Aku seperti mendengar suaramu. Melecehkan dan menggurui, bersemangat dan membikin jengah meski aku mengetahui kamu begitu tulus ketika mengungkapkannya. Aku seperti mendengar suaramu bersama kepalan tinjumu pada pundakku. Di luar hujan sayang. Aku selalu ingin memanggilmu sayang. Tapi kita berdua tahu hal-hal bahagia harus dihentikan. Itu saja. Aku teramat merindukanmu ternyata.
Hari
ini aku membereskan kamar. Menemukan banyak catatan dan sobekan-sobekan kertas.
Benda-benda yang justru makin mengingatkanku padamu. Aku tertawa pada diriku
sendiri. Sebab ini bukan kamarku. Ini adalah ruangan tak terpakai pada sebuah
kantor. Hidupku yang nomaden. Menumpang di sana sini. Pindah ke sana ke mari.
Sering kehilangan benda-benda yang kusukai.
Aku
memperhatikan ruangan ini : segulung matras, tas buluk di pojok ruangan,
peralatan mandi, pakaian seadanya – sebagian dari kamu, buku-buku yang tidak
banyak dan dibeli dengan perjuangan, gelas hadiah dari toko, lima bungkus mie
instan, satu toples kecil gula dan kopi, satu bungkus havermouth dan sekardus
susu bubuk yang belum habis milikmu, setumpuk sobekan kertas di sana-sini yang
kubendel dengan karet gelang, buku jurnalku yang sering kamu tertawakan, laptop
yang belum kamu ambil, lotion yang selalu kamu gunakan. Aku merindukanmu
teramat sangat.
Buku
pemberianmu belum selesai ku baca. Aku membayangkan wajahmu yang bersemangat
dan berujar : gimana...gimana menurut
lo.. gilaakk kan tuh.. sarap tuh orang!! Aku seperti mendengar suaramu
sayang. Suaramu yang nyaring riang dan menyebalkan. Memojokkanku dan membikin
aku menyadari betapa bedanya kehidupan yang kita jalani. Begitulah.
Aku
melihat tumpukan dvd bajakan yang kamu rekomendasikan untuk ku tonton. Aku
seperti mencium harum rambutmu. Suaramu yang jadi jengkel dibarengi dengan
tumpahnya setetes airmata : gw gak
keberatan jadi gendut..sama sekali enggak..menurut lo Gilbert jahat gak?
memangnya cuma itu pilihan yang dia punya..itu nyakitin tau gak...gw lebaii ya
Tur...
Kita
tonton What’s Eating Gilbert Grape berulang kali. Hidupku hampir mirip Gilbert,
sebelum aku jumpa kamu. Penat dan kebingungan. Terlalu menjemukan.
Ahh
sayangku..
Hari
ini aku membaca ulang catatan-catatan usang. Bayangmu seringkali melintas. Nyengir
sendirian karena aku tahu kamu akan mengejekku : bussettt waktu Indonesia bagian galau-nya udah mulai yaaa...
Udahh..gak usah nangis
nyet.. gak macho banget deh lo!! Aku seperti mendengar
suaramu sayang, seperti mengetahui begitulah caramu menyembunyikan perasaan
yang tak bisa kamu nyatakan. Menuliskannya sulit, memikirkannya tak pernah
mudah, apalagi menyatakannya. Aku tahu kita sama-sama menderita. Kita sama-sama
terlalu rindu. Kita sama-sama menyedihkan. Ah sayangku..
Aku
menemukan kamu di halaman-halaman buku jurnalku. Ada jejak senyummu yang samar.
Aku yang merasa begitu bodoh dan mudah leleh akan bantuanmu yang tulus.
Surat-surat cinta yang tak sempat ku kirim, tak pernah tega barangkali juga
terlalu kalut. Surat-surat cinta itu menjelma kisah fiksi, kamu pernah
membacanya tanpa seizinku dan berkata : haduuhh
gw lemes dan sesek bacanya. Kamu barangkali tak sempat menduga bahwa itu
adalah kamu, barangkali kamu telah menduganya dan memilih untuk seolah
meniadakan segalanya. Kita sama-sama menyedihkan.
Tulisan-tulisan
itu, pengembaraan itu, selalu kamu pemicunya. Aku selalu membayangkan diriku
semesta kosong tak berhingga, dan kepalaku adalah galaksi yang kecil dan
sempit, yang tak pernah cukup dan muat untuk segala pengertian. Aku melihat
diriku sendiri dalam gambar bergerak, yang lintasannya kadang cepat kadang
lambat : menunggumu tahu ada aku di sini.
Aku
membolak-balik halaman-halaman buku jurnalku, membaca ulang fiksi-fiksiku.
Menertawakan diri sendiri ketika hanya itu yang dapat kulakukan saat ini.
Menemukan sebaris kalimat dari jejak dirimu yang pernah singgah dalam hidupku.
Tulisan tangan itu milikmu, dengan spidol warna-warni dan emoticon smiley. Kamu
menulis : hei.. kamu apa kabar J
Kalimat
itu selalu terasa menyentak dari dasar hati. Kamu apa kabar?
Setumpuk
kertas berhamburan lepas dari sela halaman buku jurnal. Aku menemukan
tiket-tiket pertunjukan Festival Film Eropa di Goethe Institute. Bulan itu kita
tidak pernah absen menghadiri festival film tersebut. Sesudahnya kita makan di
warteg tak jauh dari Goethe. Tempatnya terlalu sempit, makanannya terlalu asin
meski menu makanannya agak lebih baik ketimbang warteg yang sering kudatangi.
“Dulu
gue gak bisa makan warteg. Pasti besoknya gue mencret. Pas jaman kuliah gw
kelayaban sana sini, jadi volunteer di sana sini. Gw ketemu orang-orang yang
tidak sama dengan kawan-kawan sepermainan gw sebelumnya. Gw lihat kawan baru
ini makan cuma nasi kuah pake sambel dan kerupuk, gak mungkin gw selalu memilih
makan hokben dan sejenisnya seharga tigapuluhribu sekali makan, meski gw bisa
traktir setiap orang yang ketemu gw. Buat gw ini mencengangkan waktu pertama
kali lihat. Menyadari betapa ada sesuatu ketegangan yang harus gw alami.”
Suaramu
melunak ketika berujar, “Sori..gw gak bermaksud sombong. Itu satu-satunya
kebanggaan yang gw miliki malah. Bisa nelen nasi dengan kuah dan sambel.
Kadang-kadang mereka yang sempat mengenal gw melabelkan gw sebagai perempuan
yang menyebalkan dan manja karena gw gak terbiasa makan di pinggiran jalan,
kulit terlalu sensitif, dan pusing kalau kepanasan. Mereka semena-mena ketika
melabelkan gw manja. Gw selalu merasa misfit dan misplaced. Terasing itu
rasanya gak nyaman banget. Menurutmu ini terjadi karena umurku yang terlalu
muda atau di setiap lapisan umur, gap selalu ada? Kenapa ya kita terlalu mudah
untuk menghakimi. Apakah gw salah ketika orangtua gw bisa memfasilitasi itu?
Mereka gak tahu bahwa gw berusaha begitu keras untuk memahami mengalami menjadi
orang lain. Eh..sori..sori, abaikan gak penting.”
Aku
menatapmu dalam-dalam.
Lo
ada acara gak? Naik kereta yuk.
Malam-malam
begini?
Memangnya
kenapa?
Aku
mengingat pertemuan pertama kita. Kamu memotret ke sana ke mari dengan kamera
canggihmu. Kemudian tiba-tiba saja kita duduk bersebelahan. Mbak Retno project
director kita memintamu memindahkan hasil foto-foto ke laptopnya.
“Bagus-bagus
foto-fotonya, mbak jago, ” ujarku tulus.
“Eh..bukan
saya yang jago mas, kameranya yang canggih.”
“Mahal
ya mbak kameranya? Seharga motor itu pasti, mungkin lebih.”
“Umm..duhh..saya
bilang saya jago aja deh yaa..hahahhaa.”
Kamu
benci dipuji. Kamu menyembunyikan hal-hal hebat dalam dirimu yang terus menerus
membikin aku kagum, kamu akan menyatakan : masaakk
begitu doank hebat, biasa banget kaliii.... Kamu suka sibuk, apapun yang
dapat membuat harimu penuh dan lelah. Mencarikan donator bagi panti jompo,
rumah singgah, panti asuhan. Membikin acara donor darah, menyediakan diri
sebagai relawan pada hotline telepon yang memberikan penghiburan bagi orang
yang bersedih, relawan bagi hewan-hewan langka, relawan bagi perempuan korban
kekerasan.
Tujuh
hari itu tiba-tiba saja kita mengobrol sangat banyak di sela-sela pekerjaan.
Tiba-tiba saja kita merasa seperti kawan lama. Aku memperhatikanmu, menikmati
memandang dirimu. Kamu yang menggelung rambut dengan sumpit.
Aku
selalu merasa kamu seperti cantelan baju, apapun pantas di tubuhmu.
Pakaian-pakaian vintage, kaos oblong dan tali bra yang kamu perlihatkan, sepatu
converse dan celana jins atau rok jins warna donker. Ransel yang tak pernah
kamu lepaskan.Tas kamera besar dan tripod kamu sandangkan di bahu kiri. Kamu
yang malas ke toilet dan meminta izin di depanku untuk berbasuh dengan tissue
basah, bedak bayi dan cologne wangi buah-buahan.
Bau
itu sosial, tau gak ! Ujarmu.
Lalu
kamu bercerita mengenai bau. Kamu bilang terganggu dengan orang-orang yang bau.
“Gw
sama sekali gak bermaksud merendahkan siapapun yaa. Tapi gw memang bermasalah
dengan bau tubuh. Gw pernah punya banyak kawan yang bersemangat tinggi tapi gak
sempat memikirkan masalah bau tubuhnya. Gw tahu diantara mereka banyak yang
tidak punya cukup uang untuk bertahan hidup di Jakarta. Ini serius lho..beneran
lho. Mereka yang semangat belajarnya tinggi sampai dapet beasiswa dari
kampusnya dan masih harus mikirin bagaimana bertahan hidup sehari-hari. “
“Gw
salut banget dengan mereka. Kalau denger cerita mereka suka ngenes, awalnya gw
gak percaya, kok hidup se-epic itu. Tapi beneran lho..serius lho. Uang untuk
bertahan hidup serba terbatas. Mereka gak bisa mengandalkan dapat uang perdiem
selama volunteering, kalau sudah mentok mereka ngamen untuk sekedar makan hari
ini. Kebayang kan aktifitas mereka yang padat karena butuh untuk tahu, untuk
nambah pengalaman dan wawasan, pergi sana-sini, banyak jalan kaki, gak pakai
deodorant dan parfum. Mereka jelas bukan pemalas. Gw respek banget justru sama
mereka, ketimbang sama kawan kuliah gw yang serba dangkal dan jadi shop
display!”
“Mereka
ini jarang cuci baju pakai deterjen karena harus memilih antara makan atau yang
lain. Mandi aja kadang basuh air aja, jarang sabunan, apalagi keramas. Gw tau
banget karena abis mandi mereka justru tambah kecut dan ledis. Cuci baju cuma
pakai air, keringet pada nempel semua, begitu kering ya Tuhan baunya. Tadinya
gw bingung mau bilang gimana. Gw gak pernah tahu sebelumnya kalau orang beli
detergen itu pake duit. Pacar gw selalu komplain kalau gw bau keringet dan
matahari. Dia selalu memarahi gw dan meminta gw untuk selalu mandi sebelum
ketemu dia.”
“Oneday..ada
pertemuan dengan orang penting. Sumpah gw gak ngerti kenapa orang itu disebut
penting. Anyway, dalam ruang ber-AC itu suasana jadi serba gak nyaman karena
aroma busuk tubuh itu mengisi satu auditorium besar. Mau negor gak enak, tapi
beneran gw mau muntah. Ada yang istimewa hari itu, orang yang disebut penting
itu, yang dihormatin sampai ajudannya selalu bilang ‘menurut bapak komisaris
blablahblah’ duduk bersebelahan dengan
teman-teman gw itu. Mampus lo, batin gw...eneg..eneg..deh lo. Dan itu adalah
hari tergembira dalam minggu itu, beneran!”
Kamu
tidak pernah sedikit bicara. Omonganmu selalu banyak dan meletup-letup. Lucunya
aku tidak terganggu. Aku menjadi fans-mu nomer satu, kamu beruntung, kamu tidak
kehilangan pendengar. Aku justru ingin mengenalmu dalam-dalam, luas-luas.
“Ngeselin
itu datang untuk nonton konser gratisan di pusat-pusat kebudayaan dan terganggu
dengan body odor orang lain. Gw mengharapkan bisa menonton dengan nyaman, sudah
menyediakan diri jauh-jauh hari untuk meluangkan waktu nonton pertunjukkan itu,
eh..harus nahan mangkel.Gak semua orang tahan sama bau badan orang lain.”
“Sekarang
gw sudah terbiasa, dulu egois banget. Dan mendumel tiap waktu, kenapa sih orang
lain kok bisa egois dengan membiarkan orang lain gak nyaman, kok gak menimbang
perasaan orang lain, enggak jaga kebersihan diri, kok aku yang harus memaklumi
mereka.”
“Itulah yang gw sedihkan terhadap diri gw
sendiri, gw jadi gak bebas nilai kan. Justru gw yang egois dan gak mikirin
orang lain. Gw menaksir dan menjatuhkan sangkaan, padahal gw mati-matian
menolak pelecehan dan penghinaan. Berusaha memaklumi itu gak gampang tau.”
“Gw
tidak lagi menghindari mereka yang bau. Gw tahu bahwa setiap kita memang gak
mungkin sama dan gak harus jadi sama.”
Setelah
itu kita sering bertemu, menonton pertunjukan-pertunjukan gratis yang
disediakan Jakarta, atau dirimu yang selalu punya free pass dan mengajakku
bergembira. Pagelaran musik, opera, tarian, festival film-film bermutu, pameran
foto. Kamu dan teman-temanmu segudang, aku yang sering sendirian.
Berbulan-bulan bertahun-tahun berteman dengan teman-temannya teman. Kamu yang
nyaman dengan siapa saja. Senyummu dan bantuanmu yang tulus, candaanmu yang
kasar, dirimu yang menarik.
Kamu yang selalu berusaha membikinku nyaman ketika harus berkumpul dengan kawan-kawan mainmu dengan biaya bergaul yang tak bisa dibilang sedikit. Kamu yang begitu pengertian dan tak ingin mempermalukanku. Suatu hari kamu mengajakku menonton film di Plaza Senayan, kamu memenangkan 2 tiket premierre dari majalah. Ternyata kita bertemu kawan-kawan mainmu dan kamu tak menolak ajakan kumpul-kumpul itu. Kamu justru menolak membeli segelas jus seharga tujuhpuluh lima ribu di sebuah restoran ala cowboy di depan teman-temanmu dengan berujar : gw beli tu buah di pasar buah barito harga segitu, mencret besok pagi. Pada moment itulah aku merasakan dirimu tulus dan lurus. Aku bersedih untuk diriku, kamu mengutip horoskop dari yahoo ketika menemukan kalimat : teman adalah keluarga yang kita pilih. Aku tak merasa masuk dalam kriteria tersebut.
Kamu suka
mengulang kata-kata Bjork : if travel is searching and home what’s been found,
i’m not stopping, i’m going hunting, i’m the hunter.
Kamu menginginkan hidup yang penuh, kamu jijik pada mereka yang sok suci, kamu yang tidak menolak bergembira, kamu suka menonton film porno, kamu suka menuliskan adegan apa yang kamu inginkan untuk menjadi dan seringkali sangat serius ketika berkata pokoknya gw gak mau dipaksa-paksa. Kamu berimajinasi ingin ditaklukkan dan menjadi terlalu angkuh di hidup yang kamu jalani.
Aku melihat kamu menikmati jadi diri sendiri, merayakan hidup. Kamu tidak membawa kendaraan pribadi karena ingin berbagi rejeki dengan yang lain. Kamu selalu bilang menyukai kemacetan di Jakarta karena memberikanmu kesempatan berimajinasi. Kamu bilang mereka yang membenci kemacetan adalah orang yang tidak bahagia. Orang bahagia tidak kehilangan imajinasi, waktu mereka berharga karena tidak menunda-nunda. Kamu suka ketika bersama dengan orang yang kamu tunggu-tunggu kehadirannya, sekedar bersentuhan kulit dan merekatkan dekapan, mengendus harum keringat orang yang kamu sayang di dalam bis kota, berbagi cheesecake yang tak terbeli bagiku di dalam taksi. Kamu tidak suka diatur waktu meski selalu datang tepat waktu.
“Itu terjadi karena gw bukan orang kantoran yang harus kerja nine to five, coba kalau gw jadi mereka, gak akan gw sebahagia hari ini, menguras energi dan emosi banget hidup di ibukota.”
Kamu
mendaur ulang pakaian-pakaianmu karena kamu percaya kebutuhan fashion dan
pakaian baru menghabiskan air di bumi. “Kalau buka lemari baju gw teringat film
The Matrix, dengan pakaian serba compang-camping. Kilasan masa depan itu
membikin hati gw terpanggil untuk membuat sebuah perubahan kecil bagi diri
sendiri. Seandainya dalam satu tahun gw
betul-betul tidak perlu membeli pakaian baru. Seandainya setiap minggu gw bisa
membuat pakaian refashion, maka dalam setahun gw telah menghemat limapuluhdua
baju. Kalau gw lakukan itu sampai lima tahun ke depan, kalau ada seribu
perempuan melakukannya juga. Muluk-muluk sih..tapi gw suka membayangkan bumi
yang lebih hijau tempat anak gw besok-besok bisa berlarian mengejar kupu-kupu,
menyentuh putri malu dan mengumpulkan embun dalam mangkuk daun.”
Kamu
selalu membawa bekal sayur kukus dan buah-buahan potong. Kamu selalu sedia
perlengkapan basuh tubuh, kamu jarang bermake-up. Kamu tidak lagi pacaran dan
ngedumel , belom jadi suami aja udah
ngatur..ellah kayak idup lo beres aja!! Aku yang mengamati bahwa kamu
jarang pergi dengan pacarmu ketika kita bersama.
“Pacar
gw gak tertarik dengan apa yang gw suka. Jalan sama dia itu cuma pergi ke
mall,nonton bioskop, nemenin dia futsal, berenang, karaoke,nemenin dia kondangan,
nemenin papanya ke bengkel, nemenin mamanya ngapain kekkk, makan di restoran
satu keluarga besar tiap minggu,semua yang ngeluarin duit banyak . Gw gak
keberatan keluar duit tapi sumpah ngebosenin banget hal macem itu. Gak ada
satukali pun dia ikut kegiatan yang gw suka, well dia juga suka pelayanan sih
sama gw, ngajar musik, ngajar matematika ke anak jalanan, tapi ya gitu..karena
orang kantoran waktu dia gak sefleksibel gw yang sengaja jadi
nganggur..hahahaa...ya udah lah yaa dulu gw bahagia sama dia..putus juga
baik-baik karena gw gak mau jadi penghalang dia..sedih sih emang, tapi ya
udahlah yaa..ehh sori..sori..abaikan..gak penting..”
Kamu jengah dengan pemuda apatis dan
perempuan dangkal, karena kehilangan greget untuk merayakan hidup, karena
berlebihan dan mendramakan setiap persoalan yang mereka hadapi. Suatu hari kamu
menabung untuk pergi ke Bali, kamu betul-betul niat dengan rencanamu, membawa
oleh-oleh mug bikinan Joger yang bertuliskan : minimal jangan nyusahin orang, ke teman-teman kelasmu, sekitar 40
orang.
Aku tanya mengapa kamu melakukan itu. Dengan
ringan kamu menjawab kenapa enggak. Beberapa hari setelahnya kamu seperti
hendak menjelaskan motifmu dengan berkata gw bukan hero, tapi setiap orang
perlu masukan dari luar kan.
Minimal setiap kali ada orang minum dengan
mug itu, mereka tersentil sedikit dan mau berjuang bagi dirinya sendiri, kamu
tahu, hal-hal menjijikkan sebetulnya kan gak perlu rumit-rumit dicari dari
luar. Di sini, di dalam sini selalu ada yang busuk-busuk, ujarnya menunjuk diri
sendiri.
Aku teringat matamu berkedut setiap kali
mendengar berita tentang busuk-busuk negeri ini. Bagimu mereka yang memakan
uang rakyat, membunuhi rakyat adalah busuk terbusuk, kamu mual terhadap mereka,
apalagi keadilan seperti bandul jam. Kamu juga jengah pada mereka yang berbuat
seolah Tuhan mengijinkan adanya pembantaian dan pemusnahan, Tuhan yang mereka
bela mati-matian. Setiap orang pasti menunggu mati, mengapa selama menunggu itu
kita menyibukkan diri dengan membunuhi orang lain, siapakah kita sebenarnya,
begitu ujarmu geram.
Dulu gw kagum sama Tuhan, sekarang biasa aja,
dan kalau gw gak sengaja ngucap begini, mereka suruh gw ke gereja, katanya gw
harus bertobat. Apa-apaan deh, urusan gw sama Tuhan itu betul-betul urusan gw,
sesuatu yang intim, kaya sekaligus rumit dan ambivalen. Ngatur banget. Mereka
pasti terlalu mencintai aku, sehingga aku dipaksa untuk pergi sama-sama,
pokoknya harus sama. Ketakutan untuk pisah rombongan, mereka terlalu risau.
Kita dikepung dari segala arah untuk jadi sama, kalau tidak maka kita pendosa,
tak layak masuk surga. Mereka kelewat peduli pada nasib kita.
Gimana
sama idup lo?
“Gw
hidup merantau. Pernah mengamen untuk menyambung hidup, persis seperti
kawan-kawan yang pernah kamu ceritakan dulu, jadi ini bukan cerita hebat
sebetulnya. Pernah juga keliling perkampungan Jakarta untuk jadi tukang roti
keliling. Pernah bekerja di pabrik roti rumahan sampai tangan melepuh kena api
pembakaran. Pernah juga dituduh menghamili seorang perempuan , diusir, dan
berusaha tetap hidup.”
“Dari
kecil gw suka membaca buku, tapi sampai hari ini gak selalu punya dana untuk
memiliki buku sendiri. Gw mencatat buku-buku yang ingin dikoleksi hanya untuk
merasa hidup. Lewat hidup gw tahu bahwa orang baik dan jahat itu bertebaran di
mana-mana, gak ada hati yang murni malaikat. Gw numpang hidup berkat kebaikan
banyak orang, gw banyak dibantu mereka yang iba pada gw, awalnya sangat malu
dan rikuh, karena gw bukan pengemis, untuk membalas budi yang gw bisa cuma
tukar tenaga aja.”
“Kata
orang kita harus punya mimpi. Kadang-kadang gw gak tahu harus memimpikan apa
lagi. Hidup gw ini seperti daun kering jatuh di aliran sungai. Kekuatan dan
daya gw terbatas, yang gw mampu adalah mengikuti ke mana arus itu bergerak. Gw
gak pernah bisa nabung, hidup gw buat hari ini. Hidup harus dihadapi kan .. dan
kita perlu makan. Gw jadi pembantu di sana sini. Belajar mendidik diri sendiri.
Gw selalu ingin punya kebebasan waktu dan finansial, tapi kenyataannya gw
selalu menunda hal-hal yang sangat gw inginkan. Gw sering ketawa kalau lihat
name tag yang bertitel volunteer, soalnya gw ngerjain itu gak sepenuhnya
sukarela, tapi mengharapkan perdiem, bisa numpang tidur, makan dan nambah ilmu.
Beda dengan kamu yang betul-betul sukarela ketika jadi volunteer, hal-hal macam
ftv lah...”
Sori
gw gak sempet nonton tivi.
Gimana
kabar hidup lo? Kamu menelepon setelah tiga bulan menghilang tanpa kabar.
Sebenarnya
aku masuk dalam lingkaran pertemanan nomer berapa? Tanyaku suatu kali. Kamu
menunduk tersipu. Aku selalu ingin masuk dalam lingkaran nomer satu, aku selalu
ingin bisa kamu andalkan, meski pada kenyataannya, bukan itu yang terjadi.
Ada
sejenis kesedihan yang merasuk rongga dadaku sayang, berdenyar dan berdenyar
ketika aku hanya ingin mengetahui jejakmu masih ada di bumi yang sama.
Kadang
kamu menghilang dua minggu. Sebulan, dua bulan, tiga bulan, paling lama lima
bulan. Lalu kamu datang dengan kehangatan dan kemesraan yang sama. Kamu sering
tiba-tiba berada di beragam kota di seluruh pelosok Indonesia dan foto
keberadaanmu hari itu segera terpampang di sosial media. Kamu senang memotret.
Ketika pulang kamu membawa tulisan dari banyak cerita sedih yang kamu temukan
sepanjang perjalanan. Kamu yang memaki diri dan bilang terlalu naif karena tidak
dapat berbuat cukup banyak untuk dunia.
Kamu selalu mengunjungiku selepas bepergian
meskipun kita tidak harus bertemu, karena teknologi sudah sangat maju. Tapi
seperti katamu, kamu suka yang konvensional, tatap muka – teknologi membatasi
privasimu. Aku mendengarkan kamu
membacakan hasil tulisanmu, mengoreksinya di sana-sini, membantumu membuatnya
jadi hidup.
Kamu
yang sering tertidur di sisiku karena terlalu lelah. Aku yang menjagamu. Harum
rambutmu menempel di sarung bantalku. Dirimu yang lembut dan empuk seperti bolu
– aku pinjam ini dari gombalan acara lawak di televisi karena aku suka
mendengarmu berteriak : Taiikk..gak mutu bangett!!
Aku
merindukan kamu dan dongeng-dongeng kita yang absurd. Tentang gajah terbang
yang lelah bepergian. Ada hatiku bergemuruh setiap kali memperhatikan bibirmu
mencebik dan wajahmu seolah takjub ketika kita bertukar cerita. Aku menyukai
kehadiranmu sayang, cara kita mengatakan ada aku di sini. Aku mencintai
keseluruhan dirimu. Kamu membantuku dengan caramu yang sederhana, menularkan
hidupmu yang penuh, obrolan-obrolan hangat dan nyampah, cerita yang semarak dan
meletup-letup, juga tentang kesedihan dan hidup. Kamu betul-betul membikin aku
tahu ada sepenggal dunia yang bisa dijelajahi. Memurupkan keinginanku untuk
terus bertahan hidup.
Kita
yang menghabiskan malam bersama hanya untuk bercerita sambil minum kopi atau
colafloat yang sangat kamu gemari. Kamu membaca buku yang satu aku membaca buku
yang lain. Haruki Murakami, Tracy Chevalier, Malcolm Gladwell, menghantarkan malam-malam kita bersama. Kamu
yang mencekokiku dengan the Beatles, Joe Hisaishi, Neri Per Caso, Regina
Spektor, Nina Simone, dan Sigur Ros.
Tetapi
ada masanya aku tidak kuat memandang dirimu, ada hasrat menyelinap, ketika
tatapanmu berubah jadi dalam. Kamu menyiksaku seringkali dengan sikapmu sebagai
sahabat.
Beberapa
kali kamu mengucap, “ Kalau lo lagi isi,
lo mesti bilang lho yaa.. gw gak mau cewek lo kenapa-kenapa.” Justru karena itu aku bersedih.
Di
bulan Desember ini kamu menangis. Kamu datang setelah berbelanja keperluan pesta
di bulan harum kayumanis dan kamu begitu gundah. Kamu bilang meskipun hidupmu
bebas, dirimu tidak jadi milikmu sendirian ternyata, masih ada bapak dan ibu
yang harus kamu hormati tanpa keraguan. Mereka yang bahagia karena dirimu
menemukan kebahagiaan sekaligus khawatir dan bersedih akan petualangan hidupmu,
mereka yang masih menyimpan mimpi ingin kamu berkeluarga, menikah dengan
laki-laki seiman, berpendidikan dan memiliki kehidupan.
Lo
gak pacaran lagi?
Males.
Romance-romance
kecil gak ada?
Gak
bikin hati gw lega juga, hubungan singkat macem gitu, ngedate sekali dua
selesai, capek.
Lohh..
Gak
usah bahas yang itu deh..lagi gak mood.
Kita pergi aja yuk..bosen.
Hari
itu kita jadi juga naik kereta. Kita menunggu di stasiun sampai pagi, kamu tak
tahu ingin pergi ke mana hari itu, biasanya kamu tahu mau pergi ke mana. Kita sudah terlalu lama di stasiun, buruan
beli tiket biar lekas pergi, ujarmu merajuk. Akhirnya kita berangkat ke
Jogja. Keretanya dingin tapi kamu berpeluh. Kamu memelukku sepanjang
jalan..cengkeramanmu terlalu kuat, aku tahu sedihmu luar biasa kali itu. Aku
membiarkanmu memelukku, aku mendengarmu tersedu, tak pernah lebih pilu dari
waktu-waktu lalu. Kamu terlalu lelah
ketika kita tiba di Jogja. Kita beli baju-baju murah di pinggir jalan.
Kita
tinggal di kost seorang kawan, kebetulan masa itu libur semesteran, dia sedang
pulang ke Solo sehingga kamarnya bebas kita gunakan. Malam itu kita berciuman
sepanjang malam. Kecup-kecup kecil yang melenakan. Kita tidak lagi terburu dan
memburu. Aku ingin merasai kamu, begitu ujarmu, hari ini saja, kumohon..
Berminggu-minggu
ini perasaanmu tertekan, kamu kebingungan dan bersedih. Kamu menuturkannya
dengan lugas, aku mengerti, meskipun penjelasanmu membikin hatiku sama-sama
pahit, sama merasa tak berdaya, sama merasa cinta tak datang tepat waktu. Aku
mengerti, karena aku menyayangimu, karena luka itu juga harus ditanggung
bersama.
Kamu
bilang hidupmu tersiksa membayangkan apa yang seharusnya kamu lakukan tapi kamu
tahan-tahan, kamu tidak lagi mau membohongi hatimu, menindihnya dan membuatnya
tambah parah. Kita sama-sama
menginginkan meskipun sesampainya di Jakarta, kita harus berhenti. Kamu harus
maafin aku, jangan hakimi aku, begitu syaratmu waktu itu. Aku mencintaimu
sepanjang waktu, kataku.
Aku
memasukimu. Kamu memintanya berulangkali selama lima hari. Bagaimana mungkin
aku menolakmu. Setelah empat tahun lebih kita saling menjaga.
Sepanjang
tahun aku mengamati kita berubah, dari waktu ke waktu. Kita yang tak lagi
tersedot dalam drama remaja dan memaknai pertanyaan apakah kamu berduka
ditinggal, dengan sejenis kesedihan yang baru, yang lebih dalam dan susah
sembuh.
Aku
menemukan robekan tiket pertunjukkan Ananda Sukarlan lama berselang. Kamu
memaksaku dulu itu untuk menemanimu menonton konser Ananda Sukarlan di Erasmus
Huis. Kamu yang menangis sepanjang pertunjukkan. Konser itu luar biasa menarik
memang, musikalisasi puisi yang menakjubkan, yang membikin diriku bergetar.
Sepanjang perjalanan pulang kamu memelukku di dalam taksi dan menyanyikan
sebait lagu dalam suaramu paling lirih. Kamu menuliskan sebait puisi itu
untukku, di balik robekan tiket : Dalam doaku – Aku mencintaimu, itu sebabnya
aku tak akan pernah selesai mendoakan keselamatanmu – Sapardi Djoko Damono.
Sesak
itu tidak hilang-hilang.
Kita
barangkali masih di bumi yang sama. Masih saling mendoakan.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar