Minggu, 19 Agustus 2012

peri di kuntum lili





Setiap hujan datang menjelang pagi, selalu ada perasaan sunyi sekaligus kegaduhan di kepalaku. Sekuat apapun aku menghalau kamu dari pikiranku, kamu selalu muncul dan menimbulkan sesak yang tak datang sebentar. Apa yang lebih meyedihkan ketimbang sebuah suara sayup-sayup di dalam hati, yang selalu kamu coba untuk sangkal, suara yang ingin berujar kamu apa kabar.
Kamu apa kabar # you

Aku kehilangan benang perak pemberian peri di kuntum bunga lili. Aku sedih sekali, sebab musim penghujan nanti dia akan datang ke kuntum bunga lili lagi. Aku selalu tahu kuntum yang mana, meskipun ada lebih dari ratusan kuntum bunga di padang belakang dekat aliran air. Kamu harus berdiri di pinggir gerumbul semak pandan yang sebelah kiri, dan kamu harus memicingkan matamu yang sebelah kanan, dan kamu akan tahu, kuntum lili tempat peri singgah di musim penghujan nanti.
Kelak aku tahu peri itu datang jauh dari barat daya. Dia diterbangkan angin melintasi gurun karena debu peri miliknya telah habis, kepayahan demi kepayahan dia alami, terdampar dan menunggu. Dia mengandalkan mimpi untuk membuatnya terus merasa yakin bahwa suatu hari situasi ini akan berganti, dan pada hari-hari seperti inilah dia memilih untuk berhenti mati. Aku membayangkan betapa kecil dan rapuhnya dia,sendirian dan tak selalu berhasil mengatasi perasaan serba lelah. Ketika aku membayangkannya, aku mengerti pilihannya untuk berhenti mati, dengan bermimpi. Tapi ini adalah sejenis kepedihan yang lain. Sebab kita sama-sama tahu ada waktu yang terus hilang dan seringkali kita tak bisa ingat tentang hari-hari yang sudah berlalu. Hampa.
Pengertian itu tak muncul seketika.
Musim penghujan di sini hangat, demikian ujarnya di suatu hari kelabu, sewaktu aku meringkuk menyembunyikan tangisku.
Aku tanya sama dia, kamu dari mana? Apakah kamu kenal Peterpan, mataku pastilah membeliak. Apakah kamu berteman dengan Tinker Bell? Betulkah Neverland itu ada? Aku membayangkan diriku terbang hingga pagi mengikuti arah sinar bintang kedua di sebelah kanan.
Mengapa manusia harus merasa sakit, apa arti pedih? Apakah kamu bisa sedih, apakah kamu menggembol terus sedihmu tiap waktu?
Dia mengernyitkan hidung dan terlihat begitu prihatin menghadapi aku. Kemudian tertawa. Tawanya mengingatkan aku akan bunyi lonceng dan giring-giring, suara dari masa laluku, waktu aku masih memutuskan untuk percaya. Aku memperhatikan dia sungguh-sungguh, dia sangat cantik dan tampan sekaligus. Berdiri di telapak tanganku, ringan seperti bulu, hancur dalam sekali remasan tangan. Waktu itu aku menyadari, akulah yang rapuh dan seringan bulu, yang tak punya kekuatan untuk menyatakan suaraku sendiri, kebebasanku sendiri.
Aku ingin cerita tentang Santa, aku selalu suka menunggu Desember.
Santa siapa?
Santa Klaus. Yang tinggal di Kutub Utara.
Waktu kecil aku menulis surat pada Santa Klaus. Aku bilang padanya aku ingin diberi hadiah udara dari Kutub Utara yang dimasukkan ke dalam botol kristal. Supaya kapanpun aku merindukan natal, aku bisa membuka tutupnya dan menghirup udara Kutub Utara. Sebab Natal menyenangkan dan tak perlu merasa sedih, itu adalah gagasan yang cemerlang, tidak perlu merasa sedih. Aku percaya Santa Klaus punya tempat riset yang lebih canggih dari segala tempat riset di dunia, karena itu aku percaya udara dalam botol kristal ini tak akan pernah habis meskipun telah dihirup berkali-kali, dan botolnya tak akan pecah berkeping-keping, seperti hatiku yang seringkali terasa ngilu karena pernah pecah dan tak utuh lagi. 
Apakah sia-sia.
Apanya?
Keyakinan itu.
Apakah keyakinan.
Kami tak bisa menjawabnya hari itu.
Dia memberiku segulung benang perak. Benang itu adalah benda yang sangat berharga, demikian ujarnya. Dia telah berkelana selama seribu satu tambah satu waktu peri, dan dia bilang jangan tanya apakah waktu peri itu, pokoknya itu adalah waktu peri. Aku mengamati benang perak tersebut dan dia menuturkan bahwa benang itu adalah benang terkuat di seluruh semesta.
Mama bilang aku gak boleh percaya pada orang asing, mengapa kamu memberikan aku benang perak ini, sebab aku asing bagimu.
Mengapa kamu bilang benang perak itu sangat berharga, memangnya bisa menyumbat sedih? Bukankah ada yang lebih berharga ketimbang apa yang kita kira berharga hari ini?  Seperti jiwa misalnya.
Si peri menatapku lagi-lagi dengan wajah prihatin, apakah kamu selalu curiga terhadap pemberian orang lain? Aku menjawab, bukankah seharusnya begitu, bukankah selalu ada nilai tukar (aku hampir-hampir tak percaya telah menyatakannya). Dan bukankah kita perlu curiga?
Kamu tahu rasanya dipermainkan? Kamu menunggu ditarik keluar dari lubang, kamu merasa kamu selamat, tapi sebetulnya kamu dirantai di lehermu dan kamu tak melihatnya, mungkin sesekali kamu melihatnya tapi pengertian itu belum tiba, kamu betul-betul merasa tidak apa-apa. Ketika pengertian itu tiba kamu bersedih dan merasa sangat buruk, barangkali ada marah, tapi tak cukup untuk membikinmu memiliki dirimu sendiri. Selalu ada yang bungkam di luar sana. Keheningan itu terasa begitu mengganggu.
Dia diam. Dan aku gemetar menghadapi gagasanku sendiri. 
Di mana kamu mendapatkannya, tanyaku, mengalihkan pikiranku sendiri . Oh, itu adalah benang perak buatan nyonya laba-laba. Aku menemuinya di tepian dunia, di hari ke duaratus empatpuluh lima waktu peri.
Apakah nyonya laba-laba temanmu?
Apakah kamu memang selalu banyak bertanya? Dia menjejak-jejakkan kaki pada telapak tanganku. Itu sudah kebiasaanku, mau bagaimana lagi, ujarku dengan bersungguh-sungguh.
Mengapa kamu berhenti di sini?
Dia menjawab dengan diam.
Kamu akan lama di sini? tanyaku.
Aku belum memutuskan.
Aku lihat dulu apa yang akan terjadi besok.
Apakah kamu tahu kamu siapa?
Aku peri. Dia tertawa, tawa yang menentramkan hati. Apa kamu tak tahu kamu siapa?
Aku diam saja, si peri itu jelas tak mengerti susahku, sebetulnya aku tahu bahwa dia tak harus mengerti susahku, tapi aku berpikir, barangkali dia bisa mengerti sesuatu di luar mengertiku. Apakah kamu tahu kamu siapa.
Langit di atas tiba-tiba keruh dan serbuk hujan berhamburan.
Aku menyukai hujan. Dan biarkan aku sendiri dalam kesepianku, demikian dia berkata seperti menyuruhku untuk lekas pergi.
Tapi besok kamu betul-betul masih akan di sini kan.
Aku pulang menuju rumah menangis tersedu karena merasa sebentuk perasaan ganjil muncul. Berharap besok pagi dia masih di sana.
Sambil berjalan pulang aku memikirkan diriku. Berusaha sekuat tenaga untuk mengingat-ingat dan merasa sangat pusing serta lapar. Muncul sepenggal kesadaran tentang diriku sendiri. 


Aku adalah gadis yang ingin menangkap bintang jatuh menjelang subuh. Telah berhari-hari aku tak dapat tidur karena kesedihan menghimpit dadaku. Aku telah menunggunya sepanjang tahun, bintang jatuh itu. Kadang-kadang mimpi itu datang.
Pernah simbah berkata bahwa di hari ketika ekor bintang dalam dekapku, detik itu, hanya didetik itu, aku bisa menangkap sinar rembulan dan memasukkannya ke dalam botol kristal. Hari ketika hal ini dapat terjadi akan menjadi hari yang indah. Simbah lupa mengatakan bahwa hal ini sulit jadi mungkin. Padahal aku ingin bersih dari ingatan menyedihkan.
 Jangan menangis, ujar simbah. Ia menguntai kalung mutiara bagiku, itu adalah kilau yang indah, dalam telapak tanganku berpendaran. Ia membuatnya dari sinar bulan.
Aku ingin bilang pada si peri bahwa aku mengalami banyak sekali malam-malam masokis, melukai diriku sendiri, merasakan sebentuk kemarahan dan kekejian yang membikin aku muak terhadap diriku sendiri, dan dengan demikian punya keberanian untuk mengampuni diri. Sayangnya perasaan termaafkan seperti ini jarang bertahan lama, aku selalu merasa perlu terluka.
Suatu hari aku melihat seorang laki-laki dari kejauhan. Aku pikir dia kesepian. Dia seorang diri. Aku bisa menduga dia juga menyimpan pedihnya sendirian, seperti aku, yang seharusnya siap merayakan hidup. Ada perasaan senasib yang sama. Bersamaan dengan munculnya pengertian itu, aku juga merasa bahwa dia sengaja membawa impian tentang pasar malam dalam benaknya, kapan saja, ke mana saja, membayangkan ada tawa berhamburan. Barangkali seperti aku, impian itu  menguatkan dia untuk melanjutkan perjalanan.
Mungkin dia mau diajak bertukar cerita.
Malam itu hujan datang lagi menjelang pagi.  Di kamarku, ada dunia kecil milikku sendiri. Dan ada kehidupan di luar sana, yang tak mudah untuk dimengerti.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar