Selasa, 29 November 2011

bahagia-bahagia kecil


di cerita yang lalu, saya bercerita tentang macet, saya bilang saya menyukai macet ketika saya sedang berbahagia. 

salah satu quote favorit saya datang dari oprah winfrey, katanya : breathe, let go, and remind yourself, that this very moment is the only one you know you have for sure.

waktu saya tahu saya tidak akan memilikinya, waktu saya tahu kemampuan saya tidak cukup, waktu saya tahu hal ini akan segera berlalu dan berakhir, waktu saya sadar hal ini akan betul-betul berakhir, saya memilih apa yang dikatakan oprah. saya menikmati detik itu. karena memang itu yang saya miliki saat ini.

inilah soal ketika manusia menciptakan tatanan nilai kemudian mempersulitnya sendiri. berpayah-payah menggapai puncak, mengejarnya sepanjang waktu, dikejar tuntutan ideal versi sendiri, kemudian..dikhianati sendiri. dan kita jadi kewalahan.

klise ya .. hidup bergerak dan mengalir.

saya tidak suka berpangku tangan  dan muak dengan mereka yang pemalas, mereka yang menghambat laju kerja saya. jadi kalau saya ketemu birokrasi pingpong, saya pasti gerah. saya membenci bunyi ceplek-ceplek sandal jepit di kantor pemerintah, lambat, kalau bisa dibikin lama kenapa harus jadi cepet, jangan kau selesaikan hari ini, besok gak ada kerjaan lagi. saya jelas gak cocok dengan orang-orang ini, secara personal mungkin tidak bermasalah, tetapi secara sistem ini jelas merugikan. saya tidak suka menunggu, saya tidak sabaran : sikap saya jelek deh!  saya jadi tahu apa itu kendali diri dan kesabaran, latihan mental yang luar biasa. saya belajar pelan-pelan untuk lebih santai pada hidup karena saya gak mau jatuh hanya berharap saja (harapan itu hidup ketika bekerja iman, karena manusia punya deret riwayat kekecewaan). saya tahu ada banyak hal-hal yang tidak bisa / lambat untuk diubah dan saya harus bisa fleksibel dengan hal tersebut kan.

karena itu saya selalu merasa perlu menemukan bahagia-bahagia kecil untuk membuat hari-hari saya seimbang.

seperti :

melemparkan gula pasir dan remah roti ke lubang rumah semut dan memperhatikan mereka berlarian keluar memungut makanan yang saya sebar (bapak saya mengatakan saya bodoh karena melakukan ini, peduli amat, saya senang menontonnya, ini adalah hal paling melegakan buat saya, menyaksikan langsung kerjasama dan pengorbanan itu. karena itu saya tidak pernah ingin membunuh semut, kalau mereka mengganggu, saya potong saja jalan mereka dengan tangan saya, dan mereka akan minggir sendiri. –saya masih suka memperhatikan semut ciuman, tau kan..- )

bahagia kecil adalah panen buah di rumah sendiri, meskipun hanya punya 2 pohon buah di rumah.

pohon belimbing di halaman belakang, sarat buah belimbing. banyak  yang berjatuhan dan busuk karena tidak ada yang bisa mengambil. aku suka bunga ungu belimbing yang berguguran, tanah basah karena hujan semalam.
mama si monyet yang tangkas..hobinya ngambilin belimbing. (ke mana aja lu pak, gak guna banget..ahahahaayy) di rumah kami memang menggunakan lu-gw untuk obrolan santai. dan aku kamu untuk obrolan sehari-hari.
pohon mangga di halaman depan. kayaknya setiap ibu hamil pasti ngidam mangga ini deh. mangganya istiwewa karena cangkok dari 4 rasa mangga. ditanam waktu aku kecil. aku melarang pohon ini ditebang. bapak suka tertawa kalau mangga-nya hilang, dia bilang : ahh dulu aku waktu kecil juga suka nyolong buah..

waktu kakak saya kecil, dia menganggap semua huruf K sama dengan huruf T. kakak saya juga tidak bisa mengucap huruf Rrrrr dengan sempurna. sampai hari ini saya masih suka menyanyi di kamar mandi ala kakak saya karena itu membuat saya tersenyum dan tertawa : tupu-tupu yang lucu .. te mana engtau tellbang.. hillil mudit mencalli .. bunga-bunga yang tembang.. belayun-ayun.. pada tangtai yang lemah .. tidattah tayapmu ... melasa lelllaaahhh ..

 bahagia kecil adalah memastikan seluruh anggota keluarga mencoba setiap jenis roti breadtalk yang saya beli dari honor menyanyi. sepele sih.. tapi menyenangkan. saya selalu membeli 2 potong untuk tiap jenis, kemudian membaginya jadi 4. meskipun kadang-kadang bapak komplain karena dia gak mau cheese cake bagiannya harus berkurang :D

bahagia kecil adalah tidak merencanakan hal lucu dan justru jadi konyol. setiap kali saya pergi dengan sahabat saya ellen selalu saja ada kelucuan terjadi.

waktu gandrung film 2012 dan tidak semua orang berhasil mendapatkan jam dan seat sesuai keinginan, kami beruntung karena mengalah. antrean berjubel, kami diselak antrian oleh orang yang tidak bermanner (rasain dia gak dapet kursi!!). kami dapat tiket urutan B sekian, yang akan tayang 20 menit lagi karena paassss banget ada yang cancel.

mengambil tanpa meminta izin sedotan satu genggam besar di KFC bandara soekarno hatta – dengan alasan kan KMK mau jualan cari dana ziarek .. aih..aihh betapa tidak bermartabatnya..ahahhayy

suatu hari kami pulang sangat larut dari plaza semanggi dan seluruh mall tersebut mati lampu, kami jalan kaki dari lantai 9 persis film Vanishing in elm street, untungnya ellen bilang : SBY dulu nyet (maksudnya dia mau merokok dulu), kalau dia tidak merokok, maka kami akan terjebak dalam lift . sepanjang jalan turun tertawa-tawa saja daripada jadi ngeri.


mbak..mbakk.. itu abonnya punguti..sayang..enak soalnyaa... ahhaaahhaayyy :)

setiap kali beli floss-nya bredtalk, kami pasti cari serpihan abon yang berhamburan di tray dan memadatkannya di roti yang kami ambil (gak mau rugi cinn..ahahaayyy)


piknik moestopo choir di ragunan..sikk asikk... sehari sebelumnya sengaja cari pistol air di carrefour biar ada efek bubbles-nya.. (piknik harus happy donk ya :) )

saya menyukai piknik dengan kawan-kawan. saya suka membuat hidup saya penuh dan isi. saya suka kata-kata michael argyle : For happy people, time is filled and plannedss  for unhappy people time is unfilled, open and uncommitted they postpone things and are inefficient


menyenangkan sekali bersekolah. menyenangkan sekali punya kawan. ( ini anak tetangga yang lucu-lucu. perhatiin roll rambutnya deh... cie-cie..pasti lagi naksir-naksiran deh..ahhahahaa.... enjoy your school girls .. life to the fullest!!)

bahagia kecil adalah ketika membantu orang lain dan menemukan rasa perkawanan yang sejati. merasakan cinta platonis dan bertepuk tangan untuk mengakui betapa hebatnya aku hari ini karena berhasil menaklukkan apa yang kupikir tidak bisa kukerjakan, karena telah menunjukkan nilai kemanusiaan dengan menghayati hidup. plato pernah berkata : Berbaik-hatilah!! Karena setiap orang yang kau temui sedang berjuang dalam pertempuran yang lebih sulit.

bahagia kecil adalah penghayatan akan lirik lagu wonderful world-nya louis armstrong : 
the colours of the rainbow so pretty in the sky..are also on the faces of people going by…
I see friends shaking hands, saying How do you do…They're really saying I love you…
I hear babies crying I watch them grow . They'll learn much more than I'll ever know
And I think to myself, what a wonderful world…

bahagia kecil adalah menjadi tante dari anak sahabat-sahabatmu .. persahabatan yang telah teruji

ikoooo... lucunya

melihat vinka tumbuh dari hari ke hari... tante kangen deh sama mbak vinkaaa.. cupp cupp kecup :D

bahagia kecil adalah orgasme saat mendengarkan musik. (ini gak jorok, beneran). telinga saya suka menangkap nada-nada. dan saya sebel kalau masturbasi bukannya enak malah jadi capek dan sia-sia. ini persis kalau saya nonton film gak mutu, dengerin musik gak asik, dan baca buku yang tidak membikin nafas berhenti. nah..saya suka moment orgasme itu. waktu kamu mendengarkan musik, dirimu seperti dibawa berlari, terengah-engah sekaligus nyaman, dan klimaksnya menyenangkan. seperti foreplay yang lembut memanas, orgasme, dan disusul hal-hal manis setelahnya. selera musik saya eklektik, dari nat king cole sampai U2, dari UB40 sampai il divo. 

saya suka mendengar lagu-lagu dengan bahasa yang tidak saya kuasai, saya suka mendengar desahan alejandro sans, rancak-nya neri per caso dan aneka folksong. lafal yang tidak saya mengerti membikin hati saya melonjak-lonjak. (saya menemukan cover version man in the mirror-nya mj yang dinyanyikan james morrison di 4shared. alamakk...tidak bisa berhenti mendengarkannya)

bahagia kecil adalah mengenai takdir dan jodoh. dalam kasus saya mendapatkan keinginan tanpa menduga akan terjadi hari ini.

pernah datang ke pameran buku? berjubel, panas, dan tidak ada buku yang tertata rapi, tapi tahu-tahu mata menangkap satu obyek, dan kau tahu itu adalah hal yang paling kau inginkan, kau sudah mendambanya bertahun-tahun dan ketakutan tidak akan mendapatkannya. lalu tahu-tahu moment mak jegagig itu muncul, dan kau merasa harus memilikinya, tidak bisa menunda lagi karena kalian berjodoh, kau merasa bodoh ketika melewatkan kesempatan itu. begitulah perasaan saya ketika menemukan buku-buku yang ada di wish list saya pada moment mak jegagig itu.

ini adalah moment mak jegagig itu!!! aku membawamu pulang sayaaanggg :D cupp cupp kecupp

i'm lucky. i am. buku yang berantakan di rak. 25ribu sebuah untuk edisi bahasa inggris. mak jegagig lagi!!!

yess yess yess .. aku dapatkan ini di blok m square lantai bawah, 100ribu untuk 11 buku resep. haaii .. senangnyaa..

it's an ordinary miracle, right folks!!

The sky knows when it's time to snow  Don't need to teach a seed to grow
It's just another  Ordinary miracle today

Life is like a gift, they say  Wrapped up for you everyday
Open up, and find a way  To give some of your own
(ordinary miracle - sarah mclachan)


berkah dalem folks!! enjoy your days :D




Minggu, 27 November 2011

boleh saya duduk?




Mengapa kita harus tidak peduli. Mengapa. Mengapa kita harus selalu merasa : mengapa aku harus peduli sementara mereka tidak peduli terhadap aku. Mengapa. Mengapa kita harus selalu merasa itu urusanmu kalau kau apes.
Ini minggu keduaku memulai bekerja dengan menggunakan bus kota.Ini 2 minggu setelah hibernasi menyedihkan yang sekalipun tak pernah terlintas dalam rencana jangka panjangku. Ini sudah 3 tahun sejak aku tidak lagi memiliki 2 kaki yang sempurna. Sudah 3 tahun semenjak aku hampir tidak bisa jalan dan berjuang keras untuk mantap dengan identitas diri yang baru -  si perempuan cacat.  
Aku tidak merencanakan untuk menjadi cacat, tidak ada orang yang ingin kecuali Lady Gaga yang pernah berencana membuntungkan salah satu kakinya. Aku tahu aku masih menginginkan dua kaki sempurna untuk membawaku melihat dunia tetapi kenyataan memang sulit dibantah.
Aku tidak mendapatkan penjelasan dan informasi yang lengkap pada masa-masa panik ‘membutuhkan tindakan medis segera.’ Waktu itu dokter menyarankan untuk mengoperasi tulang belakangku. Sulit untuk mengatakan dokter itu menghormatiku dan ibuku. Ketika kami datang ke poliklinik ia menyerahkan diriku kepada dokter resident, kemudian mengolok-olok dokter resident tersebut, dan menanyakan pada ibuku pakai askes atau tunai. Ketika ibuku berkata tunai, dokter spesialis itu merekomendasikan 2 rumah sakit swasta lain tempatnya berpraktek. Ibuku diam saja. Kemudian dokter spesialis itu pergi dan menyerahkan aku kembali pada dokter resident. Suster datang dan berkata, dokter L cuma datang kunjungi pasien kelas 1. Begitulah.
 Kondisiku bukan malpraktek sebab ibuku sudah menandatangani surat di rumah sakit. Tetapi pasti ibuku tidak menandatangani bahwa ia bersedia melihat anaknya menjadi cacat-tidak ada ibu yang mau. Masalahnya adalah gugatan macam ini sulit untuk jadi mungkin. Aku memang tidak meninggal, tetapi kemampuanku beraktivitas menjadi begitu serba terbatas. Aku memang tidak meninggal karena itu sulit untuk mengejar keadilan. Korps sulit dilawan. Mereka melindungi satu sama lain. Saranku kau tontonlah film dokumenter Konspirasi Hening karya Ucu Agustin, film yang luar biasa. Dan kau akan mengerti situasi yang kuhadapi.
Sewaktu aku sehat dan memiliki kekuatan otot maksimal, aku adalah perempuan paling mandiri, gesit dan penuh greget, paling tidak ini menurut pendapatku sendiri. Aku biasa mengenakan sepatu converse dan loncat dari satu bis ke bis lain, kegiatanku padat, hidupku penuh. aku memiliki diriku sendiri. Aku mengetahui cita-citaku dan tidak segan berjuang untuk meraih mimpiku. Aku menyukai menjadi diriku sendiri.
Sekarang kekuatanku tinggal separuh sehingga aktivitasku terbatas. Aku selalu berusaha tampil tegar dan kuat meskipun sebenarnya hampir selalu ingin menangis karena merasa susah. Tapi ini tempat umum. Aku merasa tak berdaya dan gelisah ketika orang-orang menatapku ingin tahu karena penampilanku aneh atau justru lucu. Mereka tertawa dan berbisik. Kenapa kakinya..kakinya kenapa..itu pakai apa...pakai apa itu..kenapa kamu..kamu kenapa...dia besar jadi seperti itu...dia jadi seperti itu karena besar...
Mereka bicara tentang diriku yang ganjil di hadapanku. Mereka tidak bertanya mengapa aku menjadi seperti ini. Mereka justru menuduhku menjadi seperti ini.  Kaki kiriku menggunakan sepatu robocop yang lucu, ada semacam boot fiber yang dikenakan untuk menyangga kaki. Karena aku tidak sama mereka merasa boleh memperlakukan aku seperti ‘keajaiban yang pantas untuk diolok-olok atau keanehan yang layak jadi tontonan dan jadi bahan candaan.’ Aku mengerti mengenai keterbatasan pemahaman dan ragam kapasitas intelektual yang dimiliki orang-orang yang kutemui di jalan, tetapi dalam kondisi serba ingin marah dan bersembunyi sulit untuk menimbang adil dan membesarkan hati. Ketidaknyamanan itu datang berulangkali. Dipandangi dan dibicarakan hampir setiap hari tentu saja membuatku risih dan terganggu. Kadang aku ingin berteriak hentikan sikap diskriminatif itu, stop menghakimi diriku. 


Tuh kan, diriku ini mengganggap bahwa di dunia ini yang tersisa adalah orang-orang jahat yang tidak toleran. Aku hampir tidak bisa percaya bahwa masih ada orang-orang yang penuh rasa kesetiakawanan. Aku hampir-hampir tidak pernah merasanya.
Aku tidak tahu bagaimana orang-orang di negara lain memperlakukan orang cacat. Pemahamanku kelewat terbatas. Hidupku dalam kotak kecil. Barangkali itulah mengapa aku tidak memiliki wawasan ada orang-orang sepertiku di belahan bumi yang lain-mereka yang memperjuangkan dan mempertahankan hidupnya di dunia. Barangkali itulah mengapa aku tidak mengerti bahwa kesusahanku sekarang adalah hak ku.
Aku tidak tahu bahwa priority seat itu ada.


Terminal Blok M di pukul 7.30 pagi. Sibuk. Setiap orang bekerja. Setiap orang membawa susah mereka sendiri. Kita seringkali tidak sempat memperhatikan satu sama lain karena beban hidup sudah menjadi terlalu berat. Kita lupa bahwa satu hari nanti kita semua juga akan selesai. Suatu hari kita jadi belulang. Tidak setiap belulang bahagia karena merasa pernah punya makna.
Tidak setiap orang bahagia dengan pilihannya bekerja. Tidak setiap orang yang rela berpeluh menunggu transportasi murah memiliki tabungan untuk keadaan darurat. Mereka yang menunggu dan sibuk dengan blackberry atau blueberry atau segala jenis ke-beri-beri-an yang lain itu barangkali tabungannya juga sangat terbatas seperti pemahaman bahwa setiap mereka juga punya potensi untuk menjadi cacat karena kecerobohan orang lain.
Terbatas bukan karena tidak mau mikir tetapi karena tidak pernah tahu ada kemungkinan seperti itu. Kita semua berpotensi untuk tidak menjadi diri sendiri lagi. Kita semua berpotensi untuk lupa bahwa hidup kita juga ditentukan oleh yang lain-lain.
Itulah.
Kita cenderung melukai orang lain. Gak ada urusannya antara yang terdidik dan tidak sempat dididik. Percaya deh. Kita yang membaca majalah metropolitan ; kita yang menunggu obralan merk-merk branded ; kita yang datang ke konser-konser musik,pagelaran budaya ; kita yang mau naik 2 status sosial dan pajang foto di facebook,twitter dan sosial media lain - tapi masih naik angkutan publik bukan karena kesadaran akan pelestarian lingkungan tapi lebih untuk menghemat ongkos bepergian seringkali cenderung merasa hidup sudah cukup sulit sehingga harus selalu sikut dan main sikat. Barangkali itu terjadi tanpa disadari. Barangkali itu adalah bagian dari mempertahankan hidup itu sendiri. Sebagian dari kita menggerutu : kalau mau enak naik taksi aja sana!  Kita harus selalu marah-marah pada orang-orang yang kita tahu tidak punya kekuatan untuk melawan. Kita harus selalu merasa terbebani oleh keadaan orang lain-kita lupa bahwa kitalah yang bermasalah.
Kita rajin berdoa rajin sembahyang, tapi kita lupa bahwa ada banyak orang yang bisa kita bantu, orang-orang asing yang tak kita kenal akrab. Apa sulitnya untuk saling melindungi. Apakah engkau pernah berdoa supaya perjalananmu pergi dan pulang kerja selamat? Kita lupa untuk membantu, doa kita hampir selalu memaksa untuk jadi ada segera. Kita jadi tidak sensitif lingkungan karena hampir selalu merasa ‘ini Jakarta, hidup kita keras.’ Dunia memang tidak ramah, tapi haruskah kita menjadi bagian dari ketidakramahan tersebut? Ahh saya lupa..saya malah terjebak dalam situasi penghakiman itu sendiri yaa..saya menghakimi anda karena pengalaman saya selalu ternyatakan demikian. maafkan saya yaa.. pasti anda orang baik dan orang baik-baik kok, saya percaya itu (mendambakan itu).
Bus PPD P67, bus dari Jepang warna putih hijau. Ada stiker dibutuhkan pengemudi hubungi 081blablabla di pojok kiri pintu masuk. Ada tirai dangdut berdebu. Ada jam dinding di gantung di kanan atas tempat duduk supir. Ada stiker priority seat di jendela sebelah kiri. Gambar ibu hamil, kakek bertongkat, dan pemuda bertongkat yang jelas kita ketahui sebagai simbol orang cacat. Stiker mengenai mereka yang tidak kuat berdiri. Si kenek bis menagih ongkos dalam diam. Kuperhatikan perutnya buncit dengan kemeja biru begitu lusuh tanpa kancing. Barangkali semalam dia habis mabuk dan bermain adik masuk sumur, tapi dia berhak menikmati hidupnya, tentu saja dia berhak. Barangkali dia sempat sedih, barangkali dia tidak sempat sedih, barangkali dia menangis sampai jadi tawa, barangkali dia tertawa sampai jadi tangis, sama seperti penumpang lain yang juga memiliki mimpi dan tujuan hidupnya sendiri.
Jalan digali. Poster SBY meraih penghargaan dari PBB. 7 poster besar dalam jarak tak kurang dari 1 kilometer, aku tertawa saja tak mengerti mengapa orang-orang seperti mereka masih perlu jadi eksis.Dapat penghargaan saja sebegitu hebohnya, padahal setiap hari Kamis di depan Istana Negara ada mereka yang berdiri dengan payung hitam tidak pernah mendapatkan haknya yang paling asasi : Keadilan!!



 Pengamen masuk bis dan bernyanyi parau tentang surga dan bersedekah. Kita semua akan jadi belulang. Barangkali setelah itu masih ada bayang-bayang juga belalang. Kita tak pernah tahu. Tapi memang suatu hari kita semua menjadi belulang. Kita yang kehilangan kesempatan untuk berjumpa lebih lama dengan yang kita cintai juga kita benci.
‘Boleh saya duduk 5 menit? Kaki saya lelah sekali.” kataku kepada mbak penyerobot kursi. Aku memperhatikan sudah 10 pagi ini ia menyikut diriku. Aku yang berjalan begitu lambat sehingga ia mudah saja menjegal diriku dan membiarkan dirinya menikmati kursi. Ia duduk dari terminal Blok m sampai di suatu tempat setelah RSCM. Aku berhenti di UBK seberang LBH Jakarta, sebelum RSCM setiap pagi selama 14 hari ini dan selalu berdiri. Aku memohon kepadanya di depan Taman Suropati karena kakiku tidak kuat lagi berdesakan dan berdiri melebihi waktu upacara bendera di dalam bis yang suka-suka mengerem tiba-tiba, suka-suka mengebut membikin semaput.
Di dalam bis ini hampir selalu ada orang yang memerlukan duduk selain diriku dan ia tidak pernah membiarkan dirinya membagi kursi tersebut seperti beberapa orang lain. Tentu saja ia tidak harus.Tentu saja mereka tidak harus. Tetapi maukah kita berbagi kepada seseorang yang memerlukan kesempatan untuk beristirahat barang sejenak. Yang ku minta bukan seluruh perjalanan,hanya 5 menit dari total 80 menit perjalananku.
Aku tertawa dalam hati saja. Bukan untuk apa-apa. Pasti mbak itu sakit jantung sehingga ia tidak boleh berlelah-lelah. Lebih baik memang berasumsi baik saja. Ahh..aku memang kurang beruntung saja. Tidak beruntung tidak bisa duduk. Lagipula ia tidak salah. Yang salah adalah transportasi publik-nya. Setiap orang berhak memperjuangkan dirinya, termasuk berjuang untuk duduk, cacat atau tidak cacat.
Aku teringat perjalanan bersama kawan, Petra Marwie yang pendiam. Hari itu di dalam Transjakarta yang penuh sesak aku ngomel-ngomel dan minta segera keluar di halte terdekat.
“ Kenapa sih lo kalau jalan lama kuat, kalau berdiri lama gak kuat?
Well Pet, kaki gw gak kuat numpu beban. Telapak kaki kiri gw gak bisa ngerasain udah nginjek bumi atau belom, jadinya gw menumpu kuat-kuat supaya gak terjatuh-karena rasanya kayak gak sampe-sampe, kaki gw berasa lumer macem puding.. gw gak ngerti gimana caranya jejak sama bumi. Karena gw gak tahu, gw menekan kaki gak kuat-kuat, gw gak bisa ngerasain telapak kaki kiri gw,  tahu-tahu melepuh, tahu-tahu jempol gw gepeng trus nyetrum-nyetrum karena gw gak bisa ngukur tenaga buat berdiri, apalagi kalau berdirinya di kendaraan yang lajunya gak terduga.
Aduhhh kakiku keram. Jari-jari kakiku naik semua. Siapa yang akan menolongku ya..karena aku tidak dapat mengandalkan diriku sendiri. itulah sedihnya jadi cacat kawan, kau tidak tahu dan merasa cemas ketika dirimu tak dapat kau andalkan.
Di Jakarta kawan, kau memang harus mengandalkan dirimu sendiri. Sebelah mu kiri kanan memang ganas-ganas. Barangkali kau juga bagian dari keganasan tersebut.
Kalau kau merasa sehat dan masih sering tidak dapat tempat duduk, kalau kau pernah merasakan teramat lelah dan perlu duduk barang sebentar setelah rutinitas yang padat, bayangkan bila kau tiba-tiba jadi cacat.
Jangan marah. Kalau kau marah berarti aku benar atau separuh benar. Kalau kau bukan bagian dari ketidakpedulian tersebut, jangan diam.

memori putih abu-abu




Oktober 2001 

Alena, sobatku yang mungil sudah terlelap di sebelahku. Matanya bengkak akibat tangis. Pertemanan memang energi yang luar biasa. Trixie belum tidur. Dia sibuk merawat wajahnya yang luar biasa licin bagai porselin. Sementara Bing sudah ngorok dan ngiler-ngiler. Kamar tidur Trixie memang selalu dingin.

Aku duduk diam memperhatikan bayangan. Telah dua jam kami bertengkar, ditambah satu jam jeda untuk meredakan geram. Seperti biasa Trixie melindungi Alena dengan memeluknya sepanjang pertengkaran. Bing kalap.

Lihatlah teman-temanku ini. Alena terjungkal ke jurang. Bing yang teramat sayang padanya meskipun selalu adu mulut dengan Alena tak kan rela sahabatnya menderita. Bisa dibilang kalau ada apa-apa Bing-lah yang maju pertama.

Alena, kami semua sayang padanya. Meskipun tertua ia justru paling polos dan belum mengenal dunia. Sebab baginya dunia adalah rumah dan perjalanan di mobil dengan supir pribadi untuk kursus-kursus sebagai investasi diri. Keluarganya memaksanya ikut les segala rupa sampai Alena eneg sendiri karena tidak punya waktu bermain.

Setiap kali kami berkunjung ke rumahnya untuk mengajak pergi, papinya yang luar biasa perhitungan itu akan selalu berkata, “Alena….dulu Akong miskin sekali. Akong jalan kaki keliling kampung buat jualan limun. Papih gak sempat menikmati hidup seperti Alena. Hidup papih serba prihatin. Hidup papih keras, susah, adik-adik papih banyak. Papih bayar mahal untuk  jadi seperti sekarang. Pengorbanan papih sudah banyak. Sekarang hidup kita sudah enak, jangan sia-siakan hidup Alena. Belajar yang bener seperti Melisa. Kamu terlalu banyak main-main.”

Tapi Trixie si persuator sejati berhasil menaklukkan hati papi Alena sehingga bisa juga kami keluar untuk bersenang-senang. Orangtua Trixie dosen. Papi Alena menganggap Trixie anak yang bisa dipercaya dan telah dididik dengan baik karena orangtuanya dosen. Tapi Papi Alena tidak begitu menyukai Bing dan aku. Aku tinggal dengan nenek karena orangtuaku bercerai. Ibu sudah menikah dengan lelaki lain, aku tidak akan sudi tinggal dengan mereka, lagipula ibu tak bersusah payah untuk aku. Bapak tidak pernah mengunjungi aku lagi sejak usiaku 7 tahun. Nenek yang membiayai aku. Uang bayaran sekolahku murah meskipun bersekolah di tempat bergengsi, nenek kenal akrab dengan seorang staff di sekolahku, aku diberikan keringanan selama dapat mempertahankan ranking 3 besar setiap kali penerimaan raport. Aku melakukannya dengan senang hati, selalu ada nilai tukar untuk sebuah kebaikan, itu yang aku percaya.

Orangtua Bing musisi. Papi Alena juga tidak selalu suka pada Bing, karena Bing kerap kali melontarkan kata-kata kotor dan jorok. Tapi Alena tidak peduli pendapat Papinya. Bersama kami ia merasa bahagia dan menjadi dirinya sendiri.

sekolahku agak kejam dengan membiarkan terjadinya bullying dan senioritas di tengah situasi belajar yang sebetulnya terlampau berat untuk remaja seumuran kami. tugas-tugasnya sering tak masuk akal, proyek-proyek prestisius yang menyita waktu, energi, dan terutama biaya. aku sering sedih ketika meminta tambahan uang kepada nenek untuk menyelesaikan tugas sekolahku. beban itu ditambah harus ranking setiap kali, senioritas plus bullying membikin aku kehilangan waktu untuk bersenang-senang.

aku membenci kakak-kakak kelasku. percaya deh, kalau anak perempuan dikumpulkan jadi satu dan membentuk genk, merasa punya kuasa, maka pelecehan dan penindasan seringkali terjadi.

Awal mula perkawanan kami lucu sebetulnya. Di suatu jam istirahat yang menyebalkan, aku disuruh membelikan pesanan kakak-kakak kelasku. hatiku sudah mendidih karena sengit sebetulnya, mereka mempermainkan aku begitu rupa sejak pertama kali berseragam putih abu-abu, hari itu adalah akumulasi dari kejengkelanku. setelah pesanan itu terbeli, aku berjalan melewati koridor kusam dan murung, tempat itu sepi dan ada sebuah celah untuk sembunyi. aku menarik nafas panjang. jengah dengan perlakuan menyebalkan dari senior. aku mengumpulkan ludah, dan membuangnya di empat plastik minuman titipan senior kemudian mengaduknya dengan sedotan.

seorang kawan seangkatan memergokiku.

ada dua orang lain dibelakang dia. mereka memperhatikan aku dengan takjub. salah satu gelisah dan ketakutan. aku menantang mereka, “kenapa? mau aduin gw?” aku sudah siap-siap akan diadukan dan dijadikan public enemy, bodo amat, pikirku.

salah seorang anak itu tertawa terbahak-bahak. kemudian dia berdiri di sebelahku, di celah sempit koridor kusam dan murung. dia mengumpulkan dahak dan meludah di atas semangkuk soto lalu mengaduknya.

nama anak itu Bing. Dua yang lain Alena serta Trixie. Kami tidak sekelas. Tapi selalu menunggu untuk pulang sekolah bersama, menumpang mobil Trixie. Kami banyak tertawa. Hari-hari sekolah yang menyebalkan menjadi seketika berwarna.

Kami berempat yang menggemari musik ini mulai serius berlatih vokal untuk menjadi wedding singers. Kenalan Bing banyak. Kami sering diminta menyanyi mengisi acara-acara keluarga besar Bing dan kenalan keluarga Bing. Mulanya tidak mendapat honor, lama-lama kami diberi uang lelah juga meski nilainya tidak seberapa – terutama untuk Trixie dan Alena yang sudah terlahir kaya. Tapi uang lelah itu cukup untuk memberiku kesempatan mentraktir nenek makan di restoran atau membelikan diriku buku-buku. Karena mulai sering tampil di pesta-pesta pernikahan, kami harus tampil baik dan maksimal. Alena dan Trixie mengurusi masalah kostum dan make-up kami. Bing mengurusi masalah latihan. Aku mengurusi jadwal manggung kecil-kecilan. Begitulah. Kami merasa bahagia dan lengkap.

Lama kelamaan Alena sering terlambat latihan dan mulai sering absen pada beberapa kesempatan menyanyi. Alasannya macam-macam. Kami bertiga tak pernah curiga mengingat kesibukan kursus yang beragam, apalagi Alena tidak selalu punya alasan untuk meninggalkan rumah.

Suatu hari Trixie cemas dan berkata padaku dengan gemas : Alena sedang jatuh cinta. Alena  tergila-gila kepada guru les pianonya. Selidik punya selidik, lelaki bugar bernama Jati itu sudah beranak istri. Aku dan Trixie was-was. Alena pasti tak tahan. Setiap kali kami menyempatkan diri menonton video porno, Alena selalu bilang kepingin sanggama saat itu pula, aku menganjurkan dia untuk masturbasi saja ketimbang mencari laki-laki yang belum tentu setia.

Kami tahu Alena tak akan tahan, apalagi dia juga dilarang pacaran. Dia tidak pernah mendapatkan usapan-usapan kecil di punggung, belaian-belaian mesra pada rambut, kecup-kecup di pipi dan bibir. Bagaimana mungkin ia tahan dengan bisikan-bisikan Jati di telinganya ketika melatih fingering pada tuts-tuts piano. Bagaimana mungkin ia tahan dengan sentuhan-sentuhan halus di jari yang berlanjut ke remasan-remasan pada dadanya yang baru tumbuh subur.

Jati tampan. Pemuda 34 tahun itu bugar dan mengkal. Dia ranum dan menggemaskan. Kami pernah bertemu beberapa kali. Aku tidak akan menolak bila diajak tidur dengannya, itu harus kuakui. Wajahnya biasa saja, tapi kacamata yang dikenakannya memang membuatnya tampak sangat gagah dan terpelajar. Aku tidak pernah bersentuhan dengannya, tetapi suaranya, intonasi dan pilihan kata-katanya saat bicara membikin aku tidak bisa lepas memandangi dia.  Senyumnya terkesan tulus dan tak ada tatapan nakal ingin menyetubuhi gadis-gadis lugu dan polos.

Jati ranum dan menggemaskan. Dan justru itu ketakutan terbesarku, sebab Alena seringkali kontak fisik dengannya saat berlatih bermain piano.

Beberapa bulan lalu, saat ganti pakaian olahraga, aku melihat punggung dan dada Alena yang besar penuh bekas cupangan, biru besar dan menebal. Bing mengira itu toh nyowo. Bing menggoda, “Gak nyangka luarnya mulus putih kayak tahu, dalemnya burik banyak tompel.”  Aku ngakak memandang Alena yang malu tersipu. Dua minggu kemudian Alena datang terlambat ke sekolah. Setelah jam istirahat ia baru datang dan langsung berganti pakaian olahraga. Ia menarikku ke sudut WC, “Tan, tetek gw perih ni! Lo tau gak obatnya apaan? Pentil gw lecet nih..perih bangettt!! Kalau kena baju sakit!” Alena kemudian membetulkan bra-nya. Ia merogoh dadanya dan mengerang tertahan. “Lo mau mens kali, tetek lo jadi kenceng, gw juga gitu biasanya!” dan pembicaraan itu terhenti ketika tiba-tiba Bing dan Trixie menyeruak muncul.

Gerak-gerik Alena aneh akhir-akhir ini. Kemarin ia minta amoxilin padaku karena mengaku ambein dan duburnya terasa sangat perih. “Gw cuma gak mau infeksi tau gak lu! Pantat gw luka karena ngeden kekencengan, kalau keluar taik jadi infeksi donk ya kan..udah deh, cariin gw amoxilin aja gak usah ribet tanya-tanya lagi. Pantat gw sakittt nih Taaann!! ” ujarnya sambil menangis di UKS sementara aku mencarikan obat yang dimintanya masih sambil kebingungan, pengertianku belum sampai pada keadaan yang sedang dialami sahabatku. “Amoxilinnya gak ada, tapi ini ada antibiotik lain, gw gak bisa nemenin elu yaa..ada post test dari bu Ratih sebentar lagi, ntar gw kabarin lo sakit. ok!”

Dua jam kemudian Alena kembali ke kelas. Pada pelajaran sosiologi, ibu guru Margie mengingatkan kembali petuah favoritnya. Jangan pernah kamu beri bagian dada  ke bawah. Suruh saja pacar kamu cupang leher dan betis, sekalian bersihin daki. Kami sekelas yang isinya perempuan semua sudah begitu bosan dengan ritual itu tapi masih menirukannya dengan suara keras membahana. Kuperhatikan Alena menunduk dan sibuk mengobrak-abrik tempat pensilnya.

Hari-hari sekolah berlangsung menyenangkan, kecuali Alena yang menangis dan tertawa sama lebay, sama-sama heboh. Alena bisa jadi sangat pemurung, tiba-tiba menjadi sangat energik dan bersemangat, dan menjadi sangat luar biasa cantik dan seksi, kemudian murung dan menangis tanpa sebab, minta diantar pergi dan jalan-jalan, marah-marah dengan mas Nardi supir pribadinya, membentaki aku dan Trixie.

Tak lama, Alena mulai mengeluh kalau pipis perih. Aku menduga Jati dan Alena sudah melakukan KNP, tapi aku masih menyimpan kegusaran itu dalam hati karena semua baru dugaan, aku hanya khawatir saja. Karena dari petting ke sanggama tinggal sedikit jarak tembaknya, kadang-kadang juga sudah bisa masuk karena terbuka. Mereka pasti lama-lama kebelet juga dan betulan bersanggama. Tapi aku memantapkan diri untuk percaya Alena tak kan senekat itu.  

Hari ini Bing ngamuk luar biasa karena hanya dia yang tidak cukup peka memperhatikan gejala perubahan Alena. Trixie sudah menenangkan Bing yang takut Alena tak perawan lagi.

Tapi timbul pertanyaan. Apa sih keperawanan itu, apa Alena masih perawan.  Alena diam saja tentu, sebab ia takut juga bingung, mungkin sedih. Jahat juga kami ini menjadikan keperawanan sebagai perbincangan yang seru, di depan Alena lagi!!

Trixie berpendapat bahwa apabila perempuan sudah pernah sanggama dan penis itu sudah menembus selaput dara, maka ia tidak lagi perawan. Tidak peduli dengan lelaki atau dengan dildo baik yang ngeri atau yang menggemaskan, tidak peduli sebagai salah satu bentuk pemaksaan atau tidak. Bing berpendapat seorang perempuan sudah tidak lagi perawan apabila dengan sukarela memberikan bagian tubuhnya yang mana saja kepada orang yang ia inginkan meskipun tidak memakai cinta, hanya hasrat dan kebutuhan purba untuk merasakan aktifitas seksual. Sementara aku tak bisa menerima alasan itu sebab ketika seorang perempuan secara sadar rutin masturbasi dan tertarik kepada seseorang lalu di dalam hati serta pikirannya ingin disetubuhi maka ia tidak lagi perawan, meskipun belum ada batang sungguhan menembus jurang vagina. Lagipula apa itu selaput dara!! Aku percaya perempuan tidak boleh dihakimi melalui hal-hal bodoh macam ini, perempuan tidak boleh membiarkan dirinya jadi dangkal.

Trixie bangga dengan status pernah perawan. Ia masih gemar berpetualang dan meyakinkan Alena tak apa-apa sesekali KNP. Paling tidak Alena masih perawan karena batang bau si Gorila (Bing yang memprakarsai julukan ini saking sewotnya) belum sempat menitipkan benih untuk dibuahi.

Bing murka, sebab menurutnya walaupun Alena belum menyerahkan kegadisannya tapi secara sukarela telah ditipu daya sehingga mau saja gunungnya dijelajahi sambil menghisap cerutu berbulu. Tapi kupikir, Bing hanya cemburu karena Alena mendapatkan perhatian dari lelaki mapan. Dari kami berempat hanya dia yang tidak tahu hubungan Jati-Alena. Ia pasti merasa dinomerduakan sehingga secara membabi buta menyalahkan Alena yang mau saja digeret sana sini. Jika ia tahu sedari dulu pasti sudah melabrak si Gorila.

Alena sesenggukan terus dan aku makin yakin mereka pasti sudah pernah. Mereka pasti sering begitu. Karena saat presentasi makalah terakhir biologi, Alena mendapat nilai A plus dengan kefasihannya menguraikan bagian kelamin pria dan wanita kepada setiap penanya. Bing heran karena dari kami berempat, hanya aku yang senang belajar dan ke perpustakaan. Trixie senang pacaran, Alena senang melamun sementara Bing teramat suka bertengkar.

Diantara kami, Trixie-lah yang pertama kali mengenal lelaki. Pengetahuan ini didapat dari pengalaman, tempat favoritnya adalah parkiran mall, jalan tol, dan kamar kost pacar-pacarnya. Ia terlalu sering mempermainkan si anu dan si itu. Berkencan dengan empat pria sekaligus selama berbulan-bulan, untung tidak ketahuan. Ia senang mempertaruhkan dirinya.

Berulang kali aku mengantarnya ke dokter kandungan karena ia sering keputihan. Aku selalu khawatir padanya dan kerepotan membelikan kondom bagi si plenyun ini kalau dia bilang sedang pengen. Trixie gak suka pacarnya pakai kondom, sakit, begitu ujarnya. Ya sudah, aku membantu dia mencarikan Pil KB dan mengajarkan dia menghitung lendir. Aku menyuruh mbak titik tetanggaku yang janda untuk membeli pil kb di puskesmas. Trixie memang tidak terlalu peduli pada kesehatannya. Aku sering ketar-ketir. Ia bisa hamil kapan saja.

Aku mengatai Trixie tebu alias tempik mambu, tapi Trixie mengira, habis manis sepah ditelan dan malah tertawa sambil berujar, gak manis bego, sepet. Ya udah, dasar meli, ‘memek liar,batinku’. Nama gw  Trixie kaleee. aku tidak bisa menghakimimu trixie, karena kau sudah besar, seharusnya engkau bisa berpikir, aku bukan penjagamu, kau harus menjaga dirimu sendiri.

Bing memang belum pernah pacaran. Namun diantara kami berempat dialah yang begitu mengidamkan pernikahan. Membangun khayalan indah hingga detail yang terkecil. Di gereja mana mereka akan menikah, sulaman dan bordiran apa yang harus ada pada gaun pengantinnya, makanan apa yang harus disajikan, musik apa yang harus dibawakan Choir, siapa saja yang akan diundang, bahkan ia menyisakan 15 tempat kosong untuk calon sahabat barunya di masa depan. Entahlah. Agak konyol menurutku, tapi selama ia bahagia dengan harapan dan impiannya itu, aku pasti mendukungnya.

Sementara aku tak pernah berniat menikah atau dicintai lelaki. Selama perjalanan hidup,aku sudah ditempa ketakutan sehingga sulit sekali membangun impian tentang pernikahan. Yang kuinginkan adalah kebahagiaan. Egois memang dan belum tentu sehat sebab rencanaku kalau sampai umur 22 sudah bosan dengan masturbasi aku akan menyewa gigolo untuk adu penalti.

Tapi ternyata memang Alena yang paling naif. Ia begitu mencintai Jati, lelaki berkeluarga itu. figur paman yang dicarinya. Paman yang menyayangi keponakannya. Sering mengajak jalan-jalan dan bergembira. Mengenalkan dunia dan menghapus rasa penasaran, memberi perlindungan dan alasan ketika papi bertanya macam-macam. Alena mencari itu. Merasa diperhatikan, dibimbing, dilindungi, tempat Alena berkeluh kesah sekaligus tempat mencoba fantasi-fantasinya.

Tapi memang bangsat Jati itu. Tukang tarik ulur. Membuat Alena terlalu kangen, sok ngemong, sok menjadi pendengar yang baik karena papi di rumah tidak pernah mau mengerti, sok memberi pelukan yang menentramkan.

Hari ini Alena mengaku Jumat yang lalu pergi ke Bandung dan menginap di hotel dengan jahanam penjahat kelamin itu. Aku kecewa dan sengaja mengucap keras-keras ; bukannya udah tiga bulan bokap nyokap lu ke Chengdu nengok Melisa? Lagian lu di rumah les privat sama dia seminggu dua kali kan. Lu pasti sering begitu kan Na? (Aku mengharapkan kepastian dan cemas menanti jawaban Alena, aku membenci kawan-kawanku yang bodoh. aku benci, karena mereka menyulitkan diri sendiri, mereka menjebloskan diri dalam kemuraman). Alena tentu tak menganggap hal itu perkosaan sebab dilandasi suka sama suka. Trixie tiba-tiba diam.

Alena kehabisan nafas akibat tangis. Kami bertiga bingung melontarkan kata, percuma saja sebab semakin menyalahkan Jati justru semakin membuat Alena kangen. Sebab Jati lembut dan justru Alena yang memaksa meminta saking kepingin tahu.

Tapi Bing muntab, ketika akhirnya Alena ngaku juga mereka sudah limapuluh kali lebih bersetubuh, sebab baginya seks dan pernikahan adalah sakral. Tantangan untuk suami adalah kesetiaan kepada pasangan juga pada komitmen. Bukan pergi keluar cari perawan kencur yang mendambakan figur lelaki dewasa.

Alena, lu emang bego. Dia cuma memperalat elu. Cowok kayak gitu cuma pura-pura peduli. Buka donk mata lu. Dia udah nikah. Sudah secara sadar berjanji di depan negara dan agama. Lu terlalu polos Na. Lu tuh diperkosa! Kalo dia cowok baik-baik, dia gak akan merusak lu. Lu betul-betul buta. 

“tapi kita cinta. lo tahu cinta kan bing.”

Dasar Gorila laknat, masih mau dia terima duit les dari papih lu? Tau, gak, badan lu cuma jadi tempat sampah! Tempat dia membuang segala kegelisahan hati dan menemukan kepercayaan diri yang baru! Lu batu Na! Goblok mampus! Mau-maunya mengizinkan dia membuang sampah dan segala lendir di badan lu. Gak jijik apa lu?

Aku kesal Bing memojokkan Alena terus. Setiap orang punya hak untuk menentukan pilihannya. Kalau saat ini Alena frustrasi pada hidupnya, bukan tugas kami untuk menambah bebannya dengan mencari-cari kesalahan. Mereka menikmati berdua, harus ditanggung berdua pula. Jika Jati melupakan Alena, ya sudah, begitulah hidup, dia memang bangsat. Itu terjadi sebelum aku tahu bahwa sebelum melakukan sanggama lewat vagina, Jati melakukan sanggama melalui dubur. Memang bangsat jati itu. Akhirnya semua menjadi jelas ketika Alena meminta amoxilin karena duburnya sakit dan takut infeksi.

Berapa kali lo di sodomi?

empat sampai lima kali lah, tapi gw gak mau karena eek gw keluar, meskipun udah gw minumin obat pencahar sebelumnya biar usus gw bersih.

“Lo tolol alena! lo tolol banget! lo gak pengen hamil tapi lo tolol! goblok lo!” begitu Bing mencak-mencak.
“Jangan jadi habbit ya Na, kasian lubang pantat lo entar, gak elastis lagi, jebol.” Trixie berkata sambil menangis. Wajahnya tampak sangat prihatin.

Umur kami masih 17 waktu itu. Aku dan Bing baru 2 minggu berumur 17. Trixie baru akan 17. Alena sudah akan 18.

empat bulan setelah kejadian itu, trixie datang kepadaku. Ia gemetar dan rapuh seperti daun kering musim gugur. “tolong anterin gw aborsi Tan.” ia menangis sepanjang perjalanan.

“udah berapa bulan anak lo?” aku memperhatikan dia. kesedihan itu menular demikian hebat, penyesalan, rasa hormat, telah berubah kecut. aku memperhatikan dia.

“tiga atau empat bulan.” dia sesenggukan.

“elu siap Trix?” aku menatapnya sedih. Airmata dan ingusnya tak berhenti mengalir. “gak ada orang mau aborsi tan..gak ada. tapi gw harus ngelanjutin hidup kan tan.”

tentu saja Trixieku menderita ketika dia harus memutuskan mengakhiri kehamilannya. Beban yang ditanggungnya seumur hidup sebagai pembunuh bayi, dia yang terus menerus berperang melawan perasaan dan kepercayaan mengenai nilai hidup benih manusia yang dikandungnya. dia yang terus menerus dicekam perasaan sebagai ‘bukan anak baik-baik’ dan menjadi percaya stigma yang ia lekatkan sendiri.

itu adalah rahasia kami berdua, sampai kami mati. aku berdoa terus menerus sepanjang jam-jam tegang itu. aku mengantarkan dia pulang ke rumahnya dan mengaku ada lomba paduan suara di bandung, ketika Trixie menginap 2 hari di rumah nenek setelah aborsi itu. dia menangis sepanjang waktu. pacarnya kali ini luar biasa bangsat. aku memandangi dia yang menularkan sedih ke dasar hatiku.

Untukku 22 sudah selesai. Aku tak punya lagi keinginan adu penalti dengan gigolo. Aku sudah menemukan Bing, belahan jiwaku. Tetapi kami tidak menikah di gereja – bagaimana mungkin. Kami menemukan kontrakan kecil di selatan Jakarta. Bing tidak melanjutkan kuliah, belum ada dana untuk itu selepas pertengkaran dengan keluarga besarnya. Dia mengajar musik di sana-sini.  Aku mendapat beasiswa untuk belajar di fakultas Komunikasi. Telah lama aku lulus kuliah dan menjadi penulis lepas. Nenek tidak tahu aku mencintai Bing, tapi bing tahu aku mencintainya.

Kemarin dulu, aku ikut pelatihan membuat film documenter, besok aku dikirim ke Asean untuk membikin film-film documenter tentang LGBT.

aku kepingin Bing Kuliah, sebab dia layak untuk melanjutkan pendidikan, sebab kalau besok kami memutuskan punya anak, kami tak bisa tinggal di Indonesia. Bekerja di luar negeri juga tidak mudah, menjadi warga negara di suatu negara nun jauh disana juga tidak mudah. masih banyak tahapan-tahapan yang harus dilalui, dan bekal-bekal yang harus dipersiapkan. selalu ada dana segar yang harus kami miliki, sebab hidup bukan hanya tentang berdua, tapi tentang keberlangsungan hidup itu sendiri, dengan anak-anak kelak.

Alena yang mogok kuliah Hukum sudah tunangan dengan seorang terapis. Mereka berpapasan setahun lalu ketika Alena belajar membuat foto essay di sebuah rumah sakit di Jakarta. Ia banyak menulis,ia banyak bepergian. Ia bisa saja melanjutkan bisnis papinya, tapi ia memilih jalannya sendiri. Alena masih belum melupakan Jati, ia mengkhianati si terapis itu sebelum mereka menikah.  Jemari lincah, wajah cerdas, postur melindungi, senyum menenangkan, limabelas tahun lebih tua, pernah menikah. Alena hanya mencari sosok Jati di tubuh orang lain. Masa kuliahnya masih dihabiskan untuk sekali-kali ketemu Jati. Ia hanya cerita kepadaku, masih sekali-kali menelepon Jati untuk mengajak bertemu, sekedar menghirup harum keringatnya yang bercampur aroma rokok filter. Aku tak tahu setelah pertunangannya ini apakah ia masih akan mencari-cari Jati.

Trixie pindah ke Toronto selepas SMA dan sudah menjadi warganegara Kanada. Ia tinggal dengan keluarga pamannya dan belajar ekonomi di sana sambil sesekali mendapatkan job merias wajah. Sekarang ia tinggal di prince george british Columbia dengan pacarnya. sudah duasetengah tahun mereka pacaran, tapi belum juga mendapatkan anak. Trixie selalu kepingin punya anak setelah peristiwa aborsi dulu itu. ia mentato tubuhnya, dengan simbol zodiak dia dan anaknya. Tiap malam dia masih berdoa dengan getir.

Kami masih bertukar cerita dan rahasia. Ia mengatur cara supaya Bing dan aku bisa tinggal bersama dia kelak. Kadang aku masih bersedih untuk kehidupan remaja yang kami alami, sekaligus bersyukur karena telah dipertemukan dan mengalami beragam rasa perkawanan sedemikian dalam.


Ps : fragment dari novel Nyanyian kembang kapas dengan revisi di sana sini
~ aku lega, kita pernah berjumpa ~