Februari tak pernah
seganas hari itu. Tanggal empatbelas dan angin datang menderu-deru. Kau ada di
situ, begitu saja. Sejam sebelumnya aku berpapasan dengan truk pasir warna
kuning, berhiaskan tulisan de javu. Aku tak pernah yakin akan menjumpaimui di
sini. Sebab Jakarta meski tak luas, punya banyak tempat menarik untuk
dikunjungi hari itu. Tapi kau datang dan aku melihatmu dari kejauhan padahal
kerumunan begitu rapat, kau seharusnya tak berada dalam jarak pandang mataku.
Ada hatiku berdenyar nyeri : tuhan..dia hidup.
menyusuri jakarta berhari-hari ini telah mempertemukan aku kembali dengan masa lalumu, termasuk yang baru saja terjadi : kau yang kini. museum-museum yang pernah kita singgahi. taman-taman yang pernah kita hampiri. kineforum, erasmus huis, goethe haus,@america, starbuck, tempat kita sepasang remaja dengan lembaran-lembaran pattimura, sakit hati dan sakit perut untuk segelas kopi seharga empatpuluh ribu. masa itu kecemasan mengenai masa depan menggantung, tapi kita menghadapinya dengan enteng sebab besok selalu jadi besok dan hari ini kita masih boleh tertawa-tawa, terlalu banyak hal yang bisa dirayakan. kita masih mau menyambut yang akan datang ketimbang menduga-duga dengan kekalutan apa yang akan terjadi nanti. incubus merumuskannya dalam sebentuk kalimat milik para pemberani : whatever tomorrow brings, i’ll be there.
aku memilih pergi, supaya
kita tak saling menyapa lagi.
Dari
jendela bis kota aku melihat trotoar Jakarta. Kaki-kaki pelintas. Roda gerobak
penjual gorengan, gerobak nasi goreng dan mie yamin, gerobak minuman dingin
dalam box berwarna biru atau oranye. kamu pernah memuji tahu susurku yang
menjadi demikian kisut,lembek dan berminyak ketika telah menjadi dingin sejak
dua jam sebelumnya aku menggorengnya di rumah sebagai bekal kita jalan-jalan ke
taman – padahal aku bisa memasak lain,tapi kamu minta dibuatkan tahu susur, ini
masih membikinku geli. juga laranganmu ketika berulang kali aku menghampiri
pedagang minuman yang berteriak, “mijon..mijon..”
Sepeda
motor berjubelan di atas trotoar, semrawut dan tak tahu aturan. Jalanan padat.
Dari pintu depan masuk tiga orang pengamen lusuh menyanyikan lagu Koes Plus berjudul
bunga di tepi jalan. bukan melodi itu yang merasuki telingaku, melainkan milik
bob dylan
How does it feel … To be without a home … Like a complete unknown .. Like a rolling stone ?
How does it feel … To be without a home … Like a complete unknown .. Like a rolling stone ?
jakarta
tak pernah tak macet. penumpang sibuk dengan pikirannya sendiri. seekor ibu
kucing berjalan perlahan menuju bawah jembatan penyeberangan, perutnya telah
membuncit, dia seekor kucing remaja yang sebentar lagi akan melahirkan
empat,barangkali lima anaknya, yang mungkin akan mati terlindas kendaraan,
kedinginan atau kelaparan, barangkali ini kehamilannya yang ketiga, dan ia
sendirian. merenungi nasib dan membiarkan waktu berlalu.
Itu
sebuah sore ketika orang-orang bergegas pulang. Aku membayangkan apa yang
mereka pikirkan tadi pagi ketika memulai hari ketika suara bob dylan tak lagi
menyayat-nyayat hatiku.
Melihat
orang-orang di dalam bus kota dan orang-orang di pinggir jalan, aku melihat
kehidupan. Cahaya terakhir yang menandai hari itu berlalu, tak dihiraukan
orang-orang, padahal matahari terlihat lebih oranye hari itu, dan langit lebih
ungu. tetapi wajah penumpang lusuh. Suara kendaraan lalu lalang begitu berisik.
Kenek bis kota yang lusuh. Semua tampak lusuh. Jalanan itu, berikut kendaraan
yang berdesakan, orang-orang menggumam, kelelahan akan perasaan sendiri.
Princess
on the steeple and all the pretty people
They’re drinkin’, thinkin’ that they got it made
Exchanging all kinds of precious gifts and things
But you’d better lift your diamond ring, you’d better pawn it babe
You used to be so amused
At Napoleon in rags and the language that he used
Go to him now, he calls you, you can’t refuse
When you got nothing, you got nothing to lose
You’re invisible now, you got no secrets to conceal
They’re drinkin’, thinkin’ that they got it made
Exchanging all kinds of precious gifts and things
But you’d better lift your diamond ring, you’d better pawn it babe
You used to be so amused
At Napoleon in rags and the language that he used
Go to him now, he calls you, you can’t refuse
When you got nothing, you got nothing to lose
You’re invisible now, you got no secrets to conceal
“Vindue...” Dia berkata lirih, duduk di kursi rotan menghadap
jendela.
itu adalah hari ketika
kecanggungan belum punya arti. suatu dulu.
“Apa?”
“Vindue...seperti menuliskan sendu.” Dia menatap keluar jendela, di koridor luar anak-anak berlari-lari, belajar membuat
layang-layang.
“Menurutmu, mengapa aku sering merasa diriku keropos?”
Aku belum sempat berpikir untuk menjawab ketika dia menggumam,
“Kita dibatasi jendela. Bukankah begitu? Dari dalam.” Dia menengok ke arahku
kemudian menunjuk dirinya sendiri.
“Apa yang ada di luar?”
Pertanyaannya menggema selama berhari-hari.
Ada semesta.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar