Hari ini hujan turun seharian. Aku tak bisa bermain di halaman. Aku melihat kebun bibi Aindri tampak segar disiram
hujan. Kakek menyuruhku masuk ke dalam
rumah setelah selama satu jam aku duduk di teras depan. Melamun dan menikmati
hujan.
“ Diandra..masuklah segera..hujan akan turun setiap hari..tak perlu kau
tunggu datangnya. Nanti kau masuk
angin duduk di luar berlama-lama!” Teriak kakek dari dalam rumah. Suaranya terdengar samar dikalahkan
derasnya suara hujan.
Aku tak segera masuk ke dalam
rumah sebab setiap kali hujan tiba aku merasa sangat nyaman dan tentram. Engkau
dapat menangkap bunyinya jatuh ke tanah. Hinggap di telingamu dan menyebarkan
perasaan paling menyenangkan. Aku suka hujan. Aku suka wangi yang diciptakan
hujan. Kesegarannya melebihi apapun. Dan ku kira, hujan menyenangkan. Aku menyukai hujan yang deras. Aku
menyukai hujan dengan rintik yang lembut. Aku menyukai hujan ketika seluruh
anggota keluargaku berkumpul di rumah dalam suasana rukun dan tentram. Rasanya
melebihi kebahagiaan apapun di dunia, rasanya melebihi ketika kau mendapatkan
hadiah kejutan. Ketika berkumpul dengan seluruh anggota keluarga aku merasa
lengkap, kebahagiaan jenis itu meski sangat sederhana tidak tergantikan.
Aku tinggal di rumah kakek. Rumah kakek luas dan besar. Aku bisa
berlari-lari seharian di dalamnya kemudian merasa lapar karena kelelahan. Kakek tidak suka
membatasi rumahnya dengan ruangan
yang tersekat-sekat. Sehingga yang akan kau temui bila berkunjung ke
sini adalah aula yang besar dengan sedikit perabotan, tempat kami bermain dan
melakukan segala kegiatan. Tentu ada kamar-kamar tidur, kamar mandi dan juga dapur. Ruang-ruang tersebut juga luas.
Namaku Diandra. Aku
anak perempuan. Kakakku laki-laki dua
orang, Jati dan Boris. Jati 10 tahun, Boris 9 tahun. Aku baru berulang tahun ketujuh seminggu
lalu.
Di rumah kakek juga tinggal Ayah,
Ibu, Paman Andre, Bibi Aindri, sepupuku Gaby, Mira, Dimas, si kecil
Tio dan tentu saja kakek. Aku tidur bersama Gaby dan Mira di kamar anak perempuan. Sementara Jati, Boris dan Dimas
tidur di kamar anak laki-laki. Kamar kami bersebelahan. Bila malam datang kadang anak laki-laki datang ke kamar kami mendengarkan Gaby bercerita. Gaby amat sangat pandai bercerita. Ia lebih tua tiga bulan dari Jati dan
ia sangat pintar. Tetapi aku lebih dekat dengan Mira, barangkali karena ia baru
berusia 8 tahun sehingga aku
merasa lebih nyaman bermain dengannya. Tapi Gaby baik kok, sungguh.
Hanya kadang ia suka memerintah karena merasa paling tua. Dimas sebaya Boris. Mereka berdua adalah komplotan
paling kompak dan akrab. Keduanya selalu terlibat dalam permainan seru dan
rencana-rencana asik. Kamar tidur kami
terletak di lantai dua. Kamar
Ayah dan Ibu, Paman Andre dan Bibi Aindri serta kamar kakek ada di bawah. Tio tidur dengan
paman dan bibi sebab ia masih kecil, baru
belajar merangkak.
Dulu kami tidak tinggal bersama kakek. Sampai akhirnya nenek meninggal 4
tahun lalu. Ayah memutuskan untuk menemani kakek dan meninggalkan pekerjaannya sebagai
dosen di Jakarta. Demikian halnya dengan Paman Andre. Kadang-kadang saja ayah pergi ke Jakarta untuk mengajar dan mengikuti seminar.
Sisanya ia habiskan untuk menulis di rumah dan menelepon dan kemudian ia pergi
ke Jakarta agak lama. Lalu
tiba di rumah dan sibuk menulis lagi dan lagi dan tidak boleh diganggu.
Paman Andre seorang perajin dan seniman. Ia
memiliki bengkel kerja di belakang rumah. Ia membuat lampu-lampu yang artistik, ia melukis, ia membuat
perabot. Kadang orang datang mengambil pesanan. Mereka datang dari Medan, Jakarta, Semarang, Surabaya dan
kota-kota lain dengan mobil dan pakaian bagus. Tetapi lebih sering orang
ekspedisi datang mengambil pesanan. Paman Andre jarang bepergian,
orang-oranglah yang
mengunjungi paman Andre.
Ibu dulu pernah menjadi guru sementara Bibi Aindri sampai sekarang
masih bekerja sebagai bidan. ada sebuah klinik tak jauh dari tempat kakek,
setiap diperlukan bibi datang membantu persalinan.
Sejak nenek meninggal kesehatan
kakek menurun. Kata ibu kakek
kesepian. Karenanya ayah dan ibu
juga paman dan bibi memutuskan untuk menemani kakek. Rupanya mereka begitu kerasan tinggal
dengan kakek di desa sampai-sampai tak ingin kembali ke Jakarta.
Kakek memanggilku kembali. Di dalam rumah terasa hangat dan segar sebab
jendela-jendela dibiarkan terbuka. Harum tanah dan rumput masuk ke dalam
rumah. Kakek duduk di kursi goyang
menikmati sinar terakhir matahari dari jendela yang dibiarkan terbuka. Duduk di sofa di sudut ruangan, ibu
merajut syal, Jati duduk di
sebelahnya sambil membaca komik detektif kegemarannya. Dimas, Mira dan Boris asik bermain kartu. Wajah
Mira sudah coreng moreng oleh bedak karena kalah dalam permainan. Bibi Aindri memangku Tio yang tertidur.
Paman Andre datang dari
bengkel membawa setumpuk koran bekas. Koran-koran bekas digunting selebar 2 jari kemudian setiap 6 guntingan
koran dipelintir. Setiap tiga pelintir koran kemudian dianyam seperti mengepang
rambut. Nanti koran-koran itu disambung sehingga menjadi gulungan anyaman koran
yang siap dipakai untuk dibuat perabotan. Paman sedang membuat tiruan anyaman
rotan dari anyaman koran. Ia duduk di tengah ruangan, sibuk menganyam
koran-koran bekas, aku membantunya.
Datang Gaby dan ayah dari dapur membawa sepiring
pisang goreng panas dan sari belimbing dingin. Kami menikmati suguhan sore itu
dalam kenyamanan yang tiada
terkata. Sungguh, berkumpul bersama itu menyenangkan. Dan aku tak ingin
menggantinya dengan hal apapun di dunia. Meskipun aku baru berusia 7, aku dapat
menjamin bahwa hidupku memang bahagia. Betul.
Aku senang tinggal di rumah kakek. Suasananya selalu hangat dan meriah.
Saudaraku banyak. Ada-ada saja yang harus kami kerjakan. Apabila malam tiba dan
semua tugas sekolah sudah dikerjakan, kami berkumpul di aula tengah sambil
menikmati musik. Ibu pandai bermain piano, maka ia akan memainkan piano di sudut
ruangan dekat jendela. Ayah biasanya duduk di meja tulis dekat piano sambil melanjutkan
tulisannya. Ia membuat banyak tulisan yang
diterbitkan menjadi buku.
Ayah
kadang terdiam sebentar, memandangi kami yang berkumpul di tengah ruangan, lalu
melamun, matanya menerawang jauh,
kadang-kadang meski berada di sini pikiran ayah sering tak ada di sini – kalau
kamu tahu maksudku, biasanya matanya menjadi hidup lagi ketika ia
menghela nafas panjang dan kembali lagi ke tulisannya.
Apabila ibu tidak sedang ingin bermain piano, maka Paman Andre akan bermain gitar dan kami akan bernyanyi bersama. Aku pintar
menyanyi loh, demikian pula dengan Bibi
Aindri, kami bisa memecah
nada menjadi harmonisasi indah pada sebuah lagu. Pokoknya malam-malam di rumah
kakek sangat menyenangkan. Kami
jarang menonton televisi, baik ayah dan Paman Andre tidak suka bila kami
menghabiskan banyak waktu di depan televisi. Malam-malam di rumah kakek selalu
dihabiskan dengan mengerjakan hal-hal yang menyenangkan.
Bila ibu dan Paman Andre terlalu lelah
untuk bermain musik maka kakek mendongengkan masa kecilnya atau ayah
mengarang cerita dan kami yang melanjutkan cerita tersebut alinea per alinea hingga terjalin cerita yang mendebarkan dan asik. Tapi
terkadang gak nyambung juga, apabila cerita yang asik itu tiba di gilliran Dimas, ia selalu kebingungan
mengarang cerita. Mira amat menyukai
binatang, ia bercita-cita menjadi dokter hewan atau relawan konservasi binatang
langka. Karenanya cerita karangannya tidak pernah jauh tentang hewan. Mira ingin
sekali memelihara anjing, tetapi Bibi
Aindri selalu berkata, “Sebelum
kamu dapat merapikan barang-barangmu sendiri, kamu tidak boleh memelihara
anjing.” Memang betul, barang-barang Mira selalu berserakan di mana-mana, ia
selalu lupa tempat meletakkan benda-benda, sehingga hampir setiap pagi sebelum
berangkat sekolah, Bibi Aindri akan sibuk membantu Mira
mencari benda-benda yang diperlukannya.
Ibu berkata memelihara hewan
itu untuk disayangi selamanya, bukan sekedar karena ingin, nanti ketika sudah
bosan, maka binatang itu ditelantarkan, tak dirawat atau justru dibuang, itu
cerita pedih menurut ibu, melihat keluarga-keluarga memutuskan mengambil hewan
untuk dipelihara tapi tak sungguh-sungguh memelihara mereka. di rumah kakek
kami tak memelihara hewan, belum, belum memelihara hewan.
“Sudah pukul sembilan malam. Anak-anak harus segera pergi tidur”,
demikian kata ibu. Bibi Aindri
menggiring kami semua ke kamar mandi dan menunggui kami menggosok gigi supaya
mulut bersih dan nyaman. Ia mencampur segelas air panas dari termos dan
segayung air dari bak untuk kami berkumur.
Sekarang tak ada alasan lagi untuk alpa menyikat gigi karena berdalih air
untuk kumur terlalu dingin. “Jangan
kau sikat keras-keras gigimu Ris,
pelan-pelan saja, nanti rusak emailnya dan ngilu gigimu.” Kata Bibi Aindri. “ Sudah kau sikat lidahmu Diandra? Banyak kuman menempel di sana.” Ujarnya lagi.
Kami menyikat gigi cepat-cepat dan segera berganti pakaian tidur lalu
naik ke kamar masing-masing. Ibu menunggu di pintu kamar untuk mencium kening
kami satu per satu, demikian pula dengan Bibi Aindri. “
Selamat tidur.” Ujar mereka.
“ Matikan lampu-nya Jati, tak baik membaca sambil tiduran.”
Pesan ibu.
Setiap hari kami sekolah. Kecuali hari Minggu tentu saja dan tanggal merah dan libur yang ditetapkan
pemerintah. Sekolah kami berada di desa lain. Desa kami terlalu kecil untuk
memiliki sekolah sendiri. Hanya ada rumah kakek, persawahan milik Pak Sigit, kebun buah milik
keluarga Pieter, rumah jagal
binatang di ujung desa, museum kereta api di perbatasan desa, dan peternakan
sapi milik Pak Salbie. Juga
ada kali dan lahan-lahan kosong penuh alang-alang. Tidak ada anak usia sekolah
dasar selain kami.
Perjalanan menuju sekolah memakan waktu 25 menit dengan jalan kaki
santai. Apabila kami berlari, bisa tiba di sekolah dalam waktu 15 menit.
Sekolah kami dimulai pukul tujuh pagi. Kami bangun pukul 5.45, mandi, sarapan sebentar kemudian berangkat ke sekolah pukul 06.20 Untuk menuju sekolah kami melewati jalan
setapak. Di kanan kirinya penuh perdu bambu. Setelah itu kami akan melewati
kali kecil, tempat alang-alang tumbuh untuk pakan sapi peternakan milik Pak Salbie. Kami kemudian akan
melintas memotong jalan melewati kebun buah keluarga Pieter, apabila gerbangnya masih ditutup,
kami akan berbelok melewati pematang sawah milik Pak Sigit. Dari sini sudah dekat dengan
museum kereta api. Kami akan menyebrang di sini dan tampaklah sekolah dasar
bercat merah dengan pagar pembatas tanaman perdu teh-tehan.
Aku duduk di kelas 2 sementara
Mira duduk di kelas 3. Kelas kami bersebelahan. Boris dan Dimas
sama-sama duduk di kelas yang sama, kelas 4. Jati duduk di kelas 5 bersama Gaby. Kami masuk kelas
masing-masing dan siap belajar.
Pukul 10 pagi bel istirahat
berdering. Capek lo belajar itu. Hari ini aku menghapal perkalian 6
sampai 8. Aku sudah hapal perkalian 1 sampai 5. Pusing deh, sungguh. Tapi
menyenangkan. Ibu guru mengajarkan cara cepat belajar perkalian. Dengan kedua tangan,
kita bisa menemukan hasil dari perkalian 6 sampai 8 asalkan kita sudah hapal
perkalian 1 sampai 5.
Kata bu guru, “ 7 dikali 8.” Kami murid-murid serentak menghadapkan kedua
tangan di depan wajah seperti orang berdoa. Kata ibu guru, “buka tangan kiri
kalian. Anggap tangan kiri kalian bilangan 7 dan tangan kanan kalian bilangan
8.”
Mulanya kami sekelas bingung, tapi lama kelamaan mengerti. “Sekarang,”
lanjut ibu guru, “ pada tangan kiri, lakukan pengurangan tujuh dikurang 5.”
Kami serentak menyisakan 2 jari berdiri dengan 3 jari mengatup pada tangan
kiri. “Kemudian, pada tangan kanan,” ibu guru berkata antusias, “ delapan
dikurang 5.” Maka berdirilah 3 jari kanan kami, 2 sisanya mengatup.
Sehingga sekarang, kami memiliki 2 jari berdiri di tangan kiri dan 3 jari
berdiri di tangan kanan.“Jari-jari yang berdiri tersebut, dijumlahkan dan
hasilnya letakkan di tempat puluhan,” lanjut ibu guru. Kami menulis angka 5 di
tempat puluhan.
“Lalu kalikan jari-jari mengatup yang kalian miliki.” Ujarnya. Maka kami
mengkalikan 3 di tangan kiri dan 2 ditangan kanan, hasilnya 6. “Letakkan hasil
kalinya di bagian satuan. Dan itulah hasil 7x8.” Kata ibu guru. Kami menulis
angka 6 di tempat satuan. Dan lihatlah, ada angka 56 sebagai hasil kali 7 dengan
8. Menyenangkan sekali. Sepagian itu kami bermain perkalian menggunakan jari.
Ketika istirahat aku
dan saudara-saudaraku makan bekal dan minum sari belimbing dingin di kebun
sayur sekolah kami. Sekolah
kami memiliki kebun sayur dan taman bunga. Di pojok kebun ada gentong besar
tempat membuat kompos. Sampah
organik dikumpulkan kemudian dibuat kompos. Kompos yang ada digunakan untuk
menyuburkan kebun sayur dan taman bunga. Setelah menghabiskan bekal,
kami bermain dan berlari-larian dengan teman-teman yang lain. Istirahat
duapuluh menit itu terasa cepat sekali. Kemudian kami masing-masing harus masuk
kelas untuk belajar lagi. Karena aku
masih duduk di kelas dua, maka pukul 11.30 kelas ku selesai sementara kelas
yang lebih besar selesai belajar pada pukul satu siang. Aku menunggu di
perpustakaan sekolah sambil membaca-baca buku cerita sampai gaby menghampiriku
di perpustakaan.
Siang-siang seperti itu rasa
lapar menyerang kami.
“Aku bisa makan ayam hidup
nih saking laparnya,” kata Dimas
ketika kami berjalan kaki pulang ke rumah. “ibu masak apa yah?” ujar Boris. “ Aku pingin minum yang segar-segar..capek banget hari ini belajar matematika.”
Kata Gaby.
Sepanjang perjalanan pulang kami membicarakan makanan. Sampai tak sadar
bertemu Paman Andre yang sedang menyabit alang-alang.
“Hei kalian….” Seru Paman Andre. Kami
mendekatinya. Paman Andre membawa karung dan mengenakan caping. Di sebelahnya
ada kaleng besar kosong.
“ Kalian capek gak?” tanyanya. Kami semua
menggeleng. “Kalau kalian mau, kalian bisa bantu paman mencari keong sementara
paman menyabit rumput.” Lanjutnya.
Horeeee…..kami berenam segera melepas
sepatu dan kaos kaki, lalu melepas kemeja sekolah. Dengan hanya berkaos dalam,
kami mencari-cari keong di parit dan rerumputan. Asik sekali mencari keong
sampai lupa bahwa perut kami keroncongan karena lapar. Akhirnya selama setengah
jam terkumpulah satu kaleng besar keong. Karung Paman Andre pun telah sesak
oleh rumput. Tak sampai sepuluh menit, sudah tiba kami di rumah. Kami semua
cuci kaki sampai bersih di pancuran air dekat gerbang lalu mandi di halaman
belakang dekat bengkel kerja paman Andre. Kakek memang memiliki dua pancuran di
halaman depan dan belakang karena ibu tidak ingin kami masuk ke dalam rumah
dalam keadaan kotor. Sebab kami tidak memiliki pembantu yang dapat membantu ibu
serta bibi mengurus rumah.
Ibu keluar mengangsurkan handuk untuk kami
masing-masing. Kemudian ia mengambil pakaian sekolah lalu merendamnya di bak.
Kami masuk ke dalam rumah berlarian menuju kamar untuk berganti pakaian rumah
yang sudah usang. Serius deh, baju usang itu nyaman sekali loh..tipis dan
ringan.
Dimas dan Jati sudah duduk di meja makan.
Asikk ada ayam goreng, dengan tumis bayam bawang putih dan terong goreng
tepung. Nyam nyam enak sekali. Untuk cuci mulut kami minum es lidah buaya..wahh
perut penuh jadi mengantuk. Tapi ibu melarang kami tidur seusai makan. Ia
menyuruh kami ke halaman dan bermain di sana.
“Aku mau menyelesaikan tugas menggambar
ah…” kata Mira. Ia segera berlari ke kamar dan mengambil peralatan melukis.
Kami menunggu Mira di beranda belakang.
Gaby dan Jati tengah sibuk mengerjakan PR Matematika mereka. Sementara Dimas
dan Boris duduk di pinggir pintu bengkel kerja paman. Mereka sedang
mengumpulkan papan-papan bekas dan terlihat asik sekali bercakap-cakap.
Rumput yang tadi disabit Paman Andre sudah
dihamparkan di pekarangan belakang untuk dijemur. Rumput itu untuk makanan
kelinci dan harus dijemur hingga kering baru bisa diberikan pada kelinci.
Kandang kelinci kami ada 3. Berbentuk prisma segitiga dan diletakkan di
pekarangan belakang. Kami memiliki 24 ekor kelinci.
“ Diandra, tolong ambilkan 6 buah wortel
dari dapur. Yang besar-besar. Ambilkan juga seledri bila ada.” Teriak Paman Andre
dari arah bengkel.
Aku mengambil sayuran itu di dapur dan
menyerahkannya pada Paman Andre. Sayuran itu diletakkan ke dalam enam toples
bening. Keong-keong dituang ke dalam toples-toples tersebut. Sekarang mereka
akan memakan sayuran. Kotoran mereka pun akan berasal dari wortel dan seledri.
Sehingga ketika keong tersebut akan dimasak ibu telah menjadi sehat untuk
dikonsumsi.
“ Kita tunggu 3 hari lagi Diandra, dan
tumis keong kering bikinan ibumu akan menunggu kita di meja makan.” Kata paman
andre sambil mengacak-acak rambutku. Aku berdiri dan berjalan menuju beranda
belakang. Mira terlihat sibuk sekali melukis. Ia menggambar pemandangan
pekarangan belakang rumah. Dengan pagar kayu yang dililiti tanaman pare,
kandang ayam dan kandang kelinci. Aku duduk di sebelahnya, mengagumi hasil
karya Mira.
“Main dakon yuk Diandra.” ajak Gaby sambil
membagi-bagikan biji dakon. Jati tak mau diajak bermain karena sudah asik
dengan komik detektifnya, itu permainan anak perempuan, demikian ia berkilah.
Mereka sudah selesai mengerjakan PR dari sekolah.
“ Hei nak, apa yang sedang kalian kerjakan?”
teriak Paman kepada Dimas dan Boris. “ Kami
sedang membuat kereta dorong.” jawab Boris. “Di mana
pakunya ayah?” tanya Dimas. “ sebentar kuambilkan.” Kemudian terlihat mereka
bertiga asik membuat kereta dorong kecil. Paman mencopot ban karet dari sepeda
roda tiga Mira yang telah lama rusak. Lalu dipasangkannya pada kereta dorong
itu. Tak lebih dari satu jam, jadilah kereta dorong yang kuat untuk dibawa
bermain.
“ Besok kita lukisi yuk, biar lebih asik.” Ajak Boris. “ pastinya.” Sahut Dimas.
sssttt...saya nemuin ini dalam file yang tak tersentuh di laptop saya..pasti saya menulisnya di tahun 2010, sewaktu masih banyak berada di rumah dan menghabiskan hari dengan terapi. masa-masa itu saya tak dapat berpikir yang berat-berat. seorang pendoa yang rutin datang menyarankan saya untuk menulis sebagai upaya mengurangi beban psikologis.. saya sekarang yakin, inilah refleksi diri saya sendiri, yang menginginkan kembali ke masa anak-anak, bisa berlari-lari dan tak harus merasa khawatir ada apa di kemudian hari..
berkah dalem fellas
selamat mengenang masa kecil
Tidak ada komentar:
Posting Komentar