“Kadang-kadang gw merasa misfit dan
misplaced di kampus gw.”
“Itu emang salah gw sendiri karena
sembrono milih kampus dan gengsi untuk pindah karena malu sama papa, malu jadi
orang sembarangan yang cuma bisa ngerepotin orang. Jadinya gw tetep bertahan di
sini. Awalnya mungkin untuk pembuktian ke papa tapi sekarang gw mati-matian
membuktikan ke diri sendiri bahwa gw bertanggung jawab terhadap pilihan gw
sendiri.”
“Tadinya gw gak tega untuk bilang ke
diri sendiri, bahwa gw jauh lebih bermutu dari mereka karena punya lebih banyak
rasa penasaran dan kegigihan untuk cari tahu, lebih cekatan untuk ngerjain ini
itu, lebih disiplin untuk mengejar kekurangan-kekurangan diri. Gw gak mau mikir
ke arah situ karena itu membikin gw gak rendah hati.”
“Tapi nyatanya begitu, ada banyak
banget orang males di dunia ini, bahkan untuk memperjuangkan diri sendiri aja
males, keterlaluan banget.”
“Itu seperti pelaut yang membenci
menjelajahi ombak, seperti penulis yang berhenti baca karya orang lain. Seperti
adventurer yang menggerutu ketika kesasar jalan.”
“Kalau gak kesasar jalan itu namanya
vacation.”
“Apa bedanya kampus sama travel agent
kalau gitu...sedih banget gw.”
“Gw bingung banget waktu awal kuliah,
memperhatikan kawan sekelas gw gak ada greget untuk belajar, gak peduli sama
peningkatan kualitas diri. Apa-apa maunya disuapin, nanti kalau udah terjun ke
masyarakat gak siap dengan apapun. Jadi mahasiswa kok kehabisan rasa penasaran
dan gak mau berpikiran terbuka, boro-boro deh melakukan pengabdian buat
masyarakat, wong memperjuangkan diri sendiri aja gak mau.”
“Gw makin pedih waktu sadar mereka
betul-betul gak terhubung dengan Indonesia. Okelah mereka gak harus tahu kalau
di Trowulan ada peninggalan Majapahit.”
“Mereka mungkin gak sempat kenal
Sjahrir, Douwes Dekker, atau Munir, itu kan kasihan banget.”
“Itu membuat gw malu sendiri dan
membuat gw sering bertanya-tanya apa ya yang mereka kerjain sehari-hari. Apa
arti sesama buat mereka. Apa yang mereka pahami tentang nusantara, atau Jakarta
deh, gak usah jauh-jauh.”
“Terus buat apa hidup kalau bahkan
menggugat diri sendiri aja gak mampu atau gak terpikir ke arah situ, pedih
banget. Hidup kok kayak numpang lewat doank, gak ada jejak-jejak berarti.”
“Jengah
dan merasa buntu... Kasihan Indonesia kalau pemudanya begitu semua..kok gw
pesimis banget yaa..”
“Gw bukan sombong ya, demi Tuhan bukan. Gw
ngomong begini ini ya cuma sama elu, gw gak tega ngomong sama mereka. Gw merasa
makin bodoh di lingkungan kayak gitu.”
“Gw gak bergembira, gak merasa gelora
akan rangsangan berpikir.”
“Kadang-kadang gw pengen bilang bisa
gak sekali-kali kalian punya waktu untuk mikirin sesuatu dalam-dalam,
pelan-pelan. Punya waktu untuk mengendapkan pikiran dan perasaan, moment-moment
perenungan eksistensi biar gak sedikit-sedikit melodrama.”
“Sering banget gw jengkel ngumpul sama mereka,
capek banget kuping gw. Kadang situasinya gak memungkinkan gw untuk segera
pergi, takut melukai mereka dan gw berharap bisa budeg sementara kalau lagi ada
di situ.”
“Ini
habitat ngeri beneran !”
“Nah, berarti gw yang gak ngertiin mereka kan.
Memaksa mereka untuk sama kayak gw. Ini mengganggu buat gw sendiri. Gw tahu kok penilaian gw terhadap
mereka itu betul-betul bias. Gw takut gak rendah hati, dan gw ngomong ini ya
cuma sama elu.”
“Padahal
gw gak keberatan jadi bodoh dan gw saadaaarrr banget kalau gw itu naif.”
“Maksud gw, bahkan gw yang ngerasa bodoh dan
naif ini aja terganggu dengan hal-hal seperti itu, gimana orang lain ya, yang
emang betul-betul pinter, apa jadinya kalau ngobrol sama mereka. Apa gak jengah
ketemu orang-orang apatis?”
******
Aku selalu merasa masa-masa kuliahku telah
berakhir jauuhhh sebelum aku di wisuda.
Little boxes-nya
Malvina Reynolds selalu bikin aku terkikik geli dan perih sekaligus.
And the people in the houses, all went to the
university. Where they were put in boxes and they came out all the same. And
there’s doctors and lawyers and business executives and they’re all made out of
ticky tacky and they all look just the same..
kalau kamu
mampir ke youtube, walk off the earth bikin cover yang asik tentang lagu itu.
kebetulan aku suka sama setiap orang yang niat.http://www.youtube.com/watch?v=LM8JhvfoqdA
Pada masa
kuliah, aku latihan foto essai di bantar gebang, di pemulasaran jenasah, tiga
hari hidup bersama nelayan cilincing. Semua demi tugas kuliah, kuliah yang
mudah, tak membuatku ingin kembali. Karena itu aku memutuskan untuk tak
melanjutkannya, karena di luar sana ada yang lebih penting ketimbang latihan
foto dan berteman dengan mereka yang gak mau berkembang, ketimbang menyalin
tulisan dari perpustakaan. Di luar sana ada kehidupan.
Aku selalu
kepingin tahu apa yang bisa kuperbuat selagi badanku masih sehat, otakku masih
bisa diajak mikir, waktu keinginanku masih tulus.
Aku ingin
kabur untuk hal-hal yang agak baik.
Rambutku
rontok karena kepikiran banyak hal. Ini adalah hal yang menggelisahkan karena
selama ini aku kira hidup baik-baik saja. Aku tahu kita banyak
dibohong-bohongi, tapi kayaknya gak parah-parah amet, gak bahaya dan
meluluhlantakkan hati.
Kemarin
junior aku ngabarin, kenapa aku gak muncul di peredaran. Latihan choir sudah mulai lagi kak, lo dateng donk kak, bantuin alto,
ajarin kita.
Sms
itu aku terima dengan sedih. Setiap tahun aku menyanyi di acara wisuda senior,
melepas sarjana-sarjana muda. Partitur lagu-lagu wajib nasional dan lagu daerah
yang dinyanyikan berulang-ulang kali dari tahun ke tahun. Aransemen apik
diiringi chamber. Latihan tiga bulan untuk menyiapkan penampilan paling
menakjubkan.
Tanah airku
Indonesia, negeri elok amat kucinta. Tanah tumpah darahku yang mulia..yang
kupuja sepanjang masa. Itu
adalah lagu yang selalu dinyanyikan saat wisuda, setelah Gaudeamus Igitur dan
Indonesia Raya.
Aku
masih mengingat jelas moment itu, berlatih partitur Rayuan Pulau Kelapa untuk
mengisi acara wisuda.
Senior-seniorku
yang tak lagi hidup untuk meraih mimpinya. Bertahan hidup dengan kepiluan yang
lain.
Apakah
tanah air itu sayang?
Hal-hal
semacam itu selalu membikin aku sedih.
Sekarang
ini, detik ini, kamu pasti tahu bahwa di setiap ujung bumi Indonesia, selalu
ada orang disiksa sampai mati, orang-orang yang tidak selalu punya pilihan.
Aparat yang berulangkali berkata ini musibah. Musibah dari mana kalau
berlangsung terus menerus dan dibiarkan. Psikopat di mana-mana, kejahatan
terhadap kemanusiaan yang menjadi-jadi, orangtua yang bangga karena anaknya
berhasil mengumpulkan materi dan membutakan hati nurani ketika sadar benda-benda
itu hanyalah hasil korupsi, mereka yang masih berdoa dan sama sekali tak merasa
bersalah, harta yang tak disita dan mereka yang tak dimiskinkan supaya jera.
Aku
harus menertawakan diriku sendiri, sebab aku teramat naif.
Aku
punya jadwal browsing tulisan Roger Ebert untuk mengetahui pendapat dia tentang
film-film, kemudian menontonnya dengan serius, setiap film bintang empat dan
bintang satu, untuk mengetahui selera tontonan tuan Roger Ebert. http://www.rogerebert.com/great-movies
Sekarang
aku bisa membayangkan bahwa penyiksaan yang kita saksikan di film Spy Game dan
film sejenis itu bukan tak mungkin tak terjadi. Hidup gak selalu sekonyol
Hangover. Kita sulit memahami bahwa kekejian itu berlangsung, sedang terjadi,
bahkan lebih parah, dan semua ini demi penaklukan. Siapakah kita sebenarnya
sayang?
Aku
kesulitan memahami apa yang harus dijadikan tempat berpijak saat ini. Ada
banyak hal di dunia yang tak bisa aku tanggung meskipun ingin. berulang kali bertanya
ke diri sendiri apakah aku sok heroik.
Yang
aku miliki saat ini adalah sisa-sisa kepercayaan, barangkali juga harapan,
seperti betulkah di galaksi lain ada Tuhan yang sama. Tapi justru itu
masalahnya kan, iman.
Dan
kebencian gak membuat dunia jadi mudah.
Aku
mesti berterimakasih pada semesta yang baik. Akhirnya sampai juga di tempat
magangku kali ini. Belajar dan melihat banyak hal.
Sebelumnya
aku gak pernah tahu bahwa metode penyiksaan yang dialami oleh kelompok-kelompok
tertentu itu begitu sadis dan bengis.
Aku
sampai mimpi buruk setiap malam, kepikiran terus. Mimpi di lokasi yang sama,
situasi yang sama, kelam yang makin pekat. Setiap hari aku baca dokumen, aku
monitoring, menelusuri tragedi dan ironi bangsa kita. Semakin hari semakin
tenggelam, merasa muak dan marah, sekaligus bersedih.
Setiap
bangun tidur aku mencatat mimpiku, apa yang masih dapat kuingat. Kemudian
membandingkannya setelah seminggu. Mimpi itu selalu sama dan membentuk film
dalam kepalaku. Aku mencatatnya dengan telaten. Lama-lama aku menunggu diriku
bermimpi. Aku pikir aku gila. Mimpi itu berkembang dan menguat.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar