dari sekian milyar
hal yang saya enggak sempet tahu, saya tahu satu hal, ketika saya berdoa untuk
orang lain, saya merasa jiwa saya agak tenang. diri saya yang meletup-letup ini
seperti tiba-tiba tak lagi bergolak. saya tentu saja bukan orang baik, dan kalimat
ini saya ketik bukan untuk menunjukkan bahwa saya rendah hati. saya sedang
ingin bercerita bahwa kegiatan ngobrol dengan tuhan bikin saya punya kesempatan
lebih untuk mikir pelan-pelan.
ada banyak peristiwa
dalam hidup saya, kejadian-kejadian selintas yang justru tertanam dalam batok
kepala. kejadian-kejadian itu biasanya bukan kejadian yang hebat, tapi
kejadian-kejadian sederhana yang mengusik kesadaran. sampai hari ini di tengah
rutinitas saya sehari-hari, setiap sebelum menjelang tidur saya masih
menyempatkan diri untuk ngobrol dengan tuhan.
saya katakan ngobrol
karena tuhan yang saya bayangkan adalah sosok yang dekat, tempat saya bisa
cerita kapan saja dan tentang apa saja, tak ada satupun yang tak saya
ungkapkan, dia yang tahu borok dan busuk saya tanpa menghakimi, juga saya yang
tahu diri dengan dosa-dosa saya, saya yang tahu diri tak minta diampuni, tak
minta dimengerti untuk kesalahan yang saya bikin. saya mengobrol dengannya
seperti saya mengobrol dengan bapak. saya tak merasa perlu menyembah-nyembah :
tuhan yang mahabaik, tuhan yang mahatahu, atau tuhan yang mahapengampun, atau
tuhan yang maha atau.
bukan karena saya gak
percaya hal itu. justru karena saya percaya banget dia lebih dulu tahu
ketimbang saya, maka dia gak perlu diajakin ngobrol hal-hal yang dia udah
ngerti, hal-hal seremoni. saya kebetulan enggak seneng hal yang bertele-tele
dan saya merasa ketika meluangkan waktu untuk ngobrol, itu adalah jam-jam yang
baik, waktu yang berkualitas, saya yang mengalami mengenal diri sendiri ‘lagi’,
pelan-pelan dan gak seketika ujug-ujug langsung dihuni pengertian yang baru,
atau pengertian yang ter-upgrade. kegiatan mengobrol ini asyik sekaligus
khusyuk.
suatu hari di tahun 2006 saya pulang kuliah bersama LF, hari sudah malam. saya nganterin LF pulang sampai rumah, dia gak biasa pulang malam, baru jam sembilan sih waktu itu, tapi standart terlambat pulang setiap rumah kan gak sama. bapak ibuk gak pernah ribet kalau saya pulang malam, atau gak pulang sekalian, memang begitulah cara mereka mendidik saya. dan dengan cara itulah saya justru jadi enggak terlalu bengal, serius, karena disodorin banyak hal dan gak dilarang-larang, saya justru punya kesempatan untuk mikir.
waktu itu kami pulang
naik 102 dan berhenti di depan koperia (dulu belum ada grand lucky, kalau kamu
biasa lewat radio dalam pasti kamu kenal arah yang saya maksud). kami masuk ke
dalam gang perumahan di sebelah koperia, itu adalah jalan potong menuju rumah LF. waktu itu gelap dan hampir hujan. dari arah yang berlawanan kami
berpapasan dengan seorang pembersih sampah (saya gak mau bilang dia tukang
sampah, soalnya dia bukan tukang, tapi manusia yang membersihkan sampah, sampah
sebagian dari kita yang enggak tahu diri).
gerobak sampahnya
geeeddeee banget dan penuh, dan badan si bapak kecil. dia susah banget narik
gerobaknya. kakinya tak beralas sepatu. meskipun gelap saya bisa lihat
urat-urat di punggung kakinya, kulitnya yang kisut dan gak ada dagingnya itu.
nafasnya betul-betul kembang kempis.dia terlihat betul-betul kepayahan menarik
gerobaknya. hal itu seketika membuka pintu afeksi. ada jeda 2 menit waktu saya
mikir kepingin bantuin dia, entah apa. saya betul-betul merasa sedih. saya
berhenti dan bilang sama LF, kita bisa
kasih apa ya. malam itu sampai hari ini saya menyesal gak jadi ngasih dia
uang limapuluh ribu, hal itu selalu terbayang-bayang.
saya ingat tinggal
punya uang limapuluh ribu di dompet untuk sisa ongkos kuliah seminggu itu
sekaligus untuk fotokopi materi kuliah. seingat saya uang LF paaass habis
untuk bayar ongkos bis kami berdua. saya sebetulnya hendak memberikan uang
sepuluh ribu untuk si bapak, tapi gak ada orang atau warung yang buka untuk
nukerin pecahan limapuluh ribu satu-satunya itu. kami bener-bener berdiri dan
diam. adegannya persis sinetron bahkan mungkin lebih baik lagi, si bapak
berlalu dan saya menengok ngelihatin dia nyebrang jalan dengan lampu jalanan
warna oranye itu. bis 102 dan 72 ngebut setiap saat. waktu saya sampai rumah LF, hujan turun dengan hebat. saya numpang berteduh sebentar sebelum kemudian
melanjutkan pulang ke rumah. dalam perjalanan saya merasa tolol, kenapa tadi
gak saya kasih uang saya itu. saya lupa kalau tiga hari lagi ada bayaran choir
(paduan suara) yang bakal cair.
juga ada kejadian
lain waktu saya kecil dan digandeng ibu. hari itu puasa. ibu ngajak saya
jalan-jalan ke blok m, belum ada blok m square waktu itu. blok m pada masa itu
luar biasa penuh dengan atap terpal dan barang dagangan, hampir gak ada tempat
lewat. orang ramai mengantri texas chicken di sebelah gedung melawai
plaza. juga ada toko sepatu hawaii di
situ, tempat ibu membelikan saya sepatu setahun sekali.
sore itu,saya dengar
suara adzan. ibu menggandeng saya dan bertanya mana yang lebih saya suka, es
doger untuk dibawa pulang atau gorengan yang enak dimakan hangat-hangat. tentu
saja saya lupa apa yang ibu beli. ketika menawar belanjaan, saya membelakangi
ibu sambil memegang ujung blus ibu. di seberang saya berdiri, berderet penjual
buah-buahan. seorang diantaranya kakek dengan peci hitam dan kemeja katun yang
tipis. saya ingat betul. dia menjual pisang mas, ada dua keranjang rotan besar
dan pisang mas digantung pada bambu.si kakek memuntir dua buah pisang mas dari
sisiran. sebelum dimakan saya melihat bibirnya komat-kamit membaca doa. meski
saya katolik, saya kenal doa buka puasa, kawan-kawan sepermainan yang
mengajarkan saya. saya yang kecil merasa demikian sedih. itu adalah menu buka
puasanya.
“mama..mama...beliin
gorengan buat simbah..” saya membujuk ibu. tentu ibu tak mengerti. saya ingat
dia bilang, “oo..kamu kangen simbah?” kata ibu menggandeng saya sambil menawar
bajaj.
waktu kecil dalam
kegiatan sekolah minggu saya diajari bagaimana caranya berdoa. tapi rasanya
sampai hari ini saya enggak pernah berdoa seperti yang diajarkan dalam agama
yang saya pilih.
saya beruntung punya orangtua yang enggak cupet, enggak sempit. mereka yang ngajarin ke saya tentang banyak hal baik, juga buruk, dan karena itulah saya gak habis bersyukur. |
orangtua saya gak
pernah maksa saya untuk ke gereja atau berdoa. Sewaktu saya SMA bapak saya
bilang saya boleh pilih agama apa saja. saya boleh milih pasangan hidup saya
sendiri, jalan hidup saya sendiri. dia juga gak pernah minta saya jadi orang
baik, saya ingat bapak bilang : kamu mau jadi pelacur juga terserah. dia
cuma minta saya gak boleh bodoh. Cuma itu. dan menurut saya bapak saya asik.
dia bertatto sejak tahun enampuluhan. dan dengan demikian saya yakin kalau kamu
memilih bertatto kamu enggak bajingan. sebabnya bapak saya bukan bajingan. dan
banyak sekali bajingan yang gak bertattoo. itu cara saya berpikir waktu smp.
saya katolik yang
enggak ke gereja. saya enggak bisa doa rosario. saya enggak tahu lagu-lagu
dalam puji syukur, saya enggak ngerti gimana memulai bacaan alkitab. suatu
ketika ellen bilang : sini gw aja.
saat itu ada perayaan ekaristi di kampus, dia tahu banget saya gak ngerti
hal-hal apapun tentang liturgi, dan tanpa ingin mempermalukan saya, dia
mengambil alih tugas itu. waktu itu saya tahu artinya seorang teman.
sahabat saya yang
lain, petra, sering mengirimkan ayat-ayat kitab suci, hampir setiap dia ingat.
dia seorang kristen yang taat. yang meluangkan waktunya untuk ke gereja dan
sibuk di sana, untuk pelayanan, mengajar anak-anak di cilincing di luar
jam-jamnya sibuk kuliah, atau di luar jam-jamnya sibuk main sambil nyari
penghasilan sambilan, itu tidak terjadi sebulan dua bulan, melainkan
bertahun-tahun. waktu foto bidikannya menang suatu festival, dia pakai 70%
hadiah uang itu buat acara sikat gigi rame-rame. hadiah uangnya emang gak
banyak, tapi niatnya dia itu sering bikin saya geleng kepala. gimana bisa kaya pet, kalau duit lo sebar
buat orang lain, batin saya dalam hati waktu baru awal-awal kenal dia.
ngajakin anak sepanjang gang main permainan tradisional, padahal baru kenal lima menit. |
meskipun saya bilang
gak perlu sering-sering kirim ayat, petra terus melanjutkan hobinya itu. biasanya
firman-firman itu mental,karena saya merasa dia buang-buang pulsa untuk hal-hal
keseharian yang saya udah ngerti..dia suka menggoda saya dan ellen : cieee yang
pinterrr..
dengan ellen saya berbagi hal-hal bodoh
sepanjang hari, ada percakapan yang tak henti sepanjang hari,
pengalaman-pengalaman gak penting sehari-hari yang selalu di share ketika kami
tidur bareng, atau bahkan ketika kami gak tidur bareng, dan sekarang saya
merindukan hal itu. selain sedih yang mendalam juga ada tawa berhamburan dalam
persahabatan kami. biasanya salah seorang mengsms di sela-sela kesibukan
harian: nyett..ntar sore gw nonton, atau gw sekarang di fx, atau nyett karaoke yuk.. dan diakhiri dengan gw ada cerita.
saya gak pernah
menghabiskan waktu di mall atau tempat karaoke dengan petra seperti saya
menghabiskan waktu dengan ellen untuk ngobrol sampah (sampahnya tentu saja buat
kami bermutu). dengan petra saya lebih banyak menghabiskan waktu untuk pergi
nonton ke erasmus huis, kineforum, goethe institute, @america, kota tua, museum-museum,
atau acara-acara publik di mana kami mengejar cerita untuk melakukan foto
essai. sepanjang tahun saya menghabiskan waktu di jalan sama petra, ketemu
banyak orang.
ngobrol dengan ellen
membikin saya dan dia pelan-pelan memahami orang-orang yang kami sama-sama kenal,
ini tentu saja baik karena ketika kita menyadari dan memaklumi seseorang, kita
jadi tak cepat-cepat melabelkan dia sebagai sesuatu, dan dengan demikian
kejengkelan bisa dipendam sementara waktu.
sementara bepergian
dengan petra membikin saya dan dia melihat banyak orang yang gak kami kenal
sebelumnya. itu tentu saja memunculkan gelembung-gelembung random thoughts yang
seringkali justru mengakar dalam hati.
sahabat saya ellen dan petra adalah orang-orang baik yang menunjukkan pada saya arti compassion. dan saya beruntung mengalami hal itu, hati yang tergerak..dalam dan kadang tak terjangkau nalar..
kemarin saya dan
petra nonton pemutaran film di balik frekuensi-nya mbak ucu agustine di goethe
institute. seperti biasa kami pulang malam, dua makhluk nocturnal yang lebih
ngerasa punya greget di malam hari. saya selalu bertanya ke petra setelah lepas
acara: mau makan di mana. meski saya
hampir selalu yakin dia akan bilang :
makan di rumah aja. sebabnya bukan karena kami gak punya uang, tapi buat
kami makan di rumah memang lebih nyaman dan lebih santai.
sekarang kami jarang
nongkrong sampai pagi. sebabnya kepingin mengubah pola hidup. udah bosen sama
jam-jam malam. ternyata bangun pagi itu enak juga. tapi ya gak tahu kalau
besok-besok ada kerjaan yang bikin diri ngelembur.
sudah enggak pulang subuh lagi... |
petra tahu tanpa saya
beritahu lebih dulu bahwa selama enambulan ini saya bersedih, bahwa saya kepikiran
terus menerus tentang satu hal itu-itu saja, yang membikin saya tipes dan
ternyata jadi sering kambuh. dia sahabat yang peka. sini gw peluk, itu adalah hal yang biasa ia lakukan untuk
membesarkan hati saya. dan kawan semacam ini tentu saja langka, kawan yang
sama-sama bertumbuh dan jadi saksi evolusi diri. lo mau apa, mau motret lagi? apa mau bikin film lagi? ia punya
rencana untuk membikin saya keluar kamar, gak melulu mendesain pakaian dan
menghabiskan waktu membaca serta menulis di dalam rumah.
motret dan bikin
film.
sebagai alat rekam
dari hingar bingar krisis kebangsaan. salah satu medio pengusik kesadaran.
psikopat tentu saja
banyak.
tapi yang enggak
psikopat juga masih banyak. orang-orang yang masih nyediain waktu untuk jijik sama diri
sendiri. dan kita tentu saja perlu lebih banyak melibatkan diri untuk
peradaban. kita yang masih waras untuk berkarya, untuk jijik terhadap kejahatan
terhadap kemanusiaan.
kalau ada simbah
renta tanpa keluarga mati kelaparan salah siapa?
salah negara?
kalau ada anak
jalanan mati disodomi salah siapa?
salah tuhan?
hasil jepretannya tommy apriando |
saya kira, saya punya
andil dalam kesalahan itu, kejahatan itu.
sebabnya saya gak mau
tergerak untuk melibatkan diri dan ambil bagian dalam mengubah satu saja noda
buruk.
kita punya andil
dalam kejahatan kemanusiaan itu. karena terus diam.
karena terus diam.