mari kita ngobrol
omong kosong.
begini, tiap hari
saya ngejogrok di depan komputer, mantengin youtube. dan channel favorit saya
tentu yang berhubungan dengan masak dan makan. salah satu channel favorit saya
adalah orang-orang yang memajang tayangan bizarre food. bertahun-tahun saya
ulangi dan ulangi lagi nonton bizzare food-nya andrew zimmern, bahkan saya
download supaya bisa nonton di laptop kapanpun saya ingin. saya suka sekali
melihat lokasi-lokasi wisata dan pasar suatu negara,sambil berandai-andai kalau
suatu saat ada kesempatan itu, saya pasti ingin datangi tempat-tempat yang di
mata saya bikin penasaran.
setelah beratus kali
nonton beragam episode bizarre food, tiba-tiba saya terhenyak. dalam tayangan
itu saya sering jumpai andrew zimmern jajan di pinggir jalan untuk mencicipi
‘rasa lokal’ suatu wilayah. kalau dia sampai jakarta, saya gak akan ajak dia
jajan makanan pinggir jalan sembarangan, serius. saya harus pastikan dulu
jualannya bersih. saya khawatir dia diare. saya belum pernah sekalipun keluar
negeri, tapi gara-gara bizarre food saya jadi tahu betapa buruknya bangsa kita
– bukan mereka yang mengatakan demikian, melainkan saya yang menyimpulkannya.
dalam banyak episode bizarre food, andrew selalu menyempatkan diri mengunjungi
pasar setempat, supaya dapat mengecek budaya makan negara tersebut, apa yang
mereka makan, bagaimana mereka mengolah bahan makanan dan dari sana ia bisa
tahu kualitas makanan yang diasup warga setempat. waktu andrew datang ke
indonesia, dia mengunjungi bali dan toraja.
kita bisa saja
menyebut sebuah negara lebih miskin dari indonesia, tapi lucunya mereka punya
makanan yang lebih baik dari apa yang kita asup setiap hari.
sebagai orang yang
hobi makan dan masak, saya sering geli kalau jajan di jalan. kawan yang belum
kenal saya mungkin melabelkan saya manja atau sombong – saya tak peduli,karena
itu sama sekali bukan urusan saya – karena saya tak bisa makan diluar, hampir
selalu diare soalnya. seorang sahabat berkata, dibiasain donk ren, biar perutnya kuat. okelah saya coba, kadang
berhasil, kadang enggak, kalau apes, ya besoknya pasti saya mules dan mencret
dan itu tentu saja mengganggu aktivitas saya. karena terbiasa masak sendiri
itulah saya sensitif sekali untuk urusan jajan di luar.
ibu kemarin cerita,
ketika turun dari bis kota di pagi hari, dia melewati jalan potong menuju
sekolah tempatnya mengajar. dalam perjalanan dia menemukan pekerja di warung
tegal bersiap memasak. salah seorang pekerja mengalasi aspal jalan dengan
karung kemudian memotong sayuran di sana, tanpa dicuci sayuran itu langsung
dimasak. seorang yang lain, merajang usus ayam juga di atas karung yang kotor,
tanpa dicuci dan dibilas potongan usus tersebut langsung dimasak. juga ada
sekantung kresek berisi telur yang dilirik ibu, ia yakin telur itu pecah
kulitnya – memang ada di pasar pedagang yang menjual telur retak, juga rebung
berpemutih, kerang berpewarna tekstil, tahu borax, usus berformalin, dan tempe
yang dicuci di air kali sehingga lebih cepat busuk dan asam . ketika ibu cerita
dia menuturkan : gak heran jaman kuliah kamu sering diare, makan warteg di
kampusmu.
sejak tk sampai sma
saya selalu bawa bekal dari rumah, tapi semester awal kuliah saya jajan di
kampus karena jam kuliah yang tak tentu. karena sering diare itulah saya
terbiasa lagi membawa bekal makanan sendiri, tenteng sana sini. sampai hari ini
kalau jalan-jalan agak jauh saya masih bawa bekal sendiri dan membuatkan bekal
bagi kawan perjalanan saya.
ahh saya jadi ingat
setiap kali jalan sama petra dan ellen, sepulangnya main ke erasmus,
goethe,@america dan petra sudah kelaparan di tengah jalan saya pasti membujuk
dia: udah kita maem di rumah aja. saya
gak biasa makan di jalan. kalau pun harus makan di mall, seringkali bosan
dengan menu-menunya – kecuali bila memang saya menyediakan diri untuk
menyambangi restoran dan icip-icip makanan favorit yang sulit diduplikasi.
yuk kita telusuri
jalanan jakarta.
di dekat rumah ada
pedagang burung. ibu doyaaaann banget daging burung itu (itu terjadi waktu saya
kecil, sd mungkin) sampai suatu hari bapak menegur dan menyuruh ibu tak
membelinya lagi. kejadiannya begini, karena antrian panjang dan orang rumah
sudah keburu lapar,maka ibu memutuskan membawa pulang daging burung tanpa
digoreng di tempat. sebetulnya daging burung itu dijual sudah dalam keadaan
matang, ketika orang membeli dihangatkan lagi dengan menggoreng di tempat.
karena langsung dibawa pulang ketika
digoreng di rumah rasanya tak segurih hasil gorengan si pedagang, minyak bersih
yang dipakai untuk menggoreng daging burung berubah coklat keruh. sampai hari
ini si pedagang masih menggoreng daging burung dalam minyak jelantah pekat
sehitam oli.
gara-gara pengalaman
dengan minyak jelantah itulah ibu sering mual. di radio dalam ada warung
lesehan lele goreng. waktu ibu pulang naik bajaj dan kena macet di radio dalam,
pulang-pulang dia cerita sambil pegang-pegang perut karena merasa eneg, katanya
: itu warung lesehan banyak banget orang
dateng, sampai mbludak ke jalan, padahal cuma jualan lele goreng, dari jauh aja
kecium aroma jelantahnya. saya tertawa dan berujar, jaman kuliah tuh mah, anak-anak kalau laper banget aja nyuruh abangnya
gorengin kol di dalem minyak jelantah buat nambah-nambah lauk, gunyyiihh
soalnya (gurih maksudnya).
‘kasian orang-orang
yang makan di jalan.’ ibu melanjutkan. ‘apa-apa digoreng di minyak jelantah,
baru pengen makan ayam, taunya ayam tiren.’
itu tentang minyak
jelantah. ada lagi cerita tentang minyak goreng, kejadiannya di blok m,
jamannya belum ada blok m square dan ada pedagang gorengan yang luaarrisnya
poll. sebabnya aneka pilihan gorengan yang ditawarkan dan ukurannya yang jumbo.
bapak seneng sekali dan selalu nitip dibelikan sukun goreng, pisang kipas dan
pisang aroma setiap kali saya dan ibu jalan-jalan ke blok m. setiap kali dia
atau ibu goreng pisang atau sukun di rumah, bapak pasti nyacat (komplain) : rin (nama ibu saya – bukan syahrini kok)
mbok sekali-kali kalau bikin gorengan
macem yang di blok m itu lho, kemripik..enak. ibu mencoba berkali-kali dan
tak berhasil, bapak sumbang saran : mungkin
tepung berasnya dibikin agak banyak. tetap tak berhasil. sampai suatu hari
ketika kami datang ke sana, saya lihat sendiri si pedagang nyemplungin plastik
bekas pembungkus minyak ke dalam wajan – tentu saja belum ada reportase
investigasi-nya transtv waktu itu. sayamasih kecil waktu itu dan gak ngerti,
kirain plastik itu gak sengaja kecemplung. satu dekade setelahnya ketika
menonton tayangan reportase-nya trans bapak dan ibu berbarengan teringat : ya ampun, pantesan gorengan yang di blok m
itu renyahnya awet mas !!
apa lagi yaa.. ohh
nasi uduk.
zaman saya kecil mbak
titiek membelikan nasi uduk untuk bekal saya dan kakak ke sekolah, tentu tak
tiap hari, tapi cukup sering. nyak odah adalah penjual nasi uduk di dekat rumah
saya. nasi uduknya enak banget karena dia betul-betul memasaknya dengan santan
kelapa dan bumbu yang komplit. saya ingat seringkali ada cengkih dalam nasi
uduk saya. sudah lama nyak odah tak jualan lagi. dan saya seringkali kecewa
kalau ibu berniat baik membelikan saya nasi uduk yang letaknya 2 blok dari
rumah. nasi uduknya tak seperti nasi uduk nyak odah, ibu keliling cari tukang
nasi uduk berharap ada yang seenak nyak odah di sekitar rumah, semua sama.
ketika akhirnya kami memutuskan gak akan beli nasi uduk di ‘warung itu’ lagi,
dalam news feed saya terbaca status seorang kolega, dia seorang pak dokter yang
resident di daerah bendungan hilir. kira-kira dia menulis begini : 2 minggu sarapan nasi kuning sama nasi uduk,
di perut dan tenggorokan rasanya aneh. kayaknya ini gak pakai santen tapi pakai
minyak. saya kemudian komen status dan kami berbalas-balasan.
waduhh batin saya,
apa semua pedagang rumahan sudah ngakalin cara bikin nasi uduk? alih-alih pakai
santan diganti minyak goreng, biar nasinya berlemak. alih-alih pakai bumbu
lengkap sekarang pilih pakai msg. berapa sih seporsi nasi uduk kampung? kalau
di kampung saya tujuhribu, nasi uduk dengan telor balado, semur tahu, tempe
mendoan. berapa untung yang didapat? kalau dijual lebih mahal dengan cara
memasak yang benar adakah orang kampung yang beli? terputuskah mata
pencahariannya bila menggunakan resep yang tepat? semua ini salah siapa, di
mana peran negara (saya serius ini).
ada lagi cerita
tentang siomay.
tentu saja pedagang
siomay keliling itu tak mungkin menggunakan daging ikan tenggiri. harganya
terlalu mahal. ikan salem? harganya masih mahal. saya punya pedagang siomay
langganan, namanya mister ***** seingat saya waktu kecil, siomay dia enak.
kadang-kadang saya juga kangen jajan dari tukang langganan saya. suatu hari,
duapuluh tahun setelah pertama kali ngerasain siomay mister ***** saya bilang
ke ibu : kok gak enak ya bu. kali ini
ganti ibu saya yang tertawa : wong kamu
makannya enak terus, udah biasa makan enak, ya gak mungkin makan gumpalan aci
itu enak. hmm di satu sisi ibu benar, tapi saya masih penasaran. saya ublak
ublek itu siomay dan menyimpulkan satu hal, sambal kacangnya encer banget,
rasanya pun gak terlalu kacang, mungkin dicampur ubi atau singkong. esoknya
saya cerita ke ellen dan dia tanya,
menurut lo mereka bikin siomay dari apa? saya mengedikkan bahu. setahu gw, mereka bikinnya pake tulangan
ikan yang direbus, kaldunya dibikin siomay. gimana orang makannya mau
bergizi ya, kalau jajanan jalanannya begitu.
kenapa ikan, ayam dan
daging tak terbeli? salah siapa?
saya jadi teringat
choki. waktu kami pelihara dia di usianya yang beberapa minggu, sudah ada openg
- kucing betina yang usianya satu tahun lebih tua dari choki. openg tentu saja
makan ikan, bapak memberi dia pindang tongkol dengan nasi, choki jadi ikut, dia
waktu kecil gak mau makanan lainnya, tentu saja itu bikin bulunya rontok.
sekarang tinggal kucing yang makan pindang tongkol, tapi kucingpun tak lagi mau
makan itu pindang. bapak berkata : waduh
pindangnya diformalin pasti ini sampai mano gak mau. gara-gara itu saya
suka sedih dan kepikiran, kalau orang-orang rutin makan tongkol pindang di
warteg. limabelas tahun lagi berapa banyak orang yang kena kanker karena
mengasup makanan buruk.
kita mengira tongkol
busuk cuma dijual di pasar tradisional kan.. siapa bilang?
gara-gara beli ikan
tongkol di supermarket dan menemukan dagingnya sudah mrupul dan masir, bapak
menyuruh saya berhenti beli ikan di supermarket, karena gak jaminan ikannya
segar. dia lebih baik menunya itu-itu saja : lele dan ikan mas, yang dibeli
hidup dan dimatikan menjelang dimasak.
kalau ikan
diformalin, salah siapa?
saya, manda dan ellen
suka nongkrong sambil ngobrol di es teler 77, karena menu makanannya tak
terlalu mengenyangkan, cocok buat obral obrol, pilihan saya selalu jatuh pada es
teler dan otak-otak. ellen ngajarin, kalau beli otak-otak di swalayan,
sebaiknya dikukus lagi sebelum digoreng, supaya betul-betul matang. dia benar,
karena dikukus lagi, ketika digoreng otak-otaknya gak mimpes. tapi suatu hari
meski otak-otak sudah dikukus sebelum digoreng, ada aroma busuk badeg
sebacin-bacinnya, mungkin dibuat dari ikan busuk. itu juga sebabnya saya gak
mau lagi beli otak-otak, meskipun itu di swalayan ********, otak-otaknya (yang
dibungkus stereofoam itu lho) berpemutih. sampai hari ini saya merasa bersyukur bisa
masak, serius. jadi saya bisa bikin otak-otak sendiri, siomay sendiri, nugget
sendiri, apapun deh yang saya pengen makan dan bisa saya duplikasi.
di swalayan yang lain
***** saya nemuin dendeng curah yang parah. karena biasa memasakkan makanan
bagi teman-teman sepulangnya nonton bioskop bersama kawan-kawan, kami belanja
ala kadarnya di swalayan. barang-barang telah terbeli dan kami pulang. kami
masak di rumah sambil ngobrol-ngobrol. kawan saya minta dibuatkan tumis dendeng
cabe hijau dengan bawang bombay. dia tadi ambil dendeng ayam curah di swalayan.
karena lapar tentu makanan habis, tapi gigi saya tiba-tiba menggigit sesuatu
dari dendeng yang saya makan. remukan tulang ayam. saya cuci dengan aqua dan
saya amat-amati, saya icip-icipi. saya berkesimpulan, dendeng ayam itu tipuan.
rasanya bukan ayam, dominan manis gurih bersalut ketumbar, tapi bukan ayam.
barangkali dari adonan – yang saya gak tahu apa isinya – dicampur remukan
tulang ayam presto biar ada rasa ayamnya. masuk akal sih, kalau dendeng yang
asli, seberat 200 gram gak mungkin harganya empatbelas ribu.
nah ini lebih gawat,
coba saja sendiri. suatu hari saya berniat membikin lumpia. untuk membikin
isiannya diperlukan ebi. maka saya rendam ebi dalam air panas. tapi badan saya
tak enak hari itu, sehingga tak jadi masak lumpia. kira-kira ebi itu terendam
selama sepuluh jam, dan diseluruh permukaan air, ada banyak sekali mengapung
semut mati, tigaratus mungkin jumlahnya – saya gak lebai. semut-semut itu
tadinya merubungi mangkuk ebi, saya pikir mereka mati kepleset. saya buang
semutnya di permukaan dan karena merasa masih pusing saya membiarkan mangkuk
ebi tersebut. rupanya selama 2 hari saya lupa telah merendam ebi dan mbak semi
menyingkirkan mangkuk itu tanpa saya ketahui. tercium bau busuk bangkai, kami
serumah cari ke mana-mana. kamu tahu hai kawan. busuk itu berasal dari ebi.
buusssuukk sekali..lebih bangkai dari bangkai..bapak bilang, wah payah, ini ebi kering dibikin dari udang
busuk yang dikeringin – dan tentu saja diformalin, buktinya semut-semut itu
mati.
sekarang ada iklan
layanan masyarakat di televisi untuk anak-anak sd, anjuran supaya tidak jajan
sembarang. dalam iklan tersebut dicontohkan supaya jangan jajan di pedagang
yang mangkal. contoh berikutnya adalah anjuran untuk membeli makanan sehat di
kantin. saya kira ini keliru. siapa yang bisa memastikan bahwa makanan di
kantin itu sehat, bebas dari pengawet, pewarna tekstil, gula biang, bebas dari
formalin.
![]() |
petra jajan es doger, waktu saya icipi, manisnya tentu saja biang gula.. |
saya tak tahu apakah
kamu punya pengalaman ini, waktu saya kecil ada pedagang keliling berjualan
anak ayam dan agar-agar dalam satu boks berkaca. mbak titiek memarahi saya
habis-habisan waktu mergokin saya berjongkok dengan teman-teman bersiap makan
agar-agar ideran kampung itu. mbak titiek bilang : hiii makan agar-agar bareng eek ayam. betul juga sih, boks berkaca
itu disekat, yang bawah untuk tempat anak ayam, di atasnya ditumpuk agar-agar.
saya seddddihhh banget karena penasaran sama makanan yang dimakan kawan-kawan
main saya. meskipun ibu bikinin saya puding coklat (pake rum vla pulaak biar
saya gak sedih) tetep saja yang saya pengen bukan puding coklat, tapi agar-agar
kampung, meskipun ada eek ayamnya.
juga ada cerita
tentang sirup limun, saya tentu saja gak boleh minum, kata ibu berpewarna
tekstil. juga gulali yang dibentuk ayam-ayaman, kata bapak tangan si abang bisa
aja kotor setelah pipis gak cuci tangan. chiki-chikian yang bikin batuk, es gosrok dengan sirup murahan
yang bikin batuk – saya ngiler ngeliatin temen saya jajan kayaknya enak banget.
makanya saya suka
diledekin : hoooraaanggg kaaayyaa... sama temen saya sebut saja nona
syahroni..gara-gara saya gak pernah ngalamin jajan makanan ideran waktu kecil.
belum pernah sekalipun saya cobain es cincau hijau dengan kuah sirup shocking
pink itu, atau lidi-lidian dengan bumbu cabe bubuk, atau permen taik tikus atau
telur dadar tepung terigu yang disiram pakai saus sambel botolan yang warnanya
orange itu.. (saya gak pernah makan itu saos untuk melengkapi mie
pangsit-bakso-siomay yang ada di pinggir jalan, asem dan gak enak). dan kata si
nona syahroni dengan suaranya yang meninggi antara takjub geli dan kasihan itu
: jadi..selama ini lo juga gak pernah
jongkok di pojokan sekolah sambil nyewa gamebot donk ren !!!! itu membuat kami tertawa terpingkal-pingkal,
sebabnya ia menjelaskan dengan detail penyewaan gamebot tersebut, dalam
keranjang rotan yang besar dan gamebot yang dicanteli tali panjang supaya gak
dihilangkan murid-murid yang bandel.
kok saya pengen
banget ya kalau punya temen bule yang datang ke jakarta bisa dengan bangga
ngajak mereka makan makanan pinggir jalan.
saya seperti pengen
bilang : ini lho makanan negara gw, yang bersih dan enak.
saya ngebayangin
jepang dengan takoyaki dan okonomiyaki-nya.
saya pengen banget orang jualan gorengan di jalan tuh jualan dengan
bahan yang bagus. bikin bakwan bukan terigu,msg dan kol saja, tapi pakai
cacahan udang dan sayuran lain. siomay tenggiri sambel kacang itu ngalahin
pamornya dimsum siew may. nasi uduknya gak lagi dibuat dengan minyak goreng.
dan besok-besok ada booth-booth bakwan di negara-negara lain, seperti booth
takoyaki yang menjamur di mall jakarta.
yang paling penting
adalah, saya kepingin lihat jajanan pinggir jalan kita sehat, betul-betul
sehat, dan orang-orang dari segala lapisan punya kesempatan yang luas untuk
makan makanan sehat, tentu juga bergizi.
gak ada lagi pasar
dan swalayan yang jual makanan tipuan, makanan beracun.
oh ya satu hal lagi,
saya gak mau lagi denger temen saya bilang :
what do you expect sih. setiap kali saya bilang makanan pinggir jalan itu
gak enak.
hmm..kalau orang gak
bisa makan sehat, salah siapa?
kalau bahan makanan beracun semua, salah siapa?
kalau gak ada daya
beli, salah siapa?
salah gw, salah
temen-temen gw? –o my god, saya kangen aadc –
Tidak ada komentar:
Posting Komentar