saya ingin cerita mengenai matematika dan
saya.
waktu kecil saya
sangat senang pelajaran matematika di sekolah. Sampai kelas 5 SD saya selalu
rangking 5 besar, sekolah saya adalah sekolah swasta katolik yang disiplin,
nilai matematika saya tak pernah rendah dari 8. Kemudian di jenjang pendidikan
SMP hingga SMA nilai matematika saya jeblok. Saya tak menguasai aljabar dan
segala jenis pelajaran hitung-hitungan. Nilai matematika saya yang tertinggi
adalah 3, saya sungguh-sungguh. Hal ini juga berlaku untuk nilai pelajaran
hitung-hitungan lain. Saya merasa sangat bodoh.
Sampai hari ini saya
tidak bisa menjumlah angka 17 dan 13, saya juga tidak bisa mengurangi angka 37
dan 13. Ellen kerap berteriak, “Taaiikk lu nyettt.” tiap kali saya bertanya
sejumlah angka padanya dan alih-alih percaya pada jawabannya saya justru
mencari kalkulator.
Kemudian saya sadari
bahwa saya bukannya tidak bisa matematika.
Saya baru tahu hari
ini bahwa jauh di alam bawah sadar saya telah mengendap ingatan tentang
sebentuk pelecehan.
Saya merasakan
ketidakadilan dari beberapa guru karena bentuk fisik saya, saya tak mengerti
mengapa mereka melakukan itu, saya tidak pernah mengerti mengapa gemuk diasosiasikan
dengan pemalas.
Setelah lebih dari 10
tahun saya baru mulai memikirkannya dengan serius.
Saya bisa menduga
dibalik gemuruh sekolah prestisius itu, saya yang anak biasa-biasa saja dengan
status sosial 2 hingga 3 level dibawah murid lain, cenderung terabaikan.
Apakah guru yang
melukai saya, ataukah murid lain? Apakah saya sakit hati, saya tidak tahu, saya
tidak ingat - barangkali saya tak suka
mengingat-ingatnya,
saya baru menyadari hari ini bahwa dulu ada
sebuah laku yang saya rasakan amat mengganggu dan merugikan. Saya jadi tak suka
pelajaran matematika dan hitungan lain.
Barangkali dalam
sebuah pemahaman saat itu (tanpa dapat
menganalisanya tapi merasakan dentuman nyeri di hati) saya merasa tak masuk hitungan-tak dihitung,
karena identitas saya.
Identitas saya adalah atribut-atribut yang
sama dengan saya dan dapat mewakili diri saya, segala yang bukan saya dan tak
dapat disamakan dengan saya, serta tak ada kemungkinan ketiga.
ibu saya seorang
guru. Mudah-mudahan tidak pernah ada murid yang merasa telah dilukai sedemikian
dalam oleh ibu. Kalaupun ada, saya berdoa, saya berharap supaya si murid dapat
mengampuni ibu saya dan dirinya sendiri, saya berharap ibu saya punya kemampuan
untuk menggali ingatan dan punya kesempatan untuk meneliti hati. Saya berharap
tiap orang yang masih membawa dendam itu dapat mengampuni diri sendiri dan tak
terus menghukum diri dalam tahu atau dalam tak tahunya, dan dengan demikian
bisa akur dengan apa yang telah terjadi.
Saya sudah akur
dengan diri sendiri.
Sekarang saya tahu
bahwa kemampuan saya bermatematika tidak hilang, tidak berkurang. Ketika saya
mengecek lewat kalkulator saat Ellen menyebutkan jawaban sederhana dari soal
pengurangan, saya telah melakukan kegiatan matematis : memastikan.
Setiap malam bapak
melakukan ritual menyelamatkan makanan. Esok paginya menjadi tugas saya untuk
mengubah sisa food (ini istilah saya)
mengolahnya menjadi makanan yang dapat dimakan lagi seperti membuat bubur atau
nasi goreng atau intip dari nasi yang tersisa.
Bagi saya ritual ini
tidak bisa disebut pelit, melainkan menghargai jerih payah terhadap segala
sesuatu. Membuang segala sesuatu dengan sembrono saya kira merupakan bentuk
kesombongan dan ketidakbersyukuran atas hidup.
apa hubungannya menyelamatkan
makanan dengan matematika?
saya percaya
keterampilan memasak membutuhkan serangkaian kecerdasan.
saya percaya mereka
yang dapat membuat makanan lezat, adalah orang-orang yang pandai menghitung dan
mengukur.
Bayangkan ukuran
untuk membuat bumbu, memastikan panas api / oven, kekentalan dan tekstur
makanan, managemen waktu dalam memasak termasuk soal pemakaian bahan bakar.
kamu tak mungkin
memasukkan sekilo gula dengan seliter air dan sekilo tepung untuk membuat
adonan pukis, selalu ada perbandingan. dan demikian nalar bermatematika itu
jalan.
ada seorang chef yang
saya kagumi, ia adalah heston blumenthal. silahkan cek youtube dan tontonlah
sendiri betapa luarbiasa-nya heston blumenthal. salah satu program acara yang
saya suka adalah heston feast dan how to cook like heston. nanti kamu akan
makin yakin bahwa memasak memerlukan serangkaian kecerdasan..termasuk
kecerdasan berimajinasi.
|
salah satu impian saya, bisa makan masakan dia dan bisa satu dapur bareng dia...sungguh canggih laki-laki satu ini. |
Saya selalu percaya
kita tak pernah hidup sendirian. Ada mata rantai yang rumit dan kaya tentang
keberlangsungan hidup ini. Makanan yang kita asup, sumber energi yang kita
pakai, pakaian yang melindungi tubuh.
Saya bayangkan
seorang anak, atau ibu, atau ayah, atau kakak, atau adik yang tak saya kenali
di sawah, di tengah laut, memanen kapas. Mereka yang membawa pemahaman akan
adanya kehidupan dan dengan itu kemanusiaan.
Beberapa tahun
terakhir ini saya aktif melakukan gerakan refashion, semoga kamu juga tergugah
untuk melakukan hal yang sama.
Sepanjang tahun saya
mengamati diri saya banyak melakukan hal-hal baik bagi diri sendiri, dan itu
membuat saya merasa lebih solid sebagai manusia yang terus menerus mencari
jawaban yang terserak di sana sini.
alasan lain bagi saya
ketika melakukan refashion adalah untuk memberikan pekerjaan bagi seseorang,
sehingga dia bisa melangsungkan hidup, tidak berhutang, dan punya harga diri
karena masih bisa melakukan sesuatu. saya tak ingat apakah bunda theresa atau
orang lain yang pernah berkata, kalau tak bisa menyelamatkan ribuan jiwa,
selamatkanlah satu, diri sendiri. – kalau belum pernah ada yang ngomong gitu,
anggeplah itu quote emang saya yang bikin – saya merasa menyelamatkan diri
sendiri ketika berefashion, karena pemahaman saya dihuni pengertian baru
tentang bermatematika, kalau ada orang lain yang terbantu, berkah dalem bagimu.
Dengan melakukan
refashion saya merasa tidak kehilangan
kemampuan bermatematika. Saya tidak sedang memuji kreatif. Tetapi ketika
dihadapkan dengan gunting, secara abstrak saya bisa membayangkan pakaian apa
yang akan saya ubah.
Saya berimajinasi,
menggunakan keterampilan berfantasi.
Tubuh saya besar dan
jarang ada pakaian jadi yang dijual di toko pakaian cocok dengan ukuran tubuh
dan selera saya yang ‘buruknya’ gak pernah sama dengan selera orang lain.
saya mengobrak abrik
lemari pakaian dan mengubah pakaian-pakaian lawas (yang tentunya masih sangat
layak pakai) berukuran S, M, L, XL menjadi ukuran 2XL yang pas untuk ukuran
tubuh saya. Saya mendesign, menentukan kekurangan apa yang harus ditambahkan,
mana yang harus dibuang dan diperbaiki, membuat pola dan melakukan hitungan.
Kain apa yang harus digunakan, seberapa banyak, kemudian menghitung mana-mana
saja pakaian yang bisa direfashion dengan satu kesatuan pola.
setelah tahapan itu
selesai tahapan selanjutnya adalah menghitung sejumlah uang yang harus
dibelanjakan untuk membeli kain dan aplikasi lain, menghitung sejumlah uang
yang harus dibayarkan untuk ongkos vermaak.
Saya kira saya telah
bermatematika – hal yang baru saya sadari sekarang dan tidak lagi membuat saya
terbebani karena selama masa remaja selalu mendapat nilai di bawah 3, selalu
remidial dan tak menunjukkan perbaikan.
oh ya btw, saya punya
blog baru, khusus buat refashion. sahabat saya amanda bilang, ada baiknya kalau
proyek-proyek refashion itu diarsipkan dalam dunia maya, siapa tahu akan ada
yang terbantu dan meluaskan lagi pemahaman tentang refashion. kami berkawan
dari smp dan sama-sama punya pandangan yang baik untuk merawat bumi,sekecil
apapun aksinya ini adalah wujud nyata. dia tinggal di singapore dan saya di
jakarta, keterpisahan jarak itu tak menghalangi kami untuk terus berkarya dalam
refashion.
saya tanya padanya,
apakah sebaiknya blog kami itu berbahasa inggris atau berbahasa indonesia.
akhirnya kami memutuskan untuk membikin blog berbahasa indonesia. begini, kalau
saya menuliskannya dalam bahasa inggris maka saya khawatir kawan-kawan yang
tinggal di indonesia dan tidak mampu berbahasa inggris jadi gak punya minat
untuk meneruskan membaca blog tersebut. blog tentang refashion yang ditulis
dalam bahasa inggris amat banyak..dan kita kekurangan kawan-kawan yang peduli
pada lingkungan untuk mengarsipkan karya-karya tersebut dalam bahasa kita
sendiri.
kebetulan sudah satu
setengah tahun saya melakukan proyek refashion, kira-kira sudah ada 80 baju
yang direfashion, dan saya bangga untuk pencapaian ini. tapi blognya belum
rame, petra sahabat saya belum punya waktu untuk motretin saya. dan saya serta amanda masih punya kesibukan lain di luar tanggungjawab sosial untuk terus edukasi tentang refashion...mengapa tanggung jawab sosial? karena kami percaya bumi ini kita miliki bersama dan harus kita rawat serta jaga bersama pula.
Ketika memburu buku
bekas dengan serius dan tekun dari list buku yang saya inginkan, menabung dan menanti
datangnya pameran, menemukan moment mak jegagig, saya kira saya telah
bermatematika.
Hal ini yang
membesarkan hati bahwa saya tak bodoh-bodoh amat soal hitungan.
Saya selalu merasa
jengah dengan setiap orang yang menutup kesempatan dialog, sungguh.
Saya ingat jaman
kuliah, di awal 2007 sebelum cuti 2 tahun karena operasi tulang belakang, umur
saya baru 20. suatu hari saya protes pada seorang dosen (saya lupa wajah dan
namanya, tapi saya ingat nilai saya C.. oh ya banyak nilai mata kuliah saya C
dan saya tak peduli, soalnya saya yakin saya tak bodoh, saya hanya dissident).
Saya mengajukan
pandangan, mengapa kita masih menggunakan kertas untuk tugas yang bahkan tidak
diperiksa, mengapa tidak mengirimkannya lewat e-mail atau flashdisk, tinggal
colok – pandangan itu ditolak.
waktu itu (sampai
hari ini) saya punya pikiran yang serius dan merasa sangat kecewa.
Tulisan-tulisan copy paste itu (sorry to say) menjogrok di perpustakaan. apakah
dibaca? saya tak yakin dibaca untuk kemajuan peradaban kecuali untuk melakukan
ritual copy paste lagi dan lagi.
Mengapa masih
menggunakan kertas untuk mengerjakan tugas akhir.
Begini, anggaplah
sekali pengerjaan outline hingga menjelang skripsi terdapat 7 kali revisi
dengan 2 pembimbing, minimal 75 halaman per revisi, terbuang karena
dicorat-coret (copas saja dicorat-coret)
kalikan Rp 700 per halaman untuk ongkos printing, kalikan 150 mahasiswa
per jurusan dalam satu kali moment wisuda.
Bagi saya ini tak
masuk akal, sebuah pemborosan yang bodoh.
Tiap tahun kalikan
10.000 fakultas. Kertas-kertas terbuang dan dibuang (saya susah percaya
penelitian yang dilakukan itu membawa dampak – maafkan karena pesimis, dan
justru karena itu saya tahu hal ini tak perlu-perlu amat, karena pertarungan
sebenarnya ada di luar).
saya benci orang yang
merusak lingkungan.
Sewaktu ibu saya
pindah kerja, dia membawa setumpuk kertas-kertas bekas yang sekarang menumpuk
di kardus. Dia membawanya pulang dan tak membakarnya karena tahu, kertas itu
akan saya gunakan untuk corat-coret tulisan dan design-design saya.
nantinya pun ketika
seluruh kertas itu sudah penuh dengan tulisan saya dan saya tak merasa perlu
mengarsipkan segala sesuatu lagi, kertas itu akan saya daur ulang, hasilnya
bisa saya gunakan untuk beragam pernak pernik kerajinan. come on deh,
kepedulian itu datangnya bukan dari orang lain tapi dari diri sendiri.
saya masih ingin
lihat anak-anak saya kelak tahu bahwa masih ada bumi yang hijau.
kalau kamu pernah
langganan majalah bobo, dipertengahan sembilanpuluhan pernah ada artikel
tentang kertas daur ulang. waktu itu saya kelas lima sd. saya mengikuti contoh
yang diberikan majalah bobo, merendam kertas bekas di dalam ember setelah
menyobek-nyobeknya hingga kecil. selama seminggu kertas itu saya rendam hingga
lunak seperti bubur, kemudian saya blender dan saya saring dengan saringan
kelapa yang berbentuk bundar. saya mengerjakannya sendirian di sela-sela
liburan sekolah dan merasa demikian asyik. kemudian menjemurnya dalam terik
matahari hingga pertengahan septermber. di bulan desember saya sibuk membikin
kartu natal bagi kawan-kawan dengan kertas daur ulang. saya melakukannya hingga
SMA. tidak ada yang menyuruh saya melakukan hal-hal semacam ini, barangkali
karena saya suka ide zero wasted demi kelestarian lingkungan hidup. itu
saja.
|
amazingly brilliant !!! |
Saya menemukan
pengalaman lain yang baru saya sadari. Saya tergila-gila pada walk off the
earth sebuah band dari kanada yang dapat kita lihat di youtube. Cara mereka
bermusik sangat luar biasa, menciptakan rangkaian melodi indah, menciptakan
musik, melakukan cover version, menghitung not, menyanyikannya dan membikin
saya merinding. Saya tak bisa memainkan alat musik tapi saya suka bernyanyi,meskipun
tak canggih, saya juga bisa pecah nada. Saya kira ini juga matematika, ada
nafas yang dikeluarkan dipirit-pirit, ada not yang dihitung, yang tak saya
sadari, tapi saya tahu ini matematika. saya gak fals-fals amat kalau menyanyi,
paling enggak kalau saya karaokean di inul, saya bisa ikuti musiknya, dan ini
matematika, sebab kita menghitung tanpa menyadarinya. mereka yang mampu
bermusik dengan baik, menari dengan baik, melukis, memasak, baris berbaris
(tentu saja) menggunakan matematika dalam hidupnya.
Dua bulan lagi saya
akan memulai belajar matematika untuk kelas 1 SMP, karena saya ingin.
Tulisan ini saya
posting bukan untuk menunjukkan betapa sok dan sombongnya saya terhadap
keterampilan yang saya kuasai. Justru sebaliknya, saya merasa perlu untuk
bercerita, bahwa, kita yang pernah mendapatkan nilai buruk selama sekolah dalam
soal hitungan, barangkali menyimpan endapan ingatan tentang sebentuk pelecehan.
saya harap kita telah akur dengan diri sendiri. Nilai cuma nilai. Ada hal yang
lebih penting ketimbang angka di atas kertas ulangan. Cara kita memandang dan
menjalani kehidupan.
berkah dalem.