Minggu, 30 Juni 2013

otodidak




sepanjang hidup saya menghabiskan banyak waktu untuk belajar otodidak.

alasan pertama karena dana pendidikan yang disediakan bapak ibu tak cukup untuk minat saya yang banyaaak itu. ada skala prioritas yang mesti dipilih. 

kalau kamu mengatupkan kedua tanganmu, kemudian menautkan jemari-jemarimu dan menemukan jempol kiri berada di atas jempol kanan, maka kita setipe, mungkin kita punya kesenangan yang sama.  ini adalah hal yang melatari alasan kedua dan kesekian.

sejak kecil saya enggak cocok ada di dalam kelas. saya enggak bisa diam dan suka mengejar passion, suka crafting dan tiba-tiba tekun ketika merasa ada hal yang super menyenangkan. saya persis agen CIA kalau sedang kepo, canggih banget. nilai sekolah saya jelek bukan karena saya bodoh tapi karena saya punya cara sendiri untuk belajar. saya enggak cocok diatur-atur. saya benci orang yang mengacak-acak meja kerja saya, sebabnya saya jadi kehilangan jejak barang-barang yang saya letakkan sembarangan karena memang begitulah cara saya mengingat-ingat segala sesuatu. saya suka melancong dan berpetualang. saya heran dengan orang yang tertib, alay dan berisik meski sebetulnya saya ini biang ribut. saya memilih backpacker ketimbang bepergian dengan travel. saya gak punya jadwal hidup yang tetap, pergi ke manapun saya ingin pergi, pulang kapanpun saya ingin pulang, termasuk jadi manusia kamar sesuai kebutuhan saya untuk ngejogrok dan menikmati rasanya sendirian yang nyaman. 

terhadap diri sendiri saya teramat jujur dan memeriksa batin dengan ganas. kawan-kawan ring pertama saya mengatakan saya super tulus dan tak pandai berbohong menyembunyikan segala sesuatu. saya meletup-letup dan spontan.

ohh satu lagi..saya suka tersesat.. tersesat bikin saya merinding...seneng-seneng ngeri yang bikin saya makin penasaran pada banyak hal. penasaran saya jarang selesai...

saya enggak cocok belajar bersama guru di ruang kelas. saya tipe anak yang suka menemukan, melakukan banyak kesalahan dan gagal dengan lebih baik lagi. apapun yang saya kerjakan gak pernah genap, gak pernah selesai, bukan karena saya tak menyelesaikannya, tapi selalu terbuka ruang di suatu entah untuk memikirkannya kembali, merekonstruksikannya lagi. 

beberapa waktu lalu sahabat saya manda yang tinggal di singapore datang lagi ke jakarta, cuma sebentar, 10 hari. bulan depan iko mau sekolah soalnya, jadi manda liburan dulu. kami melepas kangen dengan ketemuan di malam hari, dari jam 10 sampai 4 pagi. karena nyetir sendiri manda ajak dea, adiknya yang bontot. kami sudah berteman sejak smp kelas 1, dan dea di mata saya sudah kayak adik sendiri. saya hobi banget godain dia sampai nangis, kalau dia belum nangis, saya belum puas. 

berawal dari obrolan dengan dea itulah akhirnya saya luangkan waktu untuk bikin tulisan ini. 

kadang saya suka misfit dan misplaced. dea juga seperti itu, jadinya kita suka di miss-understanding. gak papa sih, yang penting diri sendiri enggak mis-read dan mis-leading dalam banyak hal.

ah ya, maintenance blog itu enggak mudah rupanya ya, di tengah kesibukan dan kepadatan keseharian, meluangkan waktu untuk duduk manis dan mulai menulis. tapi saya selalu ingat kata-kata seorang profesor, ayah kawan saya masa SD. dia bilang bahwa sharing itu perlu, sebabnya orang perlu tahu dia gak hidup sendirian.

orang perlu pengantar imajinasi tentang cerita-cerita real life, real story. 

saya yakin betul apa yang dikatakan om I, ayah kawan saya itu, benar. sebabnya saya pernah mengalami situasi paling saya benci sepanjang hayat. saya jadi difabel setelah operasi, ini bukan keinginan saya tentu. bayangkan, masuk ke kamar operasi masih sambil berlari-lari dengan sepatu converse yang jadi andalan saya dan kemudian jadi difabel keesokan harinya, tak pernah terbayangkan. ada sepatu high heels hush puppies yang saya beli dengan uang honor menyanyi di choir – rencananya akan dipakai untuk tampil di acara wisuda pada bulan april 2008, saya operasi di bulan februari 2008 – sepatu itu belum pernah saya pakai sampai sekarang, sampai selamanya. 

tubuh saya yang tadinya utuh menjadi tak utuh lagi. ada banyak terapi yang saya jalankan. hidup terasa demikian susah, aktivitas saya terbatas dan saya marah tanpa mengerti ke mana kemarahan itu harus saya buang. terjadi pergeseran identitas antara tidak difabel menjadi difabel. itu adalah masa-masa sulit, masa-masa ngelangut.

saya merasa banyak orang membohongi saya dengan mengatakan suatu hari saya akan sehat lagi. saya benci lips service. umur saya baru 21 waktu itu, dengan rencana mengawang-awang. hal yang melegakan justru datang dari ucapan dokter kemal, dia bilang : R, kamu gak bisa pakai converse lagi. 

itu adalah kata-kata yang saya tunggu setelah 8 bulan orang membohongi dirinya sendiri dan berusaha menyemangati saya. 



pada masa rehabilitasi paska operasi, kemampuan saya bernalar merosot jauh. saya tak punya selera akan kehidupan. saya lupa gandrung pada buku-buku, musik, film, fashion, fotografi, menulis, berkebun, memasak, saya lupa semuanya. saya lupa caranya. saya jadi bodoh.

disleksia saya makin parah. saya enggak tahu bedanya ayah dengan ayam. bubur dengan dubur. setiap kata-kata yang saya baca rasanya seperti bahasa swedia, huruf-hurufnya terbang. saya enggak ngerti. kata-kata itu tak membawa makna. merasa demikian bodoh adalah perasaan paling pilu yang pernah saya hadapi.

saya tak suka kata-kata. berbicara membutuhkan kata-kata, saya menghentikan bicara. menyanyi membutuhkan kata-kata, saya berhenti bernyanyi, saya eneg lihat partitur paduan suara tergeletak di sana, ada nama saya di situ dan bagian notasi alto yang saya stabilo kuning, not-not balok yang saya batik jadi not angka, supaya teman-teman yang belum terbiasa ketemu not mudah menyanyikannya, karena saya merasa itu adalah tanggung jawab saya sebagai ketua choir di kampus. saya tak menonton film, ada dialog, itu kata-kata. saya tak lagi pegang buku, ada terlalu banyak huruf terbang.

pada masa-masa sulit itu saya menemukan banyak penghiburan lewat internet. hutang terimakasih saya mesti dibayar pelan-pelan. lewat internet saya menemukan banyak sekali orang-orang dengan kesungguhan hati melakukan banyak hal-hal baik. menularkan kecintaan akan hidup. 


karena tak suka kata-kata maka saya beralih ke foto. tak ada kata-kata tercetak pada foto. hal-hal visual macam itu menenangkan. saya sambangi website fotografi, mendownload banyak sekali foto untuk dilihat-lihat. 

linnea lenkus, light stalking, photobucket, national geographic, world press photo dan banyak lagi yang tak saya ingat, membantu saya bernalar lagi. saya mulai pelan-pelan seperti dulu, rajin dan bersemangat. saya jadi kepingin tahu komposisi, angle dan cahaya. saya jadi kepingin tahu banyak dan gak bisa dihentikan untuk berada terus menerus di depan komputer. dengan tekun, cermat dan telaten saya mendownload satu demi satu, memasukkan foto-foto tersebut dalam kategori-kategori, menyusunnya dengan rapi. otak saya bisa diajak mikir lagi. waktu itu saya belum punya kamera dslr sendiri, membayangkan memilikinya saja belum pernah. biaya berobat yang tak sedikit paska operasi membikin saya punya kesadaran untuk tahu diri.
http://www.worldpressphoto.org/ 
http://www.lightstalking.com/ 

bersamaan dengan menguatnya perasaan saya terhadap diri sendiri, saya berjanji untuk jatuh cinta habis-habisan pada diri sendiri. karena saya sadar hanya dengan cara itulah saya dapat menghabiskan sisa waktu hidup saya dengan cerita-cerita yang tak akan saya sesali. kalaupun saya melakukan kesalahan, itu adalah kesalahan yang saya bebankan pada diri sendiri, kesalahan saya sendiri yang dengannya saya tahu bahwa hidup terus berlangsung. 

perlu 4 tahun untuk saya merasa normal lagi. 

3 tahun saya cuti kuliah, padahal seharusnya tinggal skripsi. tubuh saya tak kuat untuk bepergian jauh, otak saya enggak kuat untuk diajak mikir yang berat-berat. di tengah-tengah situasi itu saya ikutan sehama, di situ segalanya dimulai. umur saya paling tua dari 29 peserta yang lain, dan saya yang terbodoh (menurut perasaan saya) dari 29 peserta yang lain. hal ini membikin bingung. otakmu seperti dipaksa berpikir cepat, sementara kamu enggak mampu.



ternyata rasa malu karena ‘kok gw dangkal ya’ membawa pengaruh yang baik bagi kemampuan saya bernalar. saya berkenalan dengan banyak muda mudi hebat, cerdas, terdidik dan baik hati. saya ketemu indonesia kecil, 30 mahasiswa dari aceh sampai papua ikut pelatihan 3 minggu. di situ saya belajar hak asasi. saya jadi tahu kalau dunia itu enggak sejahat yang saya kira, masih ada banyak orang baik yang berjuang untuk kemanusiaan. saya jadi punya semangat lagi untuk belajar. karena eneg dengan situasi di indonesia tiba-tiba saya on the track lagi. tiba-tiba saya senang belajar lagi. 

tadinya, sebelum saya menjadi difabel, saya kuliah pada jurusan jurnalistik, mudah dibayangkan bahwa saya bercita-cita menjadi jurnalis, atau filmmaker, atau apapun yang membikin saya bekerja di lapangan, sesuatu yang mengharuskan saya bepergian. kala itu saya tahu bahwa sulit memujudkan kemungkinan ini, sulit, tapi bukan berarti tak mungkin. saya melihat kedirian saya dengan cara yang baru, hal ini tak mudah serta butuh waktu sangat panjang, fase yoyo pun kerap menemani perjalanan saya menemukan perasaan yang lebih solid, lebih utuh.

saya mulai cek karya jurnalistik yang memikat. tak pernah saya ikut pelatihan menulis dan belajar sendiri dengan susah payah (dan masih banyak salah) cara menulis yang baik, karena waktu itu saya merasa belum bisa menganalisa secara mendalam. kalau suatu hari jadi jurnalis, saya kepingin jadi jurnalis yang bener, yang ngerti betulan apa yang dia nyatakan dan enggak terdepan mengaburkan.

saya sambangi website the new yorker, dan mendekatkan diri dengan tulisan malcolm gladwell. itupun tahunya enggak sengaja. karena itu internet adalah tempat terindah untuk menemukan jodoh. saya berjodoh ketemu the new yorker, ketemu malcolm gladwel. di kemudian hari ketemu haruki murakami, jhumpa lahiri dan penulis lain yang luar biasa. tulisan-tulisan itu saya download dengan harapan suatu hari akan punya waktu untuk dibaca. saya simpan tulisan itu dalam laptop dan membiarkannya teronggok di sana karena masih sering kelelahan membaca dan melihat huruf-huruf terbang.
karena masih cuti kuliah maka hari-hari saya banyak dihabiskan dengan nonton film. saya rakus nonton film, sehari bisa 7 film. dan selama setahun itu saya hampir-hampir bisa recall semua pengertian yang pernah saya pahami jauh sebelum operasi. tiba-tiba saya ‘dong’ lagi. sejak itu kalau saya nonton film, saya merasa perlu nonton sampai 3kali untuk membedahnya hingga detail terkecil. 

saya ingat, sendirian di kamar membedah babel dan 21 grams karya alejandro gonzales irraitu. menyediakan seminggu full untuk mengerti bagaimana christopher nolan dan adiknya jonathan nolan membikin film, mengapa mereka begitu luar biasa dan enggak ada jumping logic. hari-hari saya penuh dengan film. saya bisa bedakan karya martin scorsese, roman polanski, guy ritchi dan banyak lagi. saya jadi tahu model-model film macam apa yang dikeluarin new line cinema, miramax, lions gate, cannals dan banyak lagi. saking gandrungnya dengan film saya datangi festival-festival film di jakarta. europe on screen dan kineforum gak pernah absen dari agenda bepergian saya.


saya belajar bikin skript sendiri, saya belajar angle sendiri. sejujurnya saya enggak tahu apakah berguna suatu hari. saya melakukannya karena saya mau dan suka. sesederhana itu. sibuk dengan diri sendiri itu asik. apalagi saya tak punya beban harus menyelesaikan kuliah besok. orangtua saya tahu kondisi saya yang sedang terbelah kala itu, merongrong saya untuk kembali ke kampus untuk mengerjakan skripsi bisa bikin saya gila, mereka membebaskan saya untuk mengisi lagi diri sendiri sampai saya bisa bilang : mah, aku mau kuliah lagi. 

karena tak ada lawan tanding, saya merasa kesukaan saya nonton film ini sia-sia. dalam bungkus dvd bajakan, saya selalu melihat nama roger ebert. dari situ saya meluangkan waktu (lagi-lagi dengan tekun) membaca, mempelajari review film yang telah dibikin roger ebert. saya kepingin tahu selera tuan ebert. lama-lama pemahaman saya tentang diri sendiri tambah kaya. saya jadi sadar dan yakin bahwa saya boleh punya suara saya sendiri, kalau sebuah film dirating 3 bintang oleh tuan ebert dan saya memberi bintang 1 serta sebaliknya, hal ini membikin saya lega, karena setiap orang enggak sama seleranya, enggak sama cara berpikirnya terhadap banyak hal. pengertian enggak mungkin datang sekali jadi. ini membuka kesadaran tentang keberagaman.

http://www.rogerebert.com/great-movies 

saya sungguh berhutang banyak terimakasih kepada banyak orang yang telah berkarya. tiba-tiba kemampuan saya berbahasa inggris kembali lagi. kalau sebelumnya saya masih perlu menerjemahkan dan mencari kamus, tiba-tiba saya seperti paham semuanya, seperti percakapan sehari-hari dengan ibu. saya kaget sendiri karena keterampilan itu ada lagi.

merasa demikian senang saya sampai merasa harus mengucapkan artikel berbahasa inggris itu keras-keras. saya tak tahu waktu itu bahwa latihan seperti ini melancarkan pronounce. sekarang saya merasa lucu dan geli. kesepian dan kemarahan saya waktu itu membikin saya belajar banyak hal secara otodidak. 

 karena badan saya sudah terasa enak, ibu mengajak saya bersih-bersih catatan kuliah, dikumpulkan dan dibendel rapi supaya sewaktu-waktu kalau saya siap kuliah lagi, semua catatan itu siap. awal umur 25 saya mulai kuliah lagi, merampungkan skripsi. jadi kalau kamu sedang dalam kondisi berat, saya juga pernah ngalamin kok, perlu 3 tahun untuk balik lagi ke kampus, untuk bikin otak saya on the track lagi. enggak ada yang tertinggal, terlambat dan ketinggalan. semesta itu dermawan, dia hanya nunggu kita siap menerima banyak hal. 

waktu beres-beres catatan kuliah saya ketemu binder saya yang lama, itu bikin gemeteran enggak karuan. rasanya campur aduk dan gak bisa dilukiskan. gak ada film atau novel yang bisa memuat momen itu, saya percaya setiap orang punya film dan novelnya sendiri, tiap orang punya cerita dan berharga.  saya ketemu catatan lama, isinya kalimat-kalimat yang saya anggap menakjubkan. penggalan puisi, sebaris kalimat dari cerpen kesukaan saya, quotes yang membikin saya merinding dan apapun itu. saya jadi ingat dulu sangat gandrung dengan kata-kata.

saya jadi ingat di masa smp, dengan manda sahabat saya itu ngerjain pr bahasa indonesia. mengkliping cerpen koran minggu. saya jadi ingat setelah tugas itu selesai saya gandrung sendiri mengkliping banyak cerpen indah. saya ingat penulis cerpen favorit saya waktu itu adalah agus noor, seno gumira ajidarma, triyanto triwikromo. saya ingat suka baca tulisannya gunawan mohamad dan sitok srengenge pada awal kuliah. saya ingat tergila-gila pada ayu utami. saya jadi ingat bahwa kata-kata adalah senjata. dan sejak itu saya gandrung lagi pada kata-kata. saya baca-baca lagi karya mereka. disleksia saya selesai. enggak ada lagi huruf-huruf terbang. 

tidur saya kurang karena saya takut hari ini selesai. saya gak mau hari ini selesai. ada tulisan malcolm gladwell yang masih ingin saya baca. setiap akan tidur saya selalu masih kepikiran apapun yang sedang saya baca dan selalu ingin segera terlelap supaya saya bisa bangun dan ketemu lagi dengan apa yang baru saja saya baca. 

rambut saya jadi rontok dan botak saya parah. terlalu banyak yang dipikirkan, terlalu banyak hal yang ingin dipelajari, kurang tidur dan konsumsi obat, membikin rambut saya yang tadinya tebal jadi rapuh. saya tak pernah pikirkan benar-benar sampai suatu hari menemukan pitak besar. ibu saya menyuruh saya stop mikir yang berat-berat. akhirnya di sela-sela mengejar ketertinggalan karena merasa bodoh terus, saya menyempatkan waktu untuk motret. ibu menghadiahi saya kamera dslr nikon d90 di tahun 2009 untuk menyemangati saya melanjutkan hidup.


 
tahun itu saya banyak bepergian keliling jakarta dengan sahabat-sahabat saya yang luar biasa pengertian. saya banyak memotret, datang ke museum, datang ke pusat-pusat kebudayaan untuk melatih berani berada di jalan dan ketemu orang-orang lagi. referensi film yang saya tonton makin bertambah, makin luas. musik-musik yang saya dengarkan makin beragam. saya makin melihat banyak alternatif. saya melihat banyak orang kreatif, fans base yang solid, tak banyak pengikutnya tapi solid dan hal seperti ini justru asik. tahun-tahun itu saya justru merasa hidup.  saya merayakannya, sebisa mungkin menikmati hidup yang ditawarkan semesta. pelan-pelan saya sadar semesta memperlakukan saya persis seperti cara saya memperlakukan semesta. orang seperti aristoteles pun tahu kita gak bisa terus menerus bahagia. menggenggam bahagia-bahagia kecil itu penting untuk jejak dengan diri sendiri. 

kawan dalam lingkaran pertama saya makin akrab, makin merasa bahwa rumah saya rumah mereka juga, mereka main dan mampir kapanpun ingin, menginap kapan pun ingin. saya merasa hari-hari sedih kemarin sudah selesai. memang ada pikiran bahwa umur bertambah dan saya belum jadi apa-apa dibandingkan teman lain yang telah lebih dulu berhasil, tapi saya punya pilihan untuk milih mau mikir yang mana. kalau semua dipikirin dan jadi depresi, hari-hari gila saya tambah panjang. tapi depresi bikin saya jadi pujangga, itu juga meski diakui. dan punya waktu untuk jijik pada diri sendiri tentu saja baik, kita jadi punya kesempatan untuk balik lagi jadi manusia. 

saya beruntung memiliki orangtua yang suportif, mereka yang ngerti ada pergeseran identitas paska operasi dan memberikan ruang bagi saya untuk kenal lagi diri sendiri. saya beruntung mereka tidak merongrong saya untuk kembali kuliah atau cari kerja atau apapun yang membebani saya. orangtua macam ini tentu saja langka. mereka tak pernah menghakimi saya yang banyak di kamar, atau banyak enggak pulang, atau banyak di depan komputer keluarga kapan pun saya ingin. mereka enggak tanya bukan karena tak peduli, tapi sejak kecil saya diberi kebebasan untuk memilih, saya sungguh bersyukur mereka enggak dangkal dan percaya bahwa setiap hal yang saya pilih, punya landasan dan alasan, karena saya tak merusak diri sendiri.  

meski berada di rumah, hari-hari saya sibuk. 

saat minat saya tentang fotografi melambung tinggi, saya super sibuk browsing dan download foto-foto fashion dan kulinari. duduk di depan komputer keluarga dengan pakaian yang pantas (bukan pakaian rumah yang dekil dan tipis). saya mulai searching sana sini, menyimak dengan telaten, merenung dengan semangat, foto-foto fashion dan kulinari. enggak ada yang ngajarin waktu itu pun gak ada sekalipun orang kasih tahu saya, saya cuma merasa setiap kali berada di depan komputer untuk searching sesuatu, saya ingin memberikan penghargaan terhadap diri sendiri, saya mesti pakai baju yang rapi, yang asik, pakaian ternyaman dan termodis yang bisa saya kenakan ketika bepergian dan menemukan keajaiban kecil di jalan. perasaan ini menumbuhkan semangat saya untuk eksplore foto fashion dan kulinari lebih jauh. 

waktu itu tak sempat terpikir bahwa keterampilan ini berguna. saya makin ngerti fashion, makin punya jembatan keledai soal fashion, makin bisa menerjemahkan desain yang saya inginkan ke atas baju-baju lawas yang hendak di refashion. saya jadi duta refashion untuk diri sendiri, saya mengerjakannya dengan super serius. dan kemampuan bernalar matematika saya jalan lagi, karena refashion. 


blog refashion saya dan manda sudah jalan setahun ini, tadinya kami hanya pajang karya di sana dengan harapan kalau suatu waktu ada yang butuh cerita refashion dalam bahasa indonesia akan ada yang terbantu, tak ada ekspektasi muluk-muluk tentang blog itu. sekarang saya agak bangga juga karena pagevisit tiap hari selalu ada lebih dari 20 kunjungan. saya jadi punya harapan akan makin banyak orang tertular refashion. silahkan mampir ke blog kami untuk lihat apa yang sudah saya dan manda kerjakan selama ini, thx a bunch !!

jadi, meski pengangguran hari saya super sibuk. saya membagi waktu untuk belajar banyak hal. bengong saya juga sibuk. sibuk mikir pelan-pelan. saya menabung foto, menabung tulisan, mengendapkan pemahaman supaya lebih jernih lagi menghadapi segala sesuatu, dan bersamaan dengan itu saya menabung doa, doa saya sederhana, saya percaya tuhan tapi enggak ke gereja, saya selalu bilang ke semesta untuk membantu saya tetap punya akal sehat. 

itu saja, itu sudah.

sebabnya saya yakin hidup itu pergulatan terus menerus antara akal sehat dan akal bosok. kalau saya masih bisa bertahan hidup hari ini saja udah bagus, udah hebat, dan demikian pula kamu, sudah bagus, sudah hebat. enggak perlu sibuk mikirin pencapaian orang lain kalau itu hanya bikin kita berlarut dalam kesedihan dan penyesalan tak berujung. sibuk aja mikirin diri sendiri, gimana caranya sayang lagi sama diri sendiri, dukung terus diri sendiri dan berpegang sama semesta. 

 kesadaran tentang semesta ini makin bikin saya semangat untuk kenal dengan deepak chopra. ada banyak tulisan dia tentang meditasi yang membantu saya mengendurkan tegang. 

saya bersyukur bisa bahasa inggris, ada lebih banyak hal yang bisa saya eksplorasi. saya teringat ketika orang lain punya dana untuk les sementara saya enggak punya, itu gak bikin saya menyerah kalah. saya justru punya tekad untuk bisa juga. setiap merasa buntu saya buka lagi website-nya deepak chopra, website tedtalks, the new yorker, roger ebert, open culture dan banyak lagi yang lain, menemukan banyak sekali hal indah yang saya olah jadi imajinasi, kemudian imajinasi itu diberi ruang untuk berkembang dan saya tulis. 

belajar banyak hal bikin rambut saya rontok, di tengah-tengah hal yang memberatkan saya, saya perlu tontonan yang ringan-ringan. saya banyak mantengin youtube untuk menyambangi channel-channel asik tentang masak-masak.

 dan dari sini pula saya otodidak belajar masak. saya kerja keras dan meluangkan buaannyaakk waktu untuk latihan, menonton, bereksperimen, mencatat, menonton lagi, latihan lagi. kalau orang stress karena menganggur, saya justru bahagia sekali. saya pengangguran on purpose. saya sedang mengisi diri sendiri. saya nyiapin bekal dengan serius, enggak tahu untuk apa, tapi semua itu selalu ada gunanya. 

dan memang berguna.

youtube itu gudang informasi, saya les masak gratis ya dari youtube. setiap hari (enggak lebai) selama 3 tahun saya belajar teknik masak, nonton orang masak lewat youtube. saya mengembangkan kemampuan terbaik saya, melakukan riset kecil-kecilan macam itu dan mengeksekusinya. 

biasanya waktu terbaik di depan komputer adalah pukul 2 hingga 5 pagi. saya sibuk download untuk kemudian saya tonton lagi pelan-pelan dan berulang-ulang, acara masaknya jamie oliver, heston blumenthal, hugh fearnley whittingstall dari river cottage, taste made, sorted food, foodwishes, wahh tak terkata. mereka membuka mata saya. saya jadi super jatuh cinta lagi sama hidup. selain memerlukan ketekunan, download juga perlu kesabaran, sebabnya enggak semua postingan yang saya inginkan sudah diunggah di youtube, jadi betul-betul jalan 3 tahun untuk menunggu tayangan-tayangan tersebut di unggah di youtube supaya bisa saya download.

saya belajar dan belajar dan saya enggak tahu apakah ada gunanya suatu hari. ternyata ada gunanya.

karena hidup itu fragmen. gak ada orang tahu hari esok.

sahabat saya menikah dengan chef dari inggris, mereka tinggal di botswana dan berencana buka restoran. suaminya meminta saya nanti suatu hari (karena saya mau kuliah lagi ambil filsafat) setelah beres urusan sekolah, pergi ke tempatnya, ikut mengelola restoran, memang baru rencana, tapi kalau saya tak punya keterampilan itu, gak jadi apa-apa juga kan. L minta saya bantu dia bukan hanya karena saya karib istrinya, tapi karena dia tahu saya punya keterampilan itu dan running restoran juga bukan perkara enteng.


saya katakan pada dea yang gundah serta galau saat itu, jangan pernah mengecilkan imajinasi dan keterampilan. seberapapun kecil selalu berguna. the time you enjoy wasting is not wasted time.

kapasitas intelektual kan juga mesti ditingkatkan dek, demikian terang saya. itu bikin galau-lu cerdas, saya lanjut menggoda dia.

saya katakan pada dea, setiap kali mood menulis datang saya menulis. 

menulis itu seperti terapi bagi pemulihan jiwa. makin banyak yang saya baca, makin bermutu tulisan yang saya baca, makin sering saya ketemu dengan momen-momen mak jegagig. hal itu membantu saya untuk mikir pelan-pelan dan dalam-dalam. sebabnya saya enggak mau dangkal, enggak mau bodoh. menulis tentu saja membiakkan kreativitas. imajinasi saya bebas pergi seluas-luasnya sedalam-dalamnya. kata-kata yang saya lekatkan dan susun satu demi satu enggak sekedar tempelan. saya tentu saja jaaauuhh dari wordsmith... tapi saya masih akan terus belajar untuk jadi seorang wordscrafter, emang begitulah adanya. 

saya menabung skript film, saya menabung feature, menabung short stories, saya menabung masa depan saya.

kalau kamu suka menulis, tulis saja. suka bikin lagu, bikin saja. menjahit pakaian, jahit saja. bikin karya apapun yang kamu minati. ditabung saja dulu. nanti suatu saat akan ketemu juga kok  momentnya. menabung karya itu selalu ada gunanya. berkarya bikin kita makin kreatif, makin ketemu banyak celah untuk memperbaiki diri, dan ini asik. apalagi kalau pertemanan makin luas, makin terbuka kesempatan mu untuk bersinggungan dengan hal-hal yang belum pernah terbayangkan sebelumnya. 

buat saya pribadi, berkarya bikin saya enggak kesepian lagi. 

saya melatih kemampuan bernalar setiap hari setiap sempat, ini membikin jepretan foto saya enggak perlu lagi ada watermark, ini membikin tulisan saya punya timbre-nya sendiri dan saya makin sadar betul tentang kepengrajinan karya. 

saya jarang bosan, penasaran saya jarang selesai. ini yang membikin belajar otodidak jadi sangat menyenangkan. karena saya sendiri yang menentukan mau belajar apa, saya sendiri yang menentukan mau seberapa lama belajarnya, apa yang mau saya capai setelah belajar sendiri, karya apa yang mau saya bikin. rasanya puas dan melegakan karena kita sendirilah yang menentukan semua-muanya. 

dengan belajar otodidak saya telah menambahkan pengetahuan sedikit demi sedikit sesuai dengan kemampuan saya bernalar saat itu. saya menyadari bahwa kedalaman tak menjadi sekali jadi, tapi diangsur, kemudian dibentuk. memiliki kesadaran tentu saja utama, dari situ tumbuh pengertian bahwa daya pikir saya yang sedang-sedang saja ini, perlu terus di up grade. 

saya merasa sangat kaya dan itu bikin hidup saya optimal. 


enggak banyak hal yang saya sesali dalam hidup. yahh.. paling satu. saya nyesel tahun lalu enggak dipeluk dieng untuk nonton float performance. semoga tahun ini enggak mengulang kebodohan itu. mungkin kita ketemu di sana.

ada satu quote dari albert einstein yang saya suka : the world will not be destroyed by those who do evil. but by those who watch them without doing anything.

saya jadi memikirkan quote ini untuk diri sendiri. saya kira, saya melakukan kejahatan terhadap diri sendiri apabila terus diam, mengabaikan diri sendiri dan tak melakukan apapun. kalau saya punya bekal kesadaran, tentu saya bisa melakukan sesuatu yang berarti.

kalau belum ada prestasi yang berarti seperti pandangan awam.. saya sih enggak peduli. saya bukan pengkoleksi trofi soalnya. kalau ada kawan saya bilang : R, makasih ya..

itu bikin saya merasa hidup saya enggak sia-sia, ada perayaan akan kehidupan yang ditularkan.

until then, berkah dalem buatmu ..