Setiap hujan datang menjelang pagi, selalu ada perasaan sunyi sekaligus kegaduhan di kepalaku. Sekuat apapun aku menghalau kamu dari pikiranku, kamu selalu muncul dan menimbulkan sesak yang tak datang sebentar. Apa yang lebih meyedihkan ketimbang sebuah suara sayup-sayup di dalam hati, yang selalu kamu coba untuk sangkal, suara yang ingin berujar kamu apa kabar.
Kamu
apa kabar # you
Aku
kehilangan benang perak pemberian peri di kuntum bunga lili. Aku sedih sekali,
sebab musim penghujan nanti dia akan datang ke kuntum bunga lili lagi. Aku
selalu tahu kuntum yang mana, meskipun ada lebih dari ratusan kuntum bunga di
padang belakang dekat aliran air. Kamu harus berdiri di pinggir gerumbul semak
pandan yang sebelah kiri, dan kamu harus memicingkan matamu yang sebelah kanan,
dan kamu akan tahu, kuntum lili tempat peri singgah di musim penghujan nanti.
Kelak aku tahu peri itu datang jauh dari barat
daya. Dia diterbangkan angin melintasi gurun karena debu peri miliknya telah
habis, kepayahan demi kepayahan dia alami, terdampar dan menunggu. Dia
mengandalkan mimpi untuk membuatnya terus merasa yakin bahwa suatu hari situasi
ini akan berganti, dan pada hari-hari seperti inilah dia memilih untuk berhenti
mati. Aku membayangkan betapa kecil dan rapuhnya dia,sendirian dan tak selalu
berhasil mengatasi perasaan serba lelah. Ketika aku membayangkannya, aku
mengerti pilihannya untuk berhenti mati, dengan bermimpi. Tapi ini adalah
sejenis kepedihan yang lain. Sebab kita sama-sama tahu ada waktu yang terus
hilang dan seringkali kita tak bisa ingat tentang hari-hari yang sudah berlalu.
Hampa.
Pengertian itu tak muncul seketika.
Musim
penghujan di sini hangat, demikian ujarnya di suatu hari kelabu, sewaktu aku
meringkuk menyembunyikan tangisku.
Aku
tanya sama dia, kamu dari mana? Apakah kamu kenal Peterpan, mataku pastilah
membeliak. Apakah kamu berteman dengan Tinker Bell? Betulkah Neverland itu ada?
Aku membayangkan diriku terbang hingga pagi mengikuti arah sinar bintang kedua
di sebelah kanan.
Mengapa
manusia harus merasa sakit, apa arti pedih? Apakah kamu bisa sedih, apakah kamu
menggembol terus sedihmu tiap waktu?
Dia
mengernyitkan hidung dan terlihat begitu prihatin menghadapi aku. Kemudian
tertawa. Tawanya mengingatkan aku akan bunyi lonceng dan giring-giring, suara
dari masa laluku, waktu aku masih memutuskan untuk percaya. Aku memperhatikan
dia sungguh-sungguh, dia sangat cantik dan tampan sekaligus. Berdiri di telapak
tanganku, ringan seperti bulu, hancur dalam sekali remasan tangan. Waktu itu
aku menyadari, akulah yang rapuh dan seringan bulu, yang tak punya kekuatan
untuk menyatakan suaraku sendiri, kebebasanku sendiri.
Aku ingin cerita tentang Santa, aku
selalu suka menunggu Desember.
Santa siapa?
Santa Klaus. Yang tinggal di Kutub
Utara.
Waktu kecil aku menulis surat pada
Santa Klaus. Aku bilang padanya aku ingin diberi hadiah udara dari Kutub Utara
yang dimasukkan ke dalam botol kristal. Supaya kapanpun aku merindukan natal,
aku bisa membuka tutupnya dan menghirup udara Kutub Utara. Sebab Natal
menyenangkan dan tak perlu merasa sedih, itu adalah gagasan yang cemerlang,
tidak perlu merasa sedih. Aku percaya Santa Klaus punya tempat riset yang lebih
canggih dari segala tempat riset di dunia, karena itu aku percaya udara dalam
botol kristal ini tak akan pernah habis meskipun telah dihirup berkali-kali,
dan botolnya tak akan pecah berkeping-keping, seperti hatiku yang seringkali
terasa ngilu karena pernah pecah dan tak utuh lagi.
Apakah
sia-sia.
Apanya?
Keyakinan
itu.
Apakah
keyakinan.
Kami
tak bisa menjawabnya hari itu.
Dia
memberiku segulung benang perak. Benang itu adalah benda yang sangat berharga,
demikian ujarnya. Dia telah berkelana selama seribu satu tambah satu waktu
peri, dan dia bilang jangan tanya apakah waktu peri itu, pokoknya itu adalah
waktu peri. Aku mengamati benang perak tersebut dan dia menuturkan bahwa benang
itu adalah benang terkuat di seluruh semesta.
Mama
bilang aku gak boleh percaya pada orang asing, mengapa kamu memberikan aku
benang perak ini, sebab aku asing bagimu.
Mengapa
kamu bilang benang perak itu sangat berharga, memangnya bisa menyumbat sedih?
Bukankah ada yang lebih berharga ketimbang apa yang kita kira berharga hari
ini? Seperti jiwa misalnya.
Si
peri menatapku lagi-lagi dengan wajah prihatin, apakah kamu selalu curiga
terhadap pemberian orang lain? Aku menjawab, bukankah seharusnya begitu,
bukankah selalu ada nilai tukar (aku hampir-hampir tak percaya telah
menyatakannya). Dan bukankah kita perlu curiga?
Kamu
tahu rasanya dipermainkan? Kamu menunggu ditarik keluar dari lubang, kamu
merasa kamu selamat, tapi sebetulnya kamu dirantai di lehermu dan kamu tak
melihatnya, mungkin sesekali kamu melihatnya tapi pengertian itu belum tiba,
kamu betul-betul merasa tidak apa-apa. Ketika pengertian itu tiba kamu bersedih
dan merasa sangat buruk, barangkali ada marah, tapi tak cukup untuk membikinmu
memiliki dirimu sendiri. Selalu ada yang bungkam di luar sana. Keheningan itu
terasa begitu mengganggu.
Dia
diam. Dan aku gemetar menghadapi gagasanku sendiri.
Di
mana kamu mendapatkannya, tanyaku, mengalihkan pikiranku sendiri . Oh, itu
adalah benang perak buatan nyonya laba-laba. Aku menemuinya di tepian dunia, di
hari ke duaratus empatpuluh lima waktu peri.
Apakah
nyonya laba-laba temanmu?
Apakah
kamu memang selalu banyak bertanya? Dia menjejak-jejakkan kaki pada telapak
tanganku. Itu sudah kebiasaanku, mau bagaimana lagi, ujarku dengan
bersungguh-sungguh.
Mengapa
kamu berhenti di sini?
Dia
menjawab dengan diam.
Kamu
akan lama di sini? tanyaku.
Aku
belum memutuskan.
Aku
lihat dulu apa yang akan terjadi besok.
Apakah
kamu tahu kamu siapa?
Aku
peri. Dia tertawa, tawa yang menentramkan hati. Apa kamu tak tahu kamu siapa?
Aku
diam saja, si peri itu jelas tak mengerti susahku, sebetulnya aku tahu bahwa
dia tak harus mengerti susahku, tapi aku berpikir, barangkali dia bisa mengerti
sesuatu di luar mengertiku. Apakah kamu tahu kamu siapa.
Langit
di atas tiba-tiba keruh dan serbuk hujan berhamburan.
Aku
menyukai hujan. Dan biarkan aku sendiri dalam kesepianku, demikian dia berkata
seperti menyuruhku untuk lekas pergi.
Tapi
besok kamu betul-betul masih akan di sini kan.
Aku
pulang menuju rumah menangis tersedu karena merasa sebentuk perasaan ganjil
muncul. Berharap besok pagi dia masih di sana.
Sambil
berjalan pulang aku memikirkan diriku. Berusaha sekuat tenaga untuk
mengingat-ingat dan merasa sangat pusing serta lapar. Muncul sepenggal
kesadaran tentang diriku sendiri.
Aku adalah gadis yang ingin menangkap bintang jatuh menjelang subuh. Telah berhari-hari aku tak dapat tidur karena kesedihan menghimpit dadaku. Aku telah menunggunya sepanjang tahun, bintang jatuh itu. Kadang-kadang mimpi itu datang.
Pernah
simbah berkata bahwa di hari
ketika ekor bintang dalam dekapku, detik itu, hanya didetik itu, aku bisa
menangkap sinar rembulan dan memasukkannya ke dalam botol kristal. Hari
ketika hal ini dapat terjadi akan menjadi hari yang indah. Simbah lupa
mengatakan bahwa hal ini sulit jadi mungkin. Padahal aku ingin bersih dari
ingatan menyedihkan.
Jangan
menangis, ujar simbah. Ia menguntai kalung mutiara bagiku, itu adalah kilau
yang indah, dalam telapak tanganku berpendaran. Ia membuatnya dari sinar bulan.
Aku ingin bilang
pada si peri bahwa aku mengalami banyak sekali malam-malam masokis, melukai
diriku sendiri, merasakan sebentuk kemarahan dan kekejian yang membikin aku
muak terhadap diriku sendiri, dan dengan demikian punya keberanian untuk
mengampuni diri. Sayangnya perasaan termaafkan seperti ini jarang bertahan
lama, aku selalu merasa perlu terluka.
Suatu
hari aku melihat seorang laki-laki dari kejauhan. Aku pikir dia kesepian. Dia
seorang diri. Aku bisa menduga dia juga menyimpan pedihnya sendirian, seperti
aku, yang seharusnya siap merayakan hidup. Ada perasaan senasib yang sama.
Bersamaan dengan munculnya pengertian itu, aku juga merasa bahwa dia sengaja
membawa impian tentang pasar malam dalam benaknya, kapan saja, ke mana saja,
membayangkan ada tawa berhamburan. Barangkali seperti aku, impian itu menguatkan dia untuk melanjutkan perjalanan.
Mungkin
dia mau diajak bertukar cerita.
Malam
itu hujan datang lagi menjelang pagi. Di
kamarku, ada dunia kecil milikku sendiri. Dan ada kehidupan di luar sana, yang
tak mudah untuk dimengerti.