Kamis 6 September lalu aku berangkat bersama ibu menuju Semarang menumpang kereta api Argo Muria. Perjalanan enam setengah jam menggunakan kereta. Penghematan waktu seperti ini membikin kakiku yang difabel tak bengkak akibat udim. Ini adalah kali pertama aku naik kereta api.
Simbah menyebutnya sepur, aku masih menyebutnya kereta api
meski sudah tak ada lagi asap mengebul dari lokokmotif.
Setiap liburan sekolah keluarga kami pulang ke Ambarawa. Ada
museum kereta api di Ambarawa. Aku punya koleksi foto yang menjijikkan bergaya
di museum tersebut, pose-pose yang membikin merinding, yang setiap kali dilihat
akan diakhiri dengan derai tawa.
Nantinya dari Semarang kami akan charter taksi menuju
Ambarawa, perjalanan dua jam, mbah Djah telah menunggu dengan harap, sebab mbah
kung stroke tiba-tiba, pukul empat sore kami akan sudah tiba di sana. Aku akan
sebulan di sana menjaga simbah, ini rencana awalnya, tapi perubahan akan selalu
terjadi.
Dandananku pagi itu casual, rok jeans selutut, kaos dalam
putih dan blus biru batik yang dibiarkan tak terkancing. Sembari menunggu
kereta ibu bertanya : kamu mau aku belikan kfc? (Padahal bekal kami begitu
banyak seperti hendak piknik). Kami datang kepagian, pukul enam, sementara
kereta meluncur pukul tujuh tigapuluh. Aku tengah asik dengan buku malcolm
gladwellku, what the dog saw, dan menemukan kalimat : pekerjaan itu serius dan berat, menulis itu asyik, yang membikin
aku tiba-tiba kangen seseorang dan yakin dia sedang berbahagia, aku betul-betul
berdoa dia berbahagia.
“mom, why you always treat me like a child?” ibuku tertawa
terbahak, “because you look like daryl.” daryl adalah keponakanku yang berumur
tiga tahun, sangat cerewet dan menyenangkan, penuh berkelimpahan kasih sayang
dari para om dan tante, para utie dan akung. Bapak dan ibu sayang dan gemas
terhadap dia. “Whattt..umur segini aku harusnya udah punya my own baby.” Aku
betul-betul kepingin punya bayi.
![]() |
di dalam bajaj donk, ada tukang balon seliweran, pas macet, untung bawa kamera, segera di jepret.. klik !! mengingatkan saya pada masa kanak-kanak...menjelang tahun baru...banyak balon dan terompet |
Ibuku mulai suka berbicara dengan bahasa inggris, meski sepatah dua. Awalnya karena selama lima tahun ini bapak selalu nongkrong di depan komputer menonton youtube. Tak ada subtitle tentu, sehingga mereka berdua mesti mengartikan sendiri percakapan-percakapan yang terjadi. Biasanya mereka begitu seru menonton Britains got talent dan acara-acara pencarian bakat lainnya.
Kereta berangkat. Ibu memutuskan membeli KFC dan milo panas
bagi dirinya sebelum masuk ke dalam kereta. Ia melucu untuk harga secangkir
milo delapan ribu. Di belakang tempat dudukku ada ibu muda dan anak laki-laki
kecilnya yang pemberani. Anak kecil itu berceloteh dan menyanyi, mamanya
seorang yang ramah dan banyak bicara, dari bangkuku duduk aku senang
mendengarkan mereka. Anak itu dengan suaranya yang celat memperkenalkan diri
bernama Javi dan melafalkan kereta api sebagai japi. Ia dan ibuku cepat akrab.
Mereka bernyanyi naik kereta api tut..tut..tutt... dan balonku ada lima.
(harusnya balonnya ada enam, kalau yang meletus balon hijau #think). Dua jam terakhir Javi dipangku ibu dan mereka
dengan asik bercerita, cerita tentang kereta api.
Ibu muda itu berjilbab, pakaiannya cerah dan sepanjang
perjalanan ia menggoda dan mengobrol terus dengan anaknya. Aku senang
memperhatikan mereka. Kalau boleh jujur, aku benci sekali para ibu yang
menelantarkan anak-anak mereka. Sibuk dengan blackberry dan mengabaikan
perkembangan bayi dan balita, tak gigih dan disiplin dalam usaha mengasuh dan
membesarkan anak-anak. Aku merasa demikian payah dan jengkel, setiap kali
menemukan pemandangan seperti itu, ditundukkan perangkat komunikasi dan
mengabaikan apa yang ada di depan mata.
Dunia begitu maju, teknologi begitu canggih,
buku-buku dapat dibeli, informasi dapat diperoleh,
komunitas dapat dicari, kita
dapat menemukan, dan mereka membiarkan segalanya berlalu karena tak suka
ketambahan beban memiliki bayi. Hal ini sama menjijikkannya bagiku seperti
mengadakan pernikahan mewah dengan berhutang demi menjaga gengsi dan
mengharapkan bantuan dari tamu-tamu yang menyumbang, kemudian bertengkar soal
bagi-bagi uang sumbangan.
Begini maksudku, ketika memilih untuk mengandung dan
melahirkan, ketika memutuskan untuk memiliki anak, bukankah kita harus sadar
bahwa ada nyawa lain yang harus diperjuangkan. Kalau merasa belum saatnya
memiliki momongan mengapa tak memiliki keberanian untuk menolak dari awal.
bukankah ini sebuah tindakan paling egois, membiarkan persoalan dan masa bodoh
dengan apa yang akan dihadapi kemudian.
Aku pikir, hal seperti ini luar biasa menjemukan. Seharusnya
aku tak mengeneralisir persoalan sejenis, masalahnya, timbul rasa gemas yang
luar biasa. Sebab aku tak dapat memilikinya, bukan cemburu, melainkan bersedih.
Sebab ada anak-anak yang tak minta dilahirkan dan justru ditelantarkan,
diabaikan kehadirannya. Memutuskan untuk berkeluarga adalah keputusan yang
sulit, memutuskan punya keturunan bukan sesuatu yang bisa dijalani dengan
sembarangan.
Seorang karib pernah berkata, aku
memiliki rasa tenggang rasa yang berlebihan sehingga mudah depresi dengan
penderitaan orang lain. Itu betul..aku menyerap emosi-emosi sedih orang-orang
seperti spons karena merasa demikian jengkel. Harusnya aku membikin diriku
seperti tong sampah yang bolong, karena begitu sering menjadi tempat sampah
kenalan-kenalanku dengan persoalan-persoalan mereka dan demikian gemas dengan
kemajuan yang mereka hasilkan, sebab yang bisa aku sediakan hanya telinga dan
mulut, aku punya batasan sendiri soal intervensi.
Kalau temanku mulai kehilangan
dirinya, aku bersedih. Kalau ada kenalan-kenalan susah aku bersedih, padahal sedih
saja tak cukup. kata GM : Kita jadi manusia
ketika kita merasakan ketakutan dan kehilangan orang lain yang tak kita kenal,
dan bersedia ikut menanggungkannya.
Aku teringat masa kecil yang membahagiakan. Bapak
menidurkanku sambil mendongengkan banyak sekali kisah-kisah ajaib. Sampai usia
delapan tahun, aku masih didongengkan oleh bapak. Sebagian dari cerita tersebut
amat absurd, sebab bapak tak pernah punya dongeng yang tuntas, ia mengarangnya
sendiri, dari fantasi-fantasinya.
Untuk anak seumurku, perbendaharaan kataku begitu luas dan
kaya. Aku mendengarkan bapak dan ibu
berdebat, ikut membaca koran pagi, dibiarkan memiliki khayalan sendiri dan
menceritakannya. Aku meniru. Setiap anak meniru. Kalau aku diabaikan
kehadirannya dan dibiarkan tumbuh sendiri sebisanya tanpa mendengarkan
celotehan-celotehan, dongeng-dongeng, dan tak dilibatkan dalam permainan yang
teramat imajinatif, aku tak akan jadi diriku hari ini.
Kalau ada anak dua tahun belum dapat bicara, aku khawatir,
sebab dapat membayangkan, anak itu terpenjara dan tak pernah dilatih berbicara,
tak pernah mendengarkan cerita-cerita, tak dilatih berani, tak bertemu
orang-orang. Sehingga tak sempat meniru karena tak pernah tahu apa yang harus
ditirukan. Aku dapat membayangkan lingkungan tempat si bayi itu tinggal.
Aku merasa perlu menulis sebab aku khawatir, ada banyak bayi
yang diabaikan kehadirannya, ditelantarkan karena para ibu muda merasa demikian
lelah dan payah dalam kemurungan sendiri. Carilah bantuan..sebab bayi-bayi itu
punya hak untuk hidup..barangkali terapi perilaku dan wicara untuk si bayi
belum cukup. barangkali kamu mesti meneliti dirimu sendiri, sebab bicara perlu
dilatih, bukan cuma di kelas terapi, tapi juga di rumah, sehari-hari.
Aku tak ingin menyombongkan betapa banyaknya kegiatanku di
masa kecil, aku ingin menyampaikan bahwa, anak-anak perlu bersosialisasi, perlu
bercengkrama, perlu bertemu kawan-kawan, orang-orang. Anak-anak perlu belajar
percaya diri dan berani, dan hal ini harus dilatih. Anak-anak perlu rangsangan
untuk tahu banyak kata-kata untuk bisa memaknai sesuai perkembangan umurnya.
Anak-anak perlu bergerak, perlu melihat hal-hal selain rumah. Dan perlu ada
lingkungan yang mendukung itu. Aku tak pernah merasa stress semasa kecil.
Justru aku bingung kalau tak punya kegiatan di hari Minggu, selepas gereja
pergi ke toko buku kemudian beristirahat di rumah. Aku bingung disuruh tidur
siang, kerap kali justru pengasuhku yang tertidur ketika menidurkanku dan ibu
menemukanku bersepeda di ujung gang dengan celana dalam dan kaos singlet tanpa
penjagaan.
Aku ingat sering main ke kebun pisang, tempat yang
sebetulnya dilarang ibu. Aku mengajak kawan-kawan masa kecilku untuk patungan.
Kami main masak-masakan. Aku menyuruh si anu, si itu, dan yang lain-lain untuk
membawa bahan-bahan dari rumah. Aku geli ketika membayangkannya, aku
menyuruh-nyuruh anak yang lebih besar. Aku ingat berjongkok di kebun pisang,
membuat telur dadar goreng dengan rasa amburadul yang digoreng di atas tutup
kaleng biskuit, merebus air di kaleng biskuit untuk memasak mie instant.
Menyuruh kawan-kawan patungan membikin rujakan. Mengambil jambu air dari rumah
di ujung gang, mengambil belimbing dan mangga dari rumahku, kemudian patungan
membeli gula jawa dan kacang tanah. Dan merujak siang-siang hingga sore sebelum
sibuk bermain bulutangkis atau karet gelang. Kadang-kadang jadi anak bawang,
kadang-kadang jadi jagoan.
Di usia empat tahun, aku bergabung dengan Sanggar Ratu Asia
asuhan Pipiet Sandra yang memiliki program setiap pukul delapan pagi di TPI. Selama
empat tahun, hingga kelas 2 SD aku memiliki kesibukan shooting bersama sanggar
tersebut. Kalau bukan bapak yang rajin mendongeng bagiku, aku tak akan memiliki
kemampuan mengingat-ingat skript. Ibu yang mengajariku menghafalkan skript
sambil memberikan jembatan-jembatan keledai. Masuk ke sanggar itu adalah
kemauanku sendiri. Di sekolah aku masih masuk rangking 3 besar dan naik ke
panggung untuk menerima piala pada saat kenaikan kelas.
Ketika duduk di kelas satu SD dan setiap orangtua murid
demikian heboh karena keesokan harinya akan diadakan test IQ, ibu justru
menyuruhku bermain sepulang sekolah, menyanyi, menggambar, bercerita, main
masak-masakan, apapun yang aku inginkan sampai lelah tertidur. Ketika test
diumumkan, di usia tujuh tahun aku mendapatkan angka test 136. Btw, tak ada
urusannya angka test tersebut dengan kepandaianku, sungguh. Percaya deh aku ini
tolol banget untuk soal tulis menulis, lama panas dan tak pernah punya konsep,
selalu menemukannya di jalan setelah dikerjakan, kemudian ditata ulang
berulang-ulang kali, banyak perubahan, banyak sampah dibuang.
Di depan orang lain aku tak akan menunjukkan segala
kelemahanku. Tapi di hadapan diriku sendiri, aku menguliti diriku sendiri
habis-habisan. Aku seringkali merasa dungu dan terpenjara oleh perasaanku
sendiri.
Pengasuhku yang keibuan, teman sekaligus ibu kedua, mbak
titiek, selalu memanjakanku hingga kelas enam SD. Dia yang mengantarkan aku
ikut kegiatan seusai sekolah. Pergi ke sanggar, latihan, mengantarkan shooting,
les berenang, les organ, menyanyi dan pramuka. Aku bercerita apa saja kepada
dia : menemukan sarang semut tempat robot raksasa menyembunyikan pin rahasia
dalam perjalanan ke sekolah, sarang burung tempat perampok menyimpan kalung
mutiara, bertemu santa klaus dan magang di pabrik mainan paling asyikk seantero
jagad, kawan yang aku taksir, memanggil tante yang tak kuketahui namanya untuk
meminta srikaya yang tergantung menggiurkan di luar pagar rumah, semuanya, dia
tahu kapan aku membual dan membiarkanku hidup dalam fantasi-fantasi itu.
Sampai hari ini kalau aku tiduran di teras rumah, lihat
langit jakarta yang sempit dan pengab, berwarna jingga kusam meskipun jam sudah
menunjukkan pukul sebelas malam, aku selalu punya fantasi, di atas sana
decepticon itu sedang menyemprotkan asap tebal untuk menyaru masuk ke bumi.
Ellen seringkali bilang : taaaiikk nyettt paranoid banget lho. Dia gak tahu
kalau aku beneran ngeri, sengeri perasaanku ketika menonton pertandingan
langsung sepakbola, alih-alih Messi menjebol gawang, tiba-tiba jiwaku ini
slluuurrrrpppp masuk ke tubuh Messi dan Messi masuk dalam tubuhku. Kemudian aku
hanya plonga-plongo lalaaakk lloollookk di tengah lapangan. Orang bisa jadi
jutawan tiba-tiba karena judi bola.
Ibu tak punya waktu untuk mendongeng. Hari-harinya penuh
dengan mengajar. Sepulang sekolah selalu ada anak-anak sekolah datang untuk
mendapatkan pelajaran tambahan. Dia membantu anak-anak itu untuk memahami
konsep berhitung dan aneka pelajaran sekolah lainnya yang begitu banyak. Sejak
kecil aku memperhatikan ibu mengajar di rumah, ketika kuliah aku mencari uang
tambahan dengan menjadi guru private bagi anak-anak yang membutuhkan bantuan
belajar.
Ibu kerap menyindirku dengan kalimat : Kamu ini anak
perempuan.
Kamu pasti tahu bahwa masyarakat patriarkal menggunakan peran
gender yang kaku untuk memastikan bahwa perempuan tetap pasif dan laki-laki
tetap aktif.
Pada kenyataannya aku adalah anak yang agresif, penuh rasa
ingin tahu, ambisius, serta penuh dengan rencana, selalu punya cerita untuk
dibagi. Ibu gagal mendidikku menjadi perempuan yang tenang, tertawa dengan
sopan dan melontarkan kalimat-kalimat menentramkan, pulang sebelum pukul dua
belas malam – aku jelas bukan cinderella. Aku jelas tak lembut dan tak halus.
Aku bisa menjadi itu kalau aku mau dan merasa perlu.
Ibu tak bisa mengubahku, ia berdamai dengan dirinya terhadap
aku. Ia membiarkan aku melakukan hal-hal yang aku sukai : berteman, bepergian,
menulis, membaca buku, memotret, nonton film, tertawa serta menangis
sedalam-dalamnya. Ia tahu bahwa aku tipe anak yang suka eksplorasi dan
eksperimen, anak yang menikmati kebebasannya. Aku meninggalkan hal yang tak aku
sukai, aku jengkel membuang waktu untuk hal yang tak aku senangi, juga jengkel
mengerjakan segala sesuatu pada ‘jam’ yang bukan ‘jam’ ku.
Bapakku senang dengan aku yang bisa diandalkan, yang tak
klemak-klemek macam kulit ketek. Dia senang bicara politik denganku juga film
dan literatur, dia suka musashi dan memaki-maki busuk-busuk yang nongol di
televisi.
Aku bersedih karena kerap didiskriminasi, meski memiliki
kemampuan untuk bernalar, menghadapi sikap diskriminatif terus menerus
seringkali menggerus hatiku. Aku hampir merasa tak berdaya bila kerabat dekat
memujiku : duhhh...nanti suamimu seneng
banget, untuk urusan domestik yang dapat aku kerjakan dengan baik. juga
untuk pencapaian-pencapaian yang telah aku raih.
Kadang-kadang aku masih sering didiksriminasi karena tubuhku
yang besar.
Hal ini menyentakkan kesadaran, sebab ternyata hidupku tak
jadi milikku sendirian, ada perasaan orang lain yang harus dipertimbangkan, dan
perasaan diriku yang tak perlu dipertimbangkan..menyebalkan sebetulnya.
waktu umurku
delapan belas aku pernah menulis tak ingin menikah. aku kan tak harus punya
suami. apakah aku ingin, aku belum tahu. aku gak percaya mereka yang memilih
hidup sendiri diartikan sebagai gak laku, punya hal-hal buruk sehingga tak
layak dipilih. menurutku mereka yang berpendapat seperti itu justru buruk.
aku tak mau membiarkan diriku melihat
perkawinan sebagai tujuan hidup dan sumber kebahagiaan, ini berarti aku tak mau
mengalami ketidakadilan karena jenis kelaminku.
masalahnya di bumi yang dengan sedih aku cintai, tempatku tumbuh dan hidup, tak menikah jelas membawa
kerugian sosial.
Aku pernah punya masa-masa murung, yang membikinku merasa
demikian ngelokro.
Aku pernah terbangun dengan murung, umurku sekitar
duapuluhdua tahun, tiga bulan setelah aku tak mendekam lagi di rumah sakit.
Waktu itu aku sadar telah menjadi cacat, dan dalam pengertian serta kesadaran
yang berkembang lambat aku belajar untuk memahami bahwa identitasku sedang aku
maknai ulang dengan susah payah, aku melewatkan banyak hari-hari buntu. Aku
khawatir akan banyak hal dan merasa demikian lumpuh, hal ini mengerikan dan
membikin cemas. Perasaan murung itu bertahan sekitar tiga tahun.
Orang-orang terdekat dengan susah payah membantuku menemukan
semangat baru. Aku teringat pak Marius, kawan Ibu yang kebetulan bertetangga,
kerap kali mampir membantu berdoa ketika
aku telah menjadi beringas terhadap diri sendiri. Masa-masa itu begitu sedih.
Aku hampir-hampir tak ingat apa-apa, merasa demikian hampa.
Ada banyak waktu aku habiskan duduk di depan komputer.
Melihat-lihat foto-foto yang pernah aku ambil. Mengenang moment-moment,
merumuskan ulang hidup. Suatu hari, empat tahun setelah keluar dari rumah
sakit, seorang kawan baru bertanya dengan heran, mengapa aku memiliki banyak
sekali album foto di facebook. Barangkali dia berpikiran aku narsis dan senang
pamer. Aku terangkan pada dia, bahwa foto-foto itu membikin diriku terasa
jejak. Setiap kali melihat foto-foto tersebut, aku bisa memanggil ingatan, aku
bisa mencoba meraba-raba, banyak cerita yang tak terdeskripsikan dalam selembar
foto, tapi esensi yang terpenting adalah : i was here, i was there. i am alive.
Hal ini membikinku merasa jejak.
Aku ingat dalam keadaan sakit fisik, tertatih-tatih
mendatangi komputer dan browsing. Waktu itu belum punya kamera DSLR dan laptop
sendiri. Aku mendownload banyak sekali tulisan-tulisan dan foto-foto yang
membikin hari-hari terasa genap, melupakan sengatan-sengatan sakit. Tak peduli
apakah besok aku masih dapat melalui hari, apakah aku masih dapat bekerja
sebagai wartawan, aku tahu waktu itu aku harus berbuat sesuatu, aku harus
menolong diri sendiri.
aku menemukan sebuah blog yang aku sukai. Aku mengikuti
setiap tulisannya dan merasa seolah mengerti dia, lepas dari kedangkalan,
menemukan perasaan yang tak dapat aku rumuskan waktu itu, tertulis dengan runut
dan apik. Aku suka menunggu pagi untuk mengunjungi blog itu,membacainya satu
demi satu, dan tahu-tahu tenggelam. suatu hari semesta mengijinkan kami
bertemu, aku barangkali mengganggunya. Dia belum tahu bahwa karena dia, aku
menemukan semangat hidupku kembali, aku belum sempat mengucapkan terimakasih,
aku menangguhkannya, aku khawatir dia akan teramat terganggu. ada banyak sms
yang tak bisa kukirim. ada banyak monolog yang akan terus jadi monolog. kalau
kamu baca ini : terimakasih.
kalau kamu terganggu karena aku mengasihimu, aku minta maaf.
kalau saja aku tahu lebih dulu.
aku menemukan keasyikan baru, membeli buku-buku bekas secara
online yang ternyata masih rutin aku lakukan hingga hari ini. aku mengumpulkan
buku-buku cerita anak sebagai bekal mendongeng kelak. Aku tahu akan sulit
memiliki anak sendiri tapi bukan berarti aku tak bisa memiliki anak, sebetulnya
aku tak senang menggunakan kata memiliki, aku akan senang bila ada anak dalam
hidupku.
Aku bilang pada karibku, nanti waktu umurku tigapuluh, aku
akan mengambil seorang anak, entah perempuan entah lelaki. Ada atau tanpa
pasangan hidup, aku akan memulainya. Aku punya lima tahun untuk bertahan hidup
dan mempertahankan perasaan positif. Anakku nanti akan kunamai Pianisario
Diriti dan Marcello Dimitri. Mengapa tigapuluh? Sebab secara mental aku yakin
pengertian dan kesadaran diriku akan semakin matang, aku akan masih kuat untuk
mengasuh dan membesarkan anak-anak, aku akan punya cukup waktu untuk menabung.
Aku kira, aku membiarkan fantasi itu berlesatan, sebagai cara untuk
mempertahankan hidup.
Kesadaran yang pahit itu menghantam aku dengan sebuah
perasaan ngilu. Waktu itu aku tahu sulit untuk memiliki anak sendiri,
mengandung dan melahirkannya. Awalnya hanya Ellen dan seorang lelaki yang
kuceritakan kesedihan ini. Aku pikir aku perlu membaginya untuk kamu, supaya
kalau kamu mengalami baby blues, atau depresi lain, kamu punya keberanian untuk
bertahan. Sebab sekarang bukan hanya nyawamu yang menjadi tanggunganmu seorang
diri, ada anakmu yang juga harus kamu pikirkan. Carilah
bantuan..bergeraklah..teruslah gigih.
Ada banyak orang bersedih karena menginginkan punya bayi dan
tak kunjung mendapatkannya. Kalau kamu sudah punya bayi milikmu sendiri,
cintailah dia, rawatlah.
Aku bersedih untuk setiap orang yang menyia-nyiakan
nyawa.
Kalau kamu pernah aborsi, jangan lagi melukai diri dan
menghukum diri kelewat ganas..aku tahu kamu mengalami pahitmu sendiri. teruslah
bertahan hidup, sebab kamu berharga, tak boleh ada orang lain menginjakmu termasuk dirimu sendiri, tak
boleh kamu memiliki perasaan rendah diri dan merasa demikian tak berharga..kamu
bisa menebusnya dengan menyambut hidupmu, merayakan hidupmu. Kamu sangat boleh
memiliki banyak rencana untuk hidupmu dan melaksanakannya.
Semesta memberkatimu teman.
oh ya please don’t pity on me... aku punya kehidupan sosial
yang menyenangkan .. aku berharap kamu juga punya kehidupan sosial yang menyenangkan.
aku punya diriku yang aku sukai..kalau sedang menziarahi batin aku masih
bersyukur dan berbesar hati, belum sempat jijik dengan diriku sendiri .. aku
masih merawat mimpiku dan menjalankannya..
Tidak ada komentar:
Posting Komentar