Minggu, 24 Februari 2013

little boxes


“Kadang-kadang gw merasa misfit dan misplaced di kampus gw.”
“Itu emang salah gw sendiri karena sembrono milih kampus dan gengsi untuk pindah karena malu sama papa, malu jadi orang sembarangan yang cuma bisa ngerepotin orang. Jadinya gw tetep bertahan di sini. Awalnya mungkin untuk pembuktian ke papa tapi sekarang gw mati-matian membuktikan ke diri sendiri bahwa gw bertanggung jawab terhadap pilihan gw sendiri.”
“Tadinya gw gak tega untuk bilang ke diri sendiri, bahwa gw jauh lebih bermutu dari mereka karena punya lebih banyak rasa penasaran dan kegigihan untuk cari tahu, lebih cekatan untuk ngerjain ini itu, lebih disiplin untuk mengejar kekurangan-kekurangan diri. Gw gak mau mikir ke arah situ karena itu membikin gw gak rendah hati.”
“Tapi nyatanya begitu, ada banyak banget orang males di dunia ini, bahkan untuk memperjuangkan diri sendiri aja males, keterlaluan banget.”
“Itu seperti pelaut yang membenci menjelajahi ombak, seperti penulis yang berhenti baca karya orang lain. Seperti adventurer yang menggerutu ketika kesasar jalan.”
“Kalau gak kesasar jalan itu namanya vacation.”
“Apa bedanya kampus sama travel agent kalau gitu...sedih banget gw.”
“Gw bingung banget waktu awal kuliah, memperhatikan kawan sekelas gw gak ada greget untuk belajar, gak peduli sama peningkatan kualitas diri. Apa-apa maunya disuapin, nanti kalau udah terjun ke masyarakat gak siap dengan apapun. Jadi mahasiswa kok kehabisan rasa penasaran dan gak mau berpikiran terbuka, boro-boro deh melakukan pengabdian buat masyarakat, wong memperjuangkan diri sendiri aja gak mau.”
“Gw makin pedih waktu sadar mereka betul-betul gak terhubung dengan Indonesia. Okelah mereka gak harus tahu kalau di Trowulan ada peninggalan Majapahit.”
“Mereka mungkin gak sempat kenal Sjahrir, Douwes Dekker, atau Munir, itu kan kasihan banget.”
“Itu membuat gw malu sendiri dan membuat gw sering bertanya-tanya apa ya yang mereka kerjain sehari-hari. Apa arti sesama buat mereka. Apa yang mereka pahami tentang nusantara, atau Jakarta deh, gak usah jauh-jauh.”
“Terus buat apa hidup kalau bahkan menggugat diri sendiri aja gak mampu atau gak terpikir ke arah situ, pedih banget. Hidup kok kayak numpang lewat doank, gak ada jejak-jejak berarti.”
“Jengah dan merasa buntu... Kasihan Indonesia kalau pemudanya begitu semua..kok gw pesimis banget  yaa..”
 “Gw bukan sombong ya, demi Tuhan bukan. Gw ngomong begini ini ya cuma sama elu, gw gak tega ngomong sama mereka. Gw merasa makin bodoh di lingkungan kayak gitu.”
“Gw gak bergembira, gak merasa gelora akan rangsangan berpikir.”
“Kadang-kadang gw pengen bilang bisa gak sekali-kali kalian punya waktu untuk mikirin sesuatu dalam-dalam, pelan-pelan. Punya waktu untuk mengendapkan pikiran dan perasaan, moment-moment perenungan eksistensi biar gak sedikit-sedikit melodrama.”
 “Sering banget gw jengkel ngumpul sama mereka, capek banget kuping gw. Kadang situasinya gak memungkinkan gw untuk segera pergi, takut melukai mereka dan gw berharap bisa budeg sementara kalau lagi ada di situ.”
“Ini habitat ngeri beneran !”
 “Nah, berarti gw yang gak ngertiin mereka kan. Memaksa mereka untuk sama kayak gw. Ini mengganggu buat gw sendiri. Gw tahu kok penilaian gw terhadap mereka itu betul-betul bias. Gw takut gak rendah hati, dan gw ngomong ini ya cuma sama elu.
 “Padahal gw gak keberatan jadi bodoh dan gw saadaaarrr banget kalau gw itu naif.”
 “Maksud gw, bahkan gw yang ngerasa bodoh dan naif ini aja terganggu dengan hal-hal seperti itu, gimana orang lain ya, yang emang betul-betul pinter, apa jadinya kalau ngobrol sama mereka. Apa gak jengah ketemu orang-orang apatis?”

******

Aku selalu merasa masa-masa kuliahku telah berakhir jauuhhh sebelum aku di wisuda.  Little boxes-nya Malvina Reynolds selalu bikin aku terkikik geli dan perih sekaligus.
And the people in the houses, all went to the university. Where they were put in boxes and they came out all the same. And there’s doctors and lawyers and business executives and they’re all made out of ticky tacky and they all look just the same..
kalau kamu mampir ke youtube, walk off the earth bikin cover yang asik tentang lagu itu. kebetulan aku suka sama setiap orang yang niat.http://www.youtube.com/watch?v=LM8JhvfoqdA
Pada masa kuliah, aku latihan foto essai di bantar gebang, di pemulasaran jenasah, tiga hari hidup bersama nelayan cilincing. Semua demi tugas kuliah, kuliah yang mudah, tak membuatku ingin kembali. Karena itu aku memutuskan untuk tak melanjutkannya, karena di luar sana ada yang lebih penting ketimbang latihan foto dan berteman dengan mereka yang gak mau berkembang, ketimbang menyalin tulisan dari perpustakaan. Di luar sana ada kehidupan. 
Aku selalu kepingin tahu apa yang bisa kuperbuat selagi badanku masih sehat, otakku masih bisa diajak mikir, waktu keinginanku masih tulus. 
Aku ingin kabur untuk hal-hal yang agak baik.
Rambutku rontok karena kepikiran banyak hal. Ini adalah hal yang menggelisahkan karena selama ini aku kira hidup baik-baik saja. Aku tahu kita banyak dibohong-bohongi, tapi kayaknya gak parah-parah amet, gak bahaya dan meluluhlantakkan hati.
Kemarin junior aku ngabarin, kenapa aku gak muncul di peredaran. Latihan choir sudah mulai lagi kak, lo dateng donk kak, bantuin alto, ajarin kita.
Sms itu aku terima dengan sedih. Setiap tahun aku menyanyi di acara wisuda senior, melepas sarjana-sarjana muda. Partitur lagu-lagu wajib nasional dan lagu daerah yang dinyanyikan berulang-ulang kali dari tahun ke tahun. Aransemen apik diiringi chamber. Latihan tiga bulan untuk menyiapkan penampilan paling menakjubkan.
Tanah airku Indonesia, negeri elok amat kucinta. Tanah tumpah darahku yang mulia..yang kupuja sepanjang masa. Itu adalah lagu yang selalu dinyanyikan saat wisuda, setelah Gaudeamus Igitur dan Indonesia Raya.
Aku masih mengingat jelas moment itu, berlatih partitur Rayuan Pulau Kelapa untuk mengisi acara wisuda.
Senior-seniorku yang tak lagi hidup untuk meraih mimpinya. Bertahan hidup dengan kepiluan yang lain.
Apakah tanah air itu sayang?
Hal-hal semacam itu selalu membikin aku sedih.
Sekarang ini, detik ini, kamu pasti tahu bahwa di setiap ujung bumi Indonesia, selalu ada orang disiksa sampai mati, orang-orang yang tidak selalu punya pilihan. Aparat yang berulangkali berkata ini musibah. Musibah dari mana kalau berlangsung terus menerus dan dibiarkan. Psikopat di mana-mana, kejahatan terhadap kemanusiaan yang menjadi-jadi, orangtua yang bangga karena anaknya berhasil mengumpulkan materi dan membutakan hati nurani ketika sadar benda-benda itu hanyalah hasil korupsi, mereka yang masih berdoa dan sama sekali tak merasa bersalah, harta yang tak disita dan mereka yang tak dimiskinkan supaya jera.
Aku harus menertawakan diriku sendiri, sebab aku teramat naif.
Aku punya jadwal browsing tulisan Roger Ebert untuk mengetahui pendapat dia tentang film-film, kemudian menontonnya dengan serius, setiap film bintang empat dan bintang satu, untuk mengetahui selera tontonan tuan Roger Ebert. http://www.rogerebert.com/great-movies
Sekarang aku bisa membayangkan bahwa penyiksaan yang kita saksikan di film Spy Game dan film sejenis itu bukan tak mungkin tak terjadi. Hidup gak selalu sekonyol Hangover. Kita sulit memahami bahwa kekejian itu berlangsung, sedang terjadi, bahkan lebih parah, dan semua ini demi penaklukan. Siapakah kita sebenarnya sayang?
Aku kesulitan memahami apa yang harus dijadikan tempat berpijak saat ini. Ada banyak hal di dunia yang tak bisa aku tanggung meskipun ingin. berulang kali bertanya ke diri sendiri apakah aku sok heroik.
Yang aku miliki saat ini adalah sisa-sisa kepercayaan, barangkali juga harapan, seperti betulkah di galaksi lain ada Tuhan yang sama. Tapi justru itu masalahnya kan, iman.
Dan kebencian gak membuat dunia jadi mudah.
Aku mesti berterimakasih pada semesta yang baik. Akhirnya sampai juga di tempat magangku kali ini. Belajar dan melihat banyak hal.
Sebelumnya aku gak pernah tahu bahwa metode penyiksaan yang dialami oleh kelompok-kelompok tertentu itu begitu sadis dan bengis.
Aku sampai mimpi buruk setiap malam, kepikiran terus. Mimpi di lokasi yang sama, situasi yang sama, kelam yang makin pekat. Setiap hari aku baca dokumen, aku monitoring, menelusuri tragedi dan ironi bangsa kita. Semakin hari semakin tenggelam, merasa muak dan marah, sekaligus bersedih.
Setiap bangun tidur aku mencatat mimpiku, apa yang masih dapat kuingat. Kemudian membandingkannya setelah seminggu. Mimpi itu selalu sama dan membentuk film dalam kepalaku. Aku mencatatnya dengan telaten. Lama-lama aku menunggu diriku bermimpi. Aku pikir aku gila. Mimpi itu berkembang dan menguat.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar