di salah satu jalan di jakarta selatan, angin bertiup kencang. ini jelas perubahan iklim. aku tidak pernah merasakan jakarta sedingin ini, tidak pernah selama 25 tahun aku hidup dan bergerak di lintasan-lintasan yang tak pernah selesai. aku melihat jalanan telah menjadi terlalu sempit. dulu aku pernah digandeng bapak, lama silam. jalanan luas dan lebar, mataku yang kanak-kanak.
sampah-sampah kertas dan daun
berserak, aku menyimak tariannya di udara. saat itu aku baru saja turun dari
sebuah bus bobrok warna kuning. aku berteduh di depan emperan toko servis
elektronik. di sebelahnya, warung tenda tengah bersiap. hari menjelang sore,
toko itu sudah tutup barangkali dua jam lalu, halamannya di sewa untuk menjadi
warung tenda. minyak jelantah dipanaskan, mereka menawarkan lele goreng, ayam
goreng, bebek goreng. minyak itu telah menjadi begitu hitam seperti oli. baunya
lekak, angin menguarkan bau jelantah dan aku mual tiba-tiba.
aku ingat pagi hari yang sepi. bapak
menggorengkan sebutir telur yang didadar : separuh untuk aku separuh untuk dia.
dengan nasi semalam yang dingin dan berkerak. dengan kecap. sarapan yang
istimewa. kadang nasi sisa semalam dengan sejumput garam. bapak yang
mengancingkan seragamku yang lusuh, menjahitkan kancing yang menggantung. bapak
yang tidak selalu bisa membantuku mengerjakan pekerjaan rumah. aku merasakan
kerinduan yang tak lagi dapat ditekan. perih sudah tiba di ulu hatiku. kadang
aku megap-megap ketika serbuan kenangan itu datang tiba-tiba.
angin menggedor-gedor papan reklame di
tepi jalan dan menimbulkan bunyi tak tak pletak yang mengkhawatirkan. aku takut
reklame itu roboh menimpaku. aku takut di sudut jalan lain di jakarta, papan
reklame roboh menimpa seseorang yang aku cintai dengan tulus, lelaki selain
bapak, rasa cinta itu anehnya membikin aku semakin lemah. aku tiba-tiba kalut
dan merasa sangat kehilangan sebab aku tahu manusia tidak selamanya tegak.
aku berlari-lari kecil menghindari
reklame-reklame besar yang hendak roboh. aku berlari-lari kecil. aku ingin
melarikan diri, tapi aku bukan kanak-kanak lagi, sebab hanya maling dan
anak-anak yang berlari, aku pernah membaca kalimat ini di suatu novel tentang
gadis anting mutiara. waktu aku membaca novel itu, aku merasa kepedihan yang
sama. rasa cinta yang jadi sia-sia. aku melihat diriku sendiri pada bayangan
yang memantul dari sebuah toko, aku bukan kanak-kanak lagi.
aku teringat seseorang. aku tidak
pernah merencanakan akan kenal dengan dia. hal itu terjadi begitu saja, suatu
kebetulan yang menjelma rintik pertama hujan, jatuh di suatu sore di bulan
september. orang-orang berteduh. hujan
tempias. warung tenda itu membagi-bagikan teh hangat gratis, mereka menyebutnya
promosi musim hujan. orang-orang duduk lesehan. hujannya bakal awet, terdengar
suara seseorang, kita makan sajalah sekalian di sini, kata seseorang yang lain.
warung itu tiba-tiba penuh. semua duduk berhimpitan.
aku duduk berhadapan dengan seseorang.
harum lele goreng semerbak. tiba-tiba percakapan mengalir lancar. sambal terasi
telah menghidupkan aku kembali, begitu kata seorang asing, menyentakkan
seleraku yang belakangan ini hambar. dia bilang teringat masa kanak-kanaknya,
sesendok sambal, nasi hangat, kol yang digoreng di minyak jelantah pemberian
tetangga. dia sudah melewati tempat ini puluhan kali, tergoda untuk mampir. dia
rindu rasa minyak jelantah. istrinya di rumah selalu menyajikan makanan sehat
selama usia pernikahan mereka. masakan yang terasa begitu hambar dan anyep,
sayuran kukus, havermouth, roti gandum dengan mentega. makanan itu mengingatkan
dia akan rasa berhasil, sementara gorengan minyak jelantah mengingatkan dia
akan rasa berjuang, rasa jauh perjalanan. aku telah menekan-nekan kerinduan
itu, hujan membuatku betul-betul jadi mampir : begitu pengakuannya.
percakapan menjadi begitu hidup. hujan belum juga reda. kami melanjutkan
obrolan di kedai kopi tak jauh dari warung tenda itu. dia kembali dengan payung
dari mobilnya. Menyeberangi jalanan menuju tempat yang lebih hangat. hembusan angin
membalikkan payung itu, dengan kikuk kami berlari masuk kedai kopi, berpegangan
tangan. aku seperti menemukan sebagian diriku yang kembali penuh terisi.
aku selalu suka sehabis hujan di bulan
september.
aku pernah bertemu dengan orang-orang
yang menyenangkan, yang wujud dan cara tertawanya aku rindukan. tapi aku belum
pernah jatuh cinta sebelumnya. hari-hari itu aku mendengar musik dari dasar
hati, aku menyadari suatu hari akan pecah juga. hatiku tiba-tiba tahu, bahwa
musik itu memang berasal dari dia. hatiku yang tiba-tiba jadi tidak tenang.
diriku yang tiba-tiba sibuk dan kebingungan, aku yang merasa harus menentukan
pilihan.
aku selalu suka sehabis hujan di bulan
oktober.
sepiring nasi uduk, sambal terasi,
lele dan kol digoreng di minyak jelantah. hidup yang menyediakan banyak
kemungkinan. obrolan-obrolan tak penting. rasa menunggu, rasa berharap. senyum
yang aku tunggu-tunggu.
ini akan jadi hujan yang lama
sepanjang tahun. aku punya waktu untuk menunggunya reda, begitu katamu dulu.
mudah-mudahan tidak datang badai, katamu
lagi.
aku selalu suka sehabis hujan di bulan
november.
rasa bertahan. lidah yang berubah
kelu. obrolan menjadi tidak selancar dulu. tatapan mata menjelma harap. tidak kah kau juga ingin. tidak bolehkah bila aku mengakui aku ingin.
berdosakah aku.
bolehkah aku memintanya dari kamu. maukah kau akui perasaanmu.
tidakkah kau bahagia, mengetahui ada
seseorang merindumu, menginginkanmu.
tidak bisakah kita biarkan mengalir,
sebelum berubah alum dan kelat.
kasih ini berbalas. sampai tingkat
tertentu aku yakin kasih ini berbalas. lelaki menemukan perempuan, perempuan
menemukan lelaki. apa yang salah pada kasih, selain rindu dan keinginan memberi
karena kau tahu kau boleh berbahagia, meski sejenak.
bahasa ada untuk mengomunikasikan
pikiran, perasaan, dan maksud satu dengan lainnya. adalah kata, kemudian makna,
begitu ujarnya dulu. verbal dan
non-verbal. ada kode-kode yang perlu kau singkap. tak sulit sebetulnya.
harusnya kau tahu.
aku
kebingungan memecah kode dalam setiap obrolan dan tingkah lakumu. kita yang tak
lagi berjarak. kamu yang sering membuat aku tersipu meski aku tahu sebaiknya
aku mengambil jarak, bagaimana jika aku tak mau. hati kecilku bilang betapa
menjijikkannya aku. sebab aku boleh memilih untuk tidak jadi murah. tapi
bagaimana jika aku mau. hari ini tahuku samar-samar. tidak bolehkah aku bahagia
sebentar.
aku takut balas memandang dia, takut
ketahuan sudah jatuh cinta. kumohon..mulailah kau lebih dulu..beranikanlah
dirimu hai ksatria..tidakkah kau juga ingin.
kau suka musik apa, klasik, antonio
vivaldi barangkali, schubert? ataukah nat king cole?
vivaldi oke, putarkan cello concerto
pada g mayor di cakram digital, sebab musik menentramkan pertemuan yang kikuk.
persetubuhan kami yang pertama. aku yang bergetar dan kehilangan keperawanan.
aku yang bersyukur untuk perih dan panas seperti bara saat lelaki itu menindih
aku pelan-pelan, memasukinya dan berubah ganas, bunyi pegas, menggigiti aku
dengan gemas.
hari ini aku ingin dilumatkan kamu
sayang, begitu dulu aku memberanikan diri berkata. tidak ada agama hari ini,
tidak ada hakim, tidak ada pendusta dan pengkhianat. aku telah begitu lama
merindumu, menunggumu. ada tempat di sebelah mimpi, ketika aku mengupayakan
kesadaranku untuk terus jejak. kau tahu, kadang aku tahu kamu sedang
membayangkan aku. aku selalu tidak ingin lekas pergi bila dekat denganmu.
aku mengenangnya sampai detail
terkecil. letak komedo di hidungnya. uap nafasnya yang panas, aroma rokok
filter pada tubuhnya. lengannya yang liat, letak tahi lalat. aku teringat
matanya yang bulat, garis-garis kerut di sekeliling mata, bentuk alis. ulir
pada daun telinga, pundaknya yang kuat. sepiring mangga dengan krim yogurt,
secangkir teh hijau panas mengepul, permen karet rasa strawberi. kondom dan pil
kb, aku tidak siap punya anak tahun itu, aku belum siap, kendatipun lelaki itu
berjanji akan mengeluarkannya di luar. keringat, lendir, sinar matahari sore
hari.
umur berapa kamu tahun 98? lelaki itu
suatu hari bertanya. aku baru akan lulus sd. lelaki itu mendesah sambil
menghisap puting susuku yang telah jadi tegak kaku. kau menyenandungkan lirik iris
dari goo goo dolls. lalu merayap menuju bibirku, melumatnya dengan buas. because i know how you feel me somehow ...
Dua tahun kami bercinta. setelah itu
masing-masing melepaskan diri, dengan kepedihan yang sama. memang harus begitu.
memang harus begitu. kita pernah bahagia, sekali, barangkali duakali. bahagia
tidak bisa terus terjadi berulang kali.
aku merindukanmu lebih dari
sebelumnya hari ini. aku masih mencari senyummu yang tulus di hari-hariku yang
hampir selalu murung. kau membenci orang-orang yang banyak bersedih, kau merasa
kasihan dengan mereka yang tenggelam dalam iba diri, kau bilang airmatamu sudah
habis di masa kecilmu, kau yang tidak lagi merasakan asinnya air mata semenjak
usiamu ke 11. aku yang bersedih dan mencari ketentraman dalam hati. kendatipun
itu tidak menyembuhkanku hari ini, justru membuatnya jadi tambah parah.
aku ingin mencangkok saraf gembira,
bisa tidak ya..kataku di hari persetubuhan yang lain. kecemasan demi kecemasan
memang bergelayut di atas kita. kau menenangkanku dengan berkata, aku bahagia
jadi pendosa. lalu kau terlelap dalam dekapku. kau menyukai kombinasi lelah dan
lega selepas bercinta, tidurmu tentram.
seharusnya kita tidak perlu bertemu,
seharusnya aku tak perlu terus memandangimu, menunggumu. seharusnya aku terus
saja hidup dalam fiksi-fiksiku sendiri. seharusnya kita tidak jatuh cinta.
seharusnya aku tidak mengijinkan kamu menciumi aku pelan-pelan. seharusnya aku
betul-betul terus hidup dalam fiksi-fiksiku sendiri.
biasanya aku selalu suka sehabis hujan
di bulan desember. ini akan jadi hujan terlama sepanjang tahun.
aku ingin mandi air panas dengan aromaterapi
wangi laut. aku ingin minum coklat panas dengan sejumput bubuk cabe. aku ingin
kau menjilat vaginaku dan menemukan gurih lendir yang membuatmu ingin selalu
kembali, harum asin laut. aku ingin kau hisap putingku yang coklat susu. boleh
kau oles dengan krim keju, boleh kau gigiti pelan-pelan, boleh kau jepit
keras-keras dengan lidahmu, kau boleh melakukan apa saja, aku izinkan dirimu
merasuki aku. kulit asinmu, coklat dan tubuhmu yang liat, cengkramanmu yang
kuat. bulu-bulu halus di wajahmu, kau yang mengerang tertahan. dadamu naik
turun menindih aku.
Aku
tak pernah betul-betul menghayati Desember. Purnama terakhir akan tenggelam dan
malam selesai. Kita menatap kalender . Kita bisa saja menyimpannya karena
gambarnya yang bagus atau merobeknya karena sudah tak berguna, tapi hari-hari
telah berlalu. Dan kita sama-sama menduga : Seperti apakah hari depan. Siapa
yang dapat mencegahnya. Siapa yang bakal datang. Bersamaan dengan itu kita bisa
mengingat-ingat masa lalu. Kita bisa sengaja membikin jadi distorsi.
akan selalu ada hari-hari ketika aku ingin berhenti
dan membiarkan si penggurutu menguasai hidupku. ia yang pongah menjebakku :
kini kamu tahu rasanya jadi manusia padahal sebetulnya kamu masih belum tahu
apa-apa, kita selalu tak pernah selesai tahu tentang apa-apa.
Gamang,
rasa percaya barangkali ikut patah.
PS
: aku lega, tak jadi pergi hari itu.
terimakasih untuk Efek Rumah Kaca dengan
Hujan Bulan Desember-nya
Tidak ada komentar:
Posting Komentar