ini adalah mangkuk ke seribu delapan
ratus enampuluh tujuh bakmie sorong yang pernah ku makan sampai hari ini. aku
betul-betul menghitungnya. pasti banyak mangkuk-mangkuk bakmie yang tak
terhitung sebelum aku memutuskan akan menghitungnya sejak tahun duaribudua. aku selalu merasa diriku aneh. tapi aku suka
menggenggam kegembiraan kecil milikku sendiri.
kalau kau tanya bagaimana rasanya
bakmie sorong, apa yang menarik dari itu sehingga aku tak juga lekas bosan, di
mana tempat penjual bakmie sorong terbaik, dan lain sebagainya, maka ceritanya
akan jadi panjang. aku khawatir kamu akan keburu bosan dengan ceritaku yang
akan berubah jadi monoton dan cenderung narsis.
aku lupa kapan pertama kali makan
bakmie sorong. tapi aku ingat pernah makan bakmie dengan taburan daging tikus
di dalamnya. lokasinya ada di sebuah terminal daerah jawa tengah tak jauh dari
semarang, dekat dengan sebuah gua maria. tadinya aku tak tahu bahwa cacahan
daging ayam dan jamur itu ternyata dibuat dari tikus sawah. paklikku yang
memberitahukan itu, aku menginap di rumahnya, ia tinggal dengan simbah. aku
lama tak mengunjungi simbah. keterangan paklik tidak membikin aku ngeri, aku
justru makan lagi bakmie sorong tersebut sebelum kembali ke jakarta.
kalau kamu menganggap babi haram tapi
menemukan bakmie sorong yang enak dan legit, sebaiknya kamu curiga. taburan
semur ayamnya pasti sudah dicampur samcan. itu jaminan. kecuali mereka
menggunakan daging bebek sebagai pengganti ayam, karena lemak bebek gurih
seperti lemak babi dan rasanya sama mirip, masalahnya kita tak pernah tahu
taburan semur itu dibuat dari bahan apa. tapi kalau kau pecinta daging babi, di
dekat GKJ pasar baru, ada penjual bakmie sorong yang lezat, untuk membelinya
saja menggunakan nomer antrian saking larisnya bakmie itu.
tapi pernahkah kamu menyantap bakmie
bacin? aku pernah. aku tak bisa menyebutkan tempatnya di mana, tapi antrian
mengular. hujan turun deras. akhirnya aku minta bakmie itu dibungkus. tiba di
rumah bakmie itu berubah jadi bacin, 4 bungkus bakmie yang kubeli semuanya tak
bisa dimakan, padahal cuma 20 menit naik motor jarak gerobak sorong itu dari
rumah. ibuku bilang penjualnya menggunakan guna-guna, coba saja kau makan di
sana, pasti rasanya enak dan selalu ingin membuatmu kembali. aku mencoba saran
ibuku, dan terbukti benar.
Kamu ingat Dulah, pedagang mie pangsit
di sekolah? ibuku bertanya. Aku jadi teringat masa sekolahku dan ibu yang
seringkali menakut-nakutiku untuk tak sering-sering jajan di parkiran dan di
kantin. Ada penjual pangsit yang tak pernah sekalipun dagangannya tak laris.
Ketika parkiran sekolahku di bongkar dia pindah berjualan di dalam kantin tapi
mie pangsitnya tak seenak rasa mie pangsit ketika ia berjualan di lapangan
parkir. Setiap tanggal lima setiap bulan ia tak jualan, juga setiap hari selasa
minggu pertama.
mistik
atau bukan mistik, aku tak peduli. aku suka bakmie sorong.
aku mendengar dering ponsel mbak-mbak sebelahku. ia mencoba membikin dirinya terlihat gaul dan asik. suaranya lantang ketika dia mengucap kalimat berbahasa inggris yang ngawur dan keliru. aku tertawa ngakak dalam hati untuk adegan lucu ini. selama limabelas menit itu aku betul-betul terhibur. seolah-olah ketika aku mendongakkan kepala memperhatikan sekeliling, ada subtitle ngawur seperti teks yang tertera dari dvd-dvd bajakan original. aku seperti melihat huruf-huruf berseliweran di udara untuk kemudian aku susun seperti permainan scrabble.
aku mendengar dering ponsel mbak-mbak sebelahku. ia mencoba membikin dirinya terlihat gaul dan asik. suaranya lantang ketika dia mengucap kalimat berbahasa inggris yang ngawur dan keliru. aku tertawa ngakak dalam hati untuk adegan lucu ini. selama limabelas menit itu aku betul-betul terhibur. seolah-olah ketika aku mendongakkan kepala memperhatikan sekeliling, ada subtitle ngawur seperti teks yang tertera dari dvd-dvd bajakan original. aku seperti melihat huruf-huruf berseliweran di udara untuk kemudian aku susun seperti permainan scrabble.
mbak di sebelahku memesan lagi seporsi
bakmie, ia berbagi dengan kawan di depannya, sambil terus bercakap-cakap dengan
mulut penuh, membahas gosip dari koran kuning yang mereka bawa. aku menikmati
bakmie dan kripik pangsitku dalam diam sambil mendengarkan mereka. telingaku
ini agak ajaib memang. dia bisa tiba-tiba panjang dan mencari-cari sumber
suara. aku selalu membayangkan diriku tokoh kartun yang matanya bisa mencelat
keluar dan lidah berubah panjang serta terggulung dengan sendirinya.menguping
itu asik sekali ternyata. mereka tengah meributkan guna-guna yang dipasang
simbah vampira terhadap artis berinisial KB yang mau dipersunting laki-laki
peyot dan keriput.
di tengah perbincangan tersebut,
muncul percakapan lain. samar-samar terdengar keluhan mengenai anak 10 tahun
yang tak mau makan dengan nasi. harus selalu mie..mie.. dan mie.
barangkali anak 10 tahun itu membenci
nasi.
aku membenci nasi.
nasi mengingatkan aku pada cinta masa
kecilku. aku pernah tak berdaya dan tak bisa bercerita ke siapa-siapa karena
tahu akan jadi percuma dan tidak akan ada yang percaya.
aku melihat temanku perempuan dicabuli
oleh bapaknya sendiri. rumah itu gelap temaram. mereka mengontrak di belakang
rumah nyak sinah penjual nasi uduk. nyak sinah tiap hari berdagang nasi uduk,
pukul lima pagi setelah sembahyang subuh ia telah menata dagangannya. pukul
delapan pagi dagangan itu habis. semua tetanggaku mengandalkan dia untuk sarapan
pagi. meski menu lauknya selalu sama : bakwan goreng, tempe mendoan, semur
kentang-tahu-tempe-telor, balado telor, bihun goreng dan krupuk merah.
anak-anaknya tak tinggal di situ.
rumahnya luas. ia mengontrakkan rumah di bagian belakang yang gelap dan pengap. nyak sinah menempati ruangan depan tengah yang terdiri dari kamar tidur, ruang televisi yang juga digunakan sebagai ruang tamu, serta dapur besar berlumut dan berbau apek. kamar mandi dan sumur memisahkan antara tempat tinggal nyak sinah dan tempat tinggal si pengontrak. ada jalan di samping tembok rumah nyak sinah sebagai penghubung jalan kecil menuju pintu rumah pengontrak. jalan kecil itu kerap kali di gembok. lusuh dan menyedihkan.
umurku belum lima waktu itu. seperti
anak laki-laki kecil, aku menyukai anak perempuan yang lebih tua, yang bisa
diajak bermain dan melucu, yang bisa memomong aku. di kampungku aku paling
ganteng, putih gemuk ipel-ipel menggemaskan, dengan bulu-bulu memenuhi tubuhku,
itu kata ibu-ibu yang gemar menyubiti aku. aku menyukai tia. usianya sebelas
tahun waktu itu. ia punya 3 adik, semuanya perempuan, adiknya yang bungsu
sering menggigit lenganku, dan aku akan berlari pulang ke rumah mengadu ibu,
atau mengadu pada tia yang segera memukuli pantat adiknya dengan gagang sapu. aku
gak mau adik tia digebuki lagi, karena itu setiap ia menggigit lenganku aku
balas menggigit lengannya. aku lupa siapa namanya. tapi aku ingat tia, sebab ia
cantik dan padat. kulitnya sawo matang, giginya rapi dan alis matanya
melengkung, kalau besar ia akan mirip aishawara ray, aku tak bohong, dia memang
cantik dan membikinku ingin selalu ketemu dia.
di siang hari tia dan adik-adiknya
kerap mampir ke rumahku untuk menumpang makan. mereka datang tepat pada jamku
makan siang. ibu maklum, keluarga mereka miskin, mereka hampir selalu makan
bersama kami. ibu mengajari mereka membaca karena dari keempat anak hanya tia
yang sekolah, di kelas 3 sd, di usianya yang sebelas tahun. ketiga adiknya
berlarian ke sana ke mari di tengah-tengah perkampungan seperti anak-anak ayam.
ibu gagal mendidik mereka, dalam ingatanku yang mengabur, mereka tidak pernah
berhasil bisa membaca sebaris kalimat.
suatu
hari tia menjanjikan akan membikin nasi goreng. ia baru mendapat uang
dari bang samat karena membantunya kemarin dulu. bantu apa? tanyaku. dia diam
saja. aku sudah duduk di kelas 2 sd, dan adiknya tiba-tiba menghilang bersama
ibu mereka. aku tak pernah suka pada ibu tia. sebab ia besar, hitam dan
menakutkan. ia gemuk dan bau, kamu bisa melihat tengkuknya yang hitam, dan lengannya
yang menggantung seperti sayap. itu sih aku tak masalah sebenarnya. tapi aku
geli setiap kali ia membuka mulut, wajahnya betul-betul terlihat bodoh, sapi
mangap saja agak lebih baik ketimbang dia, aku tidak bohong. barangkali itu
terjadi karena aku membenci dia, dia pernah memukul pantatku dengan gagang
sapu. di rumah ibu dan ayah tak pernah memukuli aku. aku kaget dengan perlakuan
orang lain yang telah menghinaku dan menuduhku anak nakal, sebab aku tidak
nakal.
tia
sudah tumbuh menjadi anak gadis yang cantik. sebelum ibunya pergi aku ingat
bapaknya membelikan anak-anak perempuannya baju ketat ala si manis jembatan
ancol. adik-adik tia perutnya buncit-buncit dan mereka terlihat lucu dengan
pakaian itu, seperti lepet. tapi tia berbeda, bawah perutku rasanya bergolak
dan geli. aku memandangi tia terus menerus. itu adalah liburan naik kelas 2
bagiku. sebetulnya aku ingin banyak bermain bersama tia selama liburan, tetapi
ibu dan ayah mengajak aku berlibur ke rumah simbah. ketika kembali, tia sudah
tinggal hanya berdua bapaknya.
tia
jadi membikinkan aku nasi goreng. aku
tidak ingat apakah hari itu bisa menelan nasi goreng buatan tia. tapi aku ingat
keesokan harinya, pintu di lorong terkunci, itu adalah jalan pintas untuk
menuju belakang rumah nyak sinah. aku mengetuk pintu nyak sinah dan berkata mau
main bersama tia. dia mengijinkan aku masuk rumahnya dan berkata masuk aja ke
belakang enyak mau tidur lagi.
rumah
nyak sinah panjang dan menyeramkan, lantainya tegel dan dindingnya dikapur.
lampu-lampu tak dinyalakan. aku berjalan pelan-pelan ke arah belakang.
perubahan udara dan aroma membikin aku bergidik. sebenarnya aku telah beberapa
kali masuk ke rumah ini dan tak punya alasan lagi untuk takut. aku menuju
belakang dan memegang pegangan pintu karena sinar tiba-tiba tambah temaram. aku
melihat di sudut kanan sebelah sumur ada ember pakaian kotor. di sebelahnya
kamar mandi lusuh dan reyot dengan pintu setengah terbuka.
aku
melihat tia mandi. bokongnya terlihat aku.
aku
melihat bapak tia, aku gak pernah tahu siapa namanya. laki-laki itu tampan.
wajahnya tirus panjang dan berkumis. dia baik padaku. setiap jumat sepulang
dari sholat ia kerap mengacak-acak rambutku.
aku
melihat tangan tia memegang bak mandi batu bata dan matanya membelalak sambil
mulutnya tak henti-henti mangap. ada tangan meraba dadanya yang basah, dada
yang belum tumbuh itu bergoyang-goyang. kadang ia menjerit. kemudian dia
berbalik badan dan ada tangan memegangi bokongnya.
aku
tidak pernah mandi berdua ibu, aku tak pernah mandi berdua ayah. pengalaman itu
asing bagiku. tapi aku tahu bahwa ibu dan ayah tidak jahat, tentu bapak tia
juga baik sama halnya ayahku sendiri.
tapi
tia seperti kehabisan nafas, ia menjerit-jerit tertahan. ia terus menerus menjerit-jerit
tertahan. aku melihat tia ditubrukkan ke tembok. bapaknya mengangkat kakinya ke
bak mandi dan mereka main perang-perangan. tia tak lagi bersuara, ia merintih
sedih seperti anjingku kwesi.
aku
menutup mata. ibu mengajariku menutup mata ketika melihat hal-hal jorok dan tak
pantas. tapi telingaku menangkap suara. aku tak pernah nyaman dengan suara itu.
suara
itu begitu mengganggu.
aku
duduk di undakan dalam rumah nyak sinah. merasa terganggu tapi tak tahu harus
melakukan apa. aku tak ingat cerita selanjutnya. tapi setiap sore setelah hari
itu aku rutin berkunjung, dan mendapati kejadian serupa, lama-lama menikmati
suara-suara itu, lama-lama menonton tia dari kejauhan, bermain perang-perangan.
kemudian pulang ke rumah menjelang makan malam dan merasa mual dengan apa saja
makanan hangat yang disediakan ibu.
aku
berbaring gelisah. sore itu adalah sore terparah semenjak aku mengendap-endap
menonton tia di kamar mandi, hal yang awalnya aku lakukan karena ingin
mengajaknya bermain. sore itu aku melihat ia dengan dua lelaki. ayahnya dan
bang samat. jerit-jerit tia hari itu begitu meluluhlantakkan hatiku. aku tak
bisa menolong dia dan aku berlari pulang ke rumah kebingungan.
aku
benci pernah menelan nasi goreng buatan tia. aku benci. aku tahu uang itu dari
mana.
tia
pindah tahun itu. aku kehilangan dia.
aku
tak tahu kalau tia dicabuli, kalau dia diperkosa. aku tak tahu waktu itu. aku
menyadarinya ketika usiaku sudah empatbelas tahun. karena sejujurnya, kenangan
itu berada di pojok belakang ingatan, aku memang tak mau memanggilnya, hal itu
terlalu kasar dan menyedihkan. aku betul-betul berusaha keras melupakannya..
aku banyak beraktivitas semasa sekolah.
aku tak sengaja berpapasan dengannya di terminal. awalnya aku tak mengingat dia. umurku empat belas, baru pulang latihan ngeband dengan kawan-kawanku. hari telah larut. ia menyapaku dan mengajakku makan warteg, aku menolaknya. kami duduk di emperan toko.
dia
menanyakan kabarku. aku kaget sebetulnya bertemu dia. dia sangat cantik dengan
dandanan yang menyedihkan. roknya mini, semini baju ketat ala sinetron si manis
jembatan ancol dengan tank top warna kuning. dia menanyakan rumahku, ibuku, nyak sinah, dan
semua kenangan masa kecil kami.
ia
mengusap rambutku dan pergi. ada lelaki menghampiri dia. dia menunduk mengambil
tasnya. aku melihat bokongnya, tali mengiris belahan bokong itu. lelaki itu
merogoh ke dalam, kemudian mereka pergi naik mobil.
apakah betul setiap orang merindukan
seseorang? aku tak tahu pasti. aku hanya merasa kadang hidupku anyep. tapi
lewat hidup aku belajar untuk menjadi rendah hati dan menerima keberuntungan
serta nasib sial sama-sama tegar dan tabah.
dua
tahun kemudian kami berpapasan lagi. kali itu aku sudah terbiasa onani dan
mulai sering nonton film porno. meskipun di ruang keluarga sedang ada arisan,
aku tetap nonton film porno di kamarku, dengan suara dimatikan. imajinasiku
berkembang dan tumbuh liar. aku suka membayangkan eksplorasi terhadap daya
tahan dan rasa sakit.
ketika berjumpa tia, aku membayangkan dia dalam 2 menit perjumpaan itu. tubuhnya membikin diriku bergetar. aku belum pernah tidur dengan perempuan. tia membiarkan dirinya aku jelajahi. aku tidak memasukinya, takut ketularan penyakit. dia masih cantik tapi bagian bawah tubuhnya keplek-keplek seperti pintu mobil butut vw kodok, demi tuhan. aku bersedih lalu berlari ke kamar mandi, membersihkan diri dan minta maaf.
ia
merokok sambil berdiri.aku berpakaian dan meninggalkan dia. setahun itu hatiku hancur.
aku
tak pernah menemui dia lagi.
sampai
hari ini. di halaman depan bagian bawah sebuah koran cabul yang ditinggalkan
mas-mas yang ikut makan siang di emperan toko ini. seorang mayat perempuan
tanpa busana dengan inisial Mt. ditemukan tak jauh dari bekasi, dengan potongan
alat kelamin laki-laki di vaginanya.
suara
mbak-mbak penjaga toko terdengar genit ketika aku membaca koran itu.
mt.
mutiara.
****
aku
berharap kamu sempat merasakan dicintai dan diperjuangkan.
tia,
kalau saja kau tahu betapa pedih hatiku membayangkan perjalanan hidupmu, karena
aku tak pernah sekalipun tahu. semua berakhir tragis dan sadis. aku harus
menemui akhir dirimu di halaman koran kuning yang dulu seringkali kubaca dengan
asik. kalau saja kau sempat tahu betapa hatiku hancur setiap kali menemukan
jejakmu.
aku
pernah mencintaimu dengan tulus. tak pernah aku membencimu, meski aku bukan
lelaki pemberani yang mau memperjuangkanmu, karena aku punya masa depan, begitu
ayah dan ibu selalu berkata. dan aku muda dan keinginanku banyak dan aku tak
harus memperjuangkanmu dan kamu terlupakan, sedih, dan sendirian dan ternyata
justru aku yang menyedihkan. kalau saja kamu tahu betapa penyesalanku mendalam.
aku
membayangkanmu tia, kehujanan dan kedinginan, dengan pakaian seadanya yang
melekat pada tubuhmu. dan kamu yang diperkosa berkali-kali sejak masa kecilmu.
hanya itu yang kau ketahui sebagai cara untuk bertahan hidup. barangkali
setelahnya kamu juga merasakan nikmat meskipun ada jauh di dasar hatimu
perasaan yang tak bisa kau gambarkan karena keterbatasanmu untuk menguraikan
kemarahan sekaligus kepedihan hatimu.
apakah
kau betul-betul mau ketika harus berbagi tubuh. ayah seringkali skeptis dengan
berita penangkapan pelacur di televisi. betul bahwa kamu akhirnya jadi liar
tetapi tidak bolehkah kamu memiliki kehidupan yang lebih baik. mengapa kamu
terus menjadi pelacur miskin. mengapa kamu tak membiarkan dirimu menjadi
pelacur terdidik, sehingga kau bisa kecap sedikit saja kenikmatan duniawi,
ketimbang dirimu terus menerus menjadi perempuan yang terinjak-injak. kau tak
memiliki lagi dirimu sendiri sejak bapakmu merampas kehormatanmu, sejak bapakmu
melukaimu sedemikian dalam, menjadikanmu budak seksual, menjualmu ke
tetangga-tetangga kawannya berjudi dan mengobrol, ketika ibumu tidak
memperjuangkanmu karena tubuh dan wajahmu membikin dia iri dan mual, karena ia
tak pernah lagi disentuh bapakmu sejak putingmu mulai tumbuh dan dadamu bulat
penuh.
aku
melihat beritamu berulang kali di televisi. berita itu lewat begitu saja
setelah dua hari. karena orang mati setiap hari. berita di halaman koran kuning
mendeskripsikan kondisi matimu, telanjang bulat dengan pubis yang terpangkas,
puting yang digunting dan vaginamu dijejali potongan kelamin laki-laki, belum
ditemukan pelaku pembunuhan dan motif pembunuhan.
karena
kamu bukan perempuan baik-baik maka kita kerap kali menghakimi kalian kelewat
sadis dan kamu merasakan ketidakadilan terus menerus. kalau saja aku punya
keberanian untuk menyelamatkanmu. dari dulu sering kudengar orang bilang : hidup
tidak adil serta di manakah tuhan. hari ini aku tahu, sifat tuhan harusnya ada
di mana-mana. masalahnya aku dan banyak orang tak punya keberanian untuk
mengubah busuh dan borok kemanusiaan. sehingga kekejaman terus berlangsung.
apakah
kamu ingat tia, waktu hari-harimu masih berwarna, waktu kamu belum perlu takut
apa-apa. kamu menggandeng lenganku yang bulat. sewaktu kita jajan donat-donat
murah yang dijajakan mak rus, ia meletakkan tampah penuh donat diatas
kepalanya. kamu hampir selalu tak pernah bisa makan, adik-adikmu tiga orang
juga hampir selalu tak bisa makan.
kak
tia mau? begitu tanyaku dulu dan kau berkata buat kamu saja, meskipun aku ingat
matamu yang bulat melihatnya penuh harap. aku anak kecil, aku tak tahu bahwa
kau lapar.
lalu
kamu mampir ke rumahku saban siang, kita bermain di dalam rumah, menyusun
puzzle, membolak-balik buku-buku cerita anak-anak, kamu membantu ibu menyapu
lantai, beres-beres rumah, cuci piring. ibuku tak tega padamu. ia menyuruhmu
berhenti membantunya tapi kau tak mau. kau percaya selalu ada nilai tukar yang
harus kau beri sebagai ganti beroleh sepiring nasi. kau tak pernah minta makan.
ibuku memberikannya dengan rela untukmu dan adik-adikmu.
kemudian
kita pergi bermain di luar, di lapangan, ketika cahaya matahari menyengat
sampai ia berubah hangat di sore hari. aku selalu ingat kamu selalu tak ingin
pulang ke rumah di sore hari, setelah kamu menggandeng aku pulang ke rumah,
kamu selalu berdiri di depan pagar rumahku. aku tak pernah tahu kamu membenci
pulang ke rumah kontrakan itu. jeritmu yang tak didengar. kepiluan yang kau
resapi sendirian, penghakiman dan tuduhan yang membuatmu akhirnya percaya kamu
tak pernah merdeka akan hidupmu sendiri.
kau
hidup dalam gelap. dalam getir. seharusnya kamu bisa diselamatkan.
seandainya
kamu sempat menulis catatan harian dan aku bisa menemukannya. aku ingin
membacanya, dengan begitu aku bisa menghukum diriku terus menerus. buku
harianmu. kamu membiarkan pikiran dan imajinasimu berlesatan, sebuah ruang
paling intim yang membolehkan dirimu berbicara tanpa batasan, kau boleh
menuliskan apa saja sebab itu adalah ekspresi jujur hatimu. dirimu dan teman
bicara imajiner yang paling setia dan tak menghakimi.
aku
berharap kau pernah merasakan hangat dan cinta tia, aku berharap kau pernah
merasakan diinginkan dan tak ditinggalkan. barangkali hari ini baik untukmu
tia, kamu tidak harus merasakan sedih lagi, kamu tak harus lagi menjajakan
tubuhmu. orang-orang cepat lupa dengan berita pembunuhanmu, itu lebih baik,
kamu tak terus menerus dihakimi. aku tak percaya neraka, kalau pun kau
bersalah, aku lebih bersalah karena tak pernah bisa menolongmu, karena kau
bukan jadi prioritasku kala itu. aku berharap kau sudah aman tia, sudah hangat
dan bahagia, aku harap kau dicintai di sana. selamat jalan tia. sampai kita
jumpa lagi.
PS : untuk setiap Tia yang masih bertahan di
jalanan.