Aku telah terbangun. Inderaku mulai terjaga. Tapi aku menunggumu di atas tempat tidur. Samar-samar telingaku menangkap suara dengung air di ketel yang menggelegak mendidih. Lalu dengung itu berhenti setelah beberapa menit dan aku tahu kau sedang menuangkan air mendidih ke dalam termos. Kudengar air kran mengucur dari kamar mandi dan seret langkahmu menuju kamarku. Kau akan membuka pintu dan mataku terpejam. Padahal aku deg-degan menunggu datangmu. Lalu kau sibakkan gorden dan merapikannya ke sisi kiri. Kau buka jendela agar udara pagi memenuhi kamarku dan sinar mentari berkunjung mengucapkan selamat pagi yang hangat, menerobos masuk ke dalam membentuk garis panjang.
Aku
menunggu dalam diam dan senang, tak sabar. Kudengar langkahmu satu-satu menujuku.
Mematikan lampu di sebelah kasurku sambil membungkuk. Aku dapat mendengar deru
nafasmu dan udara hangat itu menggelitiki liang telingaku. Lalu pelahan kau
kecup keningku dan membisikkan selamat pagi yang menentramkan hati.
Aku
masih pura-pura terpejam dan kau akan mengecupku sekali lagi sambil menyelipkan
rambutku yang bertebaran di wajah ke belakang telinga. Aku masih pura-pura
terpejam dan kau akan menepuk pantatku dengan sayang. Dan aku menggeliat
pura-pura mengantuk padahal aku sudah terjaga sejak tadi. Lalu kau tersenyum
dan mengelus pipiku yang halus lembab dengan jemarimu yang kasar menebal akibat
mengurus rumah dan menjadi seorang ibu. Sudah pagi ya, aku masih mengantuk,
bisikku sambil menyipitkan mata.
Setelah
itu kau memintaku segera mandi dan pergi sekolah. Kau menggamit lenganku dan
dengan manja kutautkan jemariku pada jemarimu. Kau akan menggiringku ke kamar
mandi dan aku bernyanyi sebab bahagia. Lalu kukenakan seragam serta sepatu dan
menyandang tas. Duduk di meja dapur sambil sarapan nasi uduk bersamamu.
Kau
tertawa, jangan cepat-cepat makannya nanti tersedak, begitu ucapmu. Lalu
kulihat kau menyeruput teh hangat dan menanyakan PR ku. Mengingatkanku akan
tugas Bu Guru. Lalu aku akan mengangguk semangat sambil berujar semua sudah
beres. Kau tersenyum.
Sarapan
telah habis dan dapur terang oleh cahaya pagi. Kau antarkan aku ke teras.
Mengecup keningku dan memanjatkan doa singkat agar malaikat menjagaku dari mara
bahaya. Jangan lupa nanti pulang
sekolah mampir ke rumah Tante Maria, kamu harus buat dia tertawa ya hari ini,
hibur tante yang bersedih. Ku
berlari riang keluar pagar dan kau lambaikan tangan. Mengamatiku berjalan
hingga ujung gang.
*****
Aku
selalu suka bangun pagi dan menemukanmu mama. Melihatmu dengan daster yang
lusuh. Aku telah menambalnya kemarin dulu. Kutisik dengan hati-hati supaya
kembali betul daster itu. Aku selalu ingin membelikanmu benda-benda yang indah.
Aku belum bisa, aku belum bekerja, tapi nanti pasti kau akan kubelikan apa
saja, segera setelah aku selesai sekolah dan mampu menghasilkan uang sendiri.
Mama,
aku mencintaimu sepanjang waktu. Aku bersyukur setiap pagi masih bisa melihat
wajahmu yang begitu tenang dan teduh. Kau tak pernah tahu mama bahwa terkadang
tidurku tak nyenyak. Aku menyimpannya sendirian, karena aku tak mau menambahkan
duka dan susahmu. Aku menanggungnya sendirian, meskipun kadang-kadang hal itu
justru membikin aku tambah sedih. Mama kau tak pernah tahu rasanya bahagia
karena dicintai, aku bersyukur karena engkau mencintaiku dengan tulus, rasanya
menyenangkan tahu dicintai, rasanya menyenangkan tahu ada seseorang merindukan
kita, rasanya menyenangkan, meski sebagian hidup kita jalani dengan pedih.
Aku
sering terjaga mama. Berulang kali terjaga ketika dunia
terlelap dan beristirahat. Tubuh kecilku tiba-tiba menggigil, mengeluarkan
keringat dingin dari pori-pori dan nafasku tercekat. Seperti ada bola pingpong
tersangkut pada tenggorokan dan aku megap-megap. Setelah nafasku kembali,
kusibakkan selimut lalu terduduk pada bibir kasur. Termenung seorang diri. Dan
tahu-tahu aku sudah menuju jendela dengan degup jantung satu-satu. Kuseret
langkah dengan berat. Ubin putih dingin membuat jari kakiku kesemutan tapi aku
terus melangkah dan betisku kram. Telah tiba aku di tepi jendela, menyibakkan
gorden dan mengintip keluar selama berjam-jam. Berharap papa akan pulang dan
aku adalah orang pertama yang akan mendengar derit pintu pagar membuka. Bertahun-tahun
ku menunggu sampai akhirnya aku sadar untuk melupakannya…….
Tapi tak pernah bisa….
Aku
selalu bermimpi buruk mama. Di
gudang ada monster yang marah dengan taring-taring panjang meneteskan darah,
dengan cakar-cakar runcing yang menghitam. Ada bekas codet pada bibirnya yang
lebar. Ia tersenyum lebih serupa seringai yang menakutkan sebab gigi-giginya
kuning menghitam. Peluhnya bercucuran dari dahinya yang lebar tetapi bolong di
tengah, diantara ke dua mata yang mencelat keluar. Memperlihatkan rongga yang
bernanah dan menyiarkan bau amis busuk. Wajahnya merah mengerikan.
Bopeng-bopeng mengisi seluruh permukaan kulitnya yang merah mengkilat.
Telinganya digunting runcing. Pada daun telinganya mengkilat minyak lemak.
Rambutnya gimbal hitam, keriting kusut dan membentuk bulatan-bulatan besar di
kepalanya yang juga besar. Pakaiannya rombeng kebesaran dan berbau busuk
bangkai. Dengan hidungnya yang besar, ia mengendus aku disertai seringai dan
tawanya nyaring. Bau busuk melayang di udara. Ia serupa raksasa. Lidahnya yang
kasar berterutul dan berlendir menjilat-jilat udara. Mendekatiku, dadanya yang
terbuka dan berbulu hampir menempel pada tubuhku. Aku jadi menggigil, panik dan
tak bisa lebih takut lagi.
Aku teringat untuk
berdoa Salam Maria tapi tak bisa, lidahku kelu. Aku mencoba doa Bapa Kami tak
jua bisa, hatiku telah membatu. Berdoalah! Ayo berdoalah! Doa apa saja. Ia
makin dekat. Makin dekat. Dan aku takut. Sepertinya doa tak mempan untuk
mengusirnya pergi. Maka aku bermimpi. Monster itu tidak benar-benar jahat. Aku
lalu mengontrolnya dalam benakku.
Ia mendekatiku. Busiknya
terlihat jelas dan ia marah. Telapak tanganku berkeringat sementara ia mulai
memperhatikanku dengan cermat. Aku harus bisa mengontrolnya dalam pikiranku.
Harus! Harus bisa! Tapi aku ngeri seandainya ia menghunjam tubuhku dengan
cakarnya yang runcing dan menyayat dagingku dengan taringnya yang tajam.
Lagipula ia marah.Tapi tiba-tiba ia duduk di sampingku, mengajak bersalaman dan
menggenggam tanganku erat. Ia menciut. Badannya jadi bersih dan wangi,
pakaiannya pun rapi. Ia tersenyum lebar, senyum yang ramah, senyum
persahabatan. Aku tak jadi takut. Aku membalas senyumnya.
Seketika ia berubah lagi
menjadi monster, tapi aku tak lari, diam di tempat. Sementara ia terkulai lesu.
Ternyata ia sepertiku juga, merana. Ia ingin menjadi manusia tetapi takdir
memintanya untuk tetap menjadi monster guna menakuti-nakuti anak kecil dan
orang besar yang pengecut. Kami berbagi cerita, berbagi duka. Ia ingin menjadi
manusia. Aku manusia tapi tak ingin menjadi manusia. Ia tak menggubrisku, teguh
pada keinginannnya. Lalu ia merebahkan diri, melingkar, bergelung di dekat
kakiku. Seperti kucing yang minta dimanja dengan belaian majikannya. Ia
menangis. Kukira monster tak bisa menangis sebab ia membuat orang lain
menangis, ujarku.
Ia sesenggukkan. Aku
menangis sebab ingin menjadi manusia. Mengapa? Sahutku. Sebab aku tak perlu
lagi menakut-nakuti orang lain, menakutimu. Aku ingin menjadi manusia. Aku tak
ingin menjadi monster yang ditakuti, dibenci, diusir, dilecehkan, dan tidak
diharapkan kehadirannya. Lebih enak menjadi manusia. Aku seperti ditampar,
seakan ia sedang menyindirku yang memang tak pernah diharapkan keberadaannya.
Aku tertawa sinis. Aku bukan monster tapi aku sepertimu, percayalah! Menjadi
manusia tidak semenarik dugaanmu.
Ia langsung bangun dan
menatapku lekat-lekat. Aku jadi merinding. Tatapan matanya membuatku lemas. Aku
kumpulkan keberanian yang tersisa, lalu hati-hati berbicara. Menjadi manusia
itu sulit, ujarku. Ia tersenyum getir seperti ingin berujar, benarkah? Aku
menggangguk, memberi jawaban dari pertanyaan yang tak ia sebutkan. Ia terdiam.
Ya sudah kalau begitu, ini khayalanku, ujarnya tiba-tiba. Airmata masih
bertengger di pelupuk matanya. Aku ingin mengejeknya karena ia menangis, tapi tidak
jadi. Aku tak tega.
Monster pun boleh
menangis, apalagi manusia.
Ia berdiri. Kalau
begitu, mari kita bermain, ajaknya dengan senyum yang menenangkan hati meskipun
pada sudut bibirnya terdapat sayatan yang menganga. Ia baik, ia tidak jahat.
Yang jahat papa dan kakek.
Tapi kemudian, sebelum
aku sempat mengangguk menyatakan bersedia bermain dengannya, ia menghilang.
Pecah menjadi kepulan asap.
Gudang berdebu. Aku
terduduk di antara tumpukan kardus barang pecah belah yang berdebu, kardus
majalah dan koran lama yang sudah menguning pada bagian tepinya disertai bau kencing dan
taik tikus, juga kecoak. Ada cermin buram di situ. Kudekati, ternyata hanya
sebelah. Pecahannya berhamburan di lantai melukai telapak kakiku.
Kulihat wajahku di sana.
Pantulannya mengabur. Aku jadi ngeri sebab wajahku berantakan, tak utuh. Ingin
kusangkal itu bukan aku, namun itu diriku. Aku ingin pergi. Tapi seperti
terpaku, memaksaku memandangi diriku yang kubenci.
Monster pun boleh menangis, maka
aku menangis.
Mama, Wuli sayang mama.
Hari ini aku mengunjungi
makammu. Kau berpulang mama, duapuluh hari lalu. Dan aku tak tahu mengapa semua ini
begitu cepat terjadi, begitu mendadak dan aku belum siap. Aku hanya terkejut
ketika tahu kau sudah tiada. Tak sanggup ku berkata. Tak tahu harus melakukan
apa, harus bagaimana. Aku hanya diam, bingung. Belum sempat daftar universitas.
Tidak ada siapapun yang
dapat kumintai tolong. Hanya tersisa Rein
Tobing yang seminggu lagi akan berangkat ke Bandung untuk Ospek, masa
perkuliahan baru. Ternyata mama pergi dan Rein Tobing lebih sedih ketimbang
aku, sebelum ku mengetahui rahasiamu, mengetahui sedihmu.
Rein Tobing membantuku mengurus
semuanya, ia tidak tega
melihatku tidak mengerti apa yang harus ku kerjakan. Aku tidak tahu bagaimana
harus membalas budinya, uang untuk masuk kuliah sudah habis untuk membayar
segala keperluan penguburan, peti, misa, pastor dan bingkisan untuk tetamu.
Papa tidak datang. Bude Har sudah kutelepon dan ia berkata papa belum
akan kembali. Ke mana? Tanyaku. Mendaki.
Apakah masih kuat. Tak ada jawaban. Ada berita penting, lanjutku, papa harus
tahu. Tampaknya ia sudah tak peduli, kata Bude. Dan aku luar biasa sedih, ingin
rasanya memaki, tapi pasti tak berguna. Kapan papa
pulang. Tak usah kau tanyakan, tak tentu.
Aku sudah jengkel. Tak usah kau tunggu,
sampaikan saja pesanmu padaku.
Apakah tak ada nomer handphone, biar ku beritahu sendiri. Ia tak punya. Ya sudah Bude, maafkan
telah mengganggu tidurmu. Katakan saja, istrinya baru saja dipanggil Tuhan. Baiklah. Klik. Ia tidak mengucapkan bela
sungkawa.
Dendam masa kecilku
datang kembali mama. Hari itu, Rabu
tigabelas November duaribusatu siang hari kira-kira pukul tiga aku menjerit
sekuat tenaga dan menangis sangat keras. Mungkin lebih keras dibanding saat
pertama kali aku melihat cahaya dan lahir ke dunia.
Aku mengikutinya hingga
ia masuk taksi biru menuju lebak bulus. Namun ia tak berkata sepatah kata pun
lagi, menengok pun tidak. Tanpa alas kaki aku berlari mengejarnya.
tolonglah….jangan
pergi….kumohon….. maafkan aku……..aku tak kan nakal lagi….aku berjanji….aku tak
kan merepotkanmu lagi…. Aku akan menjadi anak yang baik, yang rajin, yang
patuh, tapi tolonglah….jangan tinggalkanku…..papa... tolong janganlah pergi... jangan pergi sebab aku sudah sepi.
Aku
menyanyi keras-keras setelah berhasil menguasai diriku. Berusaha menganggap
peristiwa ini hanya mimpi buruk. Kembali ke rumah, telapak kakiku beset
bergesekkan dengan aspal. Ada darah menitik tapi tidak sakit, sebab hatiku
lebih sakit, jauh lebih sakit. Aku tak menangis lagi. Tapi airmata ini masih
terus mengalir.
Dan aku membencinya.
Lalu kuobrak-abrik
lemariku Mama, mencari alamat mas Wisnu. Tidak ada alamat. Hanya secuil kecil kertas bertuliskan hugo_polo@yahoo.com alamat
e-mail mas Wisnu yang tersimpan
dibelakang foto di dalam dompetku.
Kuberikan berita duka ini. Ternyata tak ada tanggapan. Entah salah kirim ke
orang lain atau terkirim dan mas Wisnu tak peduli. Aku
sudah berusaha menghubungi asramanya. Kyoto begitu jauh mama, bagaimana aku
dapat menghubunginya.
Saat itu
aku menangis sebab ternyata mama lebih terluka, lebih kesepian dan terbiasa
diabaikan. Dan aku sempat takut hal itu akan menimpaku.
*****
Mama sedang apa? Apa
mama kesepian? Sunyi sekali mama. Aku ingin dengar suaramu mama. jawab
aku mama…..
Mama…..disana dingin ya?
Aku temani ya…..biar mama tidak sendiri…. aku selimuti mama ya…..biar mama
tetap hangat. Bangunlah, mengangguklah….. beri aku jawaban mama…..jangan jadi
bisu…..sunyi sekali…..aku ingin dengar suaramu mama. Ayo…jawablah. mama….tolong…..marahi
aku….biar aku dengar suaramu….mama nakal ya…..mempermainkan aku….ayo dong
jawab…..masak tidak bisa….mama….ayo jawab……
Lalu
aku bermimpi. Lagi.
Hari
itu hujan. Kita duduk di teras memandangi hujan jatuh dari atap rumah. Tiga jam
sebelumnya kita panen bayem raja dan kau memasaknya dengan keprekan bawang
putih dan minyak wijen. Dulu aku yang mengumpulkan biji-biji bayam di sepanjang
jalanan komplek dan menanamnya di pekarangan kita sendiri. Dulu kita
mengeringkan biji cabe rawit merah besar. Kau mengajari aku menyemai tanaman,
memindahkannya ke pot besar. Kau mengajari aku berkebun di pekarangan kita yang
sempit. Kita punya kebun dapur untuk membantu kita mencukupi kebutuhan makan
kita sehari-hari yang sederhana. Dan hari itu hujan datang. Kita terus
memandangi hujan jatuh dari langit. Kau memelukku, mencium rambutku. Lalu kita
masing-masing larut dalam bacaan kita masing-masing. Kita dengan serial Laura Ingalls Wilder.
Aku tak
tahu bagaimana besok pagi. Bangun tidur sendirian. Tanpa dirimu. Hari ini aku
betul-betul tak tahu.
PS : ini adalah fragment novel Nyanyian Kembang Kapas
yang saya tulis di kelas 2 SMA, kira-kira usia saya menjelang 17.
saya ingat masa-masa itu menenggelamkan diri dan hanyut pada buku-buku. saya juga teringat menuis cerpen-cerpen yang kemudian saya kumpulkan, saya revisi di sana sini sehingga menjadi satu bundel novel yang saya beri judul Nyanyian Kembang Kapas.
satu dekade telah betul-betul berlalu.