserak di sana sini.
alasan lain bagi saya ketika melakukan refashion adalah untuk memberikan pekerjaan bagi seseorang, sehingga dia bisa melangsungkan hidup, tidak berhutang, dan punya harga diri karena masih bisa melakukan sesuatu. saya tak ingat apakah bunda theresa atau orang lain yang pernah berkata, kalau tak bisa menyelamatkan ribuan jiwa, selamatkanlah satu, diri sendiri. – kalau belum pernah ada yang ngomong gitu, anggeplah itu quote emang saya yang bikin – saya merasa menyelamatkan diri sendiri ketika berefashion, karena pemahaman saya dihuni pengertian baru tentang bermatematika, kalau ada orang lain yang terbantu, berkah dalem bagimu. 

Dengan melakukan refashion  saya merasa tidak kehilangan kemampuan bermatematika. Saya tidak sedang memuji kreatif. Tetapi ketika dihadapkan dengan gunting, secara abstrak saya bisa membayangkan pakaian apa yang akan saya ubah.

Saya berimajinasi, menggunakan keterampilan berfantasi. 

Tubuh saya besar dan jarang ada pakaian jadi yang dijual di toko pakaian cocok dengan ukuran tubuh dan selera saya yang ‘buruknya’ gak pernah sama dengan selera orang lain. 

saya mengobrak abrik lemari pakaian dan mengubah pakaian-pakaian lawas (yang tentunya masih sangat layak pakai) berukuran S, M, L, XL menjadi ukuran 2XL yang pas untuk ukuran tubuh saya. Saya mendesign, menentukan kekurangan apa yang harus ditambahkan, mana yang harus dibuang dan diperbaiki, membuat pola dan melakukan hitungan. Kain apa yang harus digunakan, seberapa banyak, kemudian menghitung mana-mana saja pakaian yang bisa direfashion dengan satu kesatuan pola. 

setelah tahapan itu selesai tahapan selanjutnya adalah menghitung sejumlah uang yang harus dibelanjakan untuk membeli kain dan aplikasi lain, menghitung sejumlah uang yang harus dibayarkan untuk ongkos vermaak.



Saya kira saya telah bermatematika – hal yang baru saya sadari sekarang dan tidak lagi membuat saya terbebani karena selama masa remaja selalu mendapat nilai di bawah 3, selalu remidial dan tak menunjukkan perbaikan. 

oh ya btw, saya punya blog baru, khusus buat refashion. sahabat saya amanda bilang, ada baiknya kalau proyek-proyek refashion itu diarsipkan dalam dunia maya, siapa tahu akan ada yang terbantu dan meluaskan lagi pemahaman tentang refashion. kami berkawan dari smp dan sama-sama punya pandangan yang baik untuk merawat bumi,sekecil apapun aksinya ini adalah wujud nyata. dia tinggal di singapore dan saya di jakarta, keterpisahan jarak itu tak menghalangi kami untuk terus berkarya dalam refashion. 

saya tanya padanya, apakah sebaiknya blog kami itu berbahasa inggris atau berbahasa indonesia. akhirnya kami memutuskan untuk membikin blog berbahasa indonesia. begini, kalau saya menuliskannya dalam bahasa inggris maka saya khawatir kawan-kawan yang tinggal di indonesia dan tidak mampu berbahasa inggris jadi gak punya minat untuk meneruskan membaca blog tersebut. blog tentang refashion yang ditulis dalam bahasa inggris amat banyak..dan kita kekurangan kawan-kawan yang peduli pada lingkungan untuk mengarsipkan karya-karya tersebut dalam bahasa kita sendiri.

kebetulan sudah satu setengah tahun saya melakukan proyek refashion, kira-kira sudah ada 80 baju yang direfashion, dan saya bangga untuk pencapaian ini. tapi blognya belum rame, petra sahabat saya belum punya waktu untuk motretin saya. dan saya serta amanda masih punya kesibukan lain di luar tanggungjawab sosial untuk terus edukasi tentang refashion...mengapa tanggung jawab sosial? karena kami percaya bumi ini kita miliki bersama dan harus kita rawat serta jaga bersama pula.

Ketika memburu buku bekas dengan serius dan tekun dari list buku yang saya inginkan, menabung dan menanti datangnya pameran, menemukan moment mak jegagig, saya kira saya telah bermatematika.
Hal ini yang membesarkan hati bahwa saya tak bodoh-bodoh amat soal hitungan. 

Saya selalu merasa jengah dengan setiap orang yang menutup kesempatan dialog, sungguh. 

Saya ingat jaman kuliah, di awal 2007 sebelum cuti 2 tahun karena operasi tulang belakang, umur saya baru 20. suatu hari saya protes pada seorang dosen (saya lupa wajah dan namanya, tapi saya ingat nilai saya C.. oh ya banyak nilai mata kuliah saya C dan saya tak peduli, soalnya saya yakin saya tak bodoh, saya hanya dissident). 

Saya mengajukan pandangan, mengapa kita masih menggunakan kertas untuk tugas yang bahkan tidak diperiksa, mengapa tidak mengirimkannya lewat e-mail atau flashdisk, tinggal colok – pandangan itu ditolak.
waktu itu (sampai hari ini) saya punya pikiran yang serius dan merasa sangat kecewa. Tulisan-tulisan copy paste itu (sorry to say) menjogrok di perpustakaan. apakah dibaca? saya tak yakin dibaca untuk kemajuan peradaban kecuali untuk melakukan ritual copy paste lagi dan lagi.

Mengapa masih menggunakan kertas untuk mengerjakan tugas akhir. 

Begini, anggaplah sekali pengerjaan outline hingga menjelang skripsi terdapat 7 kali revisi dengan 2 pembimbing, minimal 75 halaman per revisi, terbuang karena dicorat-coret (copas saja dicorat-coret)  kalikan Rp 700 per halaman untuk ongkos printing, kalikan 150 mahasiswa per jurusan dalam satu kali moment wisuda.  

Bagi saya ini tak masuk akal, sebuah pemborosan yang bodoh. 

Tiap tahun kalikan 10.000 fakultas. Kertas-kertas terbuang dan dibuang (saya susah percaya penelitian yang dilakukan itu membawa dampak – maafkan karena pesimis, dan justru karena itu saya tahu hal ini tak perlu-perlu amat, karena pertarungan sebenarnya ada di luar). 

saya benci orang yang merusak lingkungan. 

Sewaktu ibu saya pindah kerja, dia membawa setumpuk kertas-kertas bekas yang sekarang menumpuk di kardus. Dia membawanya pulang dan tak membakarnya karena tahu, kertas itu akan saya gunakan untuk corat-coret tulisan dan design-design saya. 

nantinya pun ketika seluruh kertas itu sudah penuh dengan tulisan saya dan saya tak merasa perlu mengarsipkan segala sesuatu lagi, kertas itu akan saya daur ulang, hasilnya bisa saya gunakan untuk beragam pernak pernik kerajinan. come on deh, kepedulian itu datangnya bukan dari orang lain tapi dari diri sendiri.
saya masih ingin lihat anak-anak saya kelak tahu bahwa masih ada bumi yang hijau. 

kalau kamu pernah langganan majalah bobo, dipertengahan sembilanpuluhan pernah ada artikel tentang kertas daur ulang. waktu itu saya kelas lima sd. saya mengikuti contoh yang diberikan majalah bobo, merendam kertas bekas di dalam ember setelah menyobek-nyobeknya hingga kecil. selama seminggu kertas itu saya rendam hingga lunak seperti bubur, kemudian saya blender dan saya saring dengan saringan kelapa yang berbentuk bundar. saya mengerjakannya sendirian di sela-sela liburan sekolah dan merasa demikian asyik. kemudian menjemurnya dalam terik matahari hingga pertengahan septermber. di bulan desember saya sibuk membikin kartu natal bagi kawan-kawan dengan kertas daur ulang. saya melakukannya hingga SMA. tidak ada yang menyuruh saya melakukan hal-hal semacam ini, barangkali karena saya suka ide zero wasted demi kelestarian lingkungan hidup. itu saja. 

amazingly brilliant !!!

Saya menemukan pengalaman lain yang baru saya sadari. Saya tergila-gila pada walk off the earth sebuah band dari kanada yang dapat kita lihat di youtube. Cara mereka bermusik sangat luar biasa, menciptakan rangkaian melodi indah, menciptakan musik, melakukan cover version, menghitung not, menyanyikannya dan membikin saya merinding. Saya tak bisa memainkan alat musik tapi saya suka bernyanyi,meskipun tak canggih, saya juga bisa pecah nada. Saya kira ini juga matematika, ada nafas yang dikeluarkan dipirit-pirit, ada not yang dihitung, yang tak saya sadari, tapi saya tahu ini matematika. saya gak fals-fals amat kalau menyanyi, paling enggak kalau saya karaokean di inul, saya bisa ikuti musiknya, dan ini matematika, sebab kita menghitung tanpa menyadarinya. mereka yang mampu bermusik dengan baik, menari dengan baik, melukis, memasak, baris berbaris (tentu saja) menggunakan matematika dalam hidupnya.

Dua bulan lagi saya akan memulai belajar matematika untuk kelas 1 SMP, karena saya ingin.

Tulisan ini saya posting bukan untuk menunjukkan betapa sok dan sombongnya saya terhadap keterampilan yang saya kuasai. Justru sebaliknya, saya merasa perlu untuk bercerita, bahwa, kita yang pernah mendapatkan nilai buruk selama sekolah dalam soal hitungan, barangkali menyimpan endapan ingatan tentang sebentuk pelecehan. saya harap kita telah akur dengan diri sendiri. Nilai cuma nilai. Ada hal yang lebih penting ketimbang angka di atas kertas ulangan. Cara kita memandang dan menjalani kehidupan.

berkah dalem.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar