Rabu, 27 Februari 2013

bisa apa kita


dari sekian milyar hal yang saya enggak sempet tahu, saya tahu satu hal, ketika saya berdoa untuk orang lain, saya merasa jiwa saya agak tenang. diri saya yang meletup-letup ini seperti tiba-tiba tak lagi bergolak. saya tentu saja bukan orang baik, dan kalimat ini saya ketik bukan untuk menunjukkan bahwa saya rendah hati. saya sedang ingin bercerita bahwa kegiatan ngobrol dengan tuhan bikin saya punya kesempatan lebih untuk mikir pelan-pelan. 

ada banyak peristiwa dalam hidup saya, kejadian-kejadian selintas yang justru tertanam dalam batok kepala. kejadian-kejadian itu biasanya bukan kejadian yang hebat, tapi kejadian-kejadian sederhana yang mengusik kesadaran. sampai hari ini di tengah rutinitas saya sehari-hari, setiap sebelum menjelang tidur saya masih menyempatkan diri untuk ngobrol dengan tuhan. 

saya katakan ngobrol karena tuhan yang saya bayangkan adalah sosok yang dekat, tempat saya bisa cerita kapan saja dan tentang apa saja, tak ada satupun yang tak saya ungkapkan, dia yang tahu borok dan busuk saya tanpa menghakimi, juga saya yang tahu diri dengan dosa-dosa saya, saya yang tahu diri tak minta diampuni, tak minta dimengerti untuk kesalahan yang saya bikin. saya mengobrol dengannya seperti saya mengobrol dengan bapak. saya tak merasa perlu menyembah-nyembah : tuhan yang mahabaik, tuhan yang mahatahu, atau tuhan yang mahapengampun, atau tuhan yang maha atau. 

bukan karena saya gak percaya hal itu. justru karena saya percaya banget dia lebih dulu tahu ketimbang saya, maka dia gak perlu diajakin ngobrol hal-hal yang dia udah ngerti, hal-hal seremoni. saya kebetulan enggak seneng hal yang bertele-tele dan saya merasa ketika meluangkan waktu untuk ngobrol, itu adalah jam-jam yang baik, waktu yang berkualitas, saya yang mengalami mengenal diri sendiri ‘lagi’, pelan-pelan dan gak seketika ujug-ujug langsung dihuni pengertian yang baru, atau pengertian yang ter-upgrade. kegiatan mengobrol ini asyik sekaligus khusyuk. 

saya cuma ingin jadi orang baik. minimal baik terhadap diri sendiri, dan punya kesadaran yang baik.


suatu hari di tahun 2006 saya pulang kuliah bersama LF, hari sudah malam. saya nganterin LF pulang sampai rumah, dia gak biasa pulang malam, baru jam sembilan sih waktu itu, tapi standart terlambat pulang setiap rumah kan gak sama. bapak ibuk gak pernah ribet kalau saya pulang malam, atau gak pulang sekalian, memang begitulah cara mereka mendidik saya. dan dengan cara itulah saya justru jadi enggak terlalu bengal, serius, karena disodorin banyak hal dan gak dilarang-larang, saya justru punya kesempatan untuk mikir. 

waktu itu kami pulang naik 102 dan berhenti di depan koperia (dulu belum ada grand lucky, kalau kamu biasa lewat radio dalam pasti kamu kenal arah yang saya maksud). kami masuk ke dalam gang perumahan di sebelah koperia, itu adalah jalan potong menuju rumah LF. waktu itu gelap dan hampir hujan. dari arah yang berlawanan kami berpapasan dengan seorang pembersih sampah (saya gak mau bilang dia tukang sampah, soalnya dia bukan tukang, tapi manusia yang membersihkan sampah, sampah sebagian dari kita yang enggak tahu diri).

gerobak sampahnya geeeddeee banget dan penuh, dan badan si bapak kecil. dia susah banget narik gerobaknya. kakinya tak beralas sepatu. meskipun gelap saya bisa lihat urat-urat di punggung kakinya, kulitnya yang kisut dan gak ada dagingnya itu. nafasnya betul-betul kembang kempis.dia terlihat betul-betul kepayahan menarik gerobaknya. hal itu seketika membuka pintu afeksi. ada jeda 2 menit waktu saya mikir kepingin bantuin dia, entah apa. saya betul-betul merasa sedih. saya berhenti dan bilang sama LF, kita bisa kasih apa ya. malam itu sampai hari ini saya menyesal gak jadi ngasih dia uang limapuluh ribu, hal itu selalu terbayang-bayang. 

saya ingat tinggal punya uang limapuluh ribu di dompet untuk sisa ongkos kuliah seminggu itu sekaligus untuk fotokopi materi kuliah. seingat saya uang LF paaass habis untuk bayar ongkos bis kami berdua. saya sebetulnya hendak memberikan uang sepuluh ribu untuk si bapak, tapi gak ada orang atau warung yang buka untuk nukerin pecahan limapuluh ribu satu-satunya itu. kami bener-bener berdiri dan diam. adegannya persis sinetron bahkan mungkin lebih baik lagi, si bapak berlalu dan saya menengok ngelihatin dia nyebrang jalan dengan lampu jalanan warna oranye itu. bis 102 dan 72 ngebut setiap saat. waktu saya sampai rumah LF, hujan turun dengan hebat. saya numpang berteduh sebentar sebelum kemudian melanjutkan pulang ke rumah. dalam perjalanan saya merasa tolol, kenapa tadi gak saya kasih uang saya itu. saya lupa kalau tiga hari lagi ada bayaran choir (paduan suara) yang bakal cair.

juga ada kejadian lain waktu saya kecil dan digandeng ibu. hari itu puasa. ibu ngajak saya jalan-jalan ke blok m, belum ada blok m square waktu itu. blok m pada masa itu luar biasa penuh dengan atap terpal dan barang dagangan, hampir gak ada tempat lewat. orang ramai mengantri texas chicken di sebelah gedung melawai plaza.  juga ada toko sepatu hawaii di situ, tempat ibu membelikan saya sepatu setahun sekali. 

sore itu,saya dengar suara adzan. ibu menggandeng saya dan bertanya mana yang lebih saya suka, es doger untuk dibawa pulang atau gorengan yang enak dimakan hangat-hangat. tentu saja saya lupa apa yang ibu beli. ketika menawar belanjaan, saya membelakangi ibu sambil memegang ujung blus ibu. di seberang saya berdiri, berderet penjual buah-buahan. seorang diantaranya kakek dengan peci hitam dan kemeja katun yang tipis. saya ingat betul. dia menjual pisang mas, ada dua keranjang rotan besar dan pisang mas digantung pada bambu.si kakek memuntir dua buah pisang mas dari sisiran. sebelum dimakan saya melihat bibirnya komat-kamit membaca doa. meski saya katolik, saya kenal doa buka puasa, kawan-kawan sepermainan yang mengajarkan saya. saya yang kecil merasa demikian sedih. itu adalah menu buka puasanya.

“mama..mama...beliin gorengan buat simbah..” saya membujuk ibu. tentu ibu tak mengerti. saya ingat dia bilang, “oo..kamu kangen simbah?” kata ibu menggandeng saya sambil menawar bajaj. 

waktu kecil dalam kegiatan sekolah minggu saya diajari bagaimana caranya berdoa. tapi rasanya sampai hari ini saya enggak pernah berdoa seperti yang diajarkan dalam agama yang saya pilih.

saya beruntung punya orangtua yang enggak cupet, enggak sempit. mereka yang ngajarin ke saya tentang banyak hal baik, juga buruk, dan karena itulah saya gak habis bersyukur.
orangtua saya gak pernah maksa saya untuk ke gereja atau berdoa. Sewaktu saya SMA bapak saya bilang saya boleh pilih agama apa saja. saya boleh milih pasangan hidup saya sendiri, jalan hidup saya sendiri. dia juga gak pernah minta saya jadi orang baik, saya ingat bapak bilang : kamu mau jadi pelacur juga terserah. dia cuma minta saya gak boleh bodoh. Cuma itu. dan menurut saya bapak saya asik. dia bertatto sejak tahun enampuluhan. dan dengan demikian saya yakin kalau kamu memilih bertatto kamu enggak bajingan. sebabnya bapak saya bukan bajingan. dan banyak sekali bajingan yang gak bertattoo. itu cara saya berpikir waktu smp. 

saya katolik yang enggak ke gereja. saya enggak bisa doa rosario. saya enggak tahu lagu-lagu dalam puji syukur, saya enggak ngerti gimana memulai bacaan alkitab. suatu ketika ellen bilang : sini gw aja. saat itu ada perayaan ekaristi di kampus, dia tahu banget saya gak ngerti hal-hal apapun tentang liturgi, dan tanpa ingin mempermalukan saya, dia mengambil alih tugas itu. waktu itu saya tahu artinya seorang teman. 

sahabat saya yang lain, petra, sering mengirimkan ayat-ayat kitab suci, hampir setiap dia ingat. dia seorang kristen yang taat. yang meluangkan waktunya untuk ke gereja dan sibuk di sana, untuk pelayanan, mengajar anak-anak di cilincing di luar jam-jamnya sibuk kuliah, atau di luar jam-jamnya sibuk main sambil nyari penghasilan sambilan, itu tidak terjadi sebulan dua bulan, melainkan bertahun-tahun. waktu foto bidikannya menang suatu festival, dia pakai 70% hadiah uang itu buat acara sikat gigi rame-rame. hadiah uangnya emang gak banyak, tapi niatnya dia itu sering bikin saya geleng kepala. gimana bisa kaya pet, kalau duit lo sebar buat orang lain, batin saya dalam hati waktu baru awal-awal kenal dia. 

ngajakin anak sepanjang gang main permainan tradisional, padahal baru kenal lima menit.

meskipun saya bilang gak perlu sering-sering kirim ayat, petra terus melanjutkan hobinya itu. biasanya firman-firman itu mental,karena saya merasa dia buang-buang pulsa untuk hal-hal keseharian yang saya udah ngerti..dia suka menggoda saya dan ellen : cieee yang pinterrr..

dengan ellen saya berbagi hal-hal bodoh sepanjang hari, ada percakapan yang tak henti sepanjang hari, pengalaman-pengalaman gak penting sehari-hari yang selalu di share ketika kami tidur bareng, atau bahkan ketika kami gak tidur bareng, dan sekarang saya merindukan hal itu. selain sedih yang mendalam juga ada tawa berhamburan dalam persahabatan kami. biasanya salah seorang mengsms di sela-sela kesibukan harian: nyett..ntar sore gw nonton, atau gw sekarang di fx, atau nyett karaoke yuk.. dan diakhiri dengan gw ada cerita.

saya gak pernah menghabiskan waktu di mall atau tempat karaoke dengan petra seperti saya menghabiskan waktu dengan ellen untuk ngobrol sampah (sampahnya tentu saja buat kami bermutu). dengan petra saya lebih banyak menghabiskan waktu untuk pergi nonton ke erasmus huis, kineforum, goethe institute, @america, kota tua, museum-museum, atau acara-acara publik di mana kami mengejar cerita untuk melakukan foto essai. sepanjang tahun saya menghabiskan waktu di jalan sama petra, ketemu banyak orang. 


ngobrol dengan ellen membikin saya dan dia pelan-pelan memahami orang-orang yang kami sama-sama kenal, ini tentu saja baik karena ketika kita menyadari dan memaklumi seseorang, kita jadi tak cepat-cepat melabelkan dia sebagai sesuatu, dan dengan demikian kejengkelan bisa dipendam sementara waktu. 

sementara bepergian dengan petra membikin saya dan dia melihat banyak orang yang gak kami kenal sebelumnya. itu tentu saja memunculkan gelembung-gelembung random thoughts yang seringkali justru mengakar dalam hati.

sahabat saya ellen dan petra adalah orang-orang baik yang menunjukkan pada saya arti compassion. dan saya beruntung mengalami hal itu, hati yang tergerak..dalam dan kadang tak terjangkau nalar..

kemarin saya dan petra nonton pemutaran film di balik frekuensi-nya mbak ucu agustine di goethe institute. seperti biasa kami pulang malam, dua makhluk nocturnal yang lebih ngerasa punya greget di malam hari. saya selalu bertanya ke petra setelah lepas acara: mau makan di mana. meski saya hampir selalu yakin dia akan bilang : makan di rumah aja. sebabnya bukan karena kami gak punya uang, tapi buat kami makan di rumah memang lebih nyaman dan lebih santai.  

sekarang kami jarang nongkrong sampai pagi. sebabnya kepingin mengubah pola hidup. udah bosen sama jam-jam malam. ternyata bangun pagi itu enak juga. tapi ya gak tahu kalau besok-besok ada kerjaan yang bikin diri ngelembur.

sudah enggak pulang subuh lagi...
petra tahu tanpa saya beritahu lebih dulu bahwa selama enambulan ini saya bersedih, bahwa saya kepikiran terus menerus tentang satu hal itu-itu saja, yang membikin saya tipes dan ternyata jadi sering kambuh. dia sahabat yang peka. sini gw peluk, itu adalah hal yang biasa ia lakukan untuk membesarkan hati saya. dan kawan semacam ini tentu saja langka, kawan yang sama-sama bertumbuh dan jadi saksi evolusi diri. lo mau apa, mau motret lagi? apa mau bikin film lagi? ia punya rencana untuk membikin saya keluar kamar, gak melulu mendesain pakaian dan menghabiskan waktu membaca serta menulis di dalam rumah.

motret dan bikin film. 

sebagai alat rekam dari hingar bingar krisis kebangsaan. salah satu medio pengusik kesadaran.

psikopat tentu saja banyak. 

tapi yang enggak psikopat juga masih banyak. orang-orang yang masih nyediain waktu untuk jijik sama diri sendiri. dan kita tentu saja perlu lebih banyak melibatkan diri untuk peradaban. kita yang masih waras untuk berkarya, untuk jijik terhadap kejahatan terhadap kemanusiaan.

kalau ada simbah renta tanpa keluarga mati kelaparan salah siapa?

salah negara?

kalau ada anak jalanan mati disodomi salah siapa?

salah tuhan?

hasil jepretannya tommy apriando

saya kira, saya punya andil dalam kesalahan itu, kejahatan itu.

sebabnya saya gak mau tergerak untuk melibatkan diri dan ambil bagian dalam mengubah satu saja noda buruk. 

kita punya andil dalam kejahatan kemanusiaan itu. karena terus diam. 
karena terus diam.



Tidak ada komentar:

Posting Komentar