Aku pulang hari ini bapa. Meski tubuhku tak lagi utuh. Berbekal
mimpi yang kau bantu bangun mengenai yang terbaik dari situasi paling buruk.
Bersama amarah yang tak lagi tersulut. Bersama permohonan paling halus tentang
kaki, tentang berlari. Bersama kesadaran bahwa manusia juga bisa hidup tanpa
kaki. Bahwa manusia tidak harus dapat berlari.
Nyanyikan sebuah lagu yang dulu sering kita dendangkan bersama.
Nyanyikanlah lagu untukku. Sewaktu tanganku genggam erat jemarimu bersama
seulas senyum yang tak lekas pergi. Sewaktu kesedihan terasa manis.
Sebab…
Kesedihan hatiku terasa
bergumpal-gumpal. Aku tak pernah mengerti darimana datangnya. Tahu-tahu ia
mampir sebentar dan pergi meninggalkan perih yang tak hilang-hilang.
Kesedihanku terasa pekat. Aku tak pernah bisa menghapus perasaan yang semakin
hari terasa kian memberatkan. Kesedihanku tak bernama. Aku percaya kesedihanku
bernyawa. Ia ada dalam aku dan aku tak bisa mengabaikannya. Aku hidup bersama
dia. Dia yang menggerogoti semangatku.
Bagaimanakah rasanya mati bapa?
Dan kau jelaskan padaku waktu itu. Di bawah naungan pohon kresen.
Sewaktu kita menunggu antrian pembayaran listrik. Limabelas tahun silam.
Seragamku masih merah putih. Kau berkata mati tidak sakit. Kau berkata rasanya
biasa saja. Lalu kau diam panjang. Mengumpulkan butir-butir kresen merah
seperti biasanya. Kita nikmati itu buah dalam genggaman tanganku yang kecil.
Apa yang ditanyakan Tuhan ketika kita nanti berjumpa Bapa?
Barangkali Tuhan bertanya apa yang telah kau lakukan di dunia.
Barangkali itu tidak membuatmu nyaman karena kau belum berbuat banyak, karena
kau menyia-nyiakan waktu. Kau mungkin resah. Menyesal dan merasa bersalah.
Mungkin kamu membela diri. Ada saatnya kamu membela diri. Meski kamu tahu itu
tidak betul-betul benar. Itu tidak betul-betul perlu.
Kamu menenangkan aku dengan berkata bahwa kematian seperti tumbuh
besar. Pertamanya kamu takut seperti hari pertama masuk sekolah. Tapi kamu juga
bergairah. Tahu-tahu kamu sudah di kelas dan menikmati hari bersama teman-teman
dan bu guru.
Kematian mempesonaku bapa. Semenjak aku tahu rasanya kehilangan
dan tak menemukan kembali. Aku belum mengenal sedih. Barangkali pemahaman halus
itu muncul bersama tangis yang sebentar. Pastilah kematian berasa sepi. Ketika
aku harus berpisah dengan segala hal yang telah ku kenal dengan baik dan segala
hal yang paling kusayangi.
Bukankah seperti itu? Tidakkah itu sedih?
Kau memandangku lebih dalam, menggeleng dengan senyuman meski
matamu berkilat pedih. Aku menangis geru-geru. Bapa memegang daguku dan menyuruhku
memandang ke depan.
Lalu kita menyanyi…
Kupu-kupu yang lucu…ke mana engkau
terbang…hilir mudik mencari….bunga-bunga yang kembang….berayun-ayun….pada
tangkai yang lemah….tidakkah sayapmu….merasa lelah.
Aku lelah bapa. Aku ingin sudah. Meski keingintahuanku belum
tuntas dan kegetiran ini terasa pekat. Izinkan aku pergi saja bapa…. Meski
sedih dan sepi. Aku tidak takut mati. Aku justru lebih takut hidup. Aku sudah
tidak butuh jawaban lagi dari pertanyaan-pertanyaan yang menyesaki seluruh
relung tubuhku. Biarkan Dia hapus
airmataku. Dan Maut tidak akan ada lagi. Tak akan ada lagi perkabungan atau
ratap tangis atau duka cita. Sebab segala sesuatu yang lama itu telah berlalu. itu
adalah ayat alkitab yang menentramkan hatiku.
Bagaimana perasaanmu hari ini kasih?
Rasanya tidak enak bapa. Rasanya tidak hangat-hangat. Gerakanku
terbatas. Aku ingin marah-marah terus. Hatiku masih saja mendidih.
Dan kumohon, berbisiklah saja. Sebab suara-suara gemuruh dari
segala penjuru berpusar mengitari aku. Mereka berisik sekali. Tidak mengerti
susahku. Tawa-tawa itu bapa, milik orang lain. Senyum-senyum itu bapa, miliknya
orang bahagia. Dan aku terjebak bersama sakit hati yang parah.
Apa yang kamu inginkan kasih?
Ada banyak hal yang ingin kumiliki, tapi semua hanya sampai di ingin.
Tetapi jika Tuhan beri satu permintaan saja, buatlah aku berlari dan
meninggalkan jejak kaki yang berarti.
Ia pasti mendengarmu kasih. Bersabarlah sayang, kita lalui
bersama.
Ini kejujuran hatiku bapa. Ada masa ketika aku kehilangan
kemampuan untuk merasa nyaman dan bahagia. Aku kehilangan kendali pada volume
suara. Semua yang kudengar terasa bertumpuk-tumpuk dan keras. Sehingga aku
merasa harus memaki untuk bisa didengarkan.
Aku menaruh curiga terhadap apapun. Aku merasa udara bersekongkol
untuk menyiksaku, ia tak berwarna pun tak berbau, aku tak bisa memergoki kapan
mereka membicarakan aku, hari-hari burukku. Seperti udara, aku merasa masa
depan mengkhianatiku lebih dahulu sebab ia tak pasti dan aku tak dapat
menggenggamnya. Dan hidup dalam ketakutan itu terasa amat menyiksa. Tubuhku
tidak mau diistirahatkan. Berbulan-bulan aku tak dapat tidur, baik di waktu
siang maupun malam.
Mataku tidak dapat berkompromi dengan cahaya. Apa yang kulihat
seperti bintik-bintik besar dan membayang. Aku kepayahan untuk menentukan
waktu. Karenanya aku tidak menyadari bahwa hari bisa berganti.
Pada masa-masa itu di dalam kepalaku selalu terdengar suara-suara
dan otakku menerjemahkan segala bunyi, sinar, sentuhan, ucapan, serta pengertian
secara berlebihan.
Pada masa-masa itu aku bukan seseorang. aku tidak bisa mengingat.
Sekuat apapun aku berusaha memancing ingatan itu ia tetap tidak datang.
Pelan-pelan aku tahu ia bersembunyi di lapisan bawah sadarku. Pada masa-masa
itu aku merasa tak berguna. Kemudian hampa. Ketika kau menanyakan perasaanku
hari ini, aku akan membentakmu tanpa
alasan. Ketika kau memaksaku duduk di depan komputer dan menggiringku untuk
melihat foto-foto masa lalu untuk mengingatkan bahwa aku pernah jadi seseorang
yang hidup dan bahagia, aku hanya menatap lurus-lurus. Aku tak mampu mengolah
kenangan pada gambar-gambar.
Bapa, aku tahu kita jengkel dan mangkel akibat pembiaran ini. Kita
kebingungan mencari tahu sendirian di tengah situasi serba panik dan tanpa
petunjuk. Bapa tahu aku membutuhkan kepastian untuk menyusun kembali
mimpi-mimpiku. Untuk menyiapkan hatiku. Bapa tahu aku masih muda, masih ingin
melihat dunia, masih ingin memijakkan kaki di banyak tempat. Bapa tahu dan kita
tidak berdaya.
Aku tahu bapa…aku tahu bapa sedih akan nasibku dan merasa memegang
tanggung jawab penuh terhadap masa depanku. Terhadap tubuhku yang tak lagi
sempurna. Sebab dulu aku lincah. Bapa merasa berdosa membikin aku seperti ini
karena bapa sendirilah yang dulu mencarikan dokter orthopedi untukku. Sebab
bapa tidak kuat menyaksikan tubuhku yang tak lagi kuat menanggung sakit. Tetapi
bapa, itu bukan salahmu sepenuhnya. Kebodohan kita adalah keluguan orang
percaya. Kita tidak mencaritahu lebih jauh karena aku sudah terlanjur payah.
Yang kau inginkan hanya kesembuhan bagiku meski bukan itu yang kita hadapi
kini.
Bapa…kemarilah sebentar. Bantu aku
tengok hatiku yang pernah halus. Kita berdiri di keluasan padang
seorang diri. Dengan rumput-rumput yang terpangkas rapi oleh
gigitan kelinci. Lihatlah senja di sebelah kiri langit yang sempit itu. Langit
seolah menunggu kita mendekatinya. Tapi aku sudah kelelahan membayangkan
mendekatinya sebab cakrawala selalu menjauh ketika kita dekati. Tidakkah engkau merasa keluasan alam ini
memerangkap kita dalam segumpal kesedihan yang tak mampu kita urai?
Tetapi dari kejauhan kau menangkap
nada-nada kelenengan yang membangunkan kesadaranmu. Kau suruh aku
memperhatikan. Seperti gamelan menyelaraskan nada, begitu
ungkapmu. Tetapi
aku tidak mendengar apapun kemudian merasa kecewa, itu adalah kesedihan
berlapis kesedihan.
Kau dengan sabar memintaku untuk
mendengarkan. Ketakutanku yang terasa paling jejak itu kau geser pelan-pelan.
Kau dendangkan sebuah lagu untukku. Menyesuaikan nada dengan bunyi-bunyi senja.
Tetapi ketakutanku belum lewat. Sebab sebentar lagi malam tiba. siapa yang
mampu bertahan, siapa yang akan ditinggalkan.
Dalam senja kita berangkulan meski aku
bukan lagi anakmu yang kecil. Engkau yang memelihara aku dengan cinta dan kesedihan
yang sama. senja tidak pernah sebentar bersamamu. ada perasaan belum tuntas.
Seperti Hanoman yang menghentikan matahari, ada tugas yang belum paripurna.
Apakah Tuhan adil Bapa?
Kau berkata Tuhan adil bila kau melihat ke bawah. Tuhan juga adil
meski engkau memandang ke atas. Dan ujarku, meski dendam menghidupkanku lebih
daripada cinta. Meski benci menumbuhkan harapan yang hanya denganNyalah aku
rela berbagi. Kecurigaan akan masa depan membikin aku jengah. Ketidaknyamanan
ini memuakkan.
Tetapi engkau marah, baru sekali itu engkau marah. Kau mengulang
cerita tentang Simon dari Kirene. Kau mengingatkanku tentang Yesus kristus.
Tentang salib yang harus kita panggul. Tentang undangan bersama Dia yang masih
berlaku. Kau berkata, aku tidak peduli apabila Alkitab tidak lagi mempesonamu.
Tetapi lebih mudah untuk kembali daripada melarikan diri.
Bersamamu bapa, semua terasa sederhana dan bisa kita hadapi.
Ketika hatiku menipis dan asam seperti jeruk nipis kau menemaniku melewati fase
itu. Bersamamu bapa, tidak masalah berapa banyak waktu yang kita butuhkan untuk
sampai pada pemenuhan tentang berserah dan mengucap dengan ikhlas : ya
sudahlah.
Pernah terlintas dalam hidupku bahwa
sebuah cerita tidak mesti selesai. Tetapi aku butuh ending. Aku butuh tahu
sebab aku perlu merasa pasti. Kemudian apa artinya sembuh? Tuhan
tidak pernah menjanjikan kamu bahagia mengikutinya, barangkali ia benar. Tetapi
ia menjamin akan bersamamu sampai akhir zaman. Ini bisa juga salah. Tetapi
selalu ada kesempatan untuk kembali. Selalu ada moment-moment di mana dirimu
merasa perlu kembali. Selalu tercipta kekosongan di hatimu yang
berdenyut-denyut minta dipenuhi. Kamu tahu itu meski menyangkalnya berulang
kali. Ada masa di mana kemarahan tidak menjauhkanmu darinya. Sebab kamu tahu
meski menyangkalnya, perpisahan dengannya tidak membuat hidupmu kian teratur.
Dan dalam kemelut yang hanya dirimu merasai, kamu mengakui bahwa dirimu perlu
dipenuhi. Karena itulah akhirnya kamu kembali.
Karena itulah aku kembali.
Sampai akhirnya aku mampu mendoakan dokter Lutfi. Supaya hanya
aku, pasien terakhir yang ditelantarkan dan dibiarkan pada informasi tak
sempurna. Sampai akhirnya aku bersyukur terhadap apa yang kumiliki untuk
menjalani hidup yang lebih tenang, tentram dan lapang. Sampai akhirnya aku
memohon pada Tuhan yang kuingat pada masa kanak-kanakku yang lurus dan tulus,
supaya pasien-pasien lain yang terlanjur tanpa harapan bisa berdamai dengan
hati dan menemukan jalan yang sudah kau persiapkan. Sampai akhirnya timbul
kesadaran, bahwa tidak semua doa
dikabulkan tuhan. Tidak semua sedih itu perih.
Kau ingin aku bertumbuh dalam Kristus sepanjang hari.
Aku pulang hari ini bapa. Dengan tubuh yang tidak lagi utuh.
Dengan hati yang lebih penuh. Rayakan pulangku bapa. Sebab hidup menyediakan
mimpi yang lain.
kau mengutip ayat alkitab yang lain, bunyinya : Sebab itu hatiku bersukacita dan jiwaku
bersorak-sorai, bahkan tubuhku akan diam dengan tentram. Engkau memberitahukan
kepadaku jalan kehidupan. Engkau akan melimpahi aku dengan sukacita di
hadapanMu.
Bapa, aku ingin mengenangmu dengan bahagia. Sewaktu semangatmu
lebih terang dari pendar cahaya tubuhmu yang kian padam. Aku ingin mengenangmu
dalam tawa. Sewaktu langkahmu masih pepat dan menimbulkan bunyi di tengah
suaramu yang kian teredam. Aku ingin mengenangmu bersama cahaya. Sewaktu
harapan memelukmu dan cinta menumbuhkan kenyataan pahit yang mampu kau acuhkan.
Aku ingin mengenangmu sepanjang malam. Sewaktu iman terasa benar dan besar.
PS
: dear readers..ini tulisan saya di januari 2009, setahun setelah merasakan
jadi difabel, 22 usia saya waktu itu. sempat merasakan kaki yang utuh selama
20tahun, setelahnya harus mengenakan AFO – ankle foot orthosis sampai nanti
tuhan panggil suatu hari.
waktu
itu saya merasa hidup sudah selesai. pikiran, hati dan tubuh saya gak mau
diajak kerjasama. lima tahun setelahnya
ketika saya mengamati episode-episode hidup yang tak lucu, hari ini saya
bersyukur masih bertahan hidup. jangan takut dan menyerah pada hidup ..
berjuanglah dalam lotere burukmu .. hari-hari baik masih banyak
judul
tulisan ini ‘rayakan pulangku bapa’ terinspirasi lagu celebrate me home –
kenny loggins yang dinyanyikan ulang oleh ruben studdart. rcti di tahun 2008
menampilkan tayangan american idol, dan jingle celebrate me home tersebut
bergema di telinga saya. kondisi saya waktu itu seperti terpaku di tempat
tidur, tak dapat bergerak. karenanya ketika sudah dapat duduk dan menulis,
judul inilah yang saya pilih.. sebab saya ingin merayakan hidup.
berkah
dalem buat mu.. terus genggam dirimu sendiri .. selamat merayakan hidup dan
berkarya bagi peradaban ..
Tidak ada komentar:
Posting Komentar