Selasa, 10 Januari 2012

mutiara

 
ini adalah mangkuk ke seribu delapan ratus enampuluh tujuh bakmie sorong yang pernah ku makan sampai hari ini. aku betul-betul menghitungnya. pasti banyak mangkuk-mangkuk bakmie yang tak terhitung sebelum aku memutuskan akan menghitungnya sejak tahun duaribudua.  aku selalu merasa diriku aneh. tapi aku suka menggenggam kegembiraan kecil milikku sendiri.

kalau kau tanya bagaimana rasanya bakmie sorong, apa yang menarik dari itu sehingga aku tak juga lekas bosan, di mana tempat penjual bakmie sorong terbaik, dan lain sebagainya, maka ceritanya akan jadi panjang. aku khawatir kamu akan keburu bosan dengan ceritaku yang akan berubah jadi monoton dan cenderung narsis.

aku lupa kapan pertama kali makan bakmie sorong. tapi aku ingat pernah makan bakmie dengan taburan daging tikus di dalamnya. lokasinya ada di sebuah terminal daerah jawa tengah tak jauh dari semarang, dekat dengan sebuah gua maria. tadinya aku tak tahu bahwa cacahan daging ayam dan jamur itu ternyata dibuat dari tikus sawah. paklikku yang memberitahukan itu, aku menginap di rumahnya, ia tinggal dengan simbah. aku lama tak mengunjungi simbah. keterangan paklik tidak membikin aku ngeri, aku justru makan lagi bakmie sorong tersebut sebelum kembali ke jakarta.

kalau kamu menganggap babi haram tapi menemukan bakmie sorong yang enak dan legit, sebaiknya kamu curiga. taburan semur ayamnya pasti sudah dicampur samcan. itu jaminan. kecuali mereka menggunakan daging bebek sebagai pengganti ayam, karena lemak bebek gurih seperti lemak babi dan rasanya sama mirip, masalahnya kita tak pernah tahu taburan semur itu dibuat dari bahan apa. tapi kalau kau pecinta daging babi, di dekat GKJ pasar baru, ada penjual bakmie sorong yang lezat, untuk membelinya saja menggunakan nomer antrian saking larisnya bakmie itu.

tapi pernahkah kamu menyantap bakmie bacin? aku pernah. aku tak bisa menyebutkan tempatnya di mana, tapi antrian mengular. hujan turun deras. akhirnya aku minta bakmie itu dibungkus. tiba di rumah bakmie itu berubah jadi bacin, 4 bungkus bakmie yang kubeli semuanya tak bisa dimakan, padahal cuma 20 menit naik motor jarak gerobak sorong itu dari rumah. ibuku bilang penjualnya menggunakan guna-guna, coba saja kau makan di sana, pasti rasanya enak dan selalu ingin membuatmu kembali. aku mencoba saran ibuku, dan terbukti benar.

Kamu ingat Dulah, pedagang mie pangsit di sekolah? ibuku bertanya. Aku jadi teringat masa sekolahku dan ibu yang seringkali menakut-nakutiku untuk tak sering-sering jajan di parkiran dan di kantin. Ada penjual pangsit yang tak pernah sekalipun dagangannya tak laris. Ketika parkiran sekolahku di bongkar dia pindah berjualan di dalam kantin tapi mie pangsitnya tak seenak rasa mie pangsit ketika ia berjualan di lapangan parkir. Setiap tanggal lima setiap bulan ia tak jualan, juga setiap hari selasa minggu pertama.

mistik atau bukan mistik, aku tak peduli. aku suka bakmie sorong.

 aku mendengar dering ponsel mbak-mbak sebelahku. ia mencoba membikin dirinya terlihat gaul dan asik. suaranya lantang ketika dia mengucap kalimat berbahasa inggris yang ngawur dan keliru. aku tertawa ngakak dalam hati untuk adegan lucu ini. selama limabelas menit itu aku betul-betul terhibur. seolah-olah ketika aku mendongakkan kepala memperhatikan sekeliling, ada subtitle ngawur seperti teks yang tertera dari dvd-dvd bajakan original. aku seperti melihat huruf-huruf berseliweran di udara untuk kemudian aku susun seperti permainan scrabble.
mbak di sebelahku memesan lagi seporsi bakmie, ia berbagi dengan kawan di depannya, sambil terus bercakap-cakap dengan mulut penuh, membahas gosip dari koran kuning yang mereka bawa. aku menikmati bakmie dan kripik pangsitku dalam diam sambil mendengarkan mereka. telingaku ini agak ajaib memang. dia bisa tiba-tiba panjang dan mencari-cari sumber suara. aku selalu membayangkan diriku tokoh kartun yang matanya bisa mencelat keluar dan lidah berubah panjang serta terggulung dengan sendirinya.menguping itu asik sekali ternyata. mereka tengah meributkan guna-guna yang dipasang simbah vampira terhadap artis berinisial KB yang mau dipersunting laki-laki peyot dan keriput. 

di tengah perbincangan tersebut, muncul percakapan lain. samar-samar terdengar keluhan mengenai anak 10 tahun yang tak mau makan dengan nasi. harus selalu mie..mie.. dan mie.

barangkali anak 10 tahun itu membenci nasi.
aku membenci nasi.

nasi mengingatkan aku pada cinta masa kecilku. aku pernah tak berdaya dan tak bisa bercerita ke siapa-siapa karena tahu akan jadi percuma dan tidak akan ada yang percaya.

aku melihat temanku perempuan dicabuli oleh bapaknya sendiri. rumah itu gelap temaram. mereka mengontrak di belakang rumah nyak sinah penjual nasi uduk. nyak sinah tiap hari berdagang nasi uduk, pukul lima pagi setelah sembahyang subuh ia telah menata dagangannya. pukul delapan pagi dagangan itu habis. semua tetanggaku mengandalkan dia untuk sarapan pagi. meski menu lauknya selalu sama : bakwan goreng, tempe mendoan, semur kentang-tahu-tempe-telor, balado telor, bihun goreng dan krupuk merah.

anak-anaknya tak tinggal di situ.

rumahnya luas. ia mengontrakkan rumah di bagian belakang yang gelap dan pengap. nyak sinah menempati ruangan depan tengah yang terdiri dari kamar tidur, ruang televisi yang juga digunakan sebagai ruang tamu, serta dapur besar berlumut dan berbau apek. kamar mandi dan sumur memisahkan antara tempat tinggal nyak sinah dan tempat tinggal si pengontrak. ada jalan di samping tembok rumah nyak sinah sebagai penghubung jalan kecil menuju pintu rumah pengontrak. jalan kecil itu kerap kali di gembok. lusuh dan menyedihkan.

umurku belum lima waktu itu. seperti anak laki-laki kecil, aku menyukai anak perempuan yang lebih tua, yang bisa diajak bermain dan melucu, yang bisa memomong aku. di kampungku aku paling ganteng, putih gemuk ipel-ipel menggemaskan, dengan bulu-bulu memenuhi tubuhku, itu kata ibu-ibu yang gemar menyubiti aku. aku menyukai tia. usianya sebelas tahun waktu itu. ia punya 3 adik, semuanya perempuan, adiknya yang bungsu sering menggigit lenganku, dan aku akan berlari pulang ke rumah mengadu ibu, atau mengadu pada tia yang segera memukuli pantat adiknya dengan gagang sapu. aku gak mau adik tia digebuki lagi, karena itu setiap ia menggigit lenganku aku balas menggigit lengannya. aku lupa siapa namanya. tapi aku ingat tia, sebab ia cantik dan padat. kulitnya sawo matang, giginya rapi dan alis matanya melengkung, kalau besar ia akan mirip aishawara ray, aku tak bohong, dia memang cantik dan membikinku ingin selalu ketemu dia.

di siang hari tia dan adik-adiknya kerap mampir ke rumahku untuk menumpang makan. mereka datang tepat pada jamku makan siang. ibu maklum, keluarga mereka miskin, mereka hampir selalu makan bersama kami. ibu mengajari mereka membaca karena dari keempat anak hanya tia yang sekolah, di kelas 3 sd, di usianya yang sebelas tahun. ketiga adiknya berlarian ke sana ke mari di tengah-tengah perkampungan seperti anak-anak ayam. ibu gagal mendidik mereka, dalam ingatanku yang mengabur, mereka tidak pernah berhasil bisa membaca sebaris kalimat.

suatu hari tia menjanjikan akan membikin  nasi goreng. ia baru mendapat uang dari bang samat karena membantunya kemarin dulu. bantu apa? tanyaku. dia diam saja. aku sudah duduk di kelas 2 sd, dan adiknya tiba-tiba menghilang bersama ibu mereka. aku tak pernah suka pada ibu tia. sebab ia besar, hitam dan menakutkan. ia gemuk dan bau, kamu bisa melihat tengkuknya yang hitam, dan lengannya yang menggantung seperti sayap. itu sih aku tak masalah sebenarnya. tapi aku geli setiap kali ia membuka mulut, wajahnya betul-betul terlihat bodoh, sapi mangap saja agak lebih baik ketimbang dia, aku tidak bohong. barangkali itu terjadi karena aku membenci dia, dia pernah memukul pantatku dengan gagang sapu. di rumah ibu dan ayah tak pernah memukuli aku. aku kaget dengan perlakuan orang lain yang telah menghinaku dan menuduhku anak nakal, sebab aku tidak nakal.

tia sudah tumbuh menjadi anak gadis yang cantik. sebelum ibunya pergi aku ingat bapaknya membelikan anak-anak perempuannya baju ketat ala si manis jembatan ancol. adik-adik tia perutnya buncit-buncit dan mereka terlihat lucu dengan pakaian itu, seperti lepet. tapi tia berbeda, bawah perutku rasanya bergolak dan geli. aku memandangi tia terus menerus. itu adalah liburan naik kelas 2 bagiku. sebetulnya aku ingin banyak bermain bersama tia selama liburan, tetapi ibu dan ayah mengajak aku berlibur ke rumah simbah. ketika kembali, tia sudah tinggal hanya berdua bapaknya.

tia jadi membikinkan aku nasi goreng.  aku tidak ingat apakah hari itu bisa menelan nasi goreng buatan tia. tapi aku ingat keesokan harinya, pintu di lorong terkunci, itu adalah jalan pintas untuk menuju belakang rumah nyak sinah. aku mengetuk pintu nyak sinah dan berkata mau main bersama tia. dia mengijinkan aku masuk rumahnya dan berkata masuk aja ke belakang enyak mau tidur lagi.

rumah nyak sinah panjang dan menyeramkan, lantainya tegel dan dindingnya dikapur. lampu-lampu tak dinyalakan. aku berjalan pelan-pelan ke arah belakang. perubahan udara dan aroma membikin aku bergidik. sebenarnya aku telah beberapa kali masuk ke rumah ini dan tak punya alasan lagi untuk takut. aku menuju belakang dan memegang pegangan pintu karena sinar tiba-tiba tambah temaram. aku melihat di sudut kanan sebelah sumur ada ember pakaian kotor. di sebelahnya kamar mandi lusuh dan reyot dengan pintu setengah terbuka.

aku melihat tia mandi. bokongnya terlihat aku.

aku melihat bapak tia, aku gak pernah tahu siapa namanya. laki-laki itu tampan. wajahnya tirus panjang dan berkumis. dia baik padaku. setiap jumat sepulang dari sholat ia kerap mengacak-acak rambutku.

aku melihat tangan tia memegang bak mandi batu bata dan matanya membelalak sambil mulutnya tak henti-henti mangap. ada tangan meraba dadanya yang basah, dada yang belum tumbuh itu bergoyang-goyang. kadang ia menjerit. kemudian dia berbalik badan dan ada tangan memegangi bokongnya.

aku tidak pernah mandi berdua ibu, aku tak pernah mandi berdua ayah. pengalaman itu asing bagiku. tapi aku tahu bahwa ibu dan ayah tidak jahat, tentu bapak tia juga baik sama halnya ayahku sendiri.

tapi  tia seperti kehabisan nafas, ia menjerit-jerit tertahan. ia terus menerus menjerit-jerit tertahan. aku melihat tia ditubrukkan ke tembok. bapaknya mengangkat kakinya ke bak mandi dan mereka main perang-perangan. tia tak lagi bersuara, ia merintih sedih seperti anjingku kwesi.

aku menutup mata. ibu mengajariku menutup mata ketika melihat hal-hal jorok dan tak pantas. tapi telingaku menangkap suara. aku tak pernah nyaman dengan suara itu.

suara itu begitu mengganggu.

aku duduk di undakan dalam rumah nyak sinah. merasa terganggu tapi tak tahu harus melakukan apa. aku tak ingat cerita selanjutnya. tapi setiap sore setelah hari itu aku rutin berkunjung, dan mendapati kejadian serupa, lama-lama menikmati suara-suara itu, lama-lama menonton tia dari kejauhan, bermain perang-perangan. kemudian pulang ke rumah menjelang makan malam dan merasa mual dengan apa saja makanan hangat yang disediakan ibu.

aku berbaring gelisah. sore itu adalah sore terparah semenjak aku mengendap-endap menonton tia di kamar mandi, hal yang awalnya aku lakukan karena ingin mengajaknya bermain. sore itu aku melihat ia dengan dua lelaki. ayahnya dan bang samat. jerit-jerit tia hari itu begitu meluluhlantakkan hatiku. aku tak bisa menolong dia dan aku berlari pulang ke rumah kebingungan.

aku benci pernah menelan nasi goreng buatan tia. aku benci. aku tahu uang itu dari mana.
tia pindah tahun itu. aku kehilangan dia.

aku tak tahu kalau tia dicabuli, kalau dia diperkosa. aku tak tahu waktu itu. aku menyadarinya ketika usiaku sudah empatbelas tahun. karena sejujurnya, kenangan itu berada di pojok belakang ingatan, aku memang tak mau memanggilnya, hal itu terlalu kasar dan menyedihkan. aku betul-betul berusaha keras melupakannya.. aku banyak beraktivitas semasa sekolah.

aku tak sengaja berpapasan dengannya di terminal. awalnya aku tak mengingat dia. umurku empat belas, baru pulang latihan ngeband dengan kawan-kawanku. hari telah larut. ia menyapaku dan mengajakku makan warteg, aku menolaknya. kami duduk di emperan toko.

dia menanyakan kabarku. aku kaget sebetulnya bertemu dia. dia sangat cantik dengan dandanan yang menyedihkan. roknya mini, semini baju ketat ala sinetron si manis jembatan ancol dengan tank top warna kuning.  dia menanyakan rumahku, ibuku, nyak sinah, dan semua kenangan masa kecil kami.

ia mengusap rambutku dan pergi. ada lelaki menghampiri dia. dia menunduk mengambil tasnya. aku melihat bokongnya, tali mengiris belahan bokong itu. lelaki itu merogoh ke dalam, kemudian mereka pergi naik mobil.

apakah betul setiap orang merindukan seseorang? aku tak tahu pasti. aku hanya merasa kadang hidupku anyep. tapi lewat hidup aku belajar untuk menjadi rendah hati dan menerima keberuntungan serta nasib sial sama-sama tegar dan tabah.

dua tahun kemudian kami berpapasan lagi. kali itu aku sudah terbiasa onani dan mulai sering nonton film porno. meskipun di ruang keluarga sedang ada arisan, aku tetap nonton film porno di kamarku, dengan suara dimatikan. imajinasiku berkembang dan tumbuh liar. aku suka membayangkan eksplorasi terhadap daya tahan dan rasa sakit.

ketika berjumpa tia, aku membayangkan dia dalam 2 menit perjumpaan itu. tubuhnya membikin diriku bergetar. aku belum pernah tidur dengan perempuan. tia membiarkan dirinya aku jelajahi. aku tidak memasukinya, takut ketularan penyakit. dia masih cantik tapi bagian bawah tubuhnya keplek-keplek seperti pintu mobil butut vw kodok, demi tuhan. aku bersedih lalu berlari ke kamar mandi, membersihkan diri dan minta maaf.

ia merokok sambil berdiri.aku berpakaian dan meninggalkan dia.  setahun itu hatiku hancur.

aku tak pernah menemui dia lagi.

sampai hari ini. di halaman depan bagian bawah sebuah koran cabul yang ditinggalkan mas-mas yang ikut makan siang di emperan toko ini. seorang mayat perempuan tanpa busana dengan inisial Mt. ditemukan tak jauh dari bekasi, dengan potongan alat kelamin laki-laki di vaginanya.

suara mbak-mbak penjaga toko terdengar genit ketika aku membaca koran itu.

mt.

mutiara.

 
**** 

aku berharap kamu sempat merasakan dicintai dan diperjuangkan. 

tia, kalau saja kau tahu betapa pedih hatiku membayangkan perjalanan hidupmu, karena aku tak pernah sekalipun tahu. semua berakhir tragis dan sadis. aku harus menemui akhir dirimu di halaman koran kuning yang dulu seringkali kubaca dengan asik. kalau saja kau sempat tahu betapa hatiku hancur setiap kali menemukan jejakmu. 

aku pernah mencintaimu dengan tulus. tak pernah aku membencimu, meski aku bukan lelaki pemberani yang mau memperjuangkanmu, karena aku punya masa depan, begitu ayah dan ibu selalu berkata. dan aku muda dan keinginanku banyak dan aku tak harus memperjuangkanmu dan kamu terlupakan, sedih, dan sendirian dan ternyata justru aku yang menyedihkan. kalau saja kamu tahu betapa penyesalanku mendalam.

aku membayangkanmu tia, kehujanan dan kedinginan, dengan pakaian seadanya yang melekat pada tubuhmu. dan kamu yang diperkosa berkali-kali sejak masa kecilmu. hanya itu yang kau ketahui sebagai cara untuk bertahan hidup. barangkali setelahnya kamu juga merasakan nikmat meskipun ada jauh di dasar hatimu perasaan yang tak bisa kau gambarkan karena keterbatasanmu untuk menguraikan kemarahan sekaligus kepedihan hatimu.

apakah kau betul-betul mau ketika harus berbagi tubuh. ayah seringkali skeptis dengan berita penangkapan pelacur di televisi. betul bahwa kamu akhirnya jadi liar tetapi tidak bolehkah kamu memiliki kehidupan yang lebih baik. mengapa kamu terus menjadi pelacur miskin. mengapa kamu tak membiarkan dirimu menjadi pelacur terdidik, sehingga kau bisa kecap sedikit saja kenikmatan duniawi, ketimbang dirimu terus menerus menjadi perempuan yang terinjak-injak. kau tak memiliki lagi dirimu sendiri sejak bapakmu merampas kehormatanmu, sejak bapakmu melukaimu sedemikian dalam, menjadikanmu budak seksual, menjualmu ke tetangga-tetangga kawannya berjudi dan mengobrol, ketika ibumu tidak memperjuangkanmu karena tubuh dan wajahmu membikin dia iri dan mual, karena ia tak pernah lagi disentuh bapakmu sejak putingmu mulai tumbuh dan dadamu bulat penuh.

aku melihat beritamu berulang kali di televisi. berita itu lewat begitu saja setelah dua hari. karena orang mati setiap hari. berita di halaman koran kuning mendeskripsikan kondisi matimu, telanjang bulat dengan pubis yang terpangkas, puting yang digunting dan vaginamu dijejali potongan kelamin laki-laki, belum ditemukan pelaku pembunuhan dan motif pembunuhan.

karena kamu bukan perempuan baik-baik maka kita kerap kali menghakimi kalian kelewat sadis dan kamu merasakan ketidakadilan terus menerus. kalau saja aku punya keberanian untuk menyelamatkanmu. dari dulu sering kudengar orang bilang : hidup tidak adil serta di manakah tuhan. hari ini aku tahu, sifat tuhan harusnya ada di mana-mana. masalahnya aku dan banyak orang tak punya keberanian untuk mengubah busuh dan borok kemanusiaan. sehingga kekejaman terus berlangsung.

apakah kamu ingat tia, waktu hari-harimu masih berwarna, waktu kamu belum perlu takut apa-apa. kamu menggandeng lenganku yang bulat. sewaktu kita jajan donat-donat murah yang dijajakan mak rus, ia meletakkan tampah penuh donat diatas kepalanya. kamu hampir selalu tak pernah bisa makan, adik-adikmu tiga orang juga hampir selalu tak bisa makan.

kak tia mau? begitu tanyaku dulu dan kau berkata buat kamu saja, meskipun aku ingat matamu yang bulat melihatnya penuh harap. aku anak kecil, aku tak tahu bahwa kau lapar.
lalu kamu mampir ke rumahku saban siang, kita bermain di dalam rumah, menyusun puzzle, membolak-balik buku-buku cerita anak-anak, kamu membantu ibu menyapu lantai, beres-beres rumah, cuci piring. ibuku tak tega padamu. ia menyuruhmu berhenti membantunya tapi kau tak mau. kau percaya selalu ada nilai tukar yang harus kau beri sebagai ganti beroleh sepiring nasi. kau tak pernah minta makan. ibuku memberikannya dengan rela untukmu dan adik-adikmu.

kemudian kita pergi bermain di luar, di lapangan, ketika cahaya matahari menyengat sampai ia berubah hangat di sore hari. aku selalu ingat kamu selalu tak ingin pulang ke rumah di sore hari, setelah kamu menggandeng aku pulang ke rumah, kamu selalu berdiri di depan pagar rumahku. aku tak pernah tahu kamu membenci pulang ke rumah kontrakan itu. jeritmu yang tak didengar. kepiluan yang kau resapi sendirian, penghakiman dan tuduhan yang membuatmu akhirnya percaya kamu tak pernah merdeka akan hidupmu sendiri.

kau hidup dalam gelap. dalam getir. seharusnya kamu bisa diselamatkan.

seandainya kamu sempat menulis catatan harian dan aku bisa menemukannya. aku ingin membacanya, dengan begitu aku bisa menghukum diriku terus menerus. buku harianmu. kamu membiarkan pikiran dan imajinasimu berlesatan, sebuah ruang paling intim yang membolehkan dirimu berbicara tanpa batasan, kau boleh menuliskan apa saja sebab itu adalah ekspresi jujur hatimu. dirimu dan teman bicara imajiner yang paling setia dan tak menghakimi.

aku berharap kau pernah merasakan hangat dan cinta tia, aku berharap kau pernah merasakan diinginkan dan tak ditinggalkan. barangkali hari ini baik untukmu tia, kamu tidak harus merasakan sedih lagi, kamu tak harus lagi menjajakan tubuhmu. orang-orang cepat lupa dengan berita pembunuhanmu, itu lebih baik, kamu tak terus menerus dihakimi. aku tak percaya neraka, kalau pun kau bersalah, aku lebih bersalah karena tak pernah bisa menolongmu, karena kau bukan jadi prioritasku kala itu. aku berharap kau sudah aman tia, sudah hangat dan bahagia, aku harap kau dicintai di sana. selamat jalan tia. sampai kita jumpa lagi.


PS : untuk setiap Tia yang masih bertahan di jalanan.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar