sepanjang hidup saya
menghabiskan banyak waktu untuk belajar otodidak.
alasan pertama karena
dana pendidikan yang disediakan bapak ibu tak cukup untuk minat saya yang
banyaaak itu. ada skala prioritas yang mesti dipilih.
kalau kamu
mengatupkan kedua tanganmu, kemudian menautkan jemari-jemarimu dan menemukan
jempol kiri berada di atas jempol kanan, maka kita setipe, mungkin kita punya
kesenangan yang sama. ini adalah hal
yang melatari alasan kedua dan kesekian.
sejak kecil saya
enggak cocok ada di dalam kelas. saya enggak bisa diam dan suka mengejar
passion, suka crafting dan tiba-tiba tekun ketika merasa ada hal yang super
menyenangkan. saya persis agen CIA kalau sedang kepo, canggih banget. nilai
sekolah saya jelek bukan karena saya bodoh tapi karena saya punya cara sendiri
untuk belajar. saya enggak cocok diatur-atur. saya benci orang yang
mengacak-acak meja kerja saya, sebabnya saya jadi kehilangan jejak
barang-barang yang saya letakkan sembarangan karena memang begitulah cara saya
mengingat-ingat segala sesuatu. saya suka melancong dan berpetualang. saya
heran dengan orang yang tertib, alay dan berisik meski sebetulnya saya ini
biang ribut. saya memilih backpacker ketimbang bepergian dengan travel. saya
gak punya jadwal hidup yang tetap, pergi ke manapun saya ingin pergi, pulang
kapanpun saya ingin pulang, termasuk jadi manusia kamar sesuai kebutuhan saya
untuk ngejogrok dan menikmati rasanya sendirian yang nyaman.
terhadap diri sendiri
saya teramat jujur dan memeriksa batin dengan ganas. kawan-kawan ring pertama
saya mengatakan saya super tulus dan tak pandai berbohong menyembunyikan segala sesuatu. saya meletup-letup dan spontan.
ohh satu lagi..saya
suka tersesat.. tersesat bikin saya merinding...seneng-seneng ngeri yang bikin
saya makin penasaran pada banyak hal. penasaran saya jarang selesai...
saya enggak cocok
belajar bersama guru di ruang kelas. saya tipe anak yang suka menemukan,
melakukan banyak kesalahan dan gagal dengan lebih baik lagi. apapun yang saya
kerjakan gak pernah genap, gak pernah selesai, bukan karena saya tak
menyelesaikannya, tapi selalu terbuka ruang di suatu entah untuk memikirkannya
kembali, merekonstruksikannya lagi.
beberapa waktu lalu
sahabat saya manda yang tinggal di singapore datang lagi ke jakarta, cuma
sebentar, 10 hari. bulan depan iko mau sekolah soalnya, jadi manda liburan
dulu. kami melepas kangen dengan ketemuan di malam hari, dari jam 10 sampai 4
pagi. karena nyetir sendiri manda ajak dea, adiknya yang bontot. kami sudah
berteman sejak smp kelas 1, dan dea di mata saya sudah kayak adik sendiri. saya
hobi banget godain dia sampai nangis, kalau dia belum nangis, saya belum puas.
berawal dari obrolan
dengan dea itulah akhirnya saya luangkan waktu untuk bikin tulisan ini.
kadang saya suka
misfit dan misplaced. dea juga seperti itu, jadinya kita suka di miss-understanding.
gak papa sih, yang penting diri sendiri enggak mis-read dan mis-leading dalam
banyak hal.
ah ya, maintenance
blog itu enggak mudah rupanya ya, di tengah kesibukan dan kepadatan keseharian,
meluangkan waktu untuk duduk manis dan mulai menulis. tapi saya selalu ingat
kata-kata seorang profesor, ayah kawan saya masa SD. dia bilang bahwa sharing
itu perlu, sebabnya orang perlu tahu dia gak hidup sendirian.
orang perlu pengantar
imajinasi tentang cerita-cerita real life, real story.
saya yakin betul apa
yang dikatakan om I, ayah kawan saya itu, benar. sebabnya saya pernah mengalami
situasi paling saya benci sepanjang hayat. saya jadi difabel setelah operasi, ini
bukan keinginan saya tentu. bayangkan, masuk ke kamar operasi masih sambil
berlari-lari dengan sepatu converse yang jadi andalan saya dan kemudian jadi
difabel keesokan harinya, tak pernah terbayangkan. ada sepatu high heels hush
puppies yang saya beli dengan uang honor menyanyi di choir – rencananya akan
dipakai untuk tampil di acara wisuda pada bulan april 2008, saya operasi di
bulan februari 2008 – sepatu itu belum pernah saya pakai sampai sekarang,
sampai selamanya.
tubuh saya yang
tadinya utuh menjadi tak utuh lagi. ada banyak terapi yang saya jalankan. hidup
terasa demikian susah, aktivitas saya terbatas dan saya marah tanpa mengerti ke
mana kemarahan itu harus saya buang. terjadi pergeseran identitas antara tidak
difabel menjadi difabel. itu adalah masa-masa sulit, masa-masa ngelangut.
saya merasa banyak
orang membohongi saya dengan mengatakan suatu hari saya akan sehat lagi. saya
benci lips service. umur saya baru 21 waktu itu, dengan rencana
mengawang-awang. hal yang melegakan justru datang dari ucapan dokter kemal, dia
bilang : R, kamu gak bisa pakai converse lagi.
itu adalah kata-kata
yang saya tunggu setelah 8 bulan orang membohongi dirinya sendiri dan berusaha
menyemangati saya.
pada masa
rehabilitasi paska operasi, kemampuan saya bernalar merosot jauh. saya tak
punya selera akan kehidupan. saya lupa gandrung pada buku-buku, musik, film,
fashion, fotografi, menulis, berkebun, memasak, saya lupa semuanya. saya lupa
caranya. saya jadi bodoh.
disleksia saya
makin parah. saya enggak tahu bedanya ayah dengan ayam. bubur dengan dubur.
setiap kata-kata yang saya baca rasanya seperti bahasa swedia, huruf-hurufnya
terbang. saya enggak ngerti. kata-kata itu tak membawa makna. merasa demikian
bodoh adalah perasaan paling pilu yang pernah saya hadapi.
saya tak suka
kata-kata. berbicara membutuhkan kata-kata, saya menghentikan bicara. menyanyi
membutuhkan kata-kata, saya berhenti bernyanyi, saya eneg lihat partitur paduan
suara tergeletak di sana, ada nama saya di situ dan bagian notasi alto yang
saya stabilo kuning, not-not balok yang saya batik jadi not angka, supaya
teman-teman yang belum terbiasa ketemu not mudah menyanyikannya, karena saya
merasa itu adalah tanggung jawab saya sebagai ketua choir di kampus. saya tak
menonton film, ada dialog, itu kata-kata. saya tak lagi pegang buku, ada
terlalu banyak huruf terbang.
pada
masa-masa sulit itu saya menemukan banyak penghiburan lewat internet. hutang
terimakasih saya mesti dibayar pelan-pelan. lewat internet
saya menemukan banyak sekali orang-orang dengan kesungguhan hati melakukan
banyak hal-hal baik. menularkan kecintaan akan hidup.
karena tak suka
kata-kata maka saya beralih ke foto. tak ada kata-kata tercetak pada foto.
hal-hal visual macam itu menenangkan. saya sambangi website fotografi,
mendownload banyak sekali foto untuk dilihat-lihat.
linnea lenkus, light
stalking, photobucket, national geographic, world press photo dan banyak lagi
yang tak saya ingat, membantu saya bernalar lagi. saya mulai pelan-pelan
seperti dulu, rajin dan bersemangat. saya jadi kepingin tahu komposisi, angle
dan cahaya. saya jadi kepingin tahu banyak dan gak bisa dihentikan untuk berada
terus menerus di depan komputer. dengan tekun, cermat dan telaten saya
mendownload satu demi satu, memasukkan foto-foto tersebut dalam kategori-kategori,
menyusunnya dengan rapi. otak saya bisa diajak mikir lagi. waktu itu saya belum
punya kamera dslr sendiri, membayangkan memilikinya saja belum pernah. biaya
berobat yang tak sedikit paska operasi membikin saya punya kesadaran untuk tahu
diri.
http://www.worldpressphoto.org/
http://www.lightstalking.com/
bersamaan dengan menguatnya perasaan saya terhadap diri sendiri, saya berjanji untuk jatuh cinta habis-habisan pada diri sendiri. karena saya sadar hanya dengan cara itulah saya dapat menghabiskan sisa waktu hidup saya dengan cerita-cerita yang tak akan saya sesali. kalaupun saya melakukan kesalahan, itu adalah kesalahan yang saya bebankan pada diri sendiri, kesalahan saya sendiri yang dengannya saya tahu bahwa hidup terus berlangsung.
http://www.lightstalking.com/
bersamaan dengan menguatnya perasaan saya terhadap diri sendiri, saya berjanji untuk jatuh cinta habis-habisan pada diri sendiri. karena saya sadar hanya dengan cara itulah saya dapat menghabiskan sisa waktu hidup saya dengan cerita-cerita yang tak akan saya sesali. kalaupun saya melakukan kesalahan, itu adalah kesalahan yang saya bebankan pada diri sendiri, kesalahan saya sendiri yang dengannya saya tahu bahwa hidup terus berlangsung.
perlu 4 tahun
untuk saya merasa normal lagi.
3 tahun saya cuti
kuliah, padahal seharusnya tinggal skripsi. tubuh saya tak kuat untuk bepergian
jauh, otak saya enggak kuat untuk diajak mikir yang berat-berat. di
tengah-tengah situasi itu saya ikutan sehama, di situ segalanya dimulai. umur
saya paling tua dari 29 peserta yang lain, dan saya yang terbodoh (menurut
perasaan saya) dari 29 peserta yang lain. hal ini membikin bingung. otakmu
seperti dipaksa berpikir cepat, sementara kamu enggak mampu.
ternyata rasa
malu karena ‘kok gw dangkal ya’ membawa pengaruh yang baik bagi kemampuan saya
bernalar. saya berkenalan dengan banyak muda mudi hebat, cerdas, terdidik dan
baik hati. saya ketemu indonesia kecil, 30 mahasiswa dari aceh sampai papua
ikut pelatihan 3 minggu. di situ saya belajar hak asasi. saya jadi tahu kalau
dunia itu enggak sejahat yang saya kira, masih ada banyak orang baik yang
berjuang untuk kemanusiaan. saya jadi punya semangat lagi untuk belajar. karena
eneg dengan situasi di indonesia tiba-tiba saya on the track lagi. tiba-tiba
saya senang belajar lagi.
tadinya, sebelum
saya menjadi difabel, saya kuliah pada jurusan jurnalistik, mudah dibayangkan
bahwa saya bercita-cita menjadi jurnalis, atau filmmaker, atau apapun yang
membikin saya bekerja di lapangan, sesuatu yang mengharuskan saya bepergian.
kala itu saya tahu bahwa sulit memujudkan kemungkinan ini, sulit, tapi bukan
berarti tak mungkin. saya melihat kedirian saya dengan cara yang baru, hal ini
tak mudah serta butuh waktu sangat panjang, fase yoyo pun kerap menemani
perjalanan saya menemukan perasaan yang lebih solid, lebih utuh.
saya mulai cek
karya jurnalistik yang memikat. tak pernah saya ikut pelatihan menulis dan
belajar sendiri dengan susah payah (dan masih banyak salah) cara menulis yang
baik, karena waktu itu saya merasa belum bisa menganalisa secara mendalam. kalau
suatu hari jadi jurnalis, saya kepingin jadi jurnalis yang bener, yang ngerti
betulan apa yang dia nyatakan dan enggak terdepan mengaburkan.
saya sambangi
website the new yorker, dan mendekatkan diri dengan tulisan malcolm gladwell. itupun
tahunya enggak sengaja. karena itu internet adalah tempat terindah untuk
menemukan jodoh. saya berjodoh ketemu the new yorker, ketemu malcolm gladwel.
di kemudian hari ketemu haruki murakami, jhumpa lahiri dan penulis lain yang
luar biasa. tulisan-tulisan itu saya download dengan harapan suatu hari akan
punya waktu untuk dibaca. saya simpan tulisan itu dalam laptop dan
membiarkannya teronggok di sana karena masih sering kelelahan membaca dan
melihat huruf-huruf terbang.
karena masih cuti
kuliah maka hari-hari saya banyak dihabiskan dengan nonton film. saya rakus
nonton film, sehari bisa 7 film. dan selama setahun itu saya hampir-hampir bisa
recall semua pengertian yang pernah saya pahami jauh sebelum operasi. tiba-tiba
saya ‘dong’ lagi. sejak itu kalau saya nonton film, saya merasa perlu nonton
sampai 3kali untuk membedahnya hingga detail terkecil.
saya ingat,
sendirian di kamar membedah babel dan 21 grams karya alejandro gonzales
irraitu. menyediakan seminggu full untuk mengerti bagaimana christopher nolan
dan adiknya jonathan nolan membikin film, mengapa mereka begitu luar biasa dan
enggak ada jumping logic. hari-hari saya penuh dengan film. saya bisa bedakan
karya martin scorsese, roman polanski, guy ritchi dan banyak lagi. saya jadi
tahu model-model film macam apa yang dikeluarin new line cinema, miramax, lions
gate, cannals dan banyak lagi. saking gandrungnya dengan film saya datangi festival-festival
film di jakarta. europe on screen dan kineforum gak pernah absen dari agenda
bepergian saya.
saya belajar
bikin skript sendiri, saya belajar angle sendiri. sejujurnya saya enggak tahu
apakah berguna suatu hari. saya melakukannya karena saya mau dan suka.
sesederhana itu. sibuk dengan diri sendiri itu asik. apalagi saya tak punya
beban harus menyelesaikan kuliah besok. orangtua saya tahu kondisi saya yang
sedang terbelah kala itu, merongrong saya untuk kembali ke kampus untuk
mengerjakan skripsi bisa bikin saya gila, mereka membebaskan saya untuk mengisi
lagi diri sendiri sampai saya bisa bilang : mah, aku mau kuliah lagi.
karena tak ada
lawan tanding, saya merasa kesukaan saya nonton film ini sia-sia. dalam bungkus
dvd bajakan, saya selalu melihat nama roger ebert. dari situ saya meluangkan
waktu (lagi-lagi dengan tekun) membaca, mempelajari review film yang telah dibikin
roger ebert. saya kepingin tahu selera tuan ebert. lama-lama pemahaman saya
tentang diri sendiri tambah kaya. saya jadi sadar dan yakin bahwa saya boleh
punya suara saya sendiri, kalau sebuah film dirating 3 bintang oleh tuan ebert
dan saya memberi bintang 1 serta sebaliknya, hal ini membikin saya lega, karena
setiap orang enggak sama seleranya, enggak sama cara berpikirnya terhadap
banyak hal. pengertian enggak mungkin datang sekali jadi. ini membuka kesadaran
tentang keberagaman.
http://www.rogerebert.com/great-movies
http://www.rogerebert.com/great-movies
saya sungguh berhutang banyak terimakasih
kepada banyak orang yang telah berkarya. tiba-tiba kemampuan saya berbahasa
inggris kembali lagi. kalau sebelumnya saya masih perlu menerjemahkan dan
mencari kamus, tiba-tiba saya seperti paham semuanya, seperti percakapan
sehari-hari dengan ibu. saya kaget sendiri karena keterampilan itu ada lagi.
merasa demikian
senang saya sampai merasa harus mengucapkan artikel berbahasa inggris itu
keras-keras. saya tak tahu waktu itu bahwa latihan seperti ini melancarkan
pronounce. sekarang saya merasa lucu dan geli. kesepian dan kemarahan saya
waktu itu membikin saya belajar banyak hal secara otodidak.
karena badan saya sudah terasa enak, ibu
mengajak saya bersih-bersih catatan kuliah, dikumpulkan dan dibendel rapi
supaya sewaktu-waktu kalau saya siap kuliah lagi, semua catatan itu siap. awal
umur 25 saya mulai kuliah lagi, merampungkan skripsi. jadi kalau kamu sedang
dalam kondisi berat, saya juga pernah ngalamin kok, perlu 3 tahun untuk balik
lagi ke kampus, untuk bikin otak saya on the track lagi. enggak ada yang
tertinggal, terlambat dan ketinggalan. semesta itu dermawan, dia hanya nunggu
kita siap menerima banyak hal.
waktu beres-beres
catatan kuliah saya ketemu binder saya yang lama, itu bikin gemeteran enggak
karuan. rasanya campur aduk dan gak bisa dilukiskan. gak ada film atau novel
yang bisa memuat momen itu, saya percaya setiap orang punya film dan novelnya
sendiri, tiap orang punya cerita dan berharga.
saya ketemu catatan lama, isinya kalimat-kalimat yang saya anggap menakjubkan.
penggalan puisi, sebaris kalimat dari cerpen kesukaan saya, quotes yang
membikin saya merinding dan apapun itu. saya jadi ingat dulu sangat gandrung
dengan kata-kata.
saya jadi ingat
di masa smp, dengan manda sahabat saya itu ngerjain pr bahasa indonesia.
mengkliping cerpen koran minggu. saya jadi ingat setelah tugas itu selesai saya
gandrung sendiri mengkliping banyak cerpen indah. saya ingat penulis cerpen
favorit saya waktu itu adalah agus noor, seno gumira ajidarma, triyanto
triwikromo. saya ingat suka baca tulisannya gunawan mohamad dan sitok srengenge
pada awal kuliah. saya ingat tergila-gila pada ayu utami. saya jadi ingat bahwa
kata-kata adalah senjata. dan sejak itu saya gandrung lagi pada kata-kata. saya
baca-baca lagi karya mereka. disleksia saya selesai. enggak ada lagi
huruf-huruf terbang.
tidur saya kurang
karena saya takut hari ini selesai. saya gak mau hari ini selesai. ada tulisan
malcolm gladwell yang masih ingin saya baca. setiap akan tidur saya selalu
masih kepikiran apapun yang sedang saya baca dan selalu ingin segera terlelap
supaya saya bisa bangun dan ketemu lagi dengan apa yang baru saja saya baca.
rambut saya jadi
rontok dan botak saya parah. terlalu banyak yang dipikirkan, terlalu banyak hal
yang ingin dipelajari, kurang tidur dan konsumsi obat, membikin rambut saya
yang tadinya tebal jadi rapuh. saya tak pernah pikirkan benar-benar sampai
suatu hari menemukan pitak besar. ibu saya menyuruh saya stop mikir yang
berat-berat. akhirnya di sela-sela mengejar ketertinggalan karena merasa bodoh
terus, saya menyempatkan waktu untuk motret. ibu menghadiahi saya kamera dslr
nikon d90 di tahun 2009 untuk menyemangati saya melanjutkan hidup.
tahun itu saya
banyak bepergian keliling jakarta dengan sahabat-sahabat saya yang luar biasa pengertian.
saya banyak memotret, datang ke museum, datang ke pusat-pusat kebudayaan untuk
melatih berani berada di jalan dan ketemu orang-orang lagi. referensi film yang
saya tonton makin bertambah, makin luas. musik-musik yang saya dengarkan makin
beragam. saya makin melihat banyak alternatif. saya melihat banyak orang
kreatif, fans base yang solid, tak banyak pengikutnya tapi solid dan hal
seperti ini justru asik. tahun-tahun itu saya justru merasa hidup. saya merayakannya, sebisa mungkin menikmati
hidup yang ditawarkan semesta. pelan-pelan saya sadar semesta memperlakukan
saya persis seperti cara saya memperlakukan semesta. orang seperti aristoteles
pun tahu kita gak bisa terus menerus bahagia. menggenggam bahagia-bahagia kecil
itu penting untuk jejak dengan diri sendiri.
kawan dalam
lingkaran pertama saya makin akrab, makin merasa bahwa rumah saya rumah mereka
juga, mereka main dan mampir kapanpun ingin, menginap kapan pun ingin. saya
merasa hari-hari sedih kemarin sudah selesai. memang ada pikiran bahwa umur
bertambah dan saya belum jadi apa-apa dibandingkan teman lain yang telah lebih
dulu berhasil, tapi saya punya pilihan untuk milih mau mikir yang mana. kalau
semua dipikirin dan jadi depresi, hari-hari gila saya tambah panjang. tapi
depresi bikin saya jadi pujangga, itu juga meski diakui. dan punya waktu untuk
jijik pada diri sendiri tentu saja baik, kita jadi punya kesempatan untuk balik
lagi jadi manusia.
saya beruntung
memiliki orangtua yang suportif, mereka yang ngerti ada pergeseran identitas
paska operasi dan memberikan ruang bagi saya untuk kenal lagi diri sendiri.
saya beruntung mereka tidak merongrong saya untuk kembali kuliah atau cari
kerja atau apapun yang membebani saya. orangtua macam ini tentu saja langka.
mereka tak pernah menghakimi saya yang banyak di kamar, atau banyak enggak
pulang, atau banyak di depan komputer keluarga kapan pun saya ingin. mereka
enggak tanya bukan karena tak peduli, tapi sejak kecil saya diberi kebebasan
untuk memilih, saya sungguh bersyukur mereka enggak dangkal dan percaya bahwa setiap
hal yang saya pilih, punya landasan dan alasan, karena saya tak merusak diri
sendiri.
meski berada di
rumah, hari-hari saya sibuk.
saat minat saya
tentang fotografi melambung tinggi, saya super sibuk browsing dan download
foto-foto fashion dan kulinari. duduk di depan komputer keluarga dengan pakaian
yang pantas (bukan pakaian rumah yang dekil dan tipis). saya mulai searching
sana sini, menyimak dengan telaten, merenung dengan semangat, foto-foto fashion
dan kulinari. enggak ada yang ngajarin waktu itu pun gak ada sekalipun orang
kasih tahu saya, saya cuma merasa setiap kali berada di depan komputer untuk
searching sesuatu, saya ingin memberikan penghargaan terhadap diri sendiri,
saya mesti pakai baju yang rapi, yang asik, pakaian ternyaman dan termodis yang
bisa saya kenakan ketika bepergian dan menemukan keajaiban kecil di jalan.
perasaan ini menumbuhkan semangat saya untuk eksplore foto fashion dan kulinari
lebih jauh.
waktu itu tak
sempat terpikir bahwa keterampilan ini berguna. saya makin ngerti fashion,
makin punya jembatan keledai soal fashion, makin bisa menerjemahkan desain yang
saya inginkan ke atas baju-baju lawas yang hendak di refashion. saya jadi duta
refashion untuk diri sendiri, saya mengerjakannya dengan super serius. dan
kemampuan bernalar matematika saya jalan lagi, karena refashion.
blog refashion
saya dan manda sudah jalan setahun ini, tadinya kami hanya pajang karya di sana
dengan harapan kalau suatu waktu ada yang butuh cerita refashion dalam bahasa
indonesia akan ada yang terbantu, tak ada ekspektasi muluk-muluk tentang blog
itu. sekarang saya agak bangga juga karena pagevisit tiap hari selalu ada lebih
dari 20 kunjungan. saya jadi punya harapan akan makin banyak orang tertular
refashion. silahkan mampir ke blog kami untuk lihat apa yang sudah saya dan
manda kerjakan selama ini, thx a bunch !!
jadi, meski
pengangguran hari saya super sibuk. saya membagi waktu untuk belajar banyak
hal. bengong saya juga sibuk. sibuk mikir pelan-pelan. saya menabung foto,
menabung tulisan, mengendapkan pemahaman supaya lebih jernih lagi menghadapi
segala sesuatu, dan bersamaan dengan itu saya menabung doa, doa saya sederhana,
saya percaya tuhan tapi enggak ke gereja, saya selalu bilang ke semesta untuk
membantu saya tetap punya akal sehat.
itu saja, itu
sudah.
sebabnya saya
yakin hidup itu pergulatan terus menerus antara akal sehat dan akal bosok.
kalau saya masih bisa bertahan hidup hari ini saja udah bagus, udah hebat, dan
demikian pula kamu, sudah bagus, sudah hebat. enggak perlu sibuk mikirin
pencapaian orang lain kalau itu hanya bikin kita berlarut dalam kesedihan dan
penyesalan tak berujung. sibuk aja mikirin diri sendiri, gimana caranya sayang
lagi sama diri sendiri, dukung terus diri sendiri dan berpegang sama semesta.
kesadaran tentang semesta ini makin bikin saya
semangat untuk kenal dengan deepak chopra. ada banyak tulisan dia tentang
meditasi yang membantu saya mengendurkan tegang.
saya bersyukur
bisa bahasa inggris, ada lebih banyak hal yang bisa saya eksplorasi. saya
teringat ketika orang lain punya dana untuk les sementara saya enggak punya,
itu gak bikin saya menyerah kalah. saya justru punya tekad untuk bisa juga. setiap
merasa buntu saya buka lagi website-nya deepak chopra, website tedtalks, the
new yorker, roger ebert, open culture dan banyak lagi yang lain, menemukan
banyak sekali hal indah yang saya olah jadi imajinasi, kemudian imajinasi itu
diberi ruang untuk berkembang dan saya tulis.
belajar banyak hal bikin rambut saya rontok, di tengah-tengah hal yang memberatkan saya, saya perlu tontonan yang ringan-ringan. saya banyak mantengin youtube untuk menyambangi channel-channel asik tentang masak-masak.
dan dari sini pula saya otodidak belajar masak. saya kerja keras dan meluangkan buaannyaakk waktu untuk latihan, menonton, bereksperimen, mencatat, menonton lagi, latihan lagi. kalau orang stress karena menganggur, saya justru bahagia sekali. saya pengangguran on purpose. saya sedang mengisi diri sendiri. saya nyiapin bekal dengan serius, enggak tahu untuk apa, tapi semua itu selalu ada gunanya.
dan dari sini pula saya otodidak belajar masak. saya kerja keras dan meluangkan buaannyaakk waktu untuk latihan, menonton, bereksperimen, mencatat, menonton lagi, latihan lagi. kalau orang stress karena menganggur, saya justru bahagia sekali. saya pengangguran on purpose. saya sedang mengisi diri sendiri. saya nyiapin bekal dengan serius, enggak tahu untuk apa, tapi semua itu selalu ada gunanya.
dan memang
berguna.
youtube itu gudang
informasi, saya les masak gratis ya dari youtube. setiap hari (enggak lebai)
selama 3 tahun saya belajar teknik masak, nonton orang masak lewat youtube. saya
mengembangkan kemampuan terbaik saya, melakukan riset kecil-kecilan macam itu
dan mengeksekusinya.
biasanya waktu
terbaik di depan komputer adalah pukul 2 hingga 5 pagi. saya sibuk download
untuk kemudian saya tonton lagi pelan-pelan dan berulang-ulang, acara masaknya
jamie oliver, heston blumenthal, hugh fearnley whittingstall dari river cottage,
taste made, sorted food, foodwishes, wahh tak terkata. mereka membuka mata
saya. saya jadi super jatuh cinta lagi sama hidup. selain memerlukan ketekunan,
download juga perlu kesabaran, sebabnya enggak semua postingan yang saya
inginkan sudah diunggah di youtube, jadi betul-betul jalan 3 tahun untuk
menunggu tayangan-tayangan tersebut di unggah di youtube supaya bisa saya
download.
saya belajar dan
belajar dan saya enggak tahu apakah ada gunanya suatu hari. ternyata ada
gunanya.
karena hidup itu
fragmen. gak ada orang tahu hari esok.
sahabat saya
menikah dengan chef dari inggris, mereka tinggal di botswana dan berencana buka
restoran. suaminya meminta saya nanti suatu hari (karena saya mau kuliah lagi
ambil filsafat) setelah beres urusan sekolah, pergi ke tempatnya, ikut
mengelola restoran, memang baru rencana, tapi kalau saya tak punya keterampilan
itu, gak jadi apa-apa juga kan. L minta saya bantu dia bukan hanya karena saya
karib istrinya, tapi karena dia tahu saya punya keterampilan itu dan running
restoran juga bukan perkara enteng.
saya katakan pada
dea yang gundah serta galau saat itu, jangan pernah mengecilkan imajinasi dan
keterampilan. seberapapun kecil selalu berguna. the time you enjoy wasting is
not wasted time.
kapasitas
intelektual kan juga mesti ditingkatkan dek, demikian terang saya. itu bikin
galau-lu cerdas, saya lanjut menggoda dia.
saya katakan pada
dea, setiap kali mood menulis datang saya menulis.
menulis itu
seperti terapi bagi pemulihan jiwa. makin banyak yang saya baca, makin bermutu
tulisan yang saya baca, makin sering saya ketemu dengan momen-momen mak
jegagig. hal itu membantu saya untuk mikir pelan-pelan dan dalam-dalam.
sebabnya saya enggak mau dangkal, enggak mau bodoh. menulis tentu saja
membiakkan kreativitas. imajinasi saya bebas pergi seluas-luasnya
sedalam-dalamnya. kata-kata yang saya lekatkan dan susun satu demi satu enggak
sekedar tempelan. saya tentu saja jaaauuhh dari wordsmith... tapi saya masih akan terus belajar untuk jadi seorang wordscrafter, emang begitulah adanya.
saya menabung
skript film, saya menabung feature, menabung short stories, saya menabung masa
depan saya.
kalau kamu suka
menulis, tulis saja. suka bikin lagu, bikin saja. menjahit pakaian, jahit saja.
bikin karya apapun yang kamu minati. ditabung saja dulu. nanti suatu saat akan
ketemu juga kok momentnya. menabung
karya itu selalu ada gunanya. berkarya bikin kita makin kreatif, makin ketemu
banyak celah untuk memperbaiki diri, dan ini asik. apalagi kalau pertemanan
makin luas, makin terbuka kesempatan mu untuk bersinggungan dengan hal-hal yang
belum pernah terbayangkan sebelumnya.
buat saya
pribadi, berkarya bikin saya enggak kesepian lagi.
saya melatih
kemampuan bernalar setiap hari setiap sempat, ini membikin jepretan foto saya
enggak perlu lagi ada watermark, ini membikin tulisan saya punya timbre-nya
sendiri dan saya makin sadar betul tentang kepengrajinan karya.
saya jarang
bosan, penasaran saya jarang selesai. ini yang membikin belajar otodidak jadi
sangat menyenangkan. karena saya sendiri yang menentukan mau belajar apa, saya
sendiri yang menentukan mau seberapa lama belajarnya, apa yang mau saya capai
setelah belajar sendiri, karya apa yang mau saya bikin. rasanya puas dan
melegakan karena kita sendirilah yang menentukan semua-muanya.
dengan belajar otodidak saya telah menambahkan pengetahuan sedikit demi sedikit sesuai dengan kemampuan saya bernalar saat itu. saya menyadari bahwa kedalaman tak menjadi sekali jadi, tapi diangsur, kemudian dibentuk. memiliki kesadaran tentu saja utama, dari situ tumbuh pengertian bahwa daya pikir saya yang sedang-sedang saja ini, perlu terus di up grade.
dengan belajar otodidak saya telah menambahkan pengetahuan sedikit demi sedikit sesuai dengan kemampuan saya bernalar saat itu. saya menyadari bahwa kedalaman tak menjadi sekali jadi, tapi diangsur, kemudian dibentuk. memiliki kesadaran tentu saja utama, dari situ tumbuh pengertian bahwa daya pikir saya yang sedang-sedang saja ini, perlu terus di up grade.
saya merasa
sangat kaya dan itu bikin hidup saya optimal.
enggak banyak hal
yang saya sesali dalam hidup. yahh.. paling satu. saya nyesel tahun lalu enggak
dipeluk dieng untuk nonton float performance. semoga tahun ini enggak mengulang
kebodohan itu. mungkin kita ketemu di sana.
ada satu quote dari albert einstein yang saya suka : the
world will not be destroyed by those who do evil. but by those who watch them
without doing anything.
saya jadi memikirkan quote ini untuk diri sendiri. saya kira,
saya melakukan kejahatan terhadap diri sendiri apabila terus diam, mengabaikan
diri sendiri dan tak melakukan apapun. kalau saya punya bekal kesadaran, tentu
saya bisa melakukan sesuatu yang berarti.
kalau belum ada
prestasi yang berarti seperti pandangan awam.. saya sih enggak peduli. saya
bukan pengkoleksi trofi soalnya. kalau ada kawan saya bilang : R, makasih ya..
itu bikin saya
merasa hidup saya enggak sia-sia, ada perayaan akan kehidupan yang ditularkan.
until then, berkah dalem buatmu ..
Tidak ada komentar:
Posting Komentar