Rumah simbah menghadap gunung telomoyo, tiap
sore dari teras tempatku duduk, pemandangan kelabu, gunung diselimuti kabut.
Kalau kamu dapat membayangkan mangkuk, maka Ambarawa ada di dasarnya, setiap
hari terperangkap angin. Angin datang bersahut-sahutan sepanjang hari, dingin
membikin gigil tetapi matahari bersinar begitu terik. Kulitku mbesisik dan
kering. Air untuk mandi dapat membekukanmu. Tapi aku suka kegiatan mencuci
baju. Di rumahku mbak semi mencuci demikian kilat, pakaian dijemur di halaman
belakang yang sempit dikelilingi tembok-tembok tetangga, seperti kubus yang
terbuka atapnya. Tapi di rumah simbah sungguh asyik. Aku suka memperhatikan
jarik dan sarung dijemur, mereka menari-nari diterbangkan angin. Hanya empat
jam waktu yang diperlukan untuk membikin cucian cepat kering dengan bantuan
angin dan sinar matahari.
Di rumah aku biasa mengurusi pekerjaan
domestik, kecuali mengepel, sebab bisa jatuh terpeleset dengan kakiku yang
difabel. Meski waktu kecil ada pengasuh menjagaku dan sekarang ada mbak semi
membantu membereskan rumah, bukan berarti aku tak mengerjakan urusan rumah.
Kata ibu anaknya tak boleh ada yang kogong atau kikuk, ia senang melihat aku
yang prigel dan trengginas. Ibu malu memiliki anak bodoh, tak disiplin dan tak
mandiri. Aku malu membiarkan diriku bodoh, tak disiplin, dan tak mandiri.
Halaman rumah simbah sejuk. Ada pohon mangga,
jambu, pisang dan nangka. Sekarang mangganya sedang berbuah, begitu sarat, kata
simbah November nanti buah-buah itu akan masak semua. Di samping rumah tadinya
ada pohon jeruk nipis tapi sudah ditebang karena mati. Sekarang om membikin
para-para untuk tempat rambatan anggur. Tadinya rumah itu sangat luas tapi
dijual sedikit demi sedikit untuk bertahan hidup. Tanah-tanah yang dijual itu
telah menjelma rumah yang bagus, sebuah diantaranya telah bobrok dan
ditinggalkan penghuninya. Kalau suatu hari uangku cukup aku akan membeli
kembali tanah itu dan membikin duplikasi rumah sesuai dengan kenangan ibu terhadap
masa kecilnya. rumah berhalaman demikian luas dengan pekarangan penuh ditumbuhi
pohon buah dan sayur-sayuran, kandang ayam dan kelinci serta kolam ikan untuk
kebutuhan makan sehari-hari.
Rumah simbah tetap seperti ingatan masa
kecilku. Hanya sekarang simbah tak lagi serumah dengan om. Bapak dan ibu
membuatkan rumah mungil bersebelahan langsung dengan rumah om dengan halaman
yang tetap bersatu.
Di depan teras rumah simbah aku membaca buku. Ada
dua tampah berisi nasi sisa yang dikeringkan, diletakkan di atas perdu
teh-tehan. Itu akan jadi nyamikan sore hari, kami menyebutnya intip, nasi sisa
yang dibumbui bawang putih, ketumbar dan garam, kemudian dijemur hingga kering
sebelum digoreng di dalam minyak panas dan banyak.
Ayam kate milik om berseliweran, tadinya itu
milik kakak ipar om, pakde surik, yang dititipkan sebulan sebelum dia
meninggal. Hanya ada ayam kate dan kucing tetangga menemaniku sore itu. Kucing
itu pendiam dan cepat akrab denganku, menggosok-gosokkan tubuhnya pada betisku,
bulu dadanya putih, punggungnya abu-abu. Ia kucing yang manis, lebih manis dari
mano, kucingku di rumah, kalau saja aku bisa membawanya pulang. Aku selalu
senang mengobrol dengan binatang sambil mengamati orang-orang, kalau kamu tahu
atau kamu pernah mengalaminya, kamu bisa mengerti apa yang aku rasakan, bicara
dengan hewan-hewan, dan tak merasa dihakimi, boleh bercerita tentang sedih dan
ingin, harapan yang bolong, dambaan, diri yang separuh kosong separuh terisi.
Di rumah aku punya anjing dan kucing, kalau tak dilarang ibu, mungkin aku juga
akan pelihara hewan-hewan yang lain.
Dulu om pelihara kelinci tapi mati. Pernah
juga pelihara ayam, lele, ikan gabus – mereka menyebutnya iwak kutuk. Kamu tak
menyebutnya kutuk seperti malin kundang dikutuk, melainkan kutuk seperti kamu
menyebut getuk, ada lidah yang ditekuk dan menghasilkan bunyi lucu seperti klak
klik klak klik. Om tak bekerja sejak simbah sakit, tadinya om tukang kayu.
Istrinya bekerja, jadi guru.
Punya keluarga bodoh itu celaka, sungguhan,
apalagi kalau pemimpin rumah tangga begitu mengedepankan patriarki,
kadang-kadang mereka yang tak dapat merumuskan patriarki justru dapat
mengamalkannya sedemikian baik, sebab pengalaman mengajarkannya demikian,
mereka meniru dengan sangat canggih dan demikian merasa tak dapat dikalahkan.
Di dunia yang kecil ini orang-orang bengis dan
keji banyak, bahkan di dalam rumah sendiri. Mereka tak memberikan kesempatan
pada orang lain untuk mengkritiknya karena merasa selalu benar dan harus
dituruti,memandang dirinya sebagai jagoan, seberapapun payah dan kerdil
mentalnya sesungguhnya. Mereka bersandar pada pengertian sendiri yang
sebetulnya memuakkan bagi sebagian orang, tak pernah punya kemampuan untuk menghayati
rasanya jadi orang lain, sehingga merasa boleh playing like devils advocate or
even worse playing god. Senang berada di puncak dan tak seorangpun boleh
menggoyangkan dia. Dia tak akan sempat paham bahwa dirinya adalah kumpulan
pengalaman, penghayatan, dan pemahaman yang tak terbentuk sekali jadi, dan dengan
itu boleh introspeksi diri : bahwa ia juga kecil dan orang lain juga berarti.
Dia tak suka diberitahu. Dia boleh memutuskan hal-hal mengenai orang lain dalam
kuasanya sebab ia seorang pemimpin rumah tangga, barangkali hanya itu
kebanggaan dia. Kamu bisa bayangkan situasi seperti itu? Ibumu, atau istrinya
harus selalu patuh meski merasa ada yang salah dan menumpulkan perasaannya
selama bertahun-tahun, telah menjadi terbiasa dengan suasana intimidasi macam
itu. Ibumu, istrinya barangkali bangga karena telah menjadi perempuan yang utuh
karena patuh. Dengan cara itulah kamu dididik, meskipun ada suara hatimu bilang
itu keliru, lalu kamu bercerita pada kawanmu, tentang suatu yang mengganjal :
ayahmu, dan ibumu yang mendukungnya.
pengalamanku mengatakan demikian dan ini
sangat bersifat general.
Hal ini membikinku jijik sebetulnya sekaligus
bersyukur. Sebab aku hidup bersama orang-orang yang asyik. Bapak bisa jadi
menyebalkan demikian pula ibu, namun mereka adalah orang-orang yang mau
mendengarkan pendapat orang lain, mengoreksi diri, bisa diajak berbicara dan
tukar pikiran. Aku dibesarkan dalam lingkungan seperti itu.
Jangan makan makanan daur ulang, tak bergizi,
demikian ibu memperingatiku. Terlambat, aku baru saja memakan omelet mie dari
sisa mie bakso semalam yang tak habis kumakan dan nyamikan sukun goreng kemarin
yang kubumbui ulang model dendeng, manis pedas gurih. Tak ada yang mengajarkan,
tahu-tahu aku tahu saja.
kamu bisa membeli sekresek kapri seharga
duaribu, juga sebuah pepaya besar masak seharga empatribu, atau sukun masak
sebesar dua kepala bayi digabungkan seharga enamribu, yang tak habis dimakan
selama empat hari untuk suguhan sore hari, di tempatku tinggal sekarang. di
sini uang begitu berarti. Di jakarta, ongkos taksiku pergi pulang untuk pergi
ke pacific place dari rumah di daerah radio dalam sebesar tujuhpuluhribu.
Ada gua maria kerep di Ambarawa, waktu kecil
setiap liburan ibu mengajakku berdoa di sana dengan berjalan kaki. Aku suka
pergi menjelang sore, sewaktu matahari turun dan ray of lights berpendaran dari
angkasa. Warna-warna magic hour membius kesadaranku. Angin dingin menggigit, di
kanan kiri jalan terdapat sawah dan seluas mata memandang matahari menyusup ke
sela-sela pegunungan, juga tai sapi di pinggir jalan. Sepupuku senang melucu,
ia menyebut tai sapi sebagai telefafi..atau teletong sapi.
Aku
suka gua maria yang dulu, yang terasa begitu alami dan asri. Sekarang telah
menjadi taman yang bagus, bagus tapi tak alami, yang membikinku merasa
terganggu, sebab banyak orang datang berjualan, banyak orang berdoa untuk
dilihat juga berfoto-foto. Ini masalah kenyamanan dan selera sebetulnya. Aku
selalu tak suka berdoa dengan orang banyak. Aku tak percaya devosi. Aku tak
suka lihat patung perawan maria berwarna putih. Aku baru bisa kembali berdoa
ketika mengunjungi goa maria tritis di jogjakarta, sebelum wisata ke pantai
kukup. Sebab patungnya berwarna hitam dan dengan demikian segalanya terasa
sangat manusiawi. Tak ada orang yang betul-betul suci.
Pagi-pagi subuh di hari kedua ibu mengajakku
ke gereja. Gereja itu dekat, ada di seberang jalan. Ibu menunjukkan tempatnya
dulu bersekolah, halaman luas tempat dia berlatih pramuka, gedung bekas sekolah
bapak berwarna biru muda dengan jendela-jendela kuno di cat kuning krem, tempat
bapak gitaran dan bernyanyi-nyanyi. Misa dilaksanakan dengan bahasa indonesia.
Itu adalah misa harian yang dimulai pukul setengah enam pagi. Orang-orang telah
datang sejak pukul lima. Pagi itu umat sedikit,mereka yang membangkitkan
kesadaran bagiku mengenai hidup. Misa berlangsung setengah jam, lebih cepat
dari misa hari minggu dan orang-orang pulang dengan tertib, merasa memiliki
kekuatan baru untuk memulai hari. Di luar gereja orang-orang bersalaman satu
sama lain, kenal dan tak kenal, lalu menyalami romo dan berbincang-bincang.
hari kedua kedatanganku ke ambarawa, mbak
titiek, orang yang dulu mengasuhku di masa kecil datang membawakan sembilan
potong gembus seharga tiga ribu rupiah. Mbak titiek sudah tak mengasuhku sejak
kelas 1 SMP. Dia membuat kesulitan bagi dirinya sendiri, sebuah keputusan
sembrono yang membikin hidupnya menjadi serba ruwet. Tapi dia berhasil bertahan
hidup. Kini dengan menjadi buruh cuci di bandungan. Ia menerima layanan cuci
gosok, rata-rata pelanggannya adalah gadis-gadis penjaja diri, mereka yang
menemani laki-laki berkaraoke. seribu rupiah untuk sepotong kaos, duaribu untuk
rok dan tigaribu untuk celana jins. Dengan cara demikian ia menggantungkan
hidup.
Kalau bulikku memerlukan bantuannya untuk
menyetrika pakaian, dia datang. Mbak titiek amat rapi dan telaten. cuciannya
selalu bersih dan wangi, setrikaannya tanpa kerut, licin dan bertahan
berbulan-bulan seperti itu, kita tak perlu menyetrika ulang. Dengan cara
demikian ia mempertahankan kualitas pekerjaannya. Dia tentu saja akrab dengan simbah
dan sering membantu simbah berbelanja barang-barang besar yang hanya bisa
ditemukan di pasar besar.
Simbah sudah tak menonton sinetron, sebab
sudah tak ada lagi naysilla mirdad dan dude herlino yang ia gemari. kalau
pemainnya bukan mereka, ia enggan menonton. Ia memilih mendengarkan radio yang
memutarkan musik keroncong dan campur sari. Simbah punya penyiar kegemaran, mas
jos yang bersuara empuk dan merdu, renyah dan membikinmu merasa hari-hari tak
sempat buntu. Simbah seperti ABG, ngefans dengan mas jos tapi malu-malu, tujuh
tahun lalu. Simbah sering mampir ke rumah tetangga untuk mengobrol. Suatu hari
mas jos datang ke rumah tetangga tersebut ketika kebetulan simbah datang mampir
dan mereka berkenalan. akhirnya mereka berkawan. Mas Jos sering mampir ke rumah
untuk berbincang-bincang dengan simbahku yang lugu dan lucu.
Simbah kakung tuli karena sering dihajar
dengan popor senjata, ia seangkatan pramoedya ananta toer dan memiliki cerita
pedih dengan benang merah yang mirip. tadinya ia inspektur polisi yang menolak
untuk memberikan surat jalan bagi penghabisan nyawa bertruk-truk orang yang
kemudian akan dihabisi di hutan jati atau disiksa sebelum dibuang ke laut, di
bawa jauh-jauh ke bali.
Sampai sebelum sakit ia senang menonton acara
berita di televisi, channel national geographic dan fox yang menayangkan banyak
sekali film-film. Tahun 2009 lalu waktu pertama kali aku liburan setelah
menjadi cacat, simbah asyik dengan buku-buku yang kubawa. Ia duduk di teras dan
tertawa membaca tulisan butet dalam buku Presiden Guyonan. Sekarang dia tak
lagi bisa membaca dan beraktivitas lain, hanya mengerang-ngerang di kamar,
membikin simbah dan om panik serta kalut. Dia tak akan sempat membaca buku-buku
malcolm gladwell, sitok srengenge dan pater bower yang kubawa. Padahal kalau
dia sehat, aku yakin dia akan asyik.
Tanah di depan rumah simbah telah berubah
menjadi rumah mewah ala kota besar. Tadinya itu adalah lapangan, tempat bapak
mengadakan hajatan besar bagi sunatan kakak di kenaikan kelas 1 SMP. Bapak
mengadakan acara besar- besaran, berhari-hari, setiap tetangga kampung datang,
makan besar. Ayam-ayam telah dipelihara setahun sebelumnya. Tetangga-tetangga
dipekerjakan dan diberi upah serta hadiah untuk membantu acara tersebut.
Kemudian ditanggapkan Jathilan di siang hari dengan atraksi-atraksi ngeri :
kesetanan, kesurupan, memakan beling, tubuh digilas pick up. Malamnya ketoprak
semalam suntuk dengan doorprize-doorprize. Ada banyak dokumentasi foto untuk
hajatan itu. Bagi bapak itu adalah hajatan sunatan yang sesungguhnya, sebab
waktu kecil, ia tak sempat merasakan pesta semewah itu, kakak sulung bapak baru
saja menikah sehingga tak patut untuk menyelenggarakan hajatan besar-besaran
setahun dua kali.
Pak XX yang dulu menjaga keamanan saat
perayaan sunat telah stroke. Yu XX yang dulu berjualan es campur sudah pindah
kota. Warung mbak xx masih berdiri,
sekarang terasa demikian sempit dan lusuh, mata saya bukan lagi mata
kanak-kanak. tanah di sebelah jembatan di depan gereja sudah tak lagi jadi
lahan kosong. Ada banyak ruko-ruko dibangun, sebagian telah terisi, dijual
duaratus juta per ruko. Nantinya akan dinamai plaza palagan.
Hari-hari berlalu.
Salam kenal mbak
BalasHapusBagi Anda Yang mencari bibit tanaman buah dengan harga kompetitif alias murah dan kebetulan berdomisili di Weleri , Rowosari , Kangkung , Cepiring , Gemuh , Ringinarum , Pegandon ,Ngampel , Patebon , Kendal , Brangsong , Kaliwungu Plantungan , Pageruyung , Sukorejo , Patean , Boja , Limbangan , Singorojo , Kaliwungu Selatan, Semarang serta Demak...
Datang saja langsung di Agrivit Nursery