Alena, sobatku yang mungil sudah terlelap di sebelahku.
Matanya bengkak akibat tangis. Pertemanan memang energi yang luar biasa. Trixie
belum tidur. Dia sibuk merawat wajahnya yang luar biasa licin bagai porselin.
Sementara Bing sudah ngorok dan ngiler-ngiler. Kamar tidur Trixie memang selalu
dingin.
Aku duduk diam memperhatikan bayangan. Telah dua jam kami
bertengkar, ditambah satu jam jeda untuk meredakan geram. Seperti biasa Trixie
melindungi Alena dengan memeluknya sepanjang pertengkaran. Bing kalap.
Lihatlah teman-temanku ini. Alena terjungkal ke jurang. Bing
yang teramat sayang padanya meskipun selalu adu mulut dengan Alena tak
kan rela sahabatnya menderita. Bisa dibilang kalau ada apa-apa Bing-lah yang
maju pertama.
Alena, kami semua sayang padanya. Meskipun tertua ia
justru paling polos dan belum mengenal dunia. Sebab baginya dunia adalah rumah
dan perjalanan di mobil dengan supir pribadi untuk kursus-kursus sebagai
investasi diri. Keluarganya memaksanya ikut les segala rupa sampai Alena eneg
sendiri karena tidak punya waktu bermain.
Setiap kali kami berkunjung ke rumahnya untuk mengajak
pergi, papinya yang luar biasa perhitungan itu akan selalu berkata,
“Alena….dulu Akong miskin sekali. Akong jalan kaki keliling kampung buat jualan
limun. Papih gak sempat menikmati hidup seperti Alena. Hidup papih
serba prihatin. Hidup papih keras, susah, adik-adik papih banyak. Papih bayar
mahal untuk jadi seperti sekarang. Pengorbanan papih sudah banyak.
Sekarang hidup kita sudah enak, jangan sia-siakan hidup Alena. Belajar
yang bener seperti Melisa. Kamu terlalu banyak
main-main.”
Tapi Trixie si persuator sejati berhasil menaklukkan hati
papi Alena sehingga bisa juga kami keluar untuk bersenang-senang. Orangtua Trixie dosen.
Papi Alena menganggap Trixie anak yang bisa dipercaya dan telah dididik dengan
baik karena orangtuanya dosen. Tapi Papi Alena tidak begitu menyukai Bing dan
aku. Aku tinggal dengan nenek karena orangtuaku bercerai. Ibu sudah menikah
dengan lelaki lain, aku tidak akan sudi tinggal dengan mereka, lagipula ibu tak
bersusah payah untuk aku. Bapak tidak pernah mengunjungi aku lagi sejak usiaku
7 tahun. Nenek yang membiayai aku. Uang bayaran sekolahku murah meskipun
bersekolah di tempat bergengsi, nenek kenal akrab dengan seorang staff di
sekolahku, aku diberikan keringanan selama dapat mempertahankan ranking 3 besar
setiap kali penerimaan raport. Aku melakukannya dengan senang hati, selalu ada
nilai tukar untuk sebuah kebaikan, itu yang aku percaya.
Orangtua
Bing musisi. Papi Alena juga tidak selalu suka pada Bing, karena Bing kerap
kali melontarkan kata-kata kotor dan jorok. Tapi Alena tidak peduli pendapat
Papinya. Bersama kami ia merasa bahagia dan menjadi dirinya sendiri.
sekolahku agak kejam dengan membiarkan terjadinya
bullying dan senioritas di tengah situasi belajar yang sebetulnya terlampau berat
untuk remaja seumuran kami. tugas-tugasnya sering tak masuk akal, proyek-proyek
prestisius yang menyita waktu, energi, dan terutama biaya. aku sering sedih
ketika meminta tambahan uang kepada nenek untuk menyelesaikan tugas sekolahku.
beban itu ditambah harus ranking setiap kali, senioritas plus bullying membikin
aku kehilangan waktu untuk bersenang-senang.
aku membenci kakak-kakak kelasku. percaya deh, kalau anak
perempuan dikumpulkan jadi satu dan membentuk genk, merasa punya kuasa, maka
pelecehan dan penindasan seringkali terjadi.
Awal mula perkawanan kami lucu sebetulnya. Di suatu jam
istirahat yang menyebalkan, aku disuruh membelikan pesanan kakak-kakak kelasku.
hatiku sudah mendidih karena sengit sebetulnya, mereka mempermainkan aku begitu
rupa sejak pertama kali berseragam putih abu-abu, hari itu adalah akumulasi
dari kejengkelanku. setelah pesanan itu terbeli, aku berjalan melewati koridor
kusam dan murung, tempat itu sepi dan ada sebuah celah untuk sembunyi. aku
menarik nafas panjang. jengah dengan perlakuan menyebalkan dari senior. aku
mengumpulkan ludah, dan membuangnya di empat plastik minuman titipan senior
kemudian mengaduknya dengan sedotan.
seorang kawan seangkatan memergokiku.
ada dua orang lain dibelakang dia. mereka memperhatikan
aku dengan takjub. salah satu gelisah dan ketakutan. aku menantang mereka,
“kenapa? mau aduin gw?” aku sudah siap-siap akan diadukan dan dijadikan public
enemy, bodo amat, pikirku.
salah seorang anak itu tertawa terbahak-bahak. kemudian
dia berdiri di sebelahku, di celah sempit koridor kusam dan murung. dia
mengumpulkan dahak dan meludah di atas semangkuk soto lalu mengaduknya.
nama anak itu Bing. Dua yang lain Alena serta Trixie.
Kami tidak sekelas. Tapi selalu menunggu untuk pulang sekolah bersama,
menumpang mobil Trixie. Kami banyak tertawa. Hari-hari sekolah yang menyebalkan
menjadi seketika berwarna.
Kami berempat yang menggemari musik ini mulai serius
berlatih vokal untuk menjadi wedding singers. Kenalan Bing banyak. Kami sering
diminta menyanyi mengisi acara-acara keluarga besar Bing dan kenalan keluarga
Bing. Mulanya tidak mendapat honor, lama-lama kami diberi uang lelah juga meski
nilainya tidak seberapa – terutama untuk Trixie dan Alena yang sudah terlahir
kaya. Tapi uang lelah itu cukup untuk memberiku kesempatan mentraktir nenek
makan di restoran atau membelikan diriku buku-buku. Karena mulai sering tampil
di pesta-pesta pernikahan, kami harus tampil baik dan maksimal. Alena dan
Trixie mengurusi masalah kostum dan make-up kami. Bing mengurusi masalah latihan.
Aku mengurusi jadwal manggung kecil-kecilan. Begitulah. Kami merasa bahagia dan
lengkap.
Lama kelamaan Alena sering terlambat latihan dan mulai
sering absen pada beberapa kesempatan menyanyi. Alasannya macam-macam. Kami
bertiga tak pernah curiga mengingat kesibukan kursus yang beragam, apalagi
Alena tidak selalu punya alasan untuk meninggalkan rumah.
Suatu hari Trixie cemas dan berkata padaku dengan gemas : Alena sedang jatuh cinta. Alena tergila-gila kepada guru les pianonya. Selidik
punya selidik, lelaki bugar bernama Jati itu sudah beranak istri. Aku
dan Trixie was-was. Alena pasti tak tahan. Setiap kali kami menyempatkan
diri menonton video porno, Alena selalu bilang kepingin sanggama saat itu pula,
aku menganjurkan dia untuk masturbasi saja ketimbang mencari laki-laki yang
belum tentu setia.
Kami tahu Alena tak akan tahan, apalagi dia
juga dilarang pacaran. Dia tidak pernah mendapatkan usapan-usapan kecil di
punggung, belaian-belaian mesra pada rambut, kecup-kecup di pipi dan bibir.
Bagaimana mungkin ia tahan dengan bisikan-bisikan Jati di telinganya ketika
melatih fingering pada tuts-tuts piano. Bagaimana mungkin ia tahan dengan
sentuhan-sentuhan halus di jari yang berlanjut ke remasan-remasan pada dadanya
yang baru tumbuh subur.
Jati
tampan. Pemuda 34 tahun itu bugar dan mengkal. Dia ranum dan menggemaskan. Kami
pernah bertemu beberapa kali. Aku tidak akan menolak bila diajak tidur
dengannya, itu harus kuakui. Wajahnya biasa saja, tapi kacamata yang
dikenakannya memang membuatnya tampak sangat gagah dan terpelajar. Aku tidak
pernah bersentuhan dengannya, tetapi suaranya, intonasi dan pilihan
kata-katanya saat bicara membikin aku tidak bisa lepas memandangi dia. Senyumnya terkesan tulus dan tak ada tatapan
nakal ingin menyetubuhi gadis-gadis lugu dan polos.
Jati
ranum dan menggemaskan. Dan justru itu ketakutan terbesarku, sebab Alena
seringkali kontak fisik dengannya saat berlatih bermain piano.
Beberapa bulan lalu, saat ganti pakaian olahraga, aku
melihat punggung dan dada Alena yang besar penuh bekas cupangan, biru besar dan
menebal. Bing mengira itu toh nyowo. Bing menggoda, “Gak nyangka luarnya mulus
putih kayak tahu, dalemnya burik banyak tompel.” Aku ngakak memandang
Alena yang malu tersipu. Dua minggu kemudian Alena datang terlambat ke sekolah. Setelah
jam istirahat ia baru datang dan langsung berganti pakaian olahraga. Ia
menarikku ke sudut WC, “Tan, tetek gw perih ni! Lo tau gak obatnya apaan?
Pentil gw lecet nih..perih bangettt!! Kalau kena baju sakit!” Alena kemudian
membetulkan bra-nya. Ia merogoh dadanya dan mengerang tertahan. “Lo mau mens
kali, tetek lo jadi kenceng, gw juga gitu biasanya!” dan pembicaraan itu
terhenti ketika tiba-tiba Bing dan Trixie menyeruak muncul.
Gerak-gerik
Alena aneh akhir-akhir ini. Kemarin ia minta amoxilin padaku karena mengaku
ambein dan duburnya terasa sangat perih. “Gw cuma gak mau infeksi tau gak lu!
Pantat gw luka karena ngeden kekencengan, kalau keluar taik jadi infeksi donk
ya kan..udah deh, cariin gw amoxilin aja gak usah ribet tanya-tanya lagi.
Pantat gw sakittt nih Taaann!! ” ujarnya sambil menangis di UKS sementara aku
mencarikan obat yang dimintanya masih sambil kebingungan, pengertianku belum
sampai pada keadaan yang sedang dialami sahabatku. “Amoxilinnya gak ada, tapi
ini ada antibiotik lain, gw gak bisa nemenin elu yaa..ada post test dari bu
Ratih sebentar lagi, ntar gw kabarin lo sakit. ok!”
Dua
jam kemudian Alena kembali ke kelas. Pada pelajaran sosiologi, ibu guru Margie
mengingatkan kembali petuah favoritnya. Jangan pernah kamu beri bagian
dada ke bawah. Suruh saja pacar kamu cupang leher dan betis, sekalian
bersihin daki. Kami sekelas yang isinya perempuan semua sudah begitu bosan
dengan ritual itu tapi masih menirukannya dengan suara keras membahana.
Kuperhatikan Alena menunduk dan sibuk mengobrak-abrik tempat pensilnya.
Hari-hari
sekolah berlangsung menyenangkan, kecuali Alena yang menangis dan tertawa sama
lebay, sama-sama heboh. Alena bisa jadi sangat pemurung, tiba-tiba menjadi
sangat energik dan bersemangat, dan menjadi sangat luar biasa cantik dan seksi,
kemudian murung dan menangis tanpa sebab, minta diantar pergi dan jalan-jalan,
marah-marah dengan mas Nardi supir pribadinya, membentaki aku dan Trixie.
Tak lama, Alena mulai mengeluh kalau pipis perih. Aku
menduga Jati dan Alena sudah melakukan KNP, tapi aku masih menyimpan
kegusaran itu dalam hati karena semua baru dugaan, aku hanya khawatir saja.
Karena dari petting ke sanggama tinggal sedikit jarak tembaknya,
kadang-kadang juga sudah bisa masuk karena terbuka. Mereka pasti lama-lama
kebelet juga dan betulan bersanggama. Tapi aku memantapkan diri untuk percaya
Alena tak kan senekat itu.
Hari ini Bing ngamuk luar biasa karena hanya dia yang
tidak cukup peka memperhatikan gejala perubahan Alena. Trixie sudah menenangkan
Bing yang takut Alena tak perawan lagi.
Tapi timbul pertanyaan. Apa sih keperawanan itu, apa
Alena masih perawan. Alena diam saja tentu, sebab ia takut juga bingung,
mungkin sedih. Jahat juga kami ini menjadikan keperawanan sebagai perbincangan
yang seru, di depan Alena lagi!!
Trixie berpendapat bahwa apabila perempuan sudah pernah
sanggama dan penis itu sudah menembus selaput dara, maka ia tidak lagi perawan.
Tidak peduli dengan lelaki atau dengan dildo baik yang ngeri atau yang menggemaskan,
tidak peduli sebagai salah satu bentuk pemaksaan atau tidak. Bing berpendapat
seorang perempuan sudah tidak lagi perawan apabila dengan sukarela memberikan
bagian tubuhnya yang mana saja kepada orang yang ia inginkan meskipun tidak memakai
cinta,
hanya hasrat dan kebutuhan purba untuk merasakan aktifitas seksual.
Sementara aku tak bisa menerima alasan itu sebab ketika seorang perempuan secara
sadar rutin masturbasi dan tertarik kepada seseorang lalu di dalam hati serta
pikirannya ingin disetubuhi maka ia tidak lagi perawan, meskipun belum ada
batang sungguhan menembus jurang vagina. Lagipula apa itu selaput dara!! Aku percaya perempuan tidak boleh
dihakimi melalui hal-hal bodoh macam ini, perempuan tidak boleh membiarkan
dirinya jadi dangkal.
Trixie bangga dengan status pernah perawan. Ia masih
gemar berpetualang dan meyakinkan Alena tak apa-apa sesekali KNP. Paling tidak
Alena masih perawan karena batang bau si Gorila (Bing yang memprakarsai julukan
ini saking sewotnya) belum sempat menitipkan benih untuk dibuahi.
Bing murka, sebab menurutnya walaupun Alena belum
menyerahkan kegadisannya tapi secara sukarela telah ditipu daya sehingga mau
saja gunungnya dijelajahi sambil menghisap cerutu berbulu. Tapi kupikir, Bing
hanya cemburu karena Alena mendapatkan perhatian dari lelaki mapan. Dari kami
berempat hanya dia yang tidak tahu hubungan Jati-Alena. Ia pasti merasa
dinomerduakan sehingga secara membabi buta menyalahkan Alena yang mau saja
digeret sana sini. Jika ia tahu sedari dulu pasti sudah melabrak si Gorila.
Alena sesenggukan terus dan aku makin yakin mereka pasti
sudah pernah. Mereka pasti sering begitu. Karena saat presentasi makalah terakhir
biologi, Alena mendapat nilai A plus dengan kefasihannya menguraikan bagian
kelamin pria dan wanita kepada setiap penanya. Bing heran karena dari kami
berempat, hanya aku yang senang belajar dan ke perpustakaan. Trixie senang
pacaran, Alena senang melamun sementara Bing teramat suka bertengkar.
Diantara kami, Trixie-lah yang pertama kali mengenal lelaki.
Pengetahuan ini didapat dari pengalaman, tempat favoritnya adalah parkiran mall, jalan tol, dan kamar kost
pacar-pacarnya. Ia terlalu sering mempermainkan si anu dan si itu.
Berkencan dengan empat pria sekaligus selama berbulan-bulan, untung tidak
ketahuan. Ia
senang mempertaruhkan dirinya.
Berulang kali aku mengantarnya ke dokter kandungan karena
ia sering keputihan. Aku
selalu khawatir padanya dan kerepotan membelikan kondom bagi si plenyun
ini kalau dia bilang sedang pengen. Trixie gak suka pacarnya pakai kondom, sakit, begitu ujarnya. Ya
sudah, aku membantu dia mencarikan Pil KB dan mengajarkan dia menghitung
lendir. Aku menyuruh mbak titik tetanggaku yang janda untuk membeli pil kb di
puskesmas. Trixie memang tidak terlalu peduli pada kesehatannya. Aku sering ketar-ketir. Ia
bisa hamil kapan saja.
Aku mengatai Trixie tebu alias tempik mambu, tapi
Trixie mengira, habis manis sepah ditelan dan malah tertawa sambil berujar, gak
manis bego, sepet. Ya udah, dasar meli, ‘memek liar,batinku’. Nama gw
Trixie kaleee. aku
tidak bisa menghakimimu trixie, karena kau sudah besar, seharusnya engkau bisa berpikir,
aku bukan penjagamu, kau harus menjaga dirimu sendiri.
Bing memang belum pernah pacaran. Namun diantara kami
berempat dialah yang begitu mengidamkan pernikahan. Membangun khayalan indah
hingga detail yang terkecil. Di gereja mana mereka akan menikah, sulaman dan
bordiran apa yang harus ada pada gaun pengantinnya, makanan apa yang harus
disajikan, musik apa yang harus dibawakan Choir, siapa saja yang akan diundang,
bahkan ia menyisakan 15 tempat kosong untuk calon sahabat barunya di masa
depan. Entahlah. Agak konyol menurutku, tapi selama ia bahagia dengan harapan
dan impiannya itu, aku pasti mendukungnya.
Sementara aku tak pernah berniat menikah atau dicintai
lelaki. Selama perjalanan hidup,aku sudah ditempa ketakutan sehingga sulit
sekali membangun impian tentang pernikahan. Yang kuinginkan adalah kebahagiaan.
Egois memang dan belum tentu sehat sebab rencanaku kalau sampai umur 22 sudah
bosan dengan masturbasi aku akan menyewa gigolo untuk adu penalti.
Tapi ternyata memang Alena yang paling naif. Ia begitu
mencintai Jati, lelaki berkeluarga itu. figur paman yang dicarinya. Paman
yang menyayangi keponakannya. Sering mengajak jalan-jalan dan bergembira.
Mengenalkan dunia dan menghapus rasa penasaran, memberi perlindungan dan alasan
ketika papi bertanya macam-macam. Alena mencari itu. Merasa diperhatikan, dibimbing, dilindungi,
tempat Alena berkeluh kesah sekaligus tempat mencoba fantasi-fantasinya.
Tapi memang bangsat Jati itu. Tukang
tarik ulur. Membuat Alena terlalu kangen, sok ngemong, sok menjadi pendengar
yang baik karena papi di rumah tidak pernah mau mengerti, sok memberi pelukan
yang menentramkan.
Hari ini Alena mengaku Jumat yang lalu pergi ke Bandung
dan menginap di hotel dengan jahanam penjahat kelamin itu. Aku kecewa dan
sengaja mengucap keras-keras ; bukannya udah tiga bulan bokap nyokap lu ke Chengdu nengok Melisa?
Lagian lu di rumah les privat sama dia seminggu dua kali kan. Lu pasti sering
begitu kan Na?
(Aku mengharapkan kepastian dan cemas menanti jawaban Alena, aku membenci kawan-kawanku
yang bodoh. aku benci, karena mereka menyulitkan diri sendiri, mereka
menjebloskan diri dalam kemuraman). Alena tentu tak menganggap hal itu
perkosaan sebab dilandasi suka sama suka. Trixie tiba-tiba diam.
Alena kehabisan nafas akibat tangis. Kami bertiga bingung
melontarkan kata, percuma saja sebab semakin menyalahkan Jati justru semakin
membuat Alena kangen. Sebab Jati lembut dan justru Alena yang memaksa meminta
saking kepingin tahu.
Tapi Bing muntab, ketika akhirnya Alena ngaku juga mereka
sudah limapuluh
kali lebih bersetubuh, sebab baginya seks dan pernikahan adalah sakral.
Tantangan untuk suami adalah kesetiaan kepada pasangan juga pada komitmen.
Bukan pergi keluar cari perawan kencur yang mendambakan figur lelaki dewasa.
“Alena,
lu emang bego. Dia cuma memperalat elu. Cowok kayak gitu cuma pura-pura peduli.
Buka donk mata lu. Dia udah nikah. Sudah secara sadar berjanji di depan negara
dan agama. Lu terlalu polos Na. Lu tuh diperkosa! Kalo dia cowok baik-baik, dia gak akan merusak
lu. Lu betul-betul buta.”
“tapi
kita cinta. lo tahu cinta kan bing.”
“Dasar
Gorila laknat, masih mau dia terima duit les dari papih lu? Tau, gak, badan lu
cuma jadi tempat sampah! Tempat dia membuang segala kegelisahan hati dan
menemukan kepercayaan diri yang baru! Lu batu Na! Goblok
mampus! Mau-maunya mengizinkan dia membuang sampah dan segala lendir di badan
lu. Gak jijik apa lu?”
Aku kesal Bing memojokkan Alena terus. Setiap orang punya
hak untuk menentukan pilihannya. Kalau saat ini Alena frustrasi pada hidupnya, bukan
tugas kami untuk menambah bebannya dengan mencari-cari kesalahan. Mereka
menikmati berdua, harus ditanggung berdua pula. Jika Jati melupakan Alena, ya
sudah, begitulah hidup, dia memang bangsat. Itu terjadi sebelum aku tahu
bahwa sebelum melakukan sanggama lewat vagina, Jati melakukan sanggama melalui
dubur. Memang bangsat jati itu. Akhirnya semua menjadi jelas ketika Alena
meminta amoxilin karena duburnya sakit dan takut infeksi.
Berapa
kali lo di sodomi?
empat
sampai lima kali lah, tapi gw gak mau karena eek gw keluar, meskipun udah gw
minumin obat pencahar sebelumnya biar usus gw bersih.
“Lo
tolol alena! lo tolol banget! lo gak pengen hamil tapi lo tolol! goblok lo!”
begitu Bing mencak-mencak.
“Jangan
jadi habbit ya Na, kasian lubang pantat lo entar, gak elastis lagi, jebol.”
Trixie berkata sambil menangis. Wajahnya tampak sangat prihatin.
Umur
kami masih 17 waktu itu. Aku dan Bing baru 2 minggu berumur 17. Trixie baru
akan 17. Alena sudah akan 18.
empat
bulan setelah kejadian itu, trixie datang kepadaku. Ia gemetar dan rapuh
seperti daun kering musim gugur. “tolong anterin gw aborsi Tan.” ia menangis
sepanjang perjalanan.
“udah
berapa bulan anak lo?” aku memperhatikan dia. kesedihan itu menular demikian
hebat, penyesalan, rasa hormat, telah berubah kecut. aku memperhatikan dia.
“tiga
atau empat bulan.” dia sesenggukan.
“elu
siap Trix?” aku menatapnya sedih. Airmata dan ingusnya tak berhenti mengalir.
“gak ada orang mau aborsi tan..gak ada. tapi gw harus ngelanjutin hidup kan
tan.”
tentu saja Trixieku menderita ketika
dia harus memutuskan mengakhiri kehamilannya. Beban yang ditanggungnya seumur
hidup sebagai pembunuh bayi, dia yang terus menerus berperang melawan perasaan
dan kepercayaan mengenai nilai hidup benih manusia yang dikandungnya. dia yang
terus menerus dicekam perasaan sebagai ‘bukan anak baik-baik’ dan menjadi
percaya stigma yang ia lekatkan sendiri.
itu
adalah rahasia kami berdua, sampai kami mati. aku berdoa terus menerus
sepanjang jam-jam tegang itu. aku mengantarkan dia pulang ke rumahnya dan
mengaku ada lomba paduan suara di bandung, ketika Trixie menginap 2 hari di
rumah nenek setelah aborsi itu. dia menangis sepanjang waktu. pacarnya kali ini
luar biasa bangsat. aku memandangi dia yang menularkan sedih ke dasar hatiku.
Untukku 22 sudah selesai. Aku tak punya lagi keinginan
adu penalti dengan gigolo. Aku sudah menemukan Bing, belahan jiwaku. Tetapi
kami tidak menikah di gereja – bagaimana mungkin. Kami menemukan kontrakan kecil di selatan Jakarta. Bing tidak
melanjutkan kuliah, belum ada dana untuk itu selepas pertengkaran dengan keluarga
besarnya. Dia mengajar musik di sana-sini. Aku mendapat beasiswa untuk belajar di
fakultas Komunikasi. Telah lama aku lulus kuliah dan menjadi penulis lepas. Nenek
tidak tahu aku mencintai Bing, tapi bing tahu aku mencintainya.
Kemarin
dulu, aku ikut pelatihan membuat film documenter, besok aku dikirim ke Asean
untuk membikin film-film documenter tentang LGBT.
aku
kepingin Bing Kuliah, sebab dia layak untuk melanjutkan pendidikan, sebab kalau
besok kami memutuskan punya anak, kami tak bisa tinggal di Indonesia. Bekerja
di luar negeri juga tidak mudah, menjadi warga negara di suatu negara nun jauh
disana juga tidak mudah. masih banyak tahapan-tahapan yang harus dilalui, dan
bekal-bekal yang harus dipersiapkan. selalu ada dana segar yang harus kami
miliki, sebab hidup bukan hanya tentang berdua, tapi tentang keberlangsungan
hidup itu sendiri, dengan anak-anak kelak.
Alena yang mogok kuliah Hukum sudah
tunangan dengan seorang terapis. Mereka berpapasan setahun lalu ketika Alena belajar
membuat foto essay di sebuah rumah sakit di Jakarta. Ia banyak menulis,ia banyak
bepergian. Ia bisa saja melanjutkan bisnis papinya, tapi ia memilih jalannya
sendiri. Alena masih belum melupakan Jati, ia mengkhianati si terapis itu
sebelum mereka menikah. Jemari lincah, wajah cerdas, postur
melindungi, senyum menenangkan, limabelas tahun lebih tua, pernah menikah.
Alena hanya mencari sosok Jati di tubuh orang lain. Masa kuliahnya masih dihabiskan
untuk sekali-kali ketemu Jati. Ia hanya cerita kepadaku, masih sekali-kali
menelepon Jati untuk mengajak bertemu, sekedar menghirup harum keringatnya yang
bercampur aroma rokok filter. Aku tak tahu setelah pertunangannya ini apakah ia
masih akan mencari-cari Jati.
Trixie pindah ke Toronto selepas SMA dan sudah menjadi
warganegara Kanada. Ia tinggal dengan keluarga
pamannya dan belajar ekonomi di sana sambil sesekali mendapatkan job merias
wajah. Sekarang ia tinggal di prince george british Columbia dengan pacarnya. sudah duasetengah tahun
mereka pacaran, tapi belum juga mendapatkan anak. Trixie selalu kepingin punya
anak setelah peristiwa aborsi dulu itu. ia mentato tubuhnya, dengan simbol
zodiak dia dan anaknya. Tiap malam dia masih berdoa dengan getir.
Kami
masih bertukar cerita dan rahasia. Ia mengatur cara supaya Bing dan aku bisa
tinggal bersama dia kelak. Kadang aku masih bersedih untuk kehidupan remaja
yang kami alami, sekaligus bersyukur karena telah dipertemukan dan mengalami
beragam rasa perkawanan sedemikian dalam.
Ps : fragment dari novel Nyanyian
kembang kapas dengan revisi di sana sini
~ aku lega, kita pernah berjumpa ~