Bus melaju lancar melewati jalan tol. Sebulan aku tak bersua denganmu Jakarta, rindu itu terasa benar nyata. Ini adalah kota tempatku tumbuh, tempatku hidup, tempatku bermula, tempat ketika akhirnya aku bisa menyebut dua kata : rumah dan keluarga. Kuharap ini bukan ilusi, bukan imajinasi, bukan sekedar nama.
Mentari merambat mengintip dari sela gedung pencakar langit, memantulkan sinarnya
pada kaca-kaca jendela. Ada haru menyelinap. Kelegaan yang indah muncul bersama
sesak yang pedih. Aku pulang.
Aku hampir tujuh belas. Akhirnya memutuskan pulang dan berdamai dengan hati
setelah perjalanan berliku mencoba menemukan jati diri, mencoba mengetahui sepenggal
kenangan di sana sini. Aku masih bersyukur memiliki banyak waktu untuk belajar,
untuk melihat, untuk merasakan, untuk mengenal, untuk memahami. Aku percaya
pengalaman dan pemahamanku masih serba terbatas. Karena itu aku tak akan
menolak lagi rerepih pengertian yang susah payah kukumpulkan di sana sini.
23 Juni. Masih tersisa 35 lagi hari sebelum tepat di pukul 10 pagi usiaku
genap tujuh belas dan kau akan menemukan surat ini. Barangkali kau akan
membacanya seketika, barangkali kau akan menyimpannya dan terlupa, tak sempat
terbaca atau terbaca di tahun-tahun kemudian ketika aku tak lagi remaja. Tak
masalah. Kapan pun kau membacanya aku akan merasa sangat bahagia. Bebanku
terangkat dengan menuliskan perasaan hatiku, aku menghargai diriku untuk keberanian
mengungkapkan isi hati. Ini adalah sebuah pencapaian.
Hanya sebuah surat yang mampu kutulis untukmu. Sebuah refleksi diri. Sebuah
pengalamana batin. Dengan surat aku mampu bersuara banyak. Karena bila kita
berbicara selalu ada sesuatu yang menghambat kita untuk saling mengerti dan
memahami, padahal kita tahu kita sama-sama saling mencintai dan sedikitpun tak
terbersit keinginan untuk melukai. Tapi kita harus sama-sama sepakat bahwa kita
melukai satu sama lain, lebih parah dan makin parah. Dengan surat kita tak perlu
saling berteriak DENGARKAN AKU !!! Karena surat tak punya pita suara. Surat
hanya medium pembawa pesan. Dia (semoga) berbicara dengan hati, bukan dengan
caci maki.
*****
Langit megah tak berpenyangga. Di Jakarta kau bisa menyaksikan bintang di
Planetarium di Taman Ismail Marzuki, karena langit sesungguhnya tak
menghadirkan bintang. Kita suka yang tipuan, karena itu kita datang ke Planetarium
hanya untuk menyaksikan bintang yang bersinar hangat dan bersahabat.
Tapi di desa Gantang di Magelang, langit tidak menipu. Bintang-bintang itu
sungguhan. Cemantel di angkasa. Kau bisa merentangkan tangan dan memetiknya. Kau
betul-betul bisa menjangkaunya. Malam gelap. Ada sedikit cahaya dan angin berhembus
dingin. Terdengar pula krik krik krik jangkrik. Dunia terasa sangat luas,
sangat bersih dan langit betul-betul megah. Cembung seperti mangkuk raksasa
yang ditelungkupkan.
Mama, di Gantang aku merasakan sebuah keluarga, keluarga yang asing namun
menghormati. Keluarga yang miskin namun menyayangi. Tidak seperti kita.
Aku menaiki sebuah undakan yang licin berlumut. Di depanku tampak
halaman luas dan dua ekor sapi ditambatkan dengan kotoran bau di sekelilingnya.
Di sebelah kiriku adalah tanah yang ditinggikan dengan batu kali besar dan
kasar. Terdapat tiang gantungan untuk menjemur pakaian sekaligus tempat untuk
menjemur panenan.
Aku berjalan pelahan dan sudah tiba pada bagian terasnya yang sempit. Di
sebelah kanan adalah kandang ayam dan merpati. Sedangkan di sebelah pojok kiri
terdapat susunan balok kayu berdebu dan ranting-ranting kayu yang kurus
panjang.
Aku ketuk pintunya yang tidak dicat apalagi dipelitur. Ku disambut oleh
mereka. Rumah ini gaya tradisional tetapi kusam sehingga tampak jorok dan
menakutkan. Garis-garis cahaya berkedip-kedip lewat genteng-genteng retak di
atasku. Bau ruang pengab. Dan ketika ku menengadah kayu-kayu melintang
menyangga bangunan rumah. Sedikit sinar berpendar-pendar pada bagian kayu di
mana genteng diatasnya telah bergeser dan menunjukkan celah kecil tempat rintik
hujan lolos ke dalam rumah.
Mama…aku mulai memikirkan rumah kita. Dari segala segi apapun, rumah kita
sangat nyaman. Tapi aku selalu merasa tak ingin kembali ke rumah yang kita
tempati. Aku lebih merasa asing di rumah kita daripada di sebuah gubuk reyot
ini. Aku selalu takut untuk kembali ke rumah kita. Entah mengapa aku tak pernah
merasa terlindungi dan dilindungi. Lalu aku menangis sebab memoriku bekerja dan
aku mengenang semua. Lalu kuputuskan untuk melupakan masa lalu dan berdamai
denganmu.
Aku tersindir ketika melihat kasih seorang ibu terpancar kepada anaknya.
Mama tahu, ibu itu menenangkan tangis anaknya dan aku kembali mengingatmu. Kau
tak pernah meredakan tangisku. Dan aku bermimpi.
Aku berlari menujumu. Kau dengan sigap menangkap aku. Pandanganku mengabur.
Kau memangku aku sambil menyeka airmata yang mengalir hangat. Mengapa menangis?
begitu ujarmu. Ujung jemarimu kasar menebal karena pekerjaan berat mengurus
rumah tangga, tapi ujung jemari itu menjalarkan nyaman yang menentramkan ketika
kau mengusap pipi dan punggungku. Aku mengirimkan isak dan sedihku. Kau
mengerti. Kita tak banyak bercakap-cakap dan aku merasakan kita justru telah
berbicara sangat banyak. Aku mendengar degup jantungmu. Kita perempuan yang
sama berduka, sama jadi korban sekaligus pelaku kekerasan.
*****
Malam gelap pekat
kuterlelap dalam gelisah. Terbangun ketika kudengar suara memanggil nama yang
bukan milikku. Mengigau. Terbangun dalam debar yang keras dan peluh dingin
muncul dari pori-pori. Ternyata sunyi, hanya gelap mengelabui mata. Namun bunyi
nama itu seakan masih tergantung di langit-langit enggan untuk pergi. Debarku
kian keras semakin keras hingga lama-lama melemah. Hembusan nafas justru
terdengar lebih jelas. Datang gelap makin pekat. Kudengar panggilan sayup-sayup
memanggilku, mbak, mbak Wuli....cah
ayu....rene’o, aku ibumu.......[1]
Mimpi hanya mimpi tak
inginku terjaga. Mimpi hanya mimpi izinkan aku terlena. Mimpi hanya mimpi
biarkanku bahagia. Mimpi hanya mimpi jadilah nyata.
Aku telah memimpikan
semua sampai tak ada lagi yang tersisa. Tik tok tik tok bunyi jarum jam. Bias
cahya rembulan membuat garis kuning remang. Tapi malam ini gelap menampakkan
diri dan aku sendiri. Suara jangkrik lamat-lamat terdengar dari kejauhan. Sementara
angin malam telah menyenandungkan lagunya. Saat itu aku rindu pulang. Dingin
menyusup dinding batu. Aku membalik tubuh. Telungkup hampir meringkuk. Bulir
airmata telah menjadi dingin sebelum menyentuh pipi.
Aku ingin menjadi embrio, hangat dalam rahim mama meringkuk nyaman dilapisi
air ketuban. Menghisap sari-sari makanan lewat ari-ari. Menggantungkan hidup
pada ibuku. Aku menjadi seperti tak merasa. Nafasku tercekat. Memejamkan mata,
pupil mataku bergerak-gerak. Menumpahkan bulir airmata yang menjelajahi hidung,
ke leher dan pecah diatas bantal. Aku menangis tanpa suara. Takut ada yang yang
terbangun mendengarkan sedanku.
Terasa getir. Tak lagi bertenaga. Hanya tersisa tiga kata. Aku ingin
pulang.
Bintang…….bintang di langit. Ribuan berpendar di langit malam. Tolong
jatuhkan satu bintang. Satu saja. Tidak banyak. Kau kan masih punya seribu
kurang satu. Tolong ya…..hanya satu…..untuk oleh-oleh mamaku. Terima kasih loh….aku
tak merepotkanmu kan? Tolonglah bintang…..jangan
kau pergi seperti yang lain.
Mama…..sudah selama itukah aku membebani hidupmu? Rasanya baru kemarin
ketika kau membantuku menyisir rambut dan membedaki aku. Lucu ya….masih ingat
tidak, sejak papa pergi mama sering nguber-nguber aku (seperti anak tetangga
yang nguber-nguber ayam bang Idik) agar menyisir rambut. Karena aku paling
malas sisiran dan mogok. Tak peduli pada jasad ini. Jarang mandi, jorok, dan
berdiam diri di kamar yang pengab. Kau pasti akan mengoceh macam-macam. Aku
rindu suaramu ma.
Hebat ya…. Mengingat betapa waktu begitu cepat berlari. Rasanya belum lama
ketika ku belajar menyanyi ‘ambilkan
bulan bu untuk menerangi tidurku yang lelap di malam gelap’ atau belajar
mengeja bersamamu. Kau akan memarahiku karena aku malas membaca. Lucu. Mama
bertanya ini bacanya apa, lalu aku menjawab bakso padahal jelas-jelas tertulis mangkuk.
Masih ingat tidak waktu kau membantuku menghafal nama-nama ibukota provinsi
di Indonesia. Membantuku mengingat Palangkaraya ibukota provinsi Kalimantan Tengah.
Kau membuat tanda X dengan jari, ‘Ini
palang! Ada di tengah’ begitu katamu dulu. Atau membantuku belajar sejarah
Diponegoro, Pattimura, Sultan Agung , Panglima Polim, Sisingamangaraja, Imam
Bonjol, dll.
Atau kau membantuku mengerti perkalian dengan menggunakan metode jari. Kau
mungkin tidak sabaran atau aku yang kelewat nakal. Aku tak tahu. Yang kuingat,
belajar perkalian denganmu seperti di neraka sebab kau gemar menyabetku hingga
lebam membiru. Aku lebih menyukai cara Petra sahabat kecilku mengajari
ini itu.
Meskipun begitu, aku memiliki kenangan manis denganmu mama. Ingat tidak,
dulu aku selalu merengek minta diajak jalan-jalan. Sepulang dari gereja Mama
sering mengajakku makan di Texas Chicken Blok M yang kini terasa begitu kumuh.
Sekarang aku sudah gak doyan makan fast food. Ayam Texas tidaklah selezat dan
semendebarkan seperti ingatan masa kecilku. Lebih enak nasi uduk Nyak Odah
sebab mama selalu menyiapkannya tiap pagi untuk bekalku. Atau pecel ayam di
jalan Brawijaya yang sesekali dibelikan Mas Rama lama berselang. Nasi
uduk dan pecel ayam. Memang kenangan indah melekatkan rasa sesuatu,
melanggengkan banyak hal.
Betapa sering dulu kita bersenang-senang, kadang kau juga suka menolak
karena jalan-jalan terlalu sering membuatku kecanduan. Mama jadi terlalu sibuk
untuk menemaniku gembira, sekedar melihat mainan yang terpampang di etalase
toko.
Lucu ya, sekarang terbalik. Aku jadi sering keluyuran, jalan-jalan tanpa
ditemani bahkan lebih sering mengendap-endap pergi. Dan mama akan berusaha
mencegahku untuk tidak pergi. Karena hari sudah gelap. Karena tak baik gadis
yang belum genap tujuh belas keluyuran sendiri. Karena tidak akan ada yang
mengantar jemput membawaku pulang dengan selamat.
Dan aku tak peduli, nekad, sok berani, sok mandiri, sok asyik, sok gaul.
Tetapi tidak sehebat dan segagah itu. Sebenarnya aku (juga) takut hanya aku
terlalu malu untuk mengakuinya di depanmu. Aku ingin menunjukkan bahwa yang
punya kuasa pada diriku adalah aku. Aku gengsi mengaku padamu bahwa semua itu
hanya pura-pura agar aku terlihat tegar dan tahu apa yang kuinginkan. Padahal
tidak. Pergi adalah pelarianku dari kecewa dari takut. Tapi pergi ternyata
tidak banyak membantuku.
Dengan pergi aku hanya ingin memberimu bukti bahwa aku bukan anak kecil
yang harus tunduk pada perintahmu. Aku berusaha menjadi dewasa sebelum waktunya
dan ternyata aku salah. Aku masih membutuhkanmu. Karena di dalam diriku, aku
hanyalah seorang gadis kecil.
Aku membutuhkan mama yang mengkhawatirkanku dan bertanya-tanya di mana aku
berada ketika tidak pulang pada malam hari lalu berdoa dan memohon
keselamatanku. Dan ketika ku kembali disambut dengan kecupan sayang karena aku
pulang dengan selamat tanpa kekurangan apa pun. Tapi yang kudapat darimu adalah
tamparan bertubi.
Aku memerlukanmu ma. Aku merasa
sangat sendirian. Mama tak pernah memberiku kesempatan untuk memberitahu
bagaimana perasaanku sesungguhnya. Aku hanya membutuhkan seseorang untuk
mendengarkan.
Aku nakal seperti yang sering mama katakan. Bahkan mama punya jadwal rutin
bertemu guru BK dan meminta maaf kepada orang tua yang anaknya kusakiti, kubuat
luka. Aku memang nakal sangat nakal. Tapi mama, aku tak bisa selamanya
menyakiti orang lain karena hatiku sakit. Aku tak bisa berbuat seenaknya dengan
membuat orang lain terluka dan sengsara karena hatiku sakit. Aku tak pernah
memiliki kawan.
Mama, mereka enggan menemaniku.
Oleh karena itu aku mengubah sikapku dan aku luar biasa jengkel, sebab yang
kini muncul adalah sifat minderku yang berlebihan. Di satu sisi mungkin aku
nakal dan tidak peduli apapun namun pada sisi yang lain aku sangat rapuh,
sangat takut sangat minder. Dan aku membencimu.
Aku tak bisa terus-terusan membencimu dan menumpahkan kesal karena hatiku
terluka. Dengan surat ini baru pertama kali aku mengungkapkan perasaanku
padamu. Aku harap kau mengerti dan mau memahami. Aku tak pernah mengerti
mengapa selalu merasa marah, merasa dikucilkan dan tidak diberitahu apa-apa.
Aku bingung dan kesepian. Aku tak tahu cara lain untuk menunjukkan perasaanku.
Aku lakukan semua itu sebab aku tak mampu berterus terang dan mengatakan bahwa
hatiku terluka. Satu-satunya cara untuk memberitahu kepedihan dan lukaku adalah
dengan menyakiti orang lain. Dengan menyakitimu. Sebab aku butuh perhatianmu.
Aku membutuhkan pengakuanmu bahwa kau mencintaiku anakmu.
Aku lelah ma. Aku ingin menghentikan kebiasaan kita untuk sementara. Aku
ingin kita rukun dan mesra. Kumohon, sehari saja bisakah kau bersandiwara bahwa
kita telah menjadi keluarga yang rukun dan mesra ?
Mama….mama belum pernah bilang bahwa aku cantik, putri kebanggaan mama.
Sewaktu komuni pertama atau krisma, mama hanya bilang ‘kamu sudah bagus, sana
duduk dengan teman-teman’ padahal aku ingin sekali kau mengatakan bahwa aku
cantik dengan gaun putih seperti malaikat, lalu merapikan rambutku
dan menyelipkannya ke belakang telinga agar aku tampil sempurna, lalu kau akan memegang
kepalaku dengan kedua tanganmu, menyentuh telingaku dan mengecup keningku,
memberiku semangat. Seperti yang dilakukan mama teman-temanku.
Dan akhirnya aku berjalan menuju altar masih berharap setelah misa kau akan
memberiku pelukan dan kecupan. Tapi kau tak pernah melakukannya.
Mama…..aku belum pernah berkata ‘mama, Wuli sayang mama.’ Lalu mencium
pipimu dan kita akan berpelukan, bercerita. Selama tujuh belas kurang
tigapuluhlima hari kita belum pernah seperti itu. Aku terlalu malu mengatakan
bahwa aku sayang mama. Karena mama juga tak pernah bilang ‘mama sayang Wuli’.
Iri sekali jika memperhatikan anak-anak lain melakukannya, dibelai rambutnya
dan didengar kisahnya.
Masih ingat tidak, waktu aku kelas 2 SMP. Bu Retno menyuruh murid-muridnya
membuat kartu tanda cinta untuk ibu. Dinilai tanggal 23 Desember (sehari
sebelum libur Natal) setelah kartu tersebut ditunjukkan kepada mama
masing-masing anak pada hari Ibu. Lalu kartu itu harus diberi komentar baru dapat dimasukkan nilai oleh
ibu guru. Aku membuatnya sebaik mungkin. Menjiplak dengan kertas karbon gambar
sekuntum mawar karena aku tak bisa melukis. Kuberi sebait puisi karyaku
sendiri. Ditulis di atas kertas kalkir. Bagiku kartu itu sangat indah.
Tapi aku malu
memberikannya padamu karena aku tak terbiasa mengungkapkan cinta. Hari itu
tanggal 22 Desember aku tak jadi memberikan kartu tanda cinta padamu. Kartu
yang kubuat dengan niat dan tulus hati. Esoknya ketika bu Retno menanyakan
kartu itu aku bilang lagi dilihat mama jadi gak saya bawa. Aku berbohong. Kau tak pernah melihat kartu
itu karena aku sungkan menunjukkan rasa sayangku padamu.
Pulang sekolah kau malah
marah padaku karena mama mendengar perbincangan ibu-ibu rumpi di kantin tentang
kartu hari ibu. Mama bilang aku malas karena tak membuat kartu hari ibu
untukmu. Sebetulnya saat itu aku berniat menunjukkannya padamu. Tapi semangatku
sudah keburu habis dan niatku luntur ketika mama kembali membanding-bandingkan
aku dengan Mas Rama. Aku
juga sedih karena papa tak pernah mau kembali.
Mama bilang aku nakal.
Mama bilang tidak pernah bangga padaku. Aku bukan harapan mama karena aku
selalu malas mengerjakan tugas dan selalu membangkang. Aku malas ngapa-ngapain
dan mama selalu marah padaku karena sering dipanggil ke sekolah akibat kenakalanku,
sikap liarku. Karena aku sering bertengkar dan memukul. Karena aku selalu
merepotkan mama.
Dan aku jadi sangat
kecewa. Karena sebetulnya aku ingin berkata padamu :
Wuli
sayang mama meskipun kita tidak saling mengerti. Wuli
sayang mama meskipun kita senang berkelahi. Wuli
sayang mama meskipun tak tahu mengapa papa juga pergi. Wuli sayang mama sebab mama masih di sini.
Kartu itu lalu kusimpan. Kini sudah hilang entah terselip
di mana dan kau tak pernah melihatnya. Kepingin sekali, sungguh. Merasakan
bahwa kita ibu dan anak yang rukun dan mesra. Kepingin sekali, sungguh.
PS : ini adalah fragment novel Nyanyian Kembang Kapas
yang saya tulis di kelas 2 SMA, kira-kira usia saya menjelang 17
saya ingat menulis ini sepulangnya dari live in di desa gantang magelang, di tahun 2003
terus terang ketika membuka komputer keluarga beberapa pekan sebelum posting, saya terperangah membaca tulisan yang saya buat satu dekade silam.
banyak kejadian lucu tentang nyanyian kembang kapas, saya ingat diantar ellen ke gramedia dengan sebundel novel yang saya pikir, sudah paling bagus dan top untuk anak seusia saya : bisa ngemeng selancar itu... hiahahahahaaa...
saya juga teringat beatriks yang nganterin saya ke DKJ untuk menyerahkan novel itu, (ini jaaaauhhh lebih lucu,norak dan menggelikan) dan menangis tersedu ketika karya saya gak menang...ditemani rintik hujan (malam itu betul-betul hujan)
saya pikir kejadian-kejadian itu begitu luar biasa, saya bisa memanggilnya dan menertawakan diri sendiri, seluas-luasnya, sedalam-dalamnyaa...
ini betul-betul penggalan cerita paling lucu dalam sejarah hidup saya (sampai saya mengetik ini).
banyak kejadian lucu tentang nyanyian kembang kapas, saya ingat diantar ellen ke gramedia dengan sebundel novel yang saya pikir, sudah paling bagus dan top untuk anak seusia saya : bisa ngemeng selancar itu... hiahahahahaaa...
saya juga teringat beatriks yang nganterin saya ke DKJ untuk menyerahkan novel itu, (ini jaaaauhhh lebih lucu,norak dan menggelikan) dan menangis tersedu ketika karya saya gak menang...ditemani rintik hujan (malam itu betul-betul hujan)
saya pikir kejadian-kejadian itu begitu luar biasa, saya bisa memanggilnya dan menertawakan diri sendiri, seluas-luasnya, sedalam-dalamnyaa...
ini betul-betul penggalan cerita paling lucu dalam sejarah hidup saya (sampai saya mengetik ini).
[1] mbak..mbak wuli..anak cantik, ke marilah,
aku ibumu.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar