Namanya mungkin Indah. Tapi aku dan kawan-kawan sekampung terlanjur memanggilnya Sindah, barangkali dari si Indah.
Bagiku
ia tak terlalu indah. Bukan karena aku memang pernah bermusuhan dengannya
semasa kecil. Tapi kulitnya yang coklat kopi dan rambutnya yang tipis bulu
jagung tidak membuatku iri.
Sampai
sekarang ia menoleh jika dipanggil Sindah. Anaknya satu. Suaminya entah di
mana. Sudah pergi sebelum bayinya lahir, menurut kabar angin yang berkembang di
sekitaran perumahan kampung.
di kampungku terdapat
kebun buah yang tak terurus milik bang Zen yang diisukan paedophil, rumah-rumah
agak mewah di daerah lebih ke depan, tadinya itu adalah tanah keluarga bang
Sanawi yang dijual guna keperluan pernikahan anak-anak mereka, rumah yang lebih
sederhana di tengah, dan di belakang di dekat kali ada 4 los kontrakan, serta
rumah-rumah petak dengan sumur di luar yang dipakai bersama-sama. Sindah
tinggal di sana.
Bude
warti, rewang keluarga kami senang
bergosip. Ia
senang mengintip los-los kontrakan sepulangnya dari bekerja. Kami memang masih
bertetangga, ia juga tinggal di
salah satu los rumah petak kontrak. Jadwal kerjanya dari pukul tujuh pagi hingga empat sore
dan ia mendapatkan jatah libur di hari minggu. Bude warti senang berlama-lama
di rumah kami. Ia suka mengambil tanpa izin bumbu-bumbu
dapur, atau minyak goreng, sabun dan detergen, juga kertas dan pena. Papa tidak
pernah menegur meski upahnya bekerja jauh lebih baik ketimbang rewang-rewang
yang bekerja di rumah-rumah tetangga. Masalahnya kami punya anjing, dan hanya
bude warti yang mau bekerja di sini.
Tadi
pagi bude warti datang dalam gundah. Ia mengatup mulut rapat-rapat. Dan baru
bersuara ketika mama berangkat ke toko menyusul papa pada pukul sembilan pagi.
”Sindah
itu memang menderita sekali hidupnya. Waktu mantenan saja suaminya malah mandi
berdua sama mbak pepe jangkung. Si Mami mergokin mereka telanjang di kamar mandi
umum. Belom ada dua hari nikah udah ditinggal minggat. Kemarin lahiran. Ibunya
sibuk cari utangan. Saya sih kasihan tapi sudah gak percaya untuk pinjemin
duit. Sama-sama orang susah. Bukannya nyicil bayar utang malah sering ngelupain
punya utang.”
”Dijadiin
sinetron atau buku bagus Mars.” katanya mengakhiri
pembicaraan sambil senyum menyindir kepadaku yang membenci sinetron dan belum
juga berhasil menerbitkan buku.
”Siapa
namanya bude?”
”Siapa?” Ia berhenti memeras kain pel.
”Anaknya
Sindah.”
”Lupa
saya. Namanya terlalu bagus untuk orang miskin macam dia.”
Pikiran
ku langsung beralih ke Rus, seorang penjual pangsit di SD tempat dulu aku
bersekolah. Ketika lulus SMP, aku dan Dimas
kawan sekolahku, soan ke rumahnya dan berkenalan dengan si kecil Luis Alfredo berwajah jawa.
Memang apa salahnya memiliki nama yang bagus? Yang penting kan akhlaknya juga
bagus. Aku kembali mengamati bude warti, kini sedang memasukkan baju-baju yang
sudah di setrika.
Aku
memandang punggungnya dan terbersit pertanyaan di hati, siapa yang berhak menentukan
seseorang miskin atau kaya hanya dari namanya? Memangnya kenapa kalau nama
bagus dan berbau luar negeri disandang oleh orang miskin? Aku terganggu sekali
dengan kata-kata miskin itu. Darimana sih bisa ditentukan sebuah nama itu bagus
dan tidak. Kabul dan Andreas, sama-sama bagus kok. Sama halnya dengan Tatiana.
Mau dipanggil Tati atau Ana, derajat manusia-nya kan sama saja. Manusia.
”Cepet
mandi, gak sekolah apa? Sekarang Jakarta macet di mana-mana. Mau siang juga,
tetap macet. Kamu naik busway saja Mars. Biar berdiri, tapi lebih
cepat sampai sekolah.” tegurnya karena aku tak kunjung juga bergerak.
”Isabella
Nadine Amalia.”
”Nadine
Chandrawinata kali, putri Indonesia.”
”Ih
bukan.”
”Siapa?”
”Nama
anak Sindah.”
Aku
diam.
”Gak
cocok.”
”Apanya?”
”Ya
nama anaknya, apalagi?”
”Sudahlah
bude, biarkan saja.”
Bude
warti uring-uringan sendiri. Samar-samar suaranya terdengar di antara desis
lele goreng. ”Tunggu lima menit lagi, sudah bisa kamu makan sayur asem dan lele
ini. Jangan lupa makan sebelum berangkat sekolah.”
”Eh
ini bocah, disuruh mandi masih muter-muter.. kamu ini tho ya gak mau dengarkan
nasihat orang yang lebih tua. Kamu gak boleh seperti Sindah lo Mars! Itu kenapa papa gak izinkan kamu pacaran kan. Kamu
cantik. Harus bisa jaga diri. Jangan mau dipegang-pegang laki-laki. Kalau pacar
kamu nanti sayang sama kamu, pasti dia jagain kamu. Jangan mau dibodohi-bodohi, jangan jadi murahan. Kalau ciuman pikir-pikir
dulu deh. Anak SMA kok cium-ciuman.”
”Sindah
memang kelewatan. Sudah orangtuanya pengangguran, sekolah gak tamat, bunting di
luar nikah, nyusahin tetangga aja.” omelnya.
”Kenapa
bude warti yang repot?”
”Ya
iya tho....nanti ada apa-apa ngutang, nyusahin tetangga. Sudah berapa juta
uangku dipinjam mamaknya. Mau ditagih ya gimana...tapi ya kasihan.. serba salah
lah. Padahal aku butuh uangnya.
kalau aku perlu hari ini dan mereka gak bisa bayar, gimana...serba susah kan.”
”Ya
gak usah dipinjemin kalau memang gak ada uang.” sahutku.
”Bentar
lagi jadi pelacur seperti kakaknya. Lingkungan kita memang sudah berubah.
Anak-anak sebaya kamu sudah jadi pepe semua.”
Aku
terdiam. Akulah yang memprakarsai julukan pepe alias pelacur. Awalnya hanya
iseng semata, tapi lama-lama aku merasa sangat bersalah. Pepe. Perempuan
Pelacur. Aku benci pernah memprakarsai julukan ini. Awalnya hanya bisik-bisik
untuk memberitahu temanku laki-laki yang digoda mereka ketika hendak berkunjung
ke rumahku. Karena aku khawatir temanku laki-laki akan jatuh hati pada mereka.
Aku lugu dan tak pikir panjang. Aku tak sempat menyadari, pilihan kataku
melukai mereka, entah mereka pernah dengar atau tidak. Aku tetap merasa
berdosa.
Kosakata
ini digunakan bude warti terus menerus. Ia menambahkan embel-embel bentuk fisik
untuk memudahkan pepe mana yang sedang ia bicarakan. Mungkin ia cemburu sebab
mbak-mbak pepe tetanggaku itu dapat mengisi rumah kontrakan mereka dengan
perabot lengkap dan alat elektronik masa kini.
Isabella
Nadine Amalia. Nama itu menetap dalam memori seperti harum parfum palsu yang
tak lepas pergi. Meninggalkan pilu yang dibalut kebanggaan. Keindahan yang
tersisa untuk Sindah.
Aku
teringat Sindah. Kenangan yang paling kuingat mengenai dia adalah ketika kami
berusia tiga tahun. Awal permusuhan anak kecil. Aku berkelahi dengannya.
Kebetulan waktu itu aku menang dan membuat pelipisnya bocor karena berhasil
menancapkan besi ujung payung ke dahinya. Jahat memang aku.
Aku
tak rela kalah karena merasa lebih kuat dan jauh lebih berada sehingga berhak
menindasnya. Kukira waktu itu kesombongan ku karena terlalu dilindungi dan
dimanja oleh pengasuh.
Sindah
pulang ke rumah berdarah-darah dan aku ke warung terdekat membeli jajanan yang
sudah dilarang baik oleh mama dan Suster Tiek, pengasuh ku itu. Tiba-tiba ada
yang mencolek punggung ku dengan kasar. Ayah Sindah melangkah dengan wajah
ganas dan mengamuk luar biasa sambil meneriakkan kata-kata kasar dan tak sopan
mengenai keluargaku yang kebetulan jauh lebih berada darinya.
Sebagai
anak kecil pada waktu itu aku luar biasa tersinggung karena ucapan ayah Sindah.
Sebelum lari terbirit-birit pulang aku lempar dia dengan jajanan yang sudah
terlanjur terbeli, tepat mengenai wajahnya. Aku menangis geru-geru sambil
berlari, sakit hati akan penghinaan tanpa menyadari sudah menghina orang lain.
Aku
yakin luka Sindah tak seberapa parah. Tapi malamnya aku ingat dimarahi
habis-habisan oleh mama dan papa setelah lebih dulu dimarahi dan dicuekin
Suster Tiek, abang pun ikut-ikutan mendiamkan
aku. Hari itu Suster Tiek memberikan uang empatpuluh ribu rupiah untuk uang
damai dan berobat ke Puskesmas. Untuk ukuran uang waktu itu cukup banyak sebab
aku ingat bisa membeli sepiring rujak bebek dengan sekeping logam limapuluh
perak.
Sejak
hari itu, Suster Tiek lebih ketat menjaga ku dan aku terlanjur malas bermain
dengan anak-anak kampung yang bau dan liar karena sudah mengenal teman-teman
sekolah yang lebih bersih dan beradab, meskipun pada kenyataannya aku terpaksa
mengakui bahwa aku tetap anak kampung. Justru aku yang ingin memisahkan diri dari
mereka.
Kini
Suster Tiek sudah tidak menjagaku.
Lingkungan
tempat aku tinggal berubah pesat. Tetangga baru tinggal dan pergi silih berganti
tanpa menyempatkan waktu memperkenalkan diri. Teman kampungku makin tergusur
dan pindah ke rumah-rumah kontrakan yang makin kumuh dan sempit.
Ruang-ruang
lusuh sisa keakraban semasa kecil masih meninggalkan jejak di tengah padatnya
pemukiman yang makin mentereng dan ngejreng.
Aku
berangkat sekolah pukul sebelas siang. Rumahku terletak di ujung gang. Aku
harus berjalan agak jauh untuk keluar perumahan dan menunggu angkutan umum. siang
ini mentari terik. keluar pagar rumah aku berpapasan dengan beberapa orang
tetangga, mereka kasir dan penjaga toko. mereka tidak membalas senyumku,
telinganya tersumpal earphone murahan. hari itu aku sengaja tidak naik ojek
yang biasa mengantarkan aku ke ujung jalan untuk melanjutkan perjalanan dengan
bus kota. lamat-lamat aku berjalan di belakang mereka, sebuah gang dengan nama
seorang haji, menyusuri jalan bocel, dan lagu the bagindas terdengar dari
kemrosok earphone.
aku berjalan tanpa
bercakap-cakap, memperhatikan betis bekas terpanggang knalpot. pupur yang
luntur pada wajah.
kami seharusnya sebaya,
aku sekolah dan mereka bekerja. jam-jam untuk mencari upah dan bukan sekolah.
tidak mudah, tidak mudah.
aku ingat wajah tapi lupa
nama. mereka adalah orang-orang dari masa laluku, kami yang bekejaran bermain
petak umpet, meneriakkan Inglo, bekejaran bermain benteng dan segala permainan
masa kecil.
lamat-lamat aku berjalan di belakang mereka. Sepanjang jalan aku mengamati daerah tempat
dulu ku berlari-lari dan bermain-main.
Aku merasa
bersalah karena selama ini tidak terhubung dengan Sindah dan kawan-kawan lain karena
terlalu disibukkan dengan PR, ekskul, dan kursus.
aku seperti mendengar
dengung mantra, ada suara hati lepas terdengar di telingaku, tapi itu bukan
milikku.
selalu ada kesempatan
untuk berdoa di tengah perjalanan yang tak terusik mengenai sebuah mimpi.
jadikanlah hari ini sederhana, aku tak pernah meminta lebih, kecuali sebuah
harapan tegang, yang bertahun-tahun kupegang, bahwa besok, yah besok, besok
akan agak lebih baik.
Aku kembali teringat Sindah. Membayangkan rumahnya,
anaknya, hidupnya
: sejumput angan-angan dengan lagu-lagu dewi persik.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar