begitulah cara saya menyebut menu makanan
favorit ketika masih kecil. mbak titiek pengasuh saya yang pandai memasak akan
memberikan saya seporsi nasi dengan kuah sup yang banyak sehingga terlihat
mengapung, saya menyebutnya nasi berenang. isian sup-nya ada di mangkuk lain
demikian pula lauk ayam atau ikan dengan tempe dan tahu goreng ada di piring
lain. saya memang repot sekali untuk urusan makan, harus cantik secara visual. mbak
titiek tahu bahwa saya tak suka ada kol, buncis, kentang dan makaroni di dalam
sup ala indonesia itu, dengan bumbu bawang putih, lada dan pala yang ditumis
kemudian dicampur dalam kuah kaldu sayap atau ceker ayam.
waktu kecil saya suka memperhatikan mbak
titiek memasak, terutama memasak sup, sebab dia menjejer bahan-bahan masakan di
dalam tampah seperti irisan-irisan pie. mbak titiek mengukir wortel bentuk
bunga,di sebelahnya dia letakkan kembang kol, brokoli, tomat dan daun bawang
yang akan dimasukkan terakhir, serta sosis yang digurat-gurat supaya nanti
ketika direbus berbentuk seperti gurita.
setelah sibuk merajang dan menata bahan-bahan
masakan, dia akan mendidihkan air untuk merebus ceker atau sayap ayam. mengulek
bumbu dan menumisnya hingga harum, kemudian dituang ke dalam kuah sup. satu per
satu bahan di dalam tampah masuk ke dalam panci. selama menunggu sup matang dia
akan sibuk memotong tempe dan menggurat-guratnya, membumbuinya dengan garam,
bawang putih dan ketumbar. saya duduk di sebelah dia, dengan celana dalam dan
kaos singlet, menunggu dia memasak sambil ikut mendengarkan siaran radio pesona
fm. Dapur sepi, sebab kakak belum pulang sekolah. ada lagu tito sumarsono
mengalun lembut dan desisan tempe di goreng dalam minyak panas.
kemarin simbah memblender sup ayam dengan isian brokoli,wortel dan daun bawang untuk makan mbah kung. saya jadi terkenang mbak titiek dan masakan-masakan dia yang lezat.
dia teramat manis kepada saya. setiap
menjelang EHB (evaluasi hasil belajar) untuk menyemangati saya, dia akan
memasakkan sup babi dengan kacang merah. Saya baru teringat sekarang, terakhir
kali makan sup babi kacang merah adalah empatbelas tahun lalu. waktu saya duduk
di kelas enam sd dan esoknya akan ujian keterampilan bermain suling dan
bernyanyi, itu adalah ujian terakhir dari maraton ujian sekolah. waktu saya SMP,
mbak titiek sudah tak tinggal bersama kami.
dia sekarang tinggal di kota yang sama dengan
simbah. kadang-kadang mampir untuk menengok simbah dan membantu membelikan
benda-benda dari pasar lanang.
Simbah sering memasakkan ibu sayur bobor,
dengan santan encer dan daun salam yang banyak. Saya suka sekali daun labu yang
berserat, labu siam kecil, kacang panjang, dan bayam dalam sayur bobor. bapak
senang mencocok-cocokkan sayur dengan lauk, dan untuk bobor, dia suka sambal
terasi dengan baceman tahu tempe dan ayam. Baceman itu begitu legam, setiap
bumbu merasuk ke dalam, sampai kedele di dalam tempe berubah coklat, manis,
gurih, legit dengan sensasi krispi kriuk agak pahit karena ada sisi-sisi yang
gosong ketika digoreng.
tiba-tiba saya kepikiran penjual gule dan
tongseng keliling yang kerap lewat depan rumah di waktu malam. Pedagang itu
memasak tongseng menggunakan anglo, seru banget pokoknya. bapak adalah orang
yang gak tahan dengan lapar, jadi kalau malam dia merasa lapar (meskipun ibu
sudah ngomel-ngomel jangan makan lagi) setiap terdengar bunyi kluntung-kluntung
maka bapak berjalan ke depan pagar dan berteriak : GUUULLLEEEE !!!! dia akan
membeli sepanci kecil gule dengan kuah yang sangat banyak berasa jamu seharga
sepuluh ribu rupiah. padahal gulenya itu penuh dengan jeroan kambing. dengan
wajah berbinar-binar bapak pergi ke dapur, sibuk mengiris-iris tomat segar dan
merajang kol kemudian merebus gule tersebut hingga mendidih, dan memakannya
dengan nikmat. supaya gak dimarahi ibu karena makan malam-malam, biasanya aku
mengambil separo porsi kuah gule dan kol (dagingnya sudah disikat habis,
ahahahahaa) dan bertenggang rasa bersama bapak : dimarahi bareng-bareng.
ini tongseng bikinan sendiri..rasanya enaaakk..saya ganti santan dengan krimer. rasanya gurih,agak manis, pedas berempah....setelah ujicoba 2 kali, baru bisa dapat rasa tongseng yang aduuhhaaaiii |
ada banyak resep makanan berkuah yang diturunkan turun temurun oleh ibu dan mbak titiek. Saya tak suka lodeh, ngomong-ngomong, kecuali buatan ibu saya yang legit, pedas dan merah, dengan kaldu iga yang sedap, rebung, daun so dan kacang panjang. kalau makanan bersantan seperti ini, andalan bapak adalah ikan asin, entah gabus yang ditumis dengan bawang,cabe rawit dan tomat hijau, ikan asin tipis (saya tak tahu namanya) yang digoreng tepung atau dibalado, atau ikan peda. bapak kalau makan suka mengedip-ngedipkan mata,sungguh lucu, saya dan kakak kerap menertawakan dia waktu kami kecil, ia menikmati sekali makanannya. saya merindukan suasana itu, meski tak duduk di meja makan dan memilih duduk di depan televisi, saling menggoda soal makanan dan bercerita seru adalah pengalaman masa kecil yang menyenangkan.
waktu kecil saya tak suka sayur asam dengan
banyak sekali cemplungan sayuran : daun so, melinjo, nangka muda, kacang tanah,
jagung manis, kacang panjang, labu siam, cabe hijau. sumpah, makannya bingung. Kalau
sekarang saya pingin masak sayur asam, saya bilang sama mbak semi, mau bikin
sayur sampah, soalnya banyak isian yang menurut saya gak cantik (ini selera)
sehingga mbak semi hanya membelikan kacang panjang, cabai hijau, jagung manis,
labu siam dan belimbing wuluh. di mangkuk saya sayuran-sayuran itu tampak
teratur, bersanding dengan bola-bola daging (air rebusan bola daging-nya saya
saring dan digunakan sebagai kuah sayuran).
saya suka sayur asam yang isinya gak terlalu ramai...kuahnya dibuat dari kaldu bola-bola daging yang disaring. |
kalau musim belimbing wuluh tiba, saya selalu minta tolong mbak semi memintakan belimbing wuluh dari rumah mpok mastanah. saya suka sekali belimbing wuluh muda yang kesat dan bergetah, licin seperti lilin. Selain untuk dijadikan sayur asam, kerap belimbing wuluh itu dimasak menjadi masakan pindang serani, ikan bandeng yang dibumbui asam dan berkuah banyak. waktu saya mendekam di rumah sakit, dokter gizi menyarankan saya untuk makan oatmeal setiap hari. ibu membikin stok kaldu pindang serani yang banyak, supaya saya dapat merebus oatmeal dengan kaldu tersebut. saya selalu suka kaldu ikan yang bentuknya seperti jeli / gelatin ketika didinginkan, dan mencair ketika direbus kembali.
beberapa waktu yang lalu bersama ellen kami eksperimen pindang serani model baru,
ala tom yam sekaligus garang asem. buat saya enak, karena saya suka masakan
ikan yang amis-amis, saya tambahkan daun mint untuk menambahkan cita rasa
segar, dengan cabe rawit. saya masih memakannya ala nasi berenang.
meski suka sekali makan ikan, saya tak dapat
menduplikasi sup ikan yang ada di restoran cina di daerah kota, itu adalah sup
ikan yang enak, saya gak tahu bumbunya. kuahnya susu dan sayurnya sawi putih.
kita tak memakannya dengan nasi sebab itu adalah makanan pembuka. selain
masakan indonesia saya suka masakan cina.
ada satu sup yang tak bisa saya makan dengan
nasi berenang, sup susu, kami memakannya dengan roti pentung. saya ingat di
awal tahun sembilanpuluhan, ibu membeli resep majalah nova dan menemukan sup
sosis jagung dengan kuah susu. ibu segera membuatnya, jagungnya sebagian
diblender sehingga kuahnya agak kental, dimakan hangat-hangat dengan roti
pentung yang dibakar sebentar, dulu ibu tak tahu garlic bread, tapi dia
memanaskan roti-roti di atas wajan teflon, kemudian mencelupkannya ke dalam
kuah sup dengan sosis mengapung-apung. saya tak suka sup jenis ini, sebab tak
dimakan dengan nasi. Saya ingat masakan ini kerap dimasak di hari minggu,
sepulang kami dari gereja, pergi ke hero barito yang ada di bawah tanah untuk
membeli roti pentung.
karena sup itu tak bisa dimakan dengan nasi,
maka ibu mengganti menu hari minggu dengan masakan yang lebih praktis : soto
betawi. ibu tak pernah membikin soto betawi, melainkan selama berpuluh-puluh
tahun membelinya di kedai soto langganan, persis di samping pasar blok a. waktu
kecil dan teramat lugu, kakak sering curang, dia bilang, sini tuker isinya sama
kuahnya, karena saya suka sekali nasi yang bisa berenang. sehingga saya mendapatkan
separuh kuah soto yang gurih susu dan santan itu dan memberikan separuh porsi
isian daging untuknya. saya memang mudah dikibulin.
di rumah, kami jarang memasak serba instant. bahkan membuat sup krim pun semuanya dimulai dengan memasak sendiri, membuat ragout dan isiannya. bukan bermaksud promosi (saya juga gak dibayar sama mereka) kadang saya menggunakan sup krim instant campbell atau royco untuk membikin saus bechamel, lain dari merk tersebut yang dijual di pasaran indonesia, gak cocok sama lidah saya. saya masih menambahkan rajangan daun bawang, dada ayam rebus suwir, dan black pepper serta jagung manis pipil untuk menguatkan rasa sup instant, apalagi direbus dengan daging asap atau bacon, maka sup instant itu jadi senikmat sup buatan sendiri. tentu saja sup sejenis tak cocok dimakan dengan nasi, kalau orang lain memakannya dengan cruton atau garlic bread, saya memilih memakannya dengan biskuit asin.
barangkali setiap anak akan memuji masakan
ibunya sendiri, demikian pula saya. saya tak pernah menemukan masakan lain
seenak masakan ibu. Kalau saya kepingin makan rawon, saya menunda-nundanya
karena tahu ibu tak akan punya waktu untuk memasaknya, saya enggan membeli,
sebab rawon ibu saya dengan daging sandung lamur, kuahnya terasa sangat pekat,
dengan kluwek dan daun jeruk yang banyak. bapak dan ibu selalu berani bumbu
dalam mengolah masakan. bapak suka menaburkan toge pendek ke dalam rawonnya,
saya tak suka. saya suka rawon dengan mendoan dan telur asin dengan kuning
telur warna orange yang berminyak dan masir.
tapi ada masakan ibu orang lain yang saya puji habis-habisan, dia adalah mpok mastanah (pemilik pohon belimbing wuluh itu) dan kakaknya bu haji yang mengantarkan sayur godog dengan opor ayam dan semur daging yang saya tunggu-tunggu saat lebaran. itu adalah sayur godog terlezat yang pernah saya makan, saya selalu menunggunya saat lebaran. kalau saya kepingin makan ketupat sayur, maka saya akan menangguhkannya, karena saya tahu akan mencacat (memaki) dan sambat : arrgghh...gak enak. saya menunggu sepanjang tahun untuk bertemu lagi dengan kelezatan sayur godog tersebut.
seperti saya menunggu sepanjang tahun untuk
merasakan sup buntut andalan ibu untuk perayaan natal. tentu saja saya dapat
membeli seporsi sup buntut kapanpun ingin tanpa menunggu natal, tapi rasanya
beda luar biasa. addduuhh emak..itu kaldu kental sedap bener, begitu saya kerap
memuji ibu saya. Favorit saya adalah kuah kaldu yang sudah berhari-hari itu,
ketika tak perlu berpayah-payah mengunyah kacang merah, dengan seledri dan wortel
yang begitu lunak, lumer ketika menyentuh lidah karena dihangatkan
terus...ahahahhaa.. itu adalah momen favorit saya, kaldunya telah menjadi
demikian pekat, dan nasi berenang terasa begitu lezat tanpa daging di dalamnya.
Kakak sekarang bekerja di malang. Setiap kali pulang ke jakarta, ibu selalu membuatkan dia bak-moek. itu adalah sup tahu (dari kacang hijau yang lembut digoreng berkulit) dengan sayap ayam dan daun bawang yang dicemplungkan menjelang diangkat dalam kuah ebi bawang putih. kakak tak suka nasi berenang. ia suka nasi dalam piring dan semangkuk besar bak-moek di mangkuk lain, menyeruputnya hingga berbunyi dan tambah dua kali.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar